NovelToon NovelToon

HUJAN, Beri Aku Cinta

BAB 1 BAKSO KENANGAN

"Enak kan kak?" Tanya Vina sambil menikmati semangkok bakso.

"Hem…" jawab Uno sambil menganggukkan kepalanya. Ia menjawab sekedarnya karena mulutnya yang kini tengah penuh dengan bakso yang sedang ia kunyah.

Vina dan Uno adalah pasangan suami istri. Setelah melakukan perjodohan dan menjalin perkenalan untuk saling mengerti selama tiga bulan. Akhirnya mereka sepakat untuk menjalin bahtera rumah tangga.

"Dingin-dingin gini emang paling enak dan pas makan bakso" tambah Uno.

Vina tersenyum. "Kamu bener kak. Sayang kita menikmatinya di dalam mobil."

Saat ini mereka menikmati bakso didalam mobil. Karena di kursi yang disediakan penjual bakso sudah penuh ditempati anak-anak yang menggunakan pakaian berwarna putih abu-abu.

Uno menuruti istrinya karena sejak kemari Vina ingin sekali menikmati bakso dimana ia pernah Sekolah Menengah Atas. Dari cerita yang didapat Uno dari sang istri, begitu banyak kenangan ketika ia menimba ilmu di sekolahan yang ada di depan mereka itu.

Uno selalu menuruti istrinya dengan apa yang tiba-tiba Vina mau. Siapa yang tahu kalau itu ngidam, kalau boleh berharap dari kata 'mungkin saja'.

Karena Uno berharap segera kehadiran malaikat kecil yang akan meramaikan istana kecil mereka. Vina dan Uno sudah menikah selama dua tahun namun mereka belum di berikan kepercayaan untuk memiliki seorang anak dari sang pencipta.

Bakso mereka sudah nampak tandas namun salah satu dari mereka masih enggan untuk keluar mengembalikan mangkuk yang telah kosong itu.

"Semua yang ada disini begitu banyak kenangan yang belum bisa terlupakan" tutur Vina. Ia nampak menerawang seolah ia tengah menyelami masa-masa indah itu.

"Apa kamu punya pacar saat sekolah disini?" Tanya Uno tiba-tiba kepo. Ia juga penasaran karena selama ini Vina hanya menceritakan sahabatnya saja.

Mana mungkin dengan sorot mata Vina yang Nampak berbinar namun penuh rasa rindu dan cinta itu merindukan sahabatnya yang jelas selalu berkomunikasi dengannya.

Vina terkesiap mendengar pertanyaan Uno. Ia nampak menghela nafas dan mengatur suaranya agar tetap normal seperti biasanya.

"Aku sama Sari kan sangat dekat kak. Cuma dia satu-satunya sahabat aku yang bisa ngertiin aku" jelas Vina lugas.

Uno nampak menganggukkan kepalanya meskipun ia merasa ganjil dengan pikirannya sendiri karena seperti ada yang di sembunyikan Vina.

Namun Arjuno mencoba percaya dan menampik jawaban yang tak memuaskan hatinya. Ia yakin bahwa suatu saat nanti Vina akan menceritakan kisah masa lalunya namun meski Vina nantinya tetap diam ia akan memilih tetap diam juga memendam rasa penasarannya.

Vina nampak melamun seolah tengah menghitung berapa air hujan yang terus saja turun membasahi bumi. Membawa seluruh kisah masa lalunya yang hingga kini tak mampu ia lupakan tak mampu ia abaikan.

Sedangkan Uno menatap lurus ke depan, melihat bangunan sekolahan yang sederhana itu.

Uno melihat seorang siswi tengah berdiri di depan gerbang sekolah. Ia menggunakan payung untuk melindungi tubuhnya dari air hujan.

Tak lama kemudian ia melihat seorang lelaki yang mengayuh sepeda tuanya. Ia menggunakan pelindung tubuh berbahan plastik yang sudah dapat di tebak harganya murah.

Setelah lelaki itu turun dari sepeda, anaknya pun langsung mencium punggung tangannya. Ya, kemungkinan lelaki itu adalah bapak anak perempuan itu.

Lelaki itu nampak mengambil sesuatu dari balik pelindung tubuhnya. Lalu memakaikan pelindung tubuh yang nampak lebih wajar di gunakan.

Sepasang atasan dan bawahan anti air. Setelah anak itu menggunakan dengan benar, ia pun langsung naik di bagian belakang. Lalu bapaknya pun mengayuh sepeda tua itu yang sudah pasti tujuan mereka pulang kerumahnya.

