“Setiap ku terbangun, aku selalu berharap bahwa semua hari yang kulewati tanpanya hanyalah mimpi buruk yang tidak pernah terjadi. Dan saat aku terbangun, kau ada di sisiku dan berkata semua baik-baik saja. Namun nyatanya, kenyataan memberitahuku bahwa semua itu bukanlah sekadar bunga tidur. Semua yang kulihat dan kurasakan adalah realita yang sangat nyata.
"Setiap detik, aku selalu berharap bahwa aku bisa memutar ulang waktu ke saat di mana kita masih bersama. Memundurkan waktu yang terasa cepat berlalu tanpa hadirmu di sampingku. Kemudian aku tersadar, bahwa jarum jam takkan pernah berputar ke kiri, sampai kapan pun itu. Waktu memberitahuku bahwa semua yang berlalu takkan pernah bisa kembali sama. Sampai kapan pun itu.
"Setiap saat ku menunggu dirimu kembali padaku. Memeluk erat tubuhku dan berjanji takkan pergi jauh lagi. Apa kamu tahu betapa menderitanya diriku saat kehilanganmu? Dan ketika aku menemukanmu, kau duduk bersamanya tanpa merasa bersalah. Apa kau sadar betapa hancurnya aku, saat dipaksa menyaksikan bahwa kamu sudah benar-benar melupakanku? Apa kamu menyaksikan betapa aku sangat kacau, di saat kamu melihatku seperti orang asing yang tidak lagi kamu pedulikan. Ingin mati saja rasanya. Melebur menjadi tanah seperti bangkai yang terurai. Menghilang.
"Dengan siapa pun kamu menghabiskan waktu, jika kamu bahagia maka aku rela. Menghancurkan semua rasa yang aku punya. Semua cinta yang kupelihara yang seiring berjalannya waktu, rasa cinta itu kian membesar tak terhingga. Kuharap suatu saat nanti kau tidak akan mencariku lagi. Karena saat itu, mungkin, aku sudah pergi jauh ke tempat yang takkan pernah bisa kau gapai.
"Selamat tinggal, Dirimu yang Berbahagia!”
Itu yang tertulis di halaman pertama buku diary ini. Buku milik orang yang paling aku cintai. Orang yang telah pergi dan takkan pernah kembali. Seolah dia dapat meramal masa depan, kata-katanya entah mengapa bisa jadi kenyataan. Meninggalkan sejuta kenangan yang tak pernah bisa kulupakan. Perasaan bersalah selalu datang, menghantuiku setiap malam dan tak pernah membiarkanku tidur tenang.
Masih bisa kuingat dengan jelas wajahnya yang tampan. Sikap yang tenang dan kadang dingin, juga kata-katanya yang lucu dan kadang menyebalkan. Bagaimana dia menenangkanku saat aku sedang marah, dan dia yang tak pernah marah atau membentakku sama sekali. Kini semua itu akan menjadi hal-hal yang paling aku rindukan Selama sisa napasku.
Baru membaca halaman pertama saja sudah membuatku menangis. Bagaimana bisa aku sanggup membaca sisanya yang berjumlah ratusan halaman? Tapi karena dorongan rasa penasaran yang dalam dan ingin mengetahui perasaannya yang sesungguhnya terhadapku, aku menguatkan diri, dan membuka halaman kedua yang diberi judul kapital dan tebal AISAKA AIZEN.
"Setiap ada pertemuan, akan ada yang namanya perpisahan.
Jika ada yang datang, maka harus ada yang pergi untuk mempertahankan keseimbangan.
Tapi apakah harus begitu?
Tidak bisakah dirimu tetap di sini dan menemaniku selalu?
Abaikan saja pribahasa konyol itu dan biarkan aku mendekapmu dengan segala harap.
Mencintaimu dengan segala hasrat.
I beg you...."
°°°°°
~2021~
"HMMM...."
Jemariku mengetuk meja dengan cepat. Dahi berkerut dan mata menyipit memandangi kertas yang tergeletak tak berdaya di atas meja. Kertas berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan menentukan masuk atau tidaknya aku ke perguruan tinggi ini.
Semua soal yang tersaji membuatku terlihat sangat bodoh walau pernah masuk lima besar saat SMA. Apalagi soal fisika. Deretan angka dan simbol membuat kepalaku pusing dan mual. Lebih mending ujian jadi astronot dari pada mengisi soal fisika, matematika dan kimia, pikirku. Menaiki berbagai wahana latihan seperti simpanse yang mau ditugaskan ke bulan. Menaiki simulasi roket berkecepatan tinggi yang membuat bibir monyong-monyong mirip di iklan, dan kadang dibuatnya sampai pingsan. Melesat terbang menembus Eksosfer sambil bertaruh nyawa untuk dibawa pulang bersama gaji minimum 6 miliar yang cukup untuk makan sehari-hari.
