NovelToon NovelToon

PESAWAT KERTAS

~~~

Engkau degup pertama yang menghidupi kembali perasaan ini dari mati suri

Engkaulah gempa yang meruntuhkan tembok pelindung yang membatasiku dari bahagia dan derita

Engkaulah ledakan nova yang menghantarkan radiasi cinta dan kasih sayang walau dirinya yang harus berkorban

Engkaulah lubang hitam, yang menyedot semua perasaanku tanpa sisa, hanya untukmu

Wahai kamu, sang Pencuri Hati

Dengan ulung kamu beraksi, dengan cekatan engkau tindaki

Hingga tak sadar kalau hati ini sudah dicuri

Kau bagai Robinhood egois, yang mencuri barang berharga hanya untuk diri sendiri, tak ingin berbagi

Kembali

Mengenalmu aku tahu arti kesetiaan

Bersamamu aku mengerti arti kesabaran

Dan karenamu, kembali ku menemukan arti hidup

Mencintaimu

Gerbang hidupku

Dengan sabarnya kau punguti puing-puing hatiku yang memecah

Seolah kau bisa menyulapnya kembali seperti sedia kala

Kegigihanmu bagai pancaran sinar gamma, meluluhkan hatiku yang membeku bagai es Antartika

Kesungguhanmu bagaikan asteroid yang meluluhlantahkan benteng tak tertembusku dari mengenal cinta

Aku tersanjung

Terjebak dalam ilusi tak bertepi

Terlelap dalam mimpi tiada henti

Ada dan tiada

Sosokmu terasa nyata, namun tak bisa terjangkau raga

Seolah dimensi kita berbeda, secara visual bayangmu dapat ditangkap mata, namun secara fisik tak dapat kuraba

Esensimu tak tersentuh indera, tak bisa didekap rasa

Dari sekian bilion manusia, hanya satu sosokmu yang mampu menggapai

Menarikku dari kekosongan mencekam

Menyinariku dari kegelapan sunyi

Hadirmu membangkitkanku dari kubur hampa tak berkesudahan

Mengajarkanku cara memaafkan, menyingkirkan dendam yang selama ini kutabung dalam celengan empedu

Menyemangatiku dengan asupan asa yang bergizi

Dalam dirimu, kutemukan kembali oasis setelah masa kegelapan yang panjang

Merajut kembali simfoni yang sempat kulupakan

Mencipta akor harmonis dari rasa percaya, mencinta dan yakin

Engkau memberiku kesempatan untuk mencicipi euforia setelah cukup lama tenggelam dalam kekalutan

Untukmu, aku akan menerjang segala marabahaya yang menghadang

Bersama, kita tak terkalahkan

PUING 1: SURAT ADUAN

Bogor, Agustus 2015

Hari itu merupakan hari pertamanya masuk SMA. Dengan otak yang ia punya dan juga kedisiplinan yang ia biasakan, Rean mampu mendapat juara satu berturut-turut sejak sekolah dasar. Alhasil, ia juga bisa mendapatkan beasiswa dari sekolah barunya itu.

Bukan hanya orang tuanya yang bangga dan bisa memamerkan anak emasnya ke tetangga, tapi juga Rean itu sendiri. Setidaknya ia bisa meringankan beban orang tuanya dari kekejaman uang SPP, batin Rean. Dan itu juga yang membuatnya tambah giat mempertahankan prestasinya.

“Aku berangkat dulu, Mah,” Rean pamit sambil mengecup tangan ibunya, “daahhh!”

“Hati-hati. Jangan lupa berdo’a.” Ibunya berseru dari kejauhan.

Sebuah angkot berhenti di depannya tepat sesaat setelah Rean berdiri di pinggir jalan. Tampak oleh Rean kalau angkot itu ramai penumpang. Tanpa banyak basa-basi Rean langsung naik. Angkot itu melaju, membawanya ke tempat tujuan dengan tempat duduk yang sesak.

...*****...

Tokyo, Agustus 2015

Suara ribut-ribut memenuhi rumah minimalis itu sejak tadi pagi. Belum ada satu pun dari mereka yang mau mengalah dan meminta maaf. Ego keduanya terlalu tinggi untuk mengucap dua kata sederhana itu. Tidak sebelum ada kalah.