Uno nampak menyungging senyum melihat kasih sayang bapak pada anaknya itu. Ia jadi berandai-andai jika saja ia besar dengan orang tua lengkap. Mungkinkah ia akan mendapatkan kasih sayang seperti anak perempuan tadi.

"Aku akan menjaga anak ku jika suatu saat nanti Engkau karunia kami malaikat kecil dan aku akan memohon pada mu untuk memanjangkan umur ku agar aku bisa menua menyaksikan anakku tumbuh dengan penuh kasih sayangku dan istriku" batin Uno.

Ayah Uno telah meninggal dunia saat ia masih berusia 2 tahun sedang ibunya telah meninggal 3 tahun lalu setelah usaha kuliner mereka sudah berkembang dengan sangat pesat.

Dan selama itu pula Uno selalu bekerja keras hingga kini bisa membuka restoran yang sedang berkembang sangat pesat.

"Aku bayar dulu baksonya Vin" ucap Uno setelah menumpuk dua mangkok menjadi satu dan dua gelas bekas jeruk hangat.

Vina hanya mengangguk karena ia baru menyadari jika ia baru saja menyelami kenangan yang sangat indah.

Uno keluar dari mobil dan langsung menuju penjual bakso. Ia tidak membutuhkan payung karena hujan sudah reda dan langit pun sudah tidak semendung tadi. Setelah membayar, Uno langsung masuk kembali ke dalam mobil.

"Apa ada tempat lagi yang ingin kamu tuju?"

"Nggak ada kak. Kita pulang saja"

Setelah mendapat jawaban sang istri, Uno pun langsung menghidupkan mobilnya lalu menjalankan mobil meninggalkan area sekolahan yang selalu membuat rindu bagi Vina.

.

.

.

Setelah sampai didepan rumahnya. Zantisya langsung meminta kunci rumah pada bapaknya dan segera membuka pintu rumah mereka.

Rumah yang sangat sederhana jauh dari kata mewah. Namun dirumah itulah Zantisya dibesarkan seorang diri oleh sang ayah setelah ibunya meninggal saat usia Zantisya 10 tahun.

Bapak Zantisya pernah menikah lagi saat ia baru masuk Sekolah Menengah Atas. Namun sepertinya nasib tidak berpihak pada keluarganya, karena usia pernikahan bapaknya hanya berjalan kurang dari satu tahun.

Ibu tiri Zantisya pergi dengan sejumlah uang setelah menggadaikan sertifikat tanah milik bapaknya. Dan kini, bapaknya harus membanting tulang mencari uang untuk mencicil sertifikat tanah beserta dengan bunganya.

Zantisya yang sungguh tidak tega melihat Bapaknya bekerja sendiri. Akhirnya ia pun ikut bekerja pada tetangganya yang membuka jasa catering setiap hari minggu. Dan ia juga menerima jasa setrika baju.

Awalnya, bapaknya melarang keras anaknya ikut bersusah payah mencari uang di usianya yang seharusnya harus fokus belajar. Namun akhirnya bapak Zantisya mendukung apapun yang di lakukan Zantisya selama sekolah tetap menjadi prioritasnya.

"Bapak harusnya tadi nggak usah jemput Tisya" ucap Zantisya sambil membaluri punggung bapaknya dengan balsam, karena sejak tadi bapaknya bersin terus.

Zantisya mewajarkan jika badan bapaknya itu mudah sakit apa lagi saat musim hujan seperti ini. Yang utama lagi adalah faktor u. Tahu dong pastinya.

"kalau bapak nggak jemput mau sampai rumah jam berapa nak?" ucapnya lalu menyesap teh hangat yang tadi di buatkan Zantisya.

"Biasanya juga Tisya jalan pak. Tadi Tisya nggak langsung cepet pulang karena hujannya deres banget" jelasnya.

Setiap hari Zantisya ke sekolah hanya berjalan kaki. Jarak rumah dan sekolahan memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki.

Bersambung...

Terimakasih yang sudah mampir 😊 mohon tinggalkan jejak ya 🥰 bisa like dan komennya 😀 jangan lupa tab favorit juga ya

Follow aku author juga ya ❤️❤️❤️

yang belum membaca NISSA jangan lupa mampir juga ya🥰😊

BAB 2 TRAGEDI

Beberapa bulan kemudian Uno yang sedang berada di luar kota karena tengah meresmikan cabang restoran terbarunya harus mendadak menuju rumah sakit dimana istrinya berada. Ibu mertuanya memberikan kabar kalau Vina mengalami kecelakaan. Dengan perasaan yang sudah campur aduk, Uno memilih menyewa jasa sopir untuk mengendarai mobilnya.