Kembali ke masalah utama. Aku mendaftar kuliah lewat jalur beasiswa dengan mengambil pilihan pertama Jurusan Informatika yang tesnya lebih mengarah ke jurusan IPA. Dengan harapan setelah wisuda nanti, aku bisa menjadi seorang hacker anonimous yang sukses membobol bank dunia dan membagi-bagikannya ke anak yatim dan fakir miskin.
Pilihan keduaku jatuh kepada Sastra Inggris yang lebih mengarah ke jurusan IPS. Dari kecil aku berkeinginan untuk berkeliling dunia dan aku harap, setelah lulus nanti aku bisa menjadi seorang tour guide yang sukses. Dan di sanalah letak masalahnya.
Aku, yang masuk jurusan IPA waktu SMA, tak bisa sedikit pun mengisi soal-soal IPA dengan yakin. Sebaliknya. Aku malah merasa lebih mudah mengisi soal-soal Sejarah, Ekonomi, dan Sosiologi. Entah karena aku malas saat pelajaran atau aku memang salah masuk jurusan. Yang jelas, aku sedang sibuk bergelut dengan pikiranku sendiri. Mencari-cari ke mana perginya semua materi yang telah kupelajari selama ini.
Baru setengahnya yang berhasil kuisi, yang entah itu benar semua atau tidak salah semua. Aku bertanya-tanya, kenapa di saat seperti ini waktu terasa sangat cepat berlalu dan tak bisa diajak berkompromi? Mungkin jamnya yang sudah rusak atau mungkin otakku yang sudah rusak. Butuh perbaikan dan upgrading ke spek terbaru dan termutakhir.
Aku menatap pengawas tes dengan pandangan penuh dendam kesumat. Entah siapa pun yang membuat soal ini, tetapi pengawas yang membagikan selembaran soal juga turut andil. Tak bisa dimaafkan.
"Itu yang di belakang, kenapa mandangin saya terus?" tanya bapak pengawas dengan galak.
Eh buset, galak bener ini orang. Aku 'kan cuma memandanginya... dengan sedikit sinis, batinku memprotes.
Aku mencoba menampilkan senyum semanis mungkin. "Nggak. Bapak ganteng deh. Saya sampai tidak tega memalingkan pandangan dari Bapak," jawabku asal. Sekaligus menjijikan.
Sontak semua orang di sana tertawa, kecuali pengawas bernama Pak Ahmad, yang duduk sambil tersipu malu. Daripada aku harus bilang kalau aku ingin sekali memukul kepalanya yang botak, aku lebih memilih untuk menggombalinya.
"Jangan banyak bicara kamu. Cepat kerjakan tugasmu dan pulanglah," kata Pak Ahmad dengan nada yang kejam layaknya ibu tiri yang menyuruh anak tirinya pergi ke mall untuk membeli bawang.
Aku menunduk dengan tenang selama sisa waktu yang tersisa, tanpa bicara atau memandangi si Bapak. Bukan karena sedang khusyu' mengerjakan soal. Melainkan karena mengantuk. Semalam aku lupa kalau hari ini tes dan malah push rank semalaman. Lose treak lagi. Alhasil, waktu aku mau tidur, aku diganggu oleh tukang sayur yang teriak-teriak di depan kamar kostku.
Kemudian aku bermimpi. Aku bermimpi sedang berjalan menyusuri taman yang dipenuhi beraneka macam bunga, beraneka macam warna, yang membuat garis rapi di sepanjang batas antar jenisnya. Ada yang merah, biru, kuning, pink, dan masih banyak lagi. Belum pernah aku melihat bunga yang terhampar sejauh mata memandang seperti itu sebelumnya. Kecuali di film India. Dengan takjub, aku memetik satu dari setiap jenis dari bunga yang tumbuh di sana. Satu per satu, untuk dijual. Lumayan buat bayar listrik.
Saat sedang asyik memetik bunga, tiba-tiba aku tersandung sebuah batu dan....
Grubukkk!
Meja bergetar berbarengan dengan tubuhku yang tersentak bangun. Aku yang tadinya mengantuk langsung fresh kembali karena gelak tawa dari semua orang yang melihatku seperti baru saja tersetrum belut listrik yang baru top up token dari konter. Bahkan Pak Ahmad yang dari tadi melototiku juga ikut tertawa. Akhirnya aku kembali menunduk. Bukan karena khusyu', tapi karena malu.
