.
.
Seoul, South Korea
BRAK
Suara pintu dibuka dengan kasar membuat anak lelaki yang berada dalam ruangan itu berjengit terkejut. Dia mulai ketakutan dan tubuhnya bergetar.
Seorang pria tampan duduk di depan anak lelaki itu, meski anak lelaki itu menundukkan kepalanya ia tau bahwa pria itu, ayahnya, sedang marah besar. Dia bisa merasakan aura dingin menyeruak di setiap sisi ruangan, seakan awan gelap menyelimuti di antara mereka.
Gelap dan dingin.
“Kau tau apa yang kau lakukan itu salah bukan?” suara dingin pria tampan itu membuat si anak lelaki kembali berjengit, ia semakin ketakutan, namun anak lelaki itu menganggukkan kepalanya karena refleks dan juga takut.
“Sepertinya kau sangat menyesal hingga tidak mau mengangkat kepalamu”
Mendengar itu si anak lelaki mendongak perlahan, menatap wajah tampan ayahnya yang terlihat begitu dingin, terlihat tak berekspresi namun dia tau ayahnya sedang marah.
“Ayah, aku – tidak menyesal..”
Terjadi keheningan beberapa saat hingga pria tampan itu kembali berkata “Tidak menyesal? Kau memukul mereka hingga babak belur dan kau bilang tidak menyesal? Kau ingin menjadi preman?”
Suara ayahnya meninggi, membuat anak lelaki yang baru masuk kelas tiga SMP itu tak bisa membendung airmatanya lagi. Dia tau dia sangat cengeng, sangat emosional dan berlebihan.
Namun, apakah ayahnya tidak mau melihat dari sisinya? Apa ayahnya pikir dia senakal itu hingga memukuli anak orang tanpa alasan?
“Lihat dirimu Hyunjin! Bagaimana bisa kau menjadi penerusku jika secengeng ini dan juga mudah memukul orang seenaknya, bagaimana mungkin pemimpin seperti itu?”
“Maafkan Hyunjin ayah, Hyunjin salah...”
“Harusnya kau berpikir dulu sebelum berbuat bukankah begitu? Tak peduli meski mereka yang salah memangnya kau berhak memukuli mereka? Itu kekerasan! Kau belum tau itu?”
“Tapi aku hanya memukul mereka sekali ayah, itupun saat guru datang setelahnya, jadi terlihat seperti aku yang salah padahal aku hanya membela diri”
Pria tampan itu berdecak kesal.
“Sudahlah, aku sudah membayar mereka jadi kau tidak akan dituntut lagi”
“Tapi mereka yang salah ayah! Aku tidak peduli mereka menganggapku salah, tapi kenapa ayah tidak mempercayaiku? Aku anak ayah!”
Tatapan pria itu kini melembut, kini dia tersenyum kecil menatap putranya yang sedang mengambil tisu dari atas meja untuk menghapus airmatanya.
“Hyunjin, anak lelaki tidak boleh cengeng”
“Tapi lelaki sekalipun bisa terluka, apalagi jika orang terdekat mereka tidak mau mempercayai mereka”
Pria itu tertawa mendengar kata-kata putranya “Kau belajar darimana kata-kata itu? Ayah percaya padamu”
Anak lelaki itu kembali mendongak menatap ayahnya “Sungguh? Ayah percaya padaku? Mereka mengganggu temanku ayah, tapi sebelumnya mereka baik padaku, namun tadi aku melihat mereka memukuli temanku, aku marah pada mereka. Harusnya aku melapor pada guru, bukannya marah dan memukul mereka, tapi mereka memukulku duluan.. jadi.. aku tau aku salah”
Pria itu berdiri dari duduknya, menghampiri putranya lalu duduk disampingnya dan memeluknya.
“Ayah bangga karena anak ayah sudah membela temannya, dan juga karena telah menyadari kesalahannya sendiri. Tapi, ayah tetap berpikir kau belum sempurna sebagai calon penerus pemimpin perusahaan kita. Maksud ayah, mungkin sebaiknya kau membujuk saudari kembarmu untuk mengikuti ayah”
Anak lelaki itu melepas pelukannya pada ayahnya, mendongak menatap bingung pada ayahnya “Maksud ayah Jihyun? Dia ada di Indonesia, dan kalau Ibu tau, pasti Ibu akan marah”
“Ibumu pasti melepas Jihyun jika itu sudah keputusan Jihyun bukan? Lagipula ini kesempatan yang bagus untukmu, untuk kembali bersama saudarimu, kau bisa sekolah disana dan menemaninya, tapi jika kau ingin kembali, ayah akan menjemputmu. Ayah tidak ingin memaksa kalian, yang bisa ayah lakukan hanya mengarahkan kalian saja”
Anak lelaki itu mengangguk “Hyunjin akan melakukannya, Hyunjin merindukan Jihyun ayah... jadi – kapan Hyunjin ke Indonesia?”