Nggak lucu kalau dia kecelakaan juga yang berniat menuju ke istrinya yang telah mengalami kecelakaan lebih dulu. Tubuhnya bergetar, jantungnya semakin cepat berdetak karena perasaan yang tidak-tidak menghinggapi kepalanya.

Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya mobil Uno sampai diparkiran rumah sakit. Setelah mentransfer sejumlah uang pada jasa sopir ia langsung segera lari memasuki rumah sakit. setelah mendapat ruang rawat Vina, Uno langsung berlari menyusuri koridor rumah sakit. hingga akhirnya ia sampai di depan pintu. Uno mengatur nafasnya yang tersengal dan menguatkan kakinya untuk melangkah masuk karena bergetar dan sekarang semakin terasa lemas.

Ceklek…

Uno membuka pintu, ia pun langsung melihat ibu mertuanya yang tengah duduk di dekat brangkar rumah sakit yang kini juga berbalik menatapnya.

"Uno" panggilnya lirih. Ia berdiri dan Uno pun melangkah mendekat lalu mencium punggung tangan ibu mertuanya. "Akhirnya kamu datang juga nak. Sejak tadi Vina terus merintih manggil kamu” tambahnya.

Ibu mertuanya memilih keluar dari ruangan itu memberikan kenyamanan untuk anak dan mantunya.

“Vin…” lirih Uno yang langsung duduk di kursi dan menggenggam tangan sang istri. Air matanya sudah tidak mampu ia bendung lagi melihat banyaknya luka yang ada di wajah, tangan dan kaki istrinya. Ini baru luka yang bisa ia lihat entah ada lagi luka lain atau tidak. "Vin…” lirihnya lagi.

Vina yang sayup sayup mendengar suara Uno pun perlahan mulai membuka matanya. Ia menoleh perlahan ke samping dimana suaminya berada. “Kak. Akhirnya kamu datang juga” lirihnya.

"Maaf, kalau aku bisa mempercepat perjalan pasti aku lakukan”

"Aku yang harusnya minta maaf kak. Maafin aku kak” lirihnya yang mulai nampak menangis.

"Kamu nggak salah apa-apa jadi kenapa harus minta maaf Vin. Udah yang penting sekarang kamu istirahat biar kamu cepet sembuh”

"Aku harus ngomong ini kak. Waktu ku sudah nggak banyak lagi”

"Udah Vin, aku…”

"Kak tolong dengar aku” pinta Vina lirih penuh permohonan. "Terimakasih kakak sudah menerima aku apa adanya. Kakak adalah lelaki terbaik yang pernah aku kenal. Aku sadar aku salah melukai kakak sejauh ini” lirihnya. Ia nampak menarik nafas mengatur suaranya yang bergetar. Uno sendiri memilih diam karena melihat Vina yang ingin menjelaskan sesuatu.

"Selama ini aku terlalu mencintai Adit. Orang yang segalanya, menjadi yang pertama bagi ku saat kami sekolah di SMA. Aku tahu aku jahat karena aku menerima pernikahan kita setelah aku tahu Adit telah bahagia dengan keluarganya sendiri. tapi meski begitu aku tetap mencintainya”.

"Udah Vin. Aku nggak perlu tahu kisah masa lalu mu yang penting sekarang adalah kita” sejujurnya Uno tidak sanggup mendengar penjelasan sang istri.

"Kakak harus dengar aku. Jangan potong ucapan ku” pinta Vina dan langsung di anggukkan Uno. "Maaf beberapa bulan terakhir ini aku nggak memberi hak ke kakak. Karena aku telah menjalin hubungan kembali dengan Adit”

Deg

Jantung Uno berdetak kencang. Ia sudah tidak sanggup mendengar semuanya. "Udah Vin, aku nggak mau deng…”

"Aku hamil anak Adit kak” lirih Vina. Sedetik itu juga Uno melepaskan genggaman tangannya pada tangan Vina. "Sungguh maaf kan aku kak, namun aku pun nggak bisa menyesali perbuatan buruk ku karena jujur rasa itu benar-benar masih ada”

Uno berdiri rasanya ia sudah tidak mampu lagi mendengar ucapan apa lagi yang akan di sampaikan Vina. Ia membalik tubuhnya ingin menenangkan hatinya. Rasa khawatir dan takut kehilangan kini bertambah dengan rasa kecewa. Mungkin Uno akan memaafkan perselingkuhan istrinya dengan cinta pertamanya, tapi kini istrinya tengah hamil. Jelas saja Uno kecewa dan marah.