Mala, anak dari kedua orang yang saling berbincang dengan urat itu hanya duduk mendengarkan di dalam kamar sambil menyantap cemilan yang ia bawa dari kulkas. Ia tidak ingin ambil pusing dengan keseharian baru mereka sebulan terakhir ini. Dia yakin, nanti juga mereka akan baikan seperti kemarin-kemarin. Namun, ia tidak sadar, bahwa hari inilah terakhir kali dia mendengar orang tuanya saling menghardik.

Dua jam setelah perang panas itu, kedua belah pihak memutuskan untuk genjatan senjata, mundur dari medan perang dan menandatangani kontrak penceraian. Mala yang mengetahui info terbaru itu sangat kaget. Ia tak menyangka orang tuanya akan berbuat sejauh itu tanpa berpikir panjang. Tanpa menenangkan diri dan bicara baik-baik. Akan tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

Hari itu juga, ibunya menyuruh Mala segera mengepak barang-barangnya. Ia akan pergi ke kampung halaman ibunya di Indonesia dan meneruskan pendidikannya di sana. Namun di saat bersamaan juga, ayahnya datang dan meminta Mala ikut bersamanya. Mala akan dimasukan ke sekolah paling mahal dan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.

Mala sangat bingung. Ia sangat menyayangi kedua orang yang telah membesarkannya itu. sebisa mungkin ia tak ingin memilih. Ia tak mau memilih. Mala hanya ingin tinggal bersama keduanya. Dia hanya ingin keluarganya kembali seperti dulu.

Melihat Mala yang hanya diam menunduk, dengan geram ayahnya menarik lengan Mala dengan kasar, menyeretnya, membuatnya meringis kesakitan.

Ibunya yang melihat itu tidak tinggal diam. Dia langsung menghadang, melawan saat melihat anak yang dicintainya disakiti. Namun itu percuma. Karena dengan mudah laki-laki bertubuh besar itu mendorong tubuhnya hingga jatuh ke lantai.

“Jangan ikut campur, Raras!” hardik suaminya dalam bahasa Jepang. Suaranya menggema.

“Otou-san! (Ayah!)” bentak Mala yang sudah berlinang air mata. “Mala ingin tinggal sama ibu,” ucap Mala dengan lirih.

Mendengar itu, genggaman ayahnya melonggar. Dia menatap anak dan istrinya bergantian sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua dengan murka. “Pergi kalian semua! Aku tak ingin ada parasit yang tinggal di rumahku! Dan jangan pernah menginjakkan kaki kotor kalian lagi di rumah ini!”

“Mama...,” panggil Mala seraya membantu ibunya berdiri.

“Iku yo, Da-rin, (Ayo, Darling) ” ajak ibunya lembut, “kita tinggalkan rumah terkutuk ini!”

...*****...

Tangan mungil itu terus menorehkan tinta di atas selembar kertas karton berwarna hijau stabilo. Baris demi baris ia tulis dengan hati yang berkecambuk. Tetes demi tetes air mengalir membasahi pipinya, jatuh ke atas kertas dan memecah tinta.

Belum pernah hatinya dibuat sesakit ini oleh seorang laki-laki yang paling ia percaya. Belum pernah perasaannya dibuat seremuk ini oleh laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. Sedih, kecewa, getir yang sekarang ia rasa. Hatinya patah, hancur menghambur seperti kaca yang tergelincir dari genggaman.

Dengan semua unek-unek yang ia punya, Mala tumpahkan semuanya dengan sebuah surat yang akan ia terbangkan. Berharap aduannya dapat sampai kepada Tuhan. Ritual yang selalu ia jalankan sejak kecil. Sejak ia menangis karena diejek oleh teman sebayanya dan berlari pulang ke rumah.

Saat itu, kakaknya datang menenangkan dengan berkata, “Jika Mala merasa sedih, atau bahkan senang, tulis saja sebuah surat untuk Tuhan. Maka Tuhan pasti akan mendengarkan semua perkataan Mala.”

“Tapi, gimana cara Mala memberikan surat itu sama Tuhan?” tanya Mala polos.