"Waktu habis, semuanya." Pak Ahmad tahu-tahu bersuara. "Silahkan kumpulkan kertas kalian, pulanglah dan tunggu pengumumannya. Tapi jangan terlalu berharap," ujarnya datar sambil bangkit dari tempat duduk lalu berlalu pergi tanpa mengucap sepatah kata pun lagi.
Untungnya aku sempat mengerjakan semua soal sebelum akhirnya aku tertidur. Kalau tidak, tamat sudah kesempatanku untuk kuliah dan harus menunggu satu tahun lagi. Dan satu hal yang paling kubenci. Aku tidak suka menunggu apalagi membuat orang lain menunggu. Terlebih jika aku harus harus menunggu tanpa tahu apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Itu sangat menyiksa. Itu menurutku.
Tak butuh waktu lama aku sudah keluar dari ruangan tes. Sisanya tinggal menunggu kepastian apakah aku diterima atau tidak. Kalau tidak, aku akan fokus kerja selama setahun untuk biaya kuliah tahun depan. Tapi kalau diterima, aku akan mencari kerja sampingan untuk kebutuhan kuliah dan makan sehari-hari.
Dengan pikiran yang plong, bebas tanpa soal dan rumus yang berseliweran, aku berjalan ke parkiran sambil sesekali bersenandung pelan. Mataku bergerak-gerak mencari motor MX King berwarna hitam dengan polet hijau cerah di antara ratusan motor yang berbaris di parkiran.
Setelah lama mencari karena lupa memarkirkan motor di mana, akhirnya aku menemukan motorku terparkir di samping motor CBR berwarna merah yang rasanya aku kenal, tapi lupa. Kini giliran kuncinya yang membuat mood-ku kembali sirna. Lupa ditaruh di mana. Dengan panik aku mulai meraba saku satu persatu tapi tak kunjung menemukan keberadaannya.
"Sedang nyari apa, Mas?" Seorang perempuan yang dari tadi sedang memperhatikan gelagat anehku bertanya.
"Nyari kunci motor," jawabku tanpa memandang parasnya. Tanganku masih sibuk meraba saku celana. "Mungkin jatuh tadi di ruangan tes, ya?" tambahku, lebih kepada diri sendiri.
"Mmm... kalo itu kunci apa, ya?" Perempuan itu menunjuk tangan kiriku yang mengepal, menggenggam sesuatu. Tanpa aku sadari, sebuah kunci bertuliskan Yamaha tergantung di tangan kiriku dari tadi. Penyakit pelupa kronisku kembali kambuh.
Ini bukan kali pertamanya aku melupakan hal sepele tapi penting seperti ini. Sudah sering juga aku mendapat masalah karenanya.
Karena hal itu juga aku mendapat julukan dari seseorang. Abang Sepuh, begitu katanya mengumumkan. "Terinspirasi dari penyakit pelupaku yang parah dan tak bisa disembuhkan," dia menjelaskan dengan penuh penghayatan layaknya saleswoman yang sedang mempromosikan barang dagangan. Akan tetapi aku malah merasa senang karenanya.
"Loh? Kok tiba-tiba ada di sini? Teteh pesulap, ya?" Aku berakting. Mencoba menutupi rasa maluku dengan drama amatir.
"Nggak kok. Dari tadi emang Mas pegang itu kunci. Mungkin Masnya terlalu fokus mikirin sesuatu sampe lupa kalau dari tadi megang kunci. Untung bukan ular yang dipegang." Dia mengucapkan kalimat terakhirnya sambil tertawa, dengan satu tangan menutup mulut dan satunya lagi memukul lenganku kencang.
Aku tertawa. "Maaf, maaf. Aku orangnya emang pelupa. Kejadian seperti ini juga bukan kali pertama. Udah nggak terhitung jumlahnya," balasku sambil mengelus lengan. Panas.
"Faktor umur, ya? Bisa dimaklum sih," kata perempuan itu lagi. Lengannya disilangkan di dada lalu mengangguk dengan mantap.
"Mungkin. Kalo gitu, saya duluan, ya. Permisi." Buru-buru aku langsung melompat ke atas motor, menyalakan mesin lalu menarik gas kencang. Memacu motor di kecepatan 70 km/jam bak seorang pembalap profesional. Kecepatan saat aku sedang naik motor sendirian.
Kadang kalau sedang banyak pikiran, aku suka bawa motor lebih kencang lagi. Menantang maut. Hanya demi menenangkan benang kusut semberawut dalam kepala yang mungkin keburu mati sebelum aku selesai mengurainya. Walau begitu, aku melakukannya secara tak sadar. Aku hanya melamun, dan tahu-tahu hampir menabrak mobil boks di tengah jalan.
