Srek....
Tirai kamar Nadia di buka kasar oleh Meli, Mama tirinya. Cahaya matahari masuk lewat pantulan jendela kaca hingga mengenai Mata indah milik Nadia.
"Hay anak nakal, Bangun. Sebentar lagi calon suami mu datang. Pakai dres yang sudah Mama siapkan. Kamu harus terlihat Perfeck di depan calon Suami kamu. Dan ingat, Jangan mempermalukan keluarga kita." Meli meninggalkan Nadia sendiri di kamar.
"Argg..., Kenapa kebahagiaan tidak pernah berpihak kepada ku?!" Nadia memukul pinggiran kasurnya. Kakinya beranjak turun, Dia masuk kedalam kamar mandi dengan malas.
"Kenapa harus aku yang di takdirkan begini?!" Nadia ingin marah, Tapi dia harus marah ke siapa? Semuanya terasa memuakkan.
***
Nadia duduk di depan cermin kamarnya. Pantulan wajah cantiknya membuat senyuman iblis terbit di bibir manisnya.
"Kenapa aku harus cantik? Kenapa aku tidak buruk rupa saja?" Nadia Menggegam lipstik di tangannya erat.
"Semua ini tidak adil."
Pyar...
Kaca riasnya retak seketika akibat dia lempar dengan lipstik.
Deru mesin mobil terdengar di telinganya. Nadia berlari menuju balkon. Seorang lelaki paruh baya yang sedang mengenakan Jas hitam keluar dari mobil miliknya. Tentu dengan Wanita paruh baya yang setia ada di sampingnya.
"Apa Papa benar-benar tega menjodohkan aku dengan si tua bangka itu? Apa aku akan di jadikan sebagai istri ke dua?"Nadia mencengkram pinggiran balkon kamarnya. Masa depannya hancur karena kedua orang tuanya.
"Papa benar-benar tega menjual aku demi bisnisnya. Katanya darah lebih kental dari pada air, tapi nyatanya Papa ku sendiri tidak lebih dari seorang iblis."Rambut panjang Nadia terurai indah. Otak cantiknya berfikir keras agar dia bisa kabur dari rumahnya.
"Masa aku harus loncat dari balkon? Nyawa ku hanya satu, Bukan seribu. Aku tidak mau mati konyol disini."Nadia menggigit ujung bibirnya.
"Aku tidak mau menikah dengan si tua bangka itu."Nadia berjalan mondar-mandir di balkon kamarnya.
"Tapi bagaimana aku bisa kabur dari sini?" Nadia benar-benar bingung.
"Nadia....." Suara itu membuat Nadia ingin segera mengakhiri hidupnya.
Ceklek...
"Jangan kamu berniat untuk kabur. Dasar anak tidak tahu diri, Kami hanya menyuruh kamu menikah, bukan bekerja. Jadi ayo ikut Mama kebawah. Tidak baik membuat Tamu menunggu lama." Nadia tidak bersuara. Percuma dia membantah, Mama tirinya akan memaksanya.
Nadia dan Meli berjalan anggun menuruni tanggal. Tentu dengan tangan Meli yang menggandeng tangan Nadia agar tidak kabur.
"Nadia ya? Cantik sekali."Nadia tersenyum tipis kepada wanita paruh baya di depannya.
"Terimakasih."Jawab Nadia singkat.
"Sepertinya kamu cocok dengan..."
"Aku tidak mau menikah."Bram terkesiap mendengar suara lantang Nadia.
"Nadia!! Tidak sopan kamu memotong pembicaraan orang lain!!" Sentak Aldi, Papa Nadia.
"Tapi Pa, Aku tidak ingin menikah dengan..."
"Assalamualaikum, Maaf saya telat. Tadi jalanan mancet." Nadia sempat terpesona dengan ketampanan lelaki yang sedang berdiri di depan pintu utama rumahnya.
"Waalaikumsalam. Tidak Apa-apa Nak Rehan, Silahkan duduk."Rehan Tersenyum melihat keramahan Meli. Setelah bersalaman dengan kedua orang tua Nadia dan orang tuanya, Rehan duduk di sofa single.