Kakanya tampak berpikir keras. Ia tak menyangka adiknya akan menanyakan hal itu padanya. “Caranya....” Kakanya menulis sebuah kalimat di buku, lalu merobek kertas itu dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas, yang kemudian ia terbangkan ke luar jendela, meliuk-liuk ditiup angin sampai benar-benar hilang dari pandangan.

Dan sejak itu, Mala tak pernah absen menulis surat untuk Tuhan. Seperti sekarang, saat dia ingin menghilang saja dari dunia ini rasanya saking rasa kecewanya terhadap manusia yang bernama laki-laki.

...Kami-sama (Tuhan), Dewa Amaterasu, Dewa Tsukuyomi, Izanagi, Izanami atau siapa pun, tolong dengarkan aku kali ini!...

...Hari ini, laki-laki yang paling kupercaya telah mematahkan rasa percaya itu, menyakiti perasaanku. Kini, aku tidak bisa lagi mempercayai manusia bernama laki-laki. Tak bisa lagi aku mempercayai mereka. Tidak setelah hari ini....

Note: Azab saja mereka, Tuhan, biar mereka kapok.

Mala melipak kertas itu dengan rapi sampai membentuk sebuah pesawat. Ia membuka jendela rumahnya yang berada di puncak bukit. Setelah memberi napas (atau mungkin jiwa) pada pesawat kertasnya, dengan sekali ayunan Mala menerbangkan pesawat itu, meliuk ditiup angin sampai benar-benar menghilang dari pandangan.

...*****...

Bogor, Agustus 2015

Terik matahari menyorot langsung sekumpulan orang-orang berpakaian putih abu yang sedang berjajar rapi sejak setengah jam yang lalu itu tanpa ada awan yang menghalangi.  Hampir semua siswa sudah mengeluhkan unek-unek mereka dengan pidato kepala sekolah yang seolah tak ada habisnya itu.

Rean, yang berdiri di barisan paling depan, harus setengah mati menahan rasa gatal di kepalanya yang kepanasan. Rasa gengsi mencegahnya untuk menggerakkan satu jari pun. Ia ingin dilihat sebagai orang yang disiplin dan kuat oleh orang lain. Terutama para guru yang sedang berbaris rapi di bagian yang teduh.

Barisan itu akhirnya bubar jalan lima belas menit kemudian. Dengan langkah cepat Rean langsung bergegas ke kantin. Setengah dari cairan tubuhnya sudah disedot habis keluar. Ia harus segera mengisinya kembali atau dia akan mati kering karena dehidrasi.

“Pagi, Teh,” sapa Rean kepada penjaga kantin.

“Pagi, De. Tumben masih pagi udah ke sini. Mau beli apa?” Dengan senyuman manisnya penjaga kantin itu bertanya.

Baru satu minggu sejak hari pertamanya bersekolah, namun murid satu ini sudah akrab dengan Widi, penjaga kantin yang baru berumur kepala dua itu. Mereka bahkan sering bercakap-cakap seru dan tertawa saat hanya ada beberapa orang yang pergi ke kantin, saat Widi sedang tidak sibuk melayani pembeli yang membeludak.

Rean menunjukkan seragamnya yang sudah basah kuyup karena keringat. “Kehujanan. Air mineral satu botol.” Rean tertawa pelan.

“Ha-ha-ha. Keliatannya Dede beda alam sendiri.” Sambil menyodorkan pesanan Rean, Widi tertawa.

“Beda dimensi,” tambah Rean. “Kalo gitu, saya ke kelas dulu.” Rean melesat pergi meninggalkan Widi yang masih melambai.

Bersamaan dengan tibanya Rean di depan pintu kelas, guru pelajaran matematikanya datang sambil menenteng buku-buku. Kemudian perhatian Rean teralihkan kepada seorang gadis yang berdiri di belakang gurunya. Wajahnya tidak seperti perempuan-perempuan lainnya. Lebih seperti... Dewi, batin Rean.

Rean tersenyum dan membungkuk sebelum masuk lebih dulu.

“Assalamu’alaikum,” ucap guru bernama Rani saat masuk ke dalam kelas.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah,” serempak murid-murid menjawab.