Vina menggenggam erat jari kelingking Uno menghentikan langkah suaminya namun Uno tidak mau menatap istrinya lagi. "Kak ikhlaskan aku dan tolong maafkan aku kak” lirih Vina. Ucapannya sudah terbata dan nafasnya sudah semakin berat.

Uno menarik kasar tangannya dan melangkah keluar dari ruang rawat Vina. Diluar ia bertemu dengan ibu mertuanya.

"Nak… tolong maafkan anak ibu” pinta mertuanya.

"Ibu sudah tahu semuanya?” tanya Uno penasaran.

"Sejak awal ibu tahu namun ibu baru tahu kalau Vina sampai ham…” ucapannya terhenti.

"Sudah bu… kepala ku rasanya mau pecah” tutur Uno lirih ia langsung duduk disebuah kursi. Ia sendiri nggak habis pikir kenapa ibu mertuanya pun ikut andil dalam hubungan Vina dan Adit yang sudah jelas salah.

Uno tidak mempermasalahkan jika dulu Vina menyerahkan diri secara suka rela pada Adit atas dasar cinta. Ia sepenuhnya menerima Vina apa adanya. Bagi Uno yang terpenting komitmen keduanya masalah cinta itu biarkan mengalir dengan sendirinya. Namun kini ternyata istrinya itu bermain dibelakangnya hingga malaikat kecil itu hadir di rahim istrinya dimana ia yang sejak dulu mengharapkan itu. Ini salah, tidak ada pembenaran perselingkuhan atas dasar cinta. Masa lalu memang sangat mengerikan apalagi itu ada hubungan cinta yang belum usai.

"Maaf apa anda yang bernama Uno, suami Vina?” tanya seorang perempuan.

Uno mengangkat wajahnya menatap perempuan yang bertanya. Perempuan yang terlihat perutnya membuncit. Sudah dapat dipastikan jika ia tengah hamil. "Iya saya sendiri”

"Saya Rani istri mas Adit” lirihnya memperkenalkan diri.

Deg

Jantung uno detaknya sudah tidak karuan kala mendengar nama Adit. "Ada apa?” tanya Uno dingin.

"Mas Adit ingin bertemu dengan anda”ucap Rani.

"Untuk apa? Saya nggak ada urusan apapun dengan suami anda. Untuk apa say repot-repot menemuinya” kesal Uno. Jika memang ingin bertemu kenapa bukan adit sendiri yang datang menemuinya. Dasar tidak tahu malu.

"Mas Adit juga sedang di rawat disini” lirihnya.

.

.

.

Kini Uno memahami apa yang terjadi setelah memasuki ruang rawat Adit. Dimana lelaki itu terbaring lemah tak kalah mengenaskan dari istrinya Vina. Ternyata pasangan gelap itu kecelakaan saat sedang selingkuh. Mengenaskan.

"Mas Adit, suami Vina sudah ada disini” bisik Rani memberi tahu suaminya.

Perlahan Adit Nampak mengerjapkan matanya dan dengan perlahan menoleh kearah Uno yang tengah berdiri tak jauh dari brangkarnya.

"Uno maafkan aku karena telah merusak rumah tangga mu” lirih Adit memohon. Uno sendiri hanya menatap Adit dengan pandangan dingin, hatinya terasa beku saat ini.

"Aku tahu salah namun aku pun tidak mampu mengubah keadaan karena semua sudah terlanjur terjadi” lirihnya dengan nafas yang cukup berat. "Aku titip anak anak dan istri ku. Kami sudah yatim piatu tolong jaga anak-anak dan istri ku” pinta Adit. "Dan tolong juga kelola perusahaan yang sudah ku bangun hanya itu yang aku miliki untuk anak dan istri ku. Tolong bantu aku” mohonnya.

Kalau saja kata-kata kasar bisa Uno ucapkan akan ia teriakkan di depan wajah Adit. Namun ternyata itu ucapan terakhirnya yang bisa lelaki itu sampaikan sebelum akhirnya Tuhan mengambil nyawanya.

Sungguh tragis. Hanya kata itu yang terlintas di pikiran Uno.

Bersambung...

BAB 3 PEMAKAMAN

Sore itu langit begitu nampak mendung. Gerimis nampak terus saja turun dari langit membasahi kedua tanah kubur yang juga masih basah. Semua orang sudah pulang termasuk mertua Uno dan juga Rani, istri Adit.