“Setelah kau bisa berbahasa Indonesia dengan baik, Paman Kim akan membantumu dan.. Oh! Ayah akan menyiapkan semua dokumen kepindahanmu”
Anak lelaki itu hanya diam dan menyetujui semua yang ayahnya katakan. Lagipula ia sangat merindukan saudari kembarnya, sudah lama sejak ayah dan Ibunya berpisah. Ayahnya membawa dia sedangkan Ibunya kembali ke negaranya membawa saudari kembarnya.
Mungkin ini sudah sekitar delapan tahun?
Ibunya tidak mau mengabari ayahnya maupun dirinya sama sekali,dia bahkan tidak tau bagaimana rupa saudarinya sekarang. Yah, karena mereka kembar, pasti mirip dengannya bukan? Mereka kembar indentik, namun jenis kelamin mereka saja yang berbeda.
Oh, mungkin sifat mereka juga berbeda, entahlah..
***
Malang, Indonesia.
Namanya Safaluna, biasa dipanggil Luna.
Ini sudah beberapa hari sejak dia masuk SMA. Jarak sekolah dan rumah yang baru dibelikan Ibunya sangat dekat. Ibunya memang sengaja membeli rumah di perumahan yang dekat dengan sekolahnya.
Ibunya sendiri memiliki butik dan jarang pulang ke rumah. Jadi tidak ada bedanya meski rumahnya pindah sekalipun, Luna tetap sendiri.
Yah, maksudnya tidak benar-benar sendiri juga. Ada seorang wanita yang menjaga Luna menggantikan Ibunya, yaitu bibi Yuli, yang sudah mengurusinya sejak ia pindah delapan tahunan yang lalu ke Negara ini.
Soal sekolah... sebenarnya tidak begitu baik. Luna gadis yang suka menyendiri dan lebih mementingkan membaca buku daripada berkeliling mencari teman baru.
Ada beberapa yang datang, namun Luna hanya menyambut mereka dengan baik tanpa berniat mempertahankan mereka sebagai temannya.
Banyak juga yang langsung pergi setelah itu. Mungkin karena penampilan Luna yang meskipun cantik tapi terlihat sekali dia cuek dengan penampilannya. Dan kacamata tebalnya membuat dia menjadi nerd, tapi apa yang bisa Luna lakukan? Dia memang nerd.
Ia pikir dengan tidak memiliki teman seperti itu akan membuat kehidupan sekolahnya damai dan dia bisa belajar dengan tenang.
Namun, ternyata dia salah.
Mungkin karena tidak punya teman di kelas, dia jadi bahan lelucon dan jadi diganggu anak-anak kurang kerjaan.
Sepulang sekolah, tiba-tiba anak lelaki paling populer di kelasnya mendatanginya lalu melemparkan secarik kertas lalu mengatakan hal-hal menyakitkan padanya.
Intinya, Luna ditolak.
Sepertinya ada seseorang yang mengirim surat cinta pada siswa populer itu atas nama Luna. Siswa pupuler yang Luna baru tau saat itu juga bernama Dion berpikir benar-benar Luna yang mengirim surat itu, dia langsung menolak Luna saat itu juga dan mengatakan Luna jelek dan cupu. Dia juga bilang Luna tidak tau diri.
Gadis-gadis yang menyukai si Dion itu menatap Luna jijik dan penuh permusuhan, mereka bahkan melempari Luna dengan kertas atau apapun yang ada di sekitar mereka.
Entah Luna harus bersyukur karena sudah waktunya pulang jadi dia bisa langsung lari dari sana atau tidak karena dia tidak siap untuk datang ke sekolah keesokan harinya.
Pasti banyak yang akan merundungnya besok.
Luna terus berlari menjauh dari gedung sekolah.
Dia sangat marah, malu dan ingin menangis... namun, ia tak mau menangis di depan banyak orang.
SRET
“Luna!”
Seseorang menarik lengan Luna hingga Luna berbalik, Luna mendongak menatap wajah tampan kakak kelasnya yang tersenyum padanya.
Jika Luna menyukai seseorang dan mengirimkan surat cinta yang manis dan puitis, pastilah Luna memilih dia.
Tetangga barunya, kak Lino.