"Ngapain kamu ngelihatin aku terus?" Ketus Nadia.
"Kamu cantik."Pujian itu tulus Rehan berikan untuk penampilan Nadia yang perfeck menurut matanya.
"Dasar Om-Om mata keranjang."Dengus Nadia.
"Apa? Om-Om?" Rehan mengulang ucapan dari Nadia tadi.
"Iya Om-Om, Umur ku baru 22 tahun. Sedangkan kamu...."
"Aku baru 27 Tahun. Kita hanya beda 5 Tahun. Dan perlu aku tekankan kepada kamu, jangan panggil aku Om. Aku bukan Om kamu, tapi calon suami kamu." Mulut Nadia terbuka lebar. Rupaya dia sudah salah sangka. Dia fikir Lelaki paruh baya di depannya lah yang akan menjadi suaminya.
"Tapi tetap saja. Umur kita terpaut jauh." Nadia tidak mau terkalahkan.
"Sudah-sudah, Sebaiknya kalian pergi jalan-jalan saja. Kalian saling mengenal dulu, Biar tanggal pernikahan kalian kita yang menentukan." Usul Eva, Mama Rehan.
"Tapi Tante, Aku sedang tidak mau pergi. Aku ingin disini saja. Lagi pula di luar panas. Jadi...."
"Aku bawa mobil. Ma, Pa, Om, Dan Tante, kita pergi dulu. Ayo sayang," Rehan Tersenyum penuh kemenangan.
"Licik."desis Nadia.
****
Mobil sport merah keluaran terbaru menjadi alat transportasi untuk Rehan dan Nadia jalan-jalan. Mereka berkeliling kota tanpa memiliki tujuan yang nyata.
"Kenapa kamu menerima perjodohan konyol ini?" Nadia memberanikan diri untuk angkat bicara. Keheningan yang tercipta di dalam mobil sungguh menyiksanya.
"Karena aku yang memintanya."Kening Nadia berkerut mendengar jawaban Rehan.
"Maksutnya?" Nadia menatap wajah tampan Rehan yang sedang fokus menyetir.
"Aku menyukai mu pada pandangan pertama." Ucapan Rehan yang membulat membuat Nadia semakin bingung.
"Aku tidak mengerti maksut mu, Apa kita pernah bertemu? Atau mungkin kita saling mengenal?" Nadia mencoba mengingat-ingat tentang dirinya yang pernah bertemu atau belum dengan Rehan.
"Kita pernah bertemu, Tapi kita tidak saling mengenal. Waktu beberapa hari lalu aku melihat mu sedang mengobrol bersama teman mu di caffe. Aku jatuh cinta pandangan pertama sama kamu. Aku mencari tahu semuanya tentang kamu. Rupanya kamu anak dari kologan bisnis papa ku. Sepertinya tuhan memang menjodohkan kita berdua, Perusahaan papa mu yang nyaris bangkrut memudahkan segalanya. Aku bersedia membangkitkan perusahaan papa mu kembali, dengan satu syarat. Kamu harus menikah dengan ku. Mama tiri mu yang tamak, langsung menyetujui persyaratan ku tanpa fikir panjang." Jelas Rehan. Sekarang ini Nadia benar-benar malu kepada Rehan. Dia sudah tidak punya harga diri di depan Rehan. Kedua orang tuanya benar-benar iblis, mereka tega menukar dirinya dengan uang agar perusahaan keluarganya tidak bangkrut.
Nadia meremas dres selututnya. Rasanya dia ingin marah dan menangis.
"Lalu apa alasan mu menerima perjodohan ini?" Kali ini Rehan yang bertanya.
"Apa bisa aku menolak mu?" Sinis Nadia.
***
Nadia duduk sambil menatap pancaran rembulan di kolam renangnya. Malam ini dia hanya ingin sendiri, Menelan pahitnya kehidupan dalam diam.
"Aku membenci takdir, tapi aku tidak bisa menyalahkan takdir."Nadia mendongak keatas. Dia sedang berbicara kepada bulan dan bintang.