Uno menatap nanar dua kuburan yang berjejer. Nampak seperti pasangan sehidup semati seolah cinta mereka adalah cinta sejati. Pasangan selingkuh yang akhirnya meninggal bersama setelah mengalami kecelakaan tunggal.

"Kalian sungguh mengerikan” lirih Uno. Ia menatap kuburan yang terdapat nama Adit disana. "Kamu lelaki egois, sudah tahu salah tetap melakukan dan sekarang kamu meminta aku untuk menjaga anak dan istri mu serta hartamu. Kamu pikir aku ini apa?” gumam Uno penuh kebencian. Namun ia pun harus belajar ikhlas dan memaafkan pasangan dengan cinta yang belum usai. Namun harus selesai karena kematian.

.

.

.

Setelah membaca doa Zantisya menabur bunga di atas makam ibunya. Hari ini ia telah lulus sekolah dan mendapat nilai terbaik. Dan hari ini juga adalah hari kematian ibunya. Ia dan bapaknya langsung ziarah kubur setelah Zantisya pulang dari sekolah.

"Ayo pak pulang” ajak Zantisya. "Takut makin deres hujannya” tambahnya.

Bapaknya pun berdiri dan langsung melangkah lebih dulu. Mereka membawa dua payung untuk berjaga-jaga jika hujan seperti saat ini. Perlahan namun pasti Zantisya mengikuti langkah bapaknya.

Zantisya dan bapaknya menatap lelaki yang berdiri di depan pusaran yang masih basah itu. Tadi saat Zantisya dan bapaknya datang para pelayat sudah mulai pulang.

"Tisya, berikan payung mu pada lelaki itu. Kasihan dia kalau terlalu lama terkena air hujan” perintah bapaknya.

Zantisya pun menurut dengan perlahan ia melangkah menuju ke arah Uno yang tengah berdiri. Setelah tinggal satu langkah ia sejajar dengan posisi Uno yang berdiri, Zantisya mengangkat tangan yang menggenggam gagang payung agar semakin tinggi. Lalu ia maju selangkah dan mereka pun berdiri sejajar.

Zantisya mendongakkan wajahnya untuk melihat wajah Uno. Karena sepertinya lelaki itu belum menyadari kehadirannya. "Kenapa ada sorot kehilangan, kesedihan, kecewa dan marah secara bersamaan di wajahnya” batin Zantisya.

Hening…

"Maaf mas…” lirih Zantisya yang sukses membuat Uno menoleh ke samping dan kini ia menyadari jika tubuhnya tidak terkena air hujan. Ia menatap gadis yang tingginya hanya sebatas dadanya. Uno mengerutkan keningnya merasa tak mengenali gadis yang ada di depannya itu. "Mas yang tabah ya” Zantisya memberikan senyuman terbaiknya seolah memberi kekuatan untuk lelaki yang menjulang tinggi dihadapannya itu. "Ini payung buat mas” ucap Zantisya sambil menyodorkan gagang payungnya.

Namun uno abai dan tak menerima payung itu. Akhirnya dengan berani Zantisya menyentuh tangan Uno dan mengarahkannya untuk menggenggam gagang payung.

"Saya pulang duluan ya mas. Mas juga harus cepat pulang karena hujan makin deres dan sebentar lagi magrib”. Itulah ucapan terakhir gadis berjilbab hitam pada Uno sebelum akhirnya gadis itu lari kearah bapaknya.

.

.

.

Tiga bulan sudah berlalu selama itu juga Uno hanya di sibukkan dengan pekerjaanya sendiri. ia juga sampai menjual rumah yang ia tinggali bersama Vina dulu. Ia sungguh tidak ingin dikelabuhi dengan kenangan manis namun kini semua ternyata palsu.

Hari ini Uno sengaja tidak pergi ke kantor karena ia ingin istirahat seharian. Biarlah orang kepercayaannya yang memantau semua restoran dan mengurus laporan laporan dari setiap cabang restoran.

Namun sepertinya hari istirahatnya terganggu, setelah mendengar bel dan Uno segera membuka pintu untuk tamu yang sungguh tidak Uno duga.

Ia menatap dingin sosok perempuan yang ada di hadapannya bersama seorang anak kecil. Bukannya mempersilahkan masuk namun pertanyaan Uno seolah tak menyukai kedatangan perempuan yang perutnya semakin membesar saja. "Dari mana kamu tahu alamat ku?” tanya Uno jelas tak suka.