Dari kejauhan aku bisa melihat lampu lalu lintas yang sudah berubah merah. Aku memelankan motor dan berhenti tepat di depan nenek-nenek yang sedang menyeberang jalan dengan dibantu oleh anak kecil yang mungkin cucunya. Atau cucu pungutnya. Melihatnya membuatku kembali teringat dengan nenekku yang meninggal sepuluh bulan lalu.
Walaupun nenekku itu terbilang sangat bawel, tapi dia juga sangat menyayangi cucu-cucunya. Sudah ratusan kali aku mendengarnya marah-marah karena hal-hal sepele. Dia juga tidak mau salah karena egonya yang sangat tinggi dan cenderung menyalahkan orang lain karena kesalahan yang dibuatnya sendiri. Sering juga aku mendengar nenekku mengumpat dan memaki-maki seekor ayam karena masuk ke rumah panggungnya dan buang kotoran seenak jidat.
"Oy! Lu bawa motor kayak cari mati, ya?"
Aku disadarkan dari lamunan masa laluku oleh seorang pemuda yang menaiki motor CBR berwarna merah yang tahu-tahu sudah berhenti di sebelah.
Dilihat dari suara dan postur tubuhnya, usianya seumuran denganku. Wajahnya memang tertutup helm, tapi aku sudah hafal betul dengan suara orang itu. Orang yang secara tidak langsung selalu bersaing denganku. Dari dulu. Rival-ku. Yahya.
Tawaku menyembur keluar. "Mendekatkan diri kepada Tuhan," jawabku sambil menunjuk ke atas.
Yahya ikut mendongkak ke arah langit. "Ada-ada aja. Kalo lu mati, yang ada pacar lu gue bawa pulang." Yahya tertawa, keras, sampai nenek-nenek yang dari tadi menyeberang tapi belum sampai-sampai menoleh ke arah kami dengan heran.
"Bangsat. Gua jomblo, bego." Aku ikut tertawa.
Yahya adalah temanku saat SMP. Sewaktu pertama kali melihatnya, Yahya adalah laki-laki pendiam yang selalu memakai peci yang merangkap fungsi sebagai penutup otaknya yang sangat pintar.
Waktu itu aku sedang mengerjakan soal matematika yang tak bisa kupecahkan jawabannya. Aku kemudian bertanya kepada Irgi, teman baruku sama seperti Yahya, tentang bagaimana cara menyelesaikan soal itu.
"Ahh, gua juga gak bisa." Irgi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Coba tanya dia!" Irgi menunjuk laki-laki yang duduk diam di sebelahnya. "Dia sangat pintar," Irgi menambahkan.
Awalnya aku ragu. Bagaimana mungkin dia yang kelihatannya saja lesu, tak punya semangat hidup bisa mengerjakan soal serumit matematika? Kalau soal agama aku tidak meragukannya kalau dilihat dari peci hitam berpolet merah yang selalu ia pakai dari hari pertama masuk sekolah. Atau mungkin peci itu hanya formalitas untuknya supaya dicap sebagai anak shaleh walau nama ayahnya bukan Shaleh. Walau begitu aku tetap ingin bertanya.
Perlahan, aku berjalan mendekati Yahya yang masih sibuk membaca buku dengan malu-malu, ragu-ragu, gugup, semua bercampur menjadi satu. Sikapnya yang pendiam membuatku segan untuk menyapa.
Tak disangka, di balik sikapnya yang cuek, ternyata Yahya sangat ramah. Di balik sikapnya yang pendiam, dia banyak bicara dan menjawab semua pertanyaan yang tidak kupahami sampai akhirnya aku bisa menyelesaikan soal itu dengan sempurna. Kemudian, Yahya menjadi sainganku di semua mata pelajaran. Terutama bahasa Inggris.
Ketika di dekat Yahya, entah kenapa aku merasa seperti sedang bercermin. Berkomunikasi dengan diri sendiri. Pria yang kalau dilihat dari luar cuek, pendiam, sorot matanya yang serius dan tajam, akan tetapi jika kita menggali lebih dalam, memulai pembicaraan dan membuka obrolan, sikapnya yang selama ini terlihat berubah total. Dari manusia yang membosankan, berubah menjadi sosok pria yang asyik, ramah, sorot mata yang hangat, dan obrolan yang tak ada habis-habisnya. Kami bertransformasi menjadi sosok orang lain yang belum pernah dikenal sebelumnya. Seolah ada dua kepribadian dalam diri kami.