“Hari ini kita kedatangan murid baru dari jauh. Ada yang bisa tebak dari mana?” tanya Rani itu dengan nada menggoda.

“Ciamis?” celetuk salah satu murid diikuti tawa terbahak dari semua orang.

“E, e, e,” Rani menggeleng, “kita kedatangan seorang murid dari... Jepaaang!” Rani membentangkan tangannya, seolah mendeklarasikan perang dunia ketiga.

Semua murid yang mendengar pernyataan guru kenes itu melohok tak percaya. Tak terkecuali Rean. Tak ada seorang pun yang pernah membayangkan mereka akan bertemu dengan perempuan yang berasal dari Jepang sebelumnya, apalagi sekelas. Semua tampak syok. Mereka termangu di kursi masing-masing.

Bukan cuma murid yang merasa girang, guru juga sama senangnya. Dengan adanya seorang murid yang berkewanegaraan luar, itu akan membuat nama sekolah mereka disorot oleh seluruh wilayah. Walau itu artinya guru-guru harus kembali belajar bahasa Inggris dan itu artinya, tugas berat menanti Wildan, guru pelajaran Bahasa Inggris itu sendiri.

Seorang murid bernama Faqih memecah keheningan. “Ikuzou, temeraaaa! (Ayo, semuanyaaaa!)”

“Horraaaa!” serentak, beberapa murid wibu lainnya menyahut.

“Sudah, sudah, semuanya harap tenang!” Rani menenangkan murid-muridnya yang tampak sangat bersemangat. “Come here, Honey!” Guru itu melambai-lambaikan tangannya ke arah pintu.

Tak lama, seorang perempuan berjalan masuk dengan malu-malu. Sontak semua murid kembali mematung, terpana menyaksikan manusia satu itu, seolah sedang memandangi tujuh keajaiban dunia yang kedelapan.

Namun selain Rean, tidak ada yang menyadari tatapan murid baru itu. Sorot mata yang redup akan harapan walau ia coba samarkan dengan sebuah senyuman. Rean menatap jauh ke dalam, ke sebuah dimensi kegelapan yang dibentengi tembok menjulang. Benteng yang tak mungkin tertembus oleh cinta sekali pun.

Saat itu juga, hati Rean terpikat. Dia ingin mengubah sorot mata itu kembali cerah, mengisinya kembali dengan harapan supaya wajah abu-abu itu kembali berwarna. Ia ingin mengukir senyuman di wajahnya yang cantik. Bukan senyuman palsu seperti yang dilihat semua orang sekarang, tapi senyuman tulus. Rean ingin melihatnya. Rean ingin menembus benteng itu. Melubanginya perlahan demi perlahan. Waktu demi waktu.

“Hallo, guys! My name is Mala. Nice to meet you. Thank you,” ucap perempuan bernama Mala itu dengan bahasa Inggris yang patah-patah.

“Hallo, Mala! Nice to meet you too,” jawab semua.

“Mala, how many your number whatsapp?” tanya Faqih dengan bahasa Inggris medok dan acak-acakan, diiringi sorak tawa yang lainnya.

“I’m sorry but, saya tidak punya nomor whatsapp. Saya tidak punya ponsel,” jawab Mala sambil kembali memperlihatkan senyuman.

“Nggak pa-pa deh. Liat senyumanmu aja udah membuatku bahagia,” lanjut Faqih diiringi sorakan yang lainnya.

“Sudah, sudah,” Rani kembali menenangkan, “Mala, you can sit now.” Rani mempersilakan.

“Berhubung tidak semua guru bisa berbahasa Inggris, apa ada murid yang mau sebangku dengan Mala dan menerjemahkan untuknya?” Rani kembali bertanya saat Mala sudah duduk di kursinya yang berada paling belakang.

Sebuah tangan terangkat dengan cepat.

“Rean?” tanya Rani diikuti bisik-bisik dari setiap penjuru kelas.