"Rasanya aku seperti hidup di penjara. Semua tentang ku harus di urus oleh kedua orang tua ku. Aku tidak mempunyai kebebasan." Suara Nadia terdengar serak. Dia menahan air matanya yang ingin keluar.
"Definisi ibu tiri kejam memang benar adanya." Nadia membenarkan definisi itu. Dia mengalami sendiri perlakuan kejam ibu tirinya. Mulai dari tidak boleh kuliah, tidak di beri kasih sayang, dan di kengkang bagaikan tahanan. Ibu tiri itu lebih kejam dari pada singa.
"Aku ingin bahagia, aku ingin hak ku kembali." Nadia meloncat kedalam kolam renang. Dia menyelam tanpa mau mengambil oksigen untuk bernafas. Dinginnya air dan udara malam menusuk nyeri kedalam kulit putihnya.
Tiba-tiba Kaki Nadia keram, hingga membuat dia Tenggelam. Aldi yang berniat ingin mengambil minum ke dapur, melihat anaknya sedikit mengapung.
"Nadia..." Aldi meloncat ke dalam kolam renang.
"Sayang, bertahanlah." Aldi membawa Nadia naik ke atas. Dia memompa jantung Nadia.
Meli yang mendengar teriakan Aldi langsung berlari ke kolam renang.
"Oh may good, Bagaimana ini bisa terjadi?" Meli berjongkok di samping Nadia.
"Jangan sampai dia mati, kita bisa benar-benar bangkrut." Aldi melotot, dia tidak habis fikir dengan ucapan Meli tadi.
"Jaga mulut kamu!!" Bentak Aldi, marah.
"Pa..." Panggil Nadia, lemah. Air kolam keluar dari mulutnya.
"Dingin ya sayang? Papa bawa kamu ke kamar ya?" Aldi menggendong Nadia masuk kedalam rumahnya.
"Dasar nyusahin." Dengus Meli.
***
Rehan sedang menatap Foto Nadia yang sedang tersenyum. Foto itu dia ambil secara diam-diam.
"Kamu membuatku sulit tertidur karena terus memikirkan mu." Rehan membelai foto Nadia.
"Sebentar lagi kamu akan menjadi milik ku seutuhnya."Gumam Rehan, Tersenyum bahagia.
"Kamu akan menjadi orang pertama yang akan aku lihat setelah aku bangun tidur." Rehan membawa heandpon miliknya kedalam pelukannya.
"Memilikimu adalah impianku."
Rehan berjalan cepat menuruni tangga. Pagi ini Meli, Calon mertuanya menelpon dia. Meli mangatakan bahwa Nadia demam gara-gara berenang pada malam hari.
"Pagi sayang," Sapa Eva saat melihat putranya menuruni tangga dengan langkah terburu-buru.
"Pagi, Ma." Rehan mencomot roti yang ada di meja makan. Lalu dia memakannya dengan potongan besar.
"Kalau makan duduk." Titah Bram. Dia menatap putranya tidak suka.
"Aku sedang buru-buru, Pa. Aku pergi dulu."Rehan keluar dari rumahnya. Dia berlari ke parkiran. Mobil Sedan menjadi pilihannya sekarang.
Mobil yang Rehan kendarai melaju kencang menembus ramainya jalan ibu kota.
Tit..., tit....
Rehan menekan klakson mobilnya tidak sabar. Pagi-pagi begini sudah mancet saja ibu kota.
"Arggg...., Nadia, Nadia, Kenapa kamu membuat aku khawatir?" Rehan memukul stir mobilnya.
***
Nadia menangis dalam diam. Dia duduk di pinggir jendela kamarnya. Hari-harinya tidak lagi menyenangkan.
"Aku bagaikan tinggal di dalam Kastil yang seperti neraka."Nadia berjalan ke arah balkon. Jalanan pagi ini sangat padat, dia melihat anak-anak dengan orang tuanya berjalan-jalan.
"Jangan melihat mereka seperti itu, Sebentar lagi kamu akan seperti mereka."Nadia terkesiap dengan suara asing di belakangnya.
"Kamu..."Nadia menghela nafas kasar. Bodoh sekali dia tidak mengunci kamarnya tadi.