Menjadikannya sebagai saingan memang bukan keputusan yang salah. Pernah suatu ketika aku sedang duduk menunggu hasil ulangan bahasa Inggris dengan tegang. Kakiku tak henti-hentinya kuhentakkan ke lantai dengan tidak sabar. Aku menjadi sangat bersemangat kalau menyangkut pelajaran yang satu ini. Hobi menonton film-film Hollywood-ku menjadi salah satu penyebab kenapa aku menyukai bahasa Inggris.
"Aisaka," panggil guru bernama Bu Rika.
Dengan perlahan dan berusaha tetap terlihat tenang, aku berjalan ke depan kelas dan berhenti di depan Bu Rika. Seketika mataku membundar sewaktu melihat angka 100 yang ditulis menggunakan tinta merah dengan bulatan yang mengelilingi angka itu. Hampir saja aku berteriak kegirangan saking senangnya, tapi dengan cepat aku tahan. Pada akhirnya aku hanya bisa senyum-senyum sendiri.
Jarang ada murid yang bisa mengisi semua pertanyaan dengan benar waktu itu. Apalagi pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran yang paling dibenci murid-murid karena sulit dipelajari. Kendati hanya dua puluh soal, dan semuanya pilihan ganda, tetapi itu membuatku merasa bangga. Namun kebanggaanku itu tak berlangsung lama.
Aku berbalik, berniat kembali ke tempat duduk. Saat baru satu langkah, aku teringat sesuatu. Aku kembali berbalik menghadap guru berusia tiga puluh tahunan itu dengan rasa penasaran yang tak sanggup kubendung lagi.
"Kalo Yahya dapat nilai berapa, Bu?" Aku berbisik kepada Bu Rika.
"Sama," Bu Rika balas berbisik.
Seketika itu juga senyum di wajahku memudar. Dia memang rival yang berat dan tak mudah dikalahkan. Aku tersenyum hambar. Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa mengalahkan Yahya. Aku dapat juara tiga dan Yahya di posisi dua.
Aku dan Yahya bisa dibilang teman yang sangat dekat. Mungkin juga kembar tiri, atau kembar tapi beda ayah, beda ibu. Hobi kami juga sama. Baik itu tentang film, buku cerita, sampai perempuan sekali pun. Bukan sekali dua kali kami sama-sama naksir perempuan yang sama. Kami memang populer di kalangan perempuan waktu itu. Akan tetapi Yahya selalu berada satu langkah di depanku. Selalu.
Kembali ke jalan raya. Nenek-nenek tadi kini sudah sampai di seberang dengan selamat. Walau lama. Lambat asal selamat. Sepertinya nenek itu memegang kukuh kata-kata dari guru SD-nya dulu.
Lampu kembali hijau. Kami kembali memacu motor dengan kencang. Saling salip-menyalip layaknya sedang live balapan sampai akhirnya kami harus berpisah di persimpangan karena beda jalan.
Tak lama akhirnya aku sampai di kosanku yang terletak di daerah Kebayoran Baru. Berjarak sepuluh kilometer dari kampus tempatku mendaftar. Dan entah kenapa perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak. Hawa dingin merembes keluar dari sela-sela pintu kamar indekosku.
Apa jangan-jangan ada maling di dalam? Atau lebih buruk. Hantu penghuni kos sebelum aku gentayangan meminta uang kembalian. Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan di kepalaku.
Keringat dingin mulai bercucuran. Kening berkerut dan tanganku tak henti-hentinya bergetar saat mencoba memasukkan kunci ke lubangnya. Betapa terkejutnya aku saat menyadari pintu kamar kosku tidak dikunci.
Jangan-jangan beneran ada maling lagi silaturahmi ke kosanku?
Aku mulai panik. Kukumpulkan segenap nyali, memberanikan diri menggenggam gagang pintu dengan tangan yang masih tremor hebat. Sambil menelan ludah, aku menarik napas dalam beberapa kali sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan sambil mengendap-endap seperti maling yang sesungguhnya.
"Assala―"
Buukkk!
Belum juga selesai membaca salam, sebuah sepatu melayang mencium keningku dengan romantis seperti kekasih yang sudah lama tidak bertemu dan memberi sambutan dengan sebuah kecupan rindu. Aku terjungkal ke belakang sambil memegangi kening.
Aku meringis kesakitan sambil memegangi keningku yang benjol. Sepertinya hantaman hak sepatu tadi membuat otakku bergeser sedikit ke belakang, membuatku linglung seperti idiot yang baru pulang ujian.