Tanpa menjawab, Rean langsung bangkit dari duduknya dan berjalan ke belakang kelas, duduk di meja yang sama dengan Mala. Mala menatapnya dengan penuh tanda tanya. Terlihat jelas keengganannya akan kehadiran Rean, tapi Rean tak mengindahkannya sama sekali. Bagi Mala, lelaki hanyalah kuman yang harus dibasmi dari sekitarnya. Bagi Mala, tak ada lagi ruang untuk laki-laki di dekatnya, apalagi di hatinya.

“I’m your traslator,” tanpa ditanya Rean menjawab.

“Baaka, (bodoh)” gumam Mala yang masih bisa didengar oleh kuping Rean. Dan tentu saja dimengerti olehnya.

“Bakanara gomen demo, boku wa tasukeyou to shite, (maaf jika aku bodoh tapi, aku hanya mencoba membantu) ” tutur Rean santai.

Mala terlonjak kaget saat mendengar orang asing di sampingnya mampu mengerti, bahkan bisa mengucapkan kalimat dalam bahasanya dengan pasih seolah dia memang berasal dari negeri yang sama.

“Mala? Ada apa?” tanya Rani dalam bahasa Inggris.

“Nothing, Mam. Saya hanya sedang berkenalan dengan teman sebangku saya.”

“Bagus kalau kalian langsung akrab. Semoga Rean tidak memanfaatkanmu untuk mengerjakan tugas-tugasnya,” kata Rani sambil tertawa kecil.

“Semoga nggak sebaliknya,” jawab Rean.

PUING 2: GURU LES PRIVAT

Bogor, September 2015

Sebangkunya seorang juara umum dan siswi asal Jepang menggentarkan satu sekolah itu selama sebulan terakhir, terutama kelas 12 IPA-2. Di bangku yang berada di tempat paling belakang itu, seorang laki-laki dan perempuan tampak sedang bercakap singkat. Kadang dalam bahasa Inggris, kadang juga dalam bahasa Jepang. Semua mata tampak menatap ke arah yang sama. Mereka semua mendengarkan dengan khidmat walau tak tahu topik apa yang dibahas.

“Kalau soal bahasa Indonesia itu hanya soalnya saja yang panjang, tapi jawabannya hanya satu kata. Tidak perlu repot-repot baca dari atas sampai bawah. Cukup kamu baca langsung pertanyaannya, sisanya tinggal cari. Seperti soal nomor empat, di situ sangat jelas tertulis ide pokok alinea ketiga, ya berarti kamu cari di paragraf ketiga. Oh, iya, maaf, kamu tidak paham bahasa Indonesia,” cerocos Rean dalam bahasa Inggris tanpa memalingkan fokusnya dari buku.

“Omong-omong, tidak logis juga kamu yang orang Jepang malah belajar bahasa Indonesia,” Rean lanjut berkata.

“Believe me, saya juga menanyakan pertanyaan itu berulang kali sejak menginjakkan kaki di kelas ini,” balas Mala ketus.

“Oke, aku punya ide baik sekaligus buruk.”

“Nani sore? (Apa itu?)” Mala bertanya.

Rean memalingkan pandangannya dari buku yang ia baca, menatap langsung mata cokelat Mala.

Seketika Rean tertegun. Belum pernah ia melihat bola mata seindah itu. Iris yang seolah memiliki gravitasi supermasif, yang seolah menciptakan relativitas waktu sekaligus menyedotnya tanpa ampun.

“Oyy... Ree-kun?” Mala menepuk bahu Rean, menyadarkannya dari lamunan.

“Oh―apa?”

“What’s the idea?” Mala mengulangi.

“Oh, iya. Aku jadi patnermu belajar bahasa Indonesia,” Rean menegaskan.

“What?”

“Maksudku, kita bisa saling menguntungkan. Kamu bisa bahasa Indonesia selancar mungkin sampai tak seorang pun bisa membedakan, dan aku bisa bahasa Jepang agar aku bisa mengejek mereka dalam bahasa asing. Simbiosis mutualisme. Cukup menguntungkan, bukan?”

“Dan ide buruknya apa?” tanya Mala tak tahan.

“Kita akan lebih lama bersama.”

...*****...

KOTA Bogor pada malam itu terasa lebih dingin daripada sebelumnya. Pohon-pohon bergoyang hebat karena ditiup angin kencang. Namun Rean terasa gerah. Tubuhnya terus mengeluarkan keringat dingin saat memandangi rumah mewah di hadapannya. Rean bergeming di tempat.