Dibanding dengan Dion, Lino jauh lebih pupuler dan jauh lebih baik. Dan lagipula Dion tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Lino. Bagaimana mungkin Luna bisa ditolak oleh seseorang yang begitu angkuh seperti Dion? Padahal Luna saja tidak menyukainya seinchi pun.
“Ini, kau suka rasa matcha kan?” Lino memberikan pastik bening berisi boba milk tea rasa matcha lengkap dengan sedotannya “Untukmu, sebagai hadiah karena – karena.. eum, sudah jadi tetangga baruku?”
Luna menerima minuman itu, pikiran buruknya tentang kejadian sebelum ini menghilang sejenak.
Tentu saja, bagaimana bisa kau tidak merasa damai dan tentram hanya dengan melihat senyuman tampan meneduhkan milik Lino?
“Terima kasih, kak Lino.. aku – aku pergi dulu”
Lino yang sadar mengangkat tangannya dari lengan Luna “Oh iya.. aku juga mau main basket dengan Abin” Lino tersenyum canggung, Luna pun juga demikian, tidak bisa tidak canggung dan salting jika dengan Lino.
Akhirnya Lunapun pergi meninggalkan Lino yang masih berdiri ditempat yang sama sambil menatap kepergian Luna.
“Luna terlihat sedih, kenapa ya?” gumam Lino.
.
.
.
.
Di sebuah taman yang sepi, Luna duduk di sebuah ayunan. Dia ingin menjernihkan pikirannya dari masalah di sekolah.
Dulu di SMP dia memiliki beberapa teman yang sebenarnya hanya mendekatinya karena dia pintar saja, jadi Luna bisa mereka manfaatkan. Karena Luna tak ingin itu terjadi lagi, jadi dia berpikir untuk jaga jarak dengan teman-temannya di kelas.
Tapi mana dia tau jika teman sekelasnya akan bekerja sama hanya untuk merundungnya? Mungkin ini salah Luna sendiri karena bukannya melawan, dia memilih diam dan pergi begitu saja.
“Apa seharusnya aku melawan mereka?” gumamnya kemudian.
Luna tidak mengerti mengapa mereka melakukan itu? Apa karena dia jelek? Apa dia terlalu menyebalkan di kelas?
Luna pikir dia tidak sejelek itu. Luna memiliki tubuh yang tidak pendek, tidak juga tinggi.. sekitar 160 cm dengan berat badan terakhir Luna ingat masih 45 kg. Tubuhnya biasa saja kok, malah Luna pikir tubuhnya cukup bagus, karena dia juga menjaga pola makan dan olah raga dengan teratur.
Malah Luna itu tergolong cukup atletis sebagai perempuan, nilainya di pelajaran olahraga selalu bagus, kecuali jika dia dinilai untuk bermainan voli. Luna tidak bisa voli dan tidak berminat sama sekali juga.
Mungkin yang bermasalah hanya wajahnya, tidak.. bukannya Luna jelek. Dia cuma tidak pandai merawat wajahnya juga berdandan. Beda dengan para siswi di kelasnya yang rata-rata berdandan, memakai bedak tebal dan liptint, bahkan beberapa sangat berlebihan hingga tak jarang mendapat teguran dari guru.
Tapi, apa hanya karena tidak berdandan dia di cap jelek?
Luna mengeluarkan handphone dari tasnya, menggunakannya untuk bercermin.
Luna memiliki dua jerawat di wajahnya, wajahnya juga kusam, belum lagi rambut yang hanya dikuncir satu dan itu pun juga berantakan.
Luna tau dia cuek sekali tentang penampilannya.
Luna menghembuskan nafas lelah.
Padahal beberapa orang tidak berdandan dan tetap terlihat cantik alami, kenapa Luna tidak?? Contohnya Lino. Dia bahkan hanya perlu cuci muka tanpa perawatan apapun, namun wajahnya bersih tampan dengan alami.
Luna ingin mengatakan ini semua tidak adil, namun dia juga tau itu semua sudah takdir dari Yang maha kuasa, makhluk kecil tak berdaya sepertinya bisa apa?
Saat Luna sibuk berpikir dan merenung seperti itu tiba-tiba sebuah teriakan tidak jauh dari tempatnya berada terdengar.
Seseorang terdengar sangat ketakutan.
Mungkin karena refleks, Luna pun berdiri untuk memeriksa siapa gerangan yang berteriak seperti itu di taman sepi begini.
“HUWAAA!!! JANGAN MENDEKAT!! GO AWAY!! Siapapun tolong aku.. salyo juseyo help me...”