Ya Allah, baru saja pulang sudah dapat cap sepatu dari tunangan, hatiku menjerit. Aku rasa keningnya punya tato bermotif Adidas yang timbul seperti jilid novel original sekarang.
Kugosok-gosok dahiku yang panas. Mungkin sepatu itu sudah dibacakan ayat kursi sebelum akhirnya dijadikan bumerang. Akurasinya juga bagus. Kalau saja orang itu ikut World War II, mungkin dia sudah berhasil membantai seluruh tim musuh dengan hanya bermodal sepatu hak sepuluh senti yang dijadikannya sebagai senjata andalan.
Aku tersenyum hambar. "Nabilla...."
“Apa cuma aku yang mengalami,
Satu per satu orang yang kukenal mulai pergi.
Meninggalkanku bersama teka-teka tentang apa penyebab semua itu terjadi.”
•••••
Aku masih terduduk sambil memandangi sosok perempuan cantik yang sedang berdiri di depanku. Tatapan galaknya lebih menusuk dari lemparan sepatunya tadi, menatapku nyalang seperti elang mengintai mangsa.
Kulitnya putih seolah rutin disablon. Matanya yang bundar kini menyempit. Tubuhnya yang indah bak gitar Spanyol terlihat semakin indah memakai kaos berwarna pink dan rok pendek, memperlihatkan pahanya yang putih dan mulus tanpa minus. Tingginya sekitar 165 cm. Selisih sepuluh senti denganku yang 175 cm. Tangannya yang panjang disilangkan di depan dada, membuatnya semakin terlihat seperti seorang adik yang sedang ngambek karena tidak dibelikan seblak oleh sang kakak.
Jodoh itu cerminan diri. Mungkin hanya aku tidak setuju dengan pribahasa itu. Kalau kubandingkan lagi, sifatku dengannya sangat berbanding terbalik. Berbanding terbalik dengan sifatku yang lemah lembut dan suka menabung ini.
Entah bagaimana caranya nasib membuat lelucon yang lucu seperti ini, aku selalu bertanya-tanya. Nabilla, yang perawakannya seperti bidadari yang jatuh dari pohon nangka di surga, bisa mendapatkan diriku yang dibandingkan dengan gelandangan pun lebih mending gelandangan―kalau good looking. Tubuh kurus, rambut acak-acakan dan baju yang itu-itu saja dari mulai Minggu sampai Sabtu membuatku lebih terlihat seperti Lucifer daripada Uriel.
Satu tahun sudah kami bersama. Selama itu juga kami telah melewati berbagai macam ujian yang mengetes seberapa kuat hubungan kami bisa bertahan. Sampai akhirnya sekarang, di sini, di ruangan ini, kami saling bertatap-tatapan penuh makna. Nabilla dengan pandangan ingin mengkremasiku hidup-hidup dan aku yang memandangnya penuh harap untuk membiarkanku tetap hidup.
“NABILLA SAYANGGG....” Aku berusaha merayunya, walau kutahu itu mustahil. “Ada apa? Jangan cemberut dong. Kamu jelek banget kalo lagi cemberut tahu gak? Apalagi sampe ngelempar sepatu ke muka orang.”
Aku bangkit dan merentangkan tangan, berniat memberi Nabilla kehangatan. Namun belum juga sampai, Nabilla telah lebih dulu melancarkan pukulan One Punch Woman-nya ke tepat ke perutku. Pukulan Saitama―Saitima―Sitima. Dengan wajah meringis menahan sakit, aku memeluk Nabilla dengan sebelah tangan memegangi perut.
Gila bener ni cewek. Belum juga nikah tapi sudah babak belur duluan. Gak kebayang bagaimana setelahnya nanti. Mungkin beberapa hari ke depan aku akan berakhir di rumah sakit terdekat dengan menderita gangguan mental. Atau lebih buruk, namaku akan berubah dari Aisaka menjadi almarhumah Aisaka dan fotoku akan terpampang di sampul depan buku Yaasin, gerutuku dalam hati.
“Billa kenapa sih? Cerita dulu dong baru nanti mukul.” Aku mendudukan Nabilla di kasur dengan hati-hati.
“Berarti nanti aku boleh mukul lagi?” tanyanya sambil menatapku dengan niat membunuh yang begitu kental.
“Yaa... gak gitu juga konsepnya..., Ijah! Emangnya kamu kenapa?” tanyaku lagi. Aku pergi mengambil air dari dispenser, lalu memberikan gelas berisi air putih―yang sempat kubacakan surat Al-Fatihah itu kepadanya.