Rumah bercat kuning gading itu berdiri dengan gagahnya di antara rumah-rumah lainnya. Menjadikannya tampak sangat mencolok karena ukurannya yang sangat besar. Pilar-pilar besar menancap kuat menopang pondasi. Pagar tinggi dengan kawat berduri bagai tembok kastel yang mengelilingi rumah itu dari seluruh penjuru, mencegah maling-maling masuk tanpa izin. Seketika Rean merasa menyesal telah mengajukkan diri menjadi guru les privat.

Gerbang di hadapannya perlahan terbuka dan seorang satpam menyilakannya untuk masuk. Dengan sama perlahannya, Rean menyeret langkah demi langkah menuju rumah Mala. kakinya tiba-tiba terasa berat. Rasanya seperti ada jangkar besar yang diikatkan di kedua kakinya.

Sebuah taman cukup luas menyambutnya. Berbagai macam bunga dengan berbagai macam warna menyejukkan matanya. Di pusat taman, sebuah air mancur bertingkat menyemburkan airnya ke luar. Langkah Rean semakin melambat. Ingin lebih lama menyaksikan semua itu.

Kemudian sudut matanya menangkap seseorang yang sedang berdiri di pintu. Mala, memakai kaus shinigami dan celana pendek. Memperlihatkan tungkai-tungkai kakinya yang panjang. Rambutnya dikucir ke belakang dengan poni yang menutupi dahi. Yang membuatnya semakin cantik adalah segurat senyuman yang tergarbar di wajahnya yang lugu. Walau bukan senyum tulus seperti yang diharapkannya. Rean mempercepat langkah. Ingin segera melihat semuanya lebih dekat dan lebih jelas.

“Hai, Re,” Mala menyapa.

“Hai. Bagaimana, sudah siap?”

“Hai, Sensei. (Iya, Pak Guru)”

...*****...

SUDAH dua jam sejak dia menginjakkan kaki ke rumah itu. Namun Rean masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Dua orang yang baru kenal sebulan itu masih tenggelam dalam kamus masing-masing sambil sesekali bertanya.

“By the way, bagaimana caramu bisa bahasa Jepang?” tanya Mala yang sekarang sudah duduk tegak di atas tempat tidurnya.

Rean, yang sedari tadi tidur terlentang di sofa, menatap Mala lekat dari balik buku Kotoba yang ia baca.

“Sejak kecil aku suka anime,” Rean akhirnya berkata, “aku sering nonton video aslinya karena memang suka sama bahasa dan huruf Jepang. Setelah dipikir-pikir, aku ingin pergi ke Jepang. Jalan-jalan, mendatangi tempat-tempat yang kuinginkan, yang baru bisa kulihat lewat layar. Aku harap suatu hari nanti aku ingin tinggal di sana. Dan saat itu terjadi, maukah kamu menemaniku berkeliling?”

Mendengar itu ekspresi Mala berubah muram. “Jepang tidak seindah yang kamu lihat di anime-anime, Re.”

Kemudian Mala teringat kepada ayahnya. Teringat pada hari di mana hatinya dan hati ibunya dibuat terluka. Perasaan getir kembali merasuk tiba-tiba.

Rean menatap Mala nanar. Kini, terdapat tanda tanya besar yang muncul di kepalanya. Apa gerangan yang membuat gadis itu sebegitu benci dengan negaranya sendiri. Benci terhadap laki-laki. Kenapa Mala memilih pergi dari negara yang bagi Rean surga. Rean tahu kalau ibunya dari Indonesia. Tetapi kenapa ibunya lebih memilih menyekolahkan anaknya di tempat yang anaknya sendiri tidak bisa berbahasa negara tersebut.

Sungguh, kamu perempuan yang penuh dengan misteri, batin Rean.