"Iya, Aku. Kenapa?"pertanyaan menyebalkan itu Rehan lontarkan kepada Nadia.
"Bisakah kamu mengetuk pintu dulu sebelum masuk kedalam kamar orang?"Nadia masuk kedalam kamarnya. Dia duduk di sofa panjang yang ada di dalam kamarnya.
"Apa salah bila calon suami masuk kedalam kamar calon istrinya?"Rehan berdiri di samping Nadia.
"Tapi kita belum resmi menjadi suami istri."Nadia melipat kedua tangannya ke dada.
"1 Minggu lagi kamu akan resmi menjadi milik ku."Rehan berjongkok di depan Nadia.
"Terlalu percaya diri sekali kamu tuan." Nadia Tersenyum sinis kepada Rehan.
"Jelas, memang kamu ingin menikah dengan siapa lagi jika tidak dengan aku?"Rehan menyugar rambutnya kebelakang.
"Laki-laki di luar sana banyak, dan ada yang lebih kaya dari mu. Aku juga bisa bekerja untuk menutup semua kerugian di perusahaan keluarga ku."Rehan menyengkram erat pundak Nadia.
"Aku tidak akan membiarkan kamu menikah dengan lelaki mana pun kecuali aku. Rehan Mahendra."Sekarang Nadia melihat sikap iblis seorang Rehan Mahendra.
***
Gadis manis dengan lesung pipi di kedua pipinya sedang menunggu seseorang dengan rahut wajah kesal.
"Hari Minggu ku terbuang sia-sia." Desah gadis itu kecewa.
"Melody...." Nadia berlari memeluk sahabatnya. Hampir semua orang melihat ke arah Melody Dan Nadia.
"Apa urat malu mu sudah putus?" Melody Dan Nadia duduk di pojokan Caffe. Sore ini angin berhembus pelan, membuat Nadia dan Melody senang. Mereka berdua menyukai tempat duduk yang dekat dengan jendela.
"Heee..., Sorry. Aku ingin curhat." Wajah ceria yang Nadia perlihatkan tadi berubah sendu.
"Ishhh..., Kamu tuh kayak sama siapa aja. Yaudah, Buruan cerita. Aku siap dengerin semua cerita kamu." Melody bertumpu kepada dagunya. Dia tersenyum kepada Nadia.
"Kamu masih percaya perihal orang yang di jodohkan akan berakhir bahagia?" Melody mengerutkan keningnya, tanda dia sedang berfikir.
"Maksutnya?" Kali ini otak jenius Melody Benar-benar blenk.
"Di Era Modern seperti ini, Nyokap tiri dan Bokap ku menjodohkan aku dengan anak kologan bisnis mereka." Nadia mulai bercerita kepada sahabat karibnya. Dia dan Melody berteman sejak SMP, Jadi tidak ada yang perlu di tutup-tutupi di antara mereka berdua.
"Lalu?" Melody Benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita yang Nadia sampaikan.
"Kedua orang tua ku menjual ku kepada mereka." Ada rasa kecewa yang berhasil Melody tangkap dari sorot mata Nadia.
"Seperti menjadikan kamu budak nafsu mereka?" Tebak Melody.
"Tidak." Nadia tidak membenarkan argumentasi dari Melody.
"Atau mungkin dia menjadikan kamu ******* yang menjadi simpanan Om-Om?" Melody berfikir negatif. Wajar bila dia berfikir seperti itu. Meli, Mama tiri Nadia sangat kejam.
"Kamu tuh, Ih nyebelin. Maksutnya di jual itu seperti aku harus menikah dengan anak kologan papa aku. Mereka mau membantu perusahaan keluarga ku dengan syarat aku menikah dengan anak mereka." Melody menatap Nadia kasihan.
"Memang siapa nama anak kologan bisnis Papa mu yang di jodohkan dengan kamu?" Melody bertanya penuh selidik.
"Rehan."
"Rehan siapa? Nama panjangnya juga dong di sebut. Siapa tahu aku kenal." Kesal Melody.
"Rehan Mahendra."
Melody yang sedang menyeruput Es jus Orange miliknya langsung terbatuk.