“Gak pa-pa. Aku cuma lagi mens. Lagi pengen bunuh orang,” jawabnya ketus.
Ehh buset. Aku menatapnya ngeri. “Dahlah,” ucapku sambil bangkit, berniat pergi ke toilet namun baru satu langkah tiba-tiba kerah bajuku ditarik dari belakang.
“Eh, eh, mau kemana?”
Aku terjungkir ke belakang. Lagi. Sambil memegangi leher, aku terbatuk beberapa kali karena tenggorokanku terjepit baju. Emak... gini amat nasib anakmu.
“Iyah, Cintakuhhh... kamu mau apa, Adinda?” tanya Aisaka sambil tersenyum paksa. Sedikit sinis.
“Mamah tanya kapan mau ke rumah, katanya,” Nabilla bertanya. Pelan.
Aku tidak langsung menjawab. “Iya nanti, kalo ada waktu luang. Mungkin akhir pekan,” jawabku akhirnya.
“Oh, oke.”
Hari ini Nabilla tenang lebih cepat. Dua bulan sebelumnya, kejadian seperti ini juga pernah terjadi. Bahkan lebih parah lagi.
Saat itu, semua usahaku untuk membujuknya sia-sia. Tak ada satu pun dari strategiku yang cukup ampuh untuk melumpuhkan amukan Nabilla. Dimulai dari mengajaknya jalan-jalan sampai membelikannya seblak. Tak ada satu pun yang manjur. Tak ada yang bisa mengerti isi kepala wanita. Setidaknya isi kepala Nabilla. Karena tidak ada yang bisa menyumpal egonya, Nabilla mengamuk sampai sore di kosanku.
Pada akhirnya, dia luluh setelah melihat anak kucing yang kupungut dari pinggir jalan, berjalan terseret-seret dari bawah tempat tidur seperti bayi yang sedang belajar berjalan. Hari itu pun di tutup dengan berakhirnya kamarku seperti kapal pecah. Lebih parah dari itu. Kamarnya seperti kapal terbelah.
Kemudian mataku teralihkan oleh sebuah objek mencurigakan di atas meja belajar. Sebuah kotak besar yang dibungkus oleh kain berhasil menarik perhatiannya.
Lama aku menatapi bungkusan itu tanpa bersuara. “Sudah kubilang untuk tidak perlu mengirimiku makanan setiap hari,” aku akhirnya berkata. “Billa emangnya gak capek bolang-balik ke sana ke mari?” tambahku lagi.
“Ya, capeklah!” tukas Nabilla galak. Sifat kucing orennya kembali tampak.
“Ka-ka-kalau begitu, udah aja, gak pa-pa,” kataku gelagapan. “Aku juga udah gak lagi beli makan di pinggir jalan. Jadi Mamah gak perlu khawatir lagi, dan Billa gak perlu bolang-balik lagi.” Keringat dingin mengucur deras meringi ketakutanku pada Nabilla.
Beberapa kali dalam seminggu, Nabilla selalu mengantariku masakan ibunya dari rumah. Padahal aku sudah bilang berkali-kali untuk tidak melakukannya lagi karena sekarang aku sudah punya alat-alat masak sendiri. Jadi aku tak perlu lagi membeli masakan cepat saji seperti yang mereka khawatirkan. Mereka khawatir sakit perutku bakal kambuh seperti dulu karena keseringan mengonsumsi makanan cepat saji. Mereka di sini maksudnya ibu dan ayahnya Nabilla. Bukan Nabilla itu sendiri. Dia sepertinya takkan peduli meskipun aku lari bersama tetanggaku sekali pun.
“Untuk sekarang, karena terlanjur dibawa, ayok kita makan bareng,” aku mengajaknya.
Aku bangkit dan berjalan ke dapur untuk mengambil alat saji. Aku lalu mengambil kotak bekal tadi dan menghidangkannya kepada Nabilla yang malah melamun memandang ke luar jendela.
Hening seketika. Tidak ada suara yang terdengar selain bunyi lalu lalang kendaraan yang terdengar dari luar. Juga suara anak kucing yang sedang bermain-main dengan bola mainannya. Sesekali kucing itu berlari mengejar bolanya yang menggelinding jauh. Aku memberinya nama... Kanjut.
Terinspirasi dari warnanya yang abu-abu, Kanjut masih berumur empat bulan saat aku menemukannya dari dalam dus di pinggir jalan. Membuatku tak sampai hati meninggalkan anak kucing gelandangan itu sendirian. Aku masih trauma dengan kucingku dulu yang tewas mengenaskan. Ironisnya, Kitty, begitulah namanya, terlindas dan terselip di ban belakang truk milik majikan Kitty sebelumnya. Aku tidak melihat bangkainya secara langsung. Hanya mendengar kabar terakhir kucingku itu dari ibuku.