"Maaf mas jika…”

"Cukup panggil nama” ia sungguh tidak menyukai semuanya. Uno sadar bahwa ia dan perempuan hamil dihadapannya ini adalah korban dari pasangan mereka masing-masing. Namun Uno sungguh tidak mampu jika harus berhadapan lagi dengan masa lalunya. Karena dengan ia melihat perempuan ini dia akan mengingat Vina dan Adit atas penghianatan yang mereka lakukan. Egois. Satu kata untuk pasangan yang sudah tiada itu.

"Uno… tolong bantu aku mengurus perusahaan kami"

"Aku nggak mau” sarkas Uno tanpa perlu pikir-pikir.

"Mama” lirih bocah laki-laki yang langsung sembunyi ke belakang Rani.

"Radit tunggu mama didalam mobil ya nak. Radit sama pak totok dulu” pinta Rani, Radit mengangguk dan langsung lari menuju mobil.

Rani menatap Uno yang tengah melihat radit berlari kecil menuju kemobil lalu masuk kedalam setelah di bukakan pintu oleh sopirnya. "Radit anak pertama kami Uno. Usianya empat tahun”jelas Rani. "Sebentar lagi perkiraan anak kelahiran anak kedua kami” tambahnya.

Ucapan Rani sungguh tenang. Ia masih menyebut anaknya dengan sebutan 'anak kami' setelah semua penghianatan yang di lakukan suaminya. Entah memang dia pribadi yang baik, pura-pura tegar atau memang sudah menerima semuanya dengan lapang. Entahlah Uno tak ingin menerka lebih dalam.

"Apa tujun mu sebenarnya?"

"Mas Adit sudah mempercayakan perusahaan kami sama kamu Uno, tolong bantu kami"

"Aku nggak mau" jelas Uno menolak langsung. Apa lagi mendengar Rani mengucapkan 'bantu kami' itu sama saja Uno rela senang hati membantu Adit.

"Tolong, aku sudah tidak mampu mengurus perusahaan dengan keadaan seperti ini” ucap Rani membuat iba Uno karena Rani tengah mengelus perut buncitnya itu.

"Setidaknya bantu aku sampai aku benar-benar bisa mengurus perusahaan sendiri sampai anak-anak bisa aku tinggal kerja” mohon Rani Tulus.

Uno Nampak berfikir namun rasa egoisnya masih mendominasi dirinya sendiri. Ia benar-benar sungguh tidak ingin menyelami masa yang harusnya ia lewati saja.

"Aku nggak bisa. aku juga harus mengurus usaha ku sendiri” tolak Uno. Suaranya bahkan mulai terdengar melembut.

"Uno, mari kita bersama-sama damai dengan penghianatan mereka. Disini bukan cuma kamu korbannya tapi ada aku dan anak-anak aku” lirih Rani.

Rani sepenuhnya benar, perempuan ini sungguh lebih banyak di korbankan ketimbang dirinya. "Tolong bantu aku satu atau dua tahun Uno. Aku yakin kamu bisa mengerjakan dua perusahaan sekaligus. Tapi aku…” ia menjeda ucapannya. Menunduk menatap perutnya tangannya terus mengusap perutnya sendiri. "Saat ini aku harus lebih memprioritaskan anak-anak ku”.

.

.

.

Malam sudah semakin larut Uno masih saja terdiam menatap langit-langin kamarnya, mengingat percakapan antara dirinya dengan Rani. Ia sudah mengambil keputusan yang berat. Jelas keputusan yang bertolak dari hatinya dan ia terpaksa menerima permintaan Rani. Wanita yang lebih banyak menanggung beban atas penghianatan suami Rani bersama istrinya.

Sebagai manusia, ia masih memiliki hati nurani juga. Bagaimana mungkin ia abai dengan perempuan yang jelas memiliki kesedihan yang sama, luka yang sama. Namun ia melihat Rani begitu tabah dan ikhlas dengan semua yang terjadi.

"Apa aku selemah ini?” gumam Uno. "Maaf kan aku Vin jika aku masih kecewa dengan semua ini” gumamnya lagi sebelum akhirnya ia lelap dalam mimpi.

Bersambung...

...Dilanjutkan besok lagi ya 😊...

...good night all semoga kalian semua mimpi indah....

...Yang mengikuti cerita ini mohon tinggalkan jejak ya 😊 bisa kasih like dan komen sebanyak mungkin 🥰 terimakasih 😊...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!