Uhuk..., Uhuk..
"Gila, Sekali gaet anak kolongmerat." Melody mengeluarkan Heandpone canggih nya.
Biodata Rehan Mahendra. Putra tunggal dari pasangan Eva Mahendra dan Bram Mahendra.
Nama : Rehan Mahendra.
Umur : 27 Tahun.
Agama : Islam.
Lulusan Management.
Pekerjaan : CEO Muda Di perusahaan perhotelan Rey M.
"Kalau kayak gini aku gak bakal nolak kalik." Melody menunjukkan hasil pencariannya.
"Tapi aku tidak tertarik dengan dia." Nadia mengusap wajahnya kasar.
"Sepertinya mata kamu rusak, Nad. Laki-laki seganteng dan setajir dia mau kamu tolak? Ibaratnya kamu membuang berlian 100 Karat." Ucap Melody berlebihan.
"Tapi aku tidak cinta sama dia." Nadia mencoba mencari alasan untuk menolak Rehan.
"Aku tahu cinta itu penting. Tapi dalam rumah tangga materi juga penting. Emang kamu mau makan Balok sama batu?" Melody mencoba menyadarkan otak cantik Nadia.
"Tapi bagaimana aku bisa membangun rumah tangga dengan dia, kalau cinta sama dia aja enggak." Di posisi ini Nadia terlihat sangat bingung.
"Dengar ya Nadia sayang, Pangeran Tampan seperti dia tidak datang dua kali untuk menawari mu menjadi istrinya. Untuk kali ini, Plis...., Jangan tolak dia." Nadia benar-benar bingung. Dia harus bagaimana? Menuruti apa kata hatinya? Atau Apa kata sahabat karibnya?
"Tapi Aku masih cinta sama..."
"Dia udah ninggalin Kamu tanpa kepastian. Ayolah, Nad. Yang pasti ada, ngapain nunggu yang tidak pasti. Buang-buang waktu saja." Melody mencoba membantu Nadia mengerti dengan memberi dia saran.
"Tauk Ah, Pusing." Nadia meletakkan kepalanya di atas meja Caffe.
***
Semua pasang mata menatap Rehan kagum. Lelaki berperawakan tinggi itu sedang berlari Sore di Alun-alun Jakarta.
"Arg...., Yaampun ganteng banget tuh cowok yang lagi nyeka keringat."
Rehan menyeka keringat yang menetes di kening dan rambutnya.
"Hot banget sih. Kira-kira udah nikah belum ya?" Tebak salah satu perempuan yang sedang duduk di bawah pohon rindang.
"16. 30. Ternyata cepat juga waktu berjalan."Rehan berjalan ke pinggir lapangan. Dia mengambil sepeda gunungnya. Lalu dia mengayuh sepedanya santai.
"Kamu tuh apa-apaansih, Yank? Udah ada aku pakai ngelirik laki-laki lain." Rehan tertawa kecil ketika mendengar sedikit kegaduhan di pinggir jalan.
"Dasar mata perempuan." Desis Rehan.
Nadia berjalan malas, dia masuk kedalam butik bersama dengan Rehan. Siang ini mereka berdua akan melakukan fiting baju untuk pernikahan mereka.
Sedari pagi Rehan sudah menunggunya, tapi Nadia yang Masabodo, mandi hampir satu jam.
"Cocok mbak, Pas." Pegawai di butik itu menatap kagum Nadia.
"Apa punggungnya harus terekspos seperti ini?" Tanya Nadia, tidak nyaman.
"Emang model zaman sekarang begitu mbak. Tapi benar kok mbak, mbak cantik pakai kebaya ini." Kebaya panjang berwarna putih tulang sangat bagus di badan ramping Nadia.
"Mau lihat calon mempelai laki-lakinya? Saya antar." Tawar pegawai butik itu.
"Tidak, saya..."
"Itu kamu, Nad? Cantik banget." Rehan terpesona untuk yang sekian kalinya ketika melihat penampilan Nadia.
"Kalau gak cantik, mana mau kamu minta di jodohin sama aku." Sinis Nadia.
Skatmat!!