Seorang anak lelaki yang terlihat seumuran dengan Luna terlihat ketakutan, dia terjatuh dan tubuhnya gemetaran. Di depannya terlihat seekor kecoa yang siap melompat ke tubuhnya kapan pun.
“Kau baik-baik saja?” Luna mendekati pemuda itu.
Dia segera menoleh pada Luna, lalu bangkit berdiri dan bersembunyi di balik tubuh Luna.
“D- d d dia ingin mem – membunuhku.. tolong” pemuda itu menunjuk kecoa dengan jari telunjuknya yang gemetaran.
Luna menatap kecoa itu datar, saat kecoa itu berjalan ke arahnya, pemuda itu berteriak lagi dan Luna terkejut karena dia berteriak di dekat telinga Luna.
Refleks Luna menginjak kecoa itu.
“Kecoanya sudah mati...” gumam Luna
Pemuda itu melepaskan Luna dan menatap Luna tidak percaya.
Luna baru sadar jika pemuda itu sangat tampan seperti baru keluar dari webtoon atau komik, terlihat tidak nyata. Tapi yah, namanya manusia pasti punya kekurangan, ternyata dia takut pada serangga.
“Kau membunuhnya” kata pemuda itu, kali ini ia menatap kecoa yang sudah mati itu dengan wajah pucat pasi.
“Ini bukan sepenuhnya salahku, kau berteriak sangat kencang jadi aku refleks menginjaknya” bantah Luna.
“Jadi.. aku ikut membunuhnya?” dia bertanya dengan suara gemetar “Aku sudah jadi pembunuh..”
Luna memutar bola matanya malas. Padahal tadi sangat ketakutan, giliran sudah mati dia malah begini... mau dia apa sih?
Karena kesal, Luna pun menyeret pemuda itu menjauh dari sana, lalu kembali duduk di ayunan. Ayunannya ada dua jadi pemuda itu duduk di salah satunya.
Luna mencoblos boba yang Lino berikan dengan sedotan lalu memberikannya pada pemuda itu “Kau mau?”
Ia langsung menerimanya lalu menyesapnya begitu saja “Terima kasih, oh iya namaku Samudra, karena terlalu susah panggil aja Sam” kata Sam, dia menatap Luna dengan senyuman tampannya.
Entah kenapa, Luna merasa sangat familiar dengan wajah Sam.
“Eh? Kenapa? Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Sam, karena Luna menatapnya intens.
Luna menggeleng cepat “Tidak, kau terlihat familiar, apa kau selebriti?”
Sam tertawa canggung “Hahaha tentu saja bukan, oh iya namamu siapa?”
“Aku Luna, Safaluna. Panggil saja Luna, kau baru disini?”
Sam mengangguk “Iya, baru saja sampai... aku juga berpikir kau familiar kok”
Luna kembali menoleh menatap Sam.
Beberapa saat mereka hanya saling tatap, tenggelam dalam pikiran masing-masing, sampai mereka sadar taman sudah
tidak sepi lagi.
Langit juga mulai berubah, semburat cahaya jingga menghiasi langit, menandakan hari sudah semakin sore.
Keduanya sadar mereka sudah harus pergi.
“Sudah sore, aku harus kembali ke rumah.. dimana rumahmu? Mau ku antar?” tanya Luna, dia segera berdiri dari ayunan, Sam juga ikut berdiri.
“Kau pasti menganggapku sangat lemah ya? Sampai ingin mengantarku, lihat wajah meremehkanmu ini” Sam menunjuk wajah Luna dengan kesal, Luna pun menurunkan telunjuk Sam dari depan wajahnya.
“Jangan menunjuk wajahku seperti itu, kalau tidak mau diantar, ya sudah.. aku jalan duluan” Luna bergerak meninggalkan Sam disana, tapi secepat kilat Sam mengikutinya dan berjalan di sampingnya.
“Tunggu dulu! Aku tidak bilang tidak mau.. maksudku, kalau ada serangga lagi gimana? Di Indonesia kan iklim tropis.. jadi pasti banyak serangganya, ya kan?” oceh Sam. Luna meliriknya dengan masih tanpa ekspresi, walau sebenarnya dia cukup sebal, tapi entah mengapa dia tidak terganggu sama sekali dengan Sam.
Seakan dia sudah terbiasa.