“Listen to me, Re” lanjut Mala, “walau baru menginjakkan kaki di Bogor, bagiku Indonesia lebih indah dari Jepang. Indonesia adalah tempat paling indah yang pernah kukunjungi. Buat apa jauh-jauh pergi ke Fujiyama jika kamu bisa mendaki Gunung Ciremai? Buat apa capek-capek ke Kuil Inari jika kamu bisa mengunjungi Borobudur? Aku sempat searching tempat-tempat wisata sebelum berangkat ke sini,” tambah Mala cepat saat melihat ekspresi tak percaya Rean.

“Pokoknya, daripada buang-buang waktu pergi ke Jepang, lebih baik kamu kuliah di sini, terus sukses, menikah dengan orang yang kamu cintai dan hidup bahagia bersama anak-anakmu kelak,” Mala menanggaskan.

Rean tak menjawab. Hanya menatap Mala dalam diam. Sejak pertama mereka mengobrol, baru kali ini Mala berbicara lebih dari satu paragraf kepadanya. Sebelumnya dia hanya bicara jika Rean tanya dan bertanya hanya soal pelajaran di sekolah. Selain itu, mulutnya tertutup rapat.

Mendengar Mala yang rela mencerocos hanya untuk mencegahku pergi ke negara asalnya, itu berarti dia sangat trauma karenanya. Seperti ada sebuah tragedi di balik kepindahannya ke Bogor. Namun aku tak punya hak untuk mencampuri urusan pribadinya lebih jauh. Masih belum.

“I wanna make manga.”

Rean termangu mendengar pernyataan Mala yang tiba-tiba. Namun dengan cepat ia melempar senyum. Sebuah senyuman yang jarang sekali ia tunjukkan.

“Kalau begitu aku akan menjadi penulis naskahnya.”

Kini giliran Mala yang tertegun. Setiap kalimat yang meluncur dari mulut orang itu selalu saja memberi kejutan. Setidaknya bagi Mala. Setelah lama terdiam, barulah Mala kembali menemukan suaranya. “Memangnya kamu suka menulis?” tanya Mala ragu.

“Enggak juga,” jawab Rean santai seperti biasanya.

“Kalau begitu kena―”

“Karena...,” potong Rean, “I just wanna help you, Mala. Dan aku ingin mata itu terus berbinar seperti saat Mala menyebutkan manga tadi. Aku ingin sorot mata itu terus di sana. Bukan sorot mata hampa yang seakan-akan semua beban berat dunia ada di bahumu,” tutur Rean sambil menunjuk mata cokelat Mala.

“Kamu tidak tahu apa yang saya alami,” desis Mala.

“Aku memang tidak tahu. Dan apa pun masalahmu, aku tetap akan menjadi penulis naskahnya,” Rean menegaskan.

Ketegasan Rean membuat Mala bungkam. Mereka kembali terenyak dengan kamus masing-masing dalam hening.

“Saya benci laki-laki,” Mala berkata lirih, mencairkan kebekuan.

Rean sudah bisa menebaknya. Dia sudah menyiapkan berbagai kata untuk mengkonter pernyataan itu. namun setelah dihadapkan secara langsung, Rean kehilangan semua itu. Lidahnya kelu. Kata-kata yang hendak ia lontarkan tersangkut di tenggorokan.

“I know,” akhirnya, hanya itu yang bisa ia katakan. Dan aku akan mengubah pemikiranmu itu, Mala.

Hening kembali menyelimuti sampai Rean pamit untuk pulang. Les bahasa untuk hari itu ditutup. Dari teras depan, Mala menatapi punggung Rean yang berjalan menjauh.

Hari ini, Mala mengetahui lebih banyak hal tentang guru les privat gratisnya itu. Kata-kata yang diucapkan Rean tadi bergelantungan di benak Mala. Pembicaraannya dengan Rean hari ini menghasilkan satu kesimpulan, yaitu, dia wibu bodoh.

Tiba-tiba Rean membalikkan badan. Mala tersentak kaget karena mengira Rean bisa mendengar kata hatinya. Rean mengangkat sebelah tangannya, menyatukan jempol dan telunjuknya, membentuk hati. Mala mendelik benci. Beberapa saat kemudian, tangan Rean kembali terkepal, dan jari tengahnya mengacung tegak. Setelah itu dia kembali berbalik dan pergi sampai tak terlihat lagi.

Tanpa bisa ditahan, sudut bibir Mala terangkat. “Bakaa....”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!