Rehan tersenyum canggung. Niatnya memuji Nadia, malah mendapat ucapan ketus dari perempuan di depannya.
"Udah mbak, di lepas aja. Gerah soalnya." Nadia masuk kedalam ruang ganti bersama pegawai butik.
"Perempuan emang gitu Mas kalau moodnya jelek. Entar juga baik sendiri." Ucap salah satu pegawai butik yang bekerja di butik itu.
***
Nadia keluar dari mobil bersama dengan Rehan. Para Cacing-cacing di perutnya sudah berdemo meminta makan.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 Wib. Mereka terlalu lama berada di butik. Lagi pula perjalanan sangat mancet.
"Kamu kedalam dulu, aku mau ngambil heandpone di mobil." Suruh Rehan, Nadia mengangguk. Dia berjalan lebih dulu masuk kedalam Restoran. Namun...
Brak...
"Argg..., Ah." Ringis Nadia. Dia memegangi lututnya yang terasa sakit akibat terjatuh. Salahnya juga berjalan sambil bermain heandpone, jadi dia menabrak seseorang.
"Kamu gak apa-apa?" Lelaki yang di tabrak Nadia berjongkok di depan Nadia.
"Hah? Gak kok mas, aku gak apa-apa. Lagi pula aku yang salah, jalan gak lihat-lihat." Jawab Nadia, dia tidak melihat lawan bicaranya. Lututnya benar-benar sakit saat ini.
"Mau aku bantu berdiri?" Nadia mendongak, keduanya sama-sama terkejut.
"Danil?"
"Nadia?"
Nadia bangun di bantu oleh Danil. Senyum Nadia yang sempat hilang, kini merekah bagaikan bunga mawar yang sedang mekar.
"Kamu apa kabar?" Tanya Nadia, dia menatap Danil dengan senyum mengembang.
"Aku baik, kamu?" Rehan melihat interaksi keduanya dari jarak tidak terlalu jauh. Dia tidak bodoh, tersirat rasa rindu di antara mereka berdua. Rehan melihat tatapan cinta dari mata Danil.
"Dia baik, Ayo sayang pulang. Kita makan di rumah saja." Ajak Rehan.
"Tapi..."
"Ayo..." Rehan menarik pergelangan tangan Nadia terlalu kuat, kaki Nadia yang masih sakit akibat terkilir tadi, membuat Nadia kembali terjatuh.
"Aduh..." Nadia menahan kekesalannya kepada Rehan. Gara-gara dia, dirinya harus kembali jatuh.
"Jangan kasar dong sama perempuan!!" Sentak Danil.
"Sebentar lagi aku dan Nadia akan menikah, tolong kamu jangan ganggu dia lagi." Rehan menggendong Nadia. Mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
"Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu kepada Danil." Nadia tidak suka dengan cara Rehan berbicara kepada Danil.
"Lalu aku harus bagaimana? Aku laki-laki, Aku tahu tatapan mata laki-laki kepada perempuan. Danil menatap mu dengan tatapan memuja, lalu aku harus diam saja?" Rehan menjalankan mobilnya dengan emosi.
"Apapun alasannya, kamu tidak berhak berkata kasar kepada dia." Bela Nadia.
"Lalu aku harus bagaimana Nadia Zaen?" Danil menepikan mobilnya ke pinggir jalan.
"Apa kamu juga mencintai nya? Kelihatannya kamu tadi senang banget bertemu dengannya." Nadia bungkam. Dia bingung harus menjawab apa.
"Kamu bisa gak sih? Menghargai aku sedikit saja. Aku kurang apa? Dimata mu aku selalu salah." Terdengar nada frustasi dari bibir Rehan.
"Aku..."
"Beri aku waktu untuk belajar mencintai mu." Potong Nadia, cepat.
***
*Ku tuliskan Rinduku di secarik kertas putih.
Ku tuangkan segala rasa ku lewat pena yang menari.
Rasanya aku ingin berteriak dan berlari.
Beban hidupku seakan mencekik ku dari belakang.
Hatiku mencintai dia.
Namun rasa tidak tega menyelimuti hatiku saat ingin meninggalkannya.
Rehan dan Danil, keduanya sama-sama membuatku pusing.