Aku menyentuh bahu Nabilla. Mengecek apakah orang di hadapanku itu masih hidup atau tidak.
“Kamu masih hidup, ‘kan? Aarrggghhh... ya, kamu masih hidup.” Pertanyaanku dijawab dengan gigitan di tangan.
Nabilla mengangkat kepalanya. Matanya menatapku sayu. “Apa kamu rindu Ibu sama Bapak sama Dede?” tanyanya pelan.
Jadi itu yang dari tadi ia pikirkan. Aku tersenyum simpul.
Aku tidak menyangka, di balik sikapnya yang kejam layaknya ibu kosan, dia benar-benar gadis baik yang peduli pada sekitar. Mungkin dia hanya tidak bisa berkomunikasi dengan benar. Aku ingin tahu, apakah dari dulu dia sudah seperti ini atau hanya setelah kami bertemu?
“Rindu lah,” Aku menjawab. “Billa juga rindu?” tanyaku sambil menahan emosi. Berusaha supaya tidak menangis di depan Nabilla walau kantong mataku sudah penuh dengan air yang terus mencoba mendobrak keluar. Mencari kebebasan.
Nabilla tidak menjawab. Pandanganya kembali menerawang, menatap ke luar jendela.
Sudah setahun sejak saat itu. Rasanya baru beberapa hari yang lalu, saat orang tua dan adikku pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkanku seorang diri untuk menangis dan meratapi mereka sepanjang malam ketika aku tahu mereka takkan kembali pulang.
Aku selalu berandai, jika saja saat itu aku melarang mereka pergi, apakah mereka masih ada di sampingku saat ini? Aku selalu berpikir, kalau aku memaksa ikut dengan mereka dan masa bodo dengan sekolahku yang hampir tamat, mungkin saat ini aku sedang tertawa lepas tanpa beban bersama mereka di alam sana. Tetapi aku tahu itu mustahil terjadi.
Wajah cantiknya berkilau disiram cahaya langit yang mulai berubah senja. Hatiku bergejolak dan meluap-luap ingin mendekapnya, menciuminya. Namun tatapan tajam yang Nabilla beri menyayat keberaniannya seketika. Dia menatapku lama. Sampai kemudian suara “krebek-krebek” mengagetkan kami berdua. Wajah Nabilla yang merah terkena sinar mega, semakin merona karena suara unjuk rasa perutnya yang menuntut hak asasi warga cacing yang dibiarkan kelaparan begitu saja.
Aku tertawa renyah. “Udah, udah. Daripada mikirin itu, lebih baik kita kita meredam para cacing yang demo itu.” Aku menarik tangan Nabilla dan mendudukannya di hadapanku.
Tak ada meja makan di kamar indekosku ini. Jadi, dengan terpaksa aku harus membiarkan Nabilla makan sambil duduk di lantai setiap kami makan. Berada di ruang sempit saja pasti sudah membuatnya tidak nyaman, apalagi ditambah ada aku di antaranya. Aku jadi semakin merasa tidak enak.
“Billa...,” panggilku pelan. Nabilla yang sedang mengambil nasi berhenti dan menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. “Kalo kamu mau, bagaimana kalo kita mengakhiri saja hubungan pura-pura ini sebelum tambah jauh akhirnya,” ucapku dengan hati-hati, seolah salah satu kata saja, nyawaku melayang sudah balon gas yang tidak dipegang erat-erat.
Dan benar saja. Ekspresi Nabilla berubah murka. Detik berikutnya dia sudah bangkit berdiri dengan gagah. Disusul dengan suara gesekan tas yang diseret dari atas kasur. Aku sudah pasrah, siap menerima ajal dengan lapang dada. Selamat tinggal, dan... aku datang menyusul kalian.
“Aku... pulang dulu....” Nabilla berkata dengan lirih dan berjalan ke arah pintu.
Aku terlongo mendenger hal baru itu.
Sulit dipercaya. Aku pikir dia akan kembali mengamuk dan menghancurkan kamar kosku dengan segala macam khodam yang ia punya. Namun nyatanya, dia malah berlalu pergi dengan wajah yang terlihat sedih.
“Makan dulu.” Aku mencoba menahannya.
“Aku tidak lapar. Kamu makan aja semua.” Dia membuka pintu dan benar-benar pergi, meninggalkanku sendiri bersama sekotak besar nasi.
“Apa yang sudah kulakukaaann...??”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!