Rehan adalah laki-laki pilihan kedua orang tuaku, tapi aku tidak mencintainya.
Sedangkan Danil...
Aku jatuh hati pertama kali dengannya saat SMA.
Menjadi bagian dari hidupnya adalah impianku.
Tapi semua itu pupus karena Perjodohan yang tidak memberi ku pilihan untuk menolak*.
Nadia duduk di meja belajarnya. Pertemuannya dengan Danil tadi membuat dia bimbang. Akankah dia bisa mencintai Rehan? Ketika hatinya jelas-jelas memilih Danil.
Danil adalah laki-laki impiannya. Hampir 7 tahun Nadia mengejar Danil. Tapi laki-laki itu malah pergi ke London untuk melanjutkan impiannya sebagai seniman terkenal.
Bagi Nadia, Danil sudah menjadi seniman, Dia selalu bisa melukis kebahagiaan di kehidupannya.
"Entah hati ku mencintai siapa, yang pasti aku tidak mau melukai hati kalian berdua." Nadia meletakkan bolpoin yang dia pegang di atas buku. Dia butuh istirahat, dia ingin melupakan masalahnya sejenak.
***
Rehan sedang bermain catur bersama papanya di teras rumah. Sudah menjadi kebiasaan Rehan dan Bram, mereka akan menghabiskan malam dengan secangkir kopi serta berbagai cemilan sebagai pelengkap permainan catur mereka.
"Rey, gimana tadi fiting bajunya?" Eva datang sambil membawa sepiring pisang goreng.
"Lancar, Ma." Jawab Rehan singkat.
"Skatmat!! Sekarang kuda papa gak bisa jalan lagi." Seru Rehan, senang. Membuat papanya kalah seperti ini adalah bagian dari kebahagianya.
"Selalu begitu kamu, Rey." Mereka berdua tertawa. Sedangkan Eva menggelengkan kepalanya pelan.
"Gak anaknya, gak papanya, senang banget main catur." Rehan dan Danil saling tatap. Mereka kembali ketawa setelah melihat wajah masam Eva.
"Kalian tuh kalau sudah ketemu Catur, pasti lupa makan dan segalanya." Danil menatap istrinya, dia menyedu kopi buatan Eva dengan tenang.
"Yang penting kan gak lupa sama mama." Semburat merah muncul di kedua pipi Eva.
"Ih, Papa. Malu tuh di lihatin Rehan." Eva menunduk malu.
"Haaa..., santai Ma." Cengir Rehan.
***
Pagi ini Nadia sudah Fress. Dia memakai sepatu olahraganya. Sudah lama dia tidak berolahraga seperti ini.
Kaki Nadia berlari-lari kecil mengelilingi kompleks rumahnya.
"Segar bengetsih udara di pagi hari kayak gini." Nadia meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku akibat jarang olahraga.
Matahari muncul malu-malu di ufuk timur. Nadia mengelap keringatnya yang terus menetes.
"Gini kan bebas, gak kayak di rumah." Nadia merasa bahagia ketika berada di luar rumah. Karena dia jauh dari iblis yang terkutuk, siapa lagi kalau bukan mama tirinya.
"Lagi joging Mbak Nadia?" Sapa tetangga kompleksnya.
"Iya, Bu. Sedang apa disini?" Nadia membalas sapaan dari Tetangganya dengan sopan.
"Biasa mbak, beli bubur buat sarapan." Nadia mengangguk singkat dengan bibir tersenyum.
"Kalau begitu saya permisi." Pamit ibu-ibu itu.
"Silahkan, Bu. Hati-hati di jalan."
Nadia terkenal ramah dan penyayang kepada anak kecil di kalangan kompleks rumahnya. Semasa mamanya masih hidup dulu, Nadia selalu berjalan-jalan sore, Bertamu ke rumah tetangganya dengan membawa berbagai oleh-oleh dari papanya, bermain dengan anak kecil di sekitar kompleksnya, serta selalu berbagi. Namun itu semua dulu, Sekarang Nadia lebih sering di rumah. Kebahagiaannya di rengguk paksa oleh mama tirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!