“Memang sebelumnya kau hidup dimana?Indonesia memang banyak serangganya, terutama di malam hari”
“Tuh kan!! Ugh.. serangga itu menakutkan. Aku baru saja datang dari Korea, ayahku orang Korea dan Ibuku orang sini, aku belajar bahasa Indonesia dengan keras beberapa bulan ini lho... jadi – eh? Kenapa berhenti?” Sam berhenti bicara saat Luna tiba-tiba berhenti berjalan, Sam ikut berhenti, menatap Luna bingung.
“Kau dari Korea?” tanya Luna
Sam mengangguk “Iya... Oh! Itu rumahku!” setelah melihat rumahnya sudah dekat, Sam meraih lengan Luna, menyeretnya dengan agak berlari agar cepat sampai rumahnya.
“Luna, ini rumahku!” Sam menunjuk rumahnya, yang terparkir sebuah mobil hitam mewah di halamannya.
“Tapi Sam, ini juga rumahku..”
Senyuman Sam luntur begitu saja, dia melepaskan tangannya dari lengan Luna, menatap Luna tidak percaya.
“Jangan-jangan.. kau ini Jihyun?” tanya Sam
Mereka terdiam, hanya saling menatap tanpa mengatakan apapun. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, hingga tanpa sadar Luna mengeluarkan suaranya.
“Hyunjin? Itu kau?”
Cup boba yang Sam pegang terjatuh begitu saja, untungnya airnya tidak tumpah kemana-mana, karena juga sudah habis setengah.
Ini sudah berapa tahun mereka terpisah?
Delapan? Atau lebih? Sepertinya sudah lebih beberapa bulan, bahkan sudah hampir sembilan tahun bukan?
Mereka terpisah karena kedua orangtua mereka yang egois memilih ego masing-masing dan sudah merasa tidak cocok satu sama lain.
Tentu saja sangat sulit pada awalnya, mereka berdua masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi, mereka menangis berhari-hari karena terpisah dari kembaran mereka.
Namun saat semuanya sudah berlalu, mereka sudah punya kehidupan masing-masing dan hampir melupakan eksistensi masing-masing...
Mereka kembali bertemu.
GREP
Sam memeluk Luna erat, seakan takut Luna akan pergi dan meninggalkannya lagi jika dia melepas pelukannya.
“Aku merindukanmu..”
Luna membalas pelukan itu, tak terasa airmata yang sudah lama tak keluar dan kering kembali lagi, namun bukan airmata pedih dan menyesakkan seperti sebelumnya.
Ini airmata bahagia.
“Aku juga merindukanmu.. jangan menangis, kau masih saja cengeng”
“Kau juga menangis! Bodoh!”
“Kau juga bodoh kalau begitu..”
.
.
.
.
DUK
DUK
DUK
Suara bola basket begitu keras terdengar di tengah lapangan yang sudah hampir sepi ini, hanya ada dua siswa dan sedikit penonton saja, itu pun semuanya perempuan.
Saat bola itu dilambungkan tinggi menuju keranjang, lalu masuk begitu saja, teriakan segelintir penonton itu terdengar lagi.
Namun, bagi Lino, yang bermain basket.. teriakan itu begitu mengganggunya, membuatnya makin kesal saja. Tapi dia tak bisa mengusir para gadis itu begitu saja.
Karena sudah malas, Lino kembali duduk di pinggir lapangan, sudah ada temannya disana, Abin, menunggunya sambil meneguk air mineral.
Abin melempar botol air mineral pada Lino yang dengan sigap ia tangkap, lalu ia teguk minuman itu hingga kandas, kemudian dia ikut duduk di sebelah Abin.
“Kau terlihat aneh hari ini, kenapa?” tanya Abin.
Lino tersenyum kecil “Kau selalu tau suasana hatiku ya?”
Abin berdecak kesal “Tentu saja! Sudah berapa tahun aku jadi temanmu? Memang apa yang terjadi sih?”
Lino menoleh pada Abin, wajahnya terlihat serius saat ini “Kau tau Luna kan? Tetangga baruku?”
Abin berpikir sejenak “Yang rumahnya di sebelah rumahmu ya? Kenapa memangnya?”
Lino menghembuskan nafas lelah “Dia hari ini terlihat – apa ya? Seperti terluka.. mungkin ada yang mengganggunya di kelasnya”
Abin tertawa mendengar itu, Lino kembali menoleh padanya, menatapnya dengan tatapan kesal. Dilirik seperti itu membuat Abin merinding seketika, Lino sangat seram.
“Maaf maaf.. jadi karena dia kau seperti ini? Haha, kau menyukainya ya?” Abin menaik-turunkan alisnya menggoda, tapi lalu berhenti saat Lino mulai mengangkat botol air mineralnya.
“Oke oke jangan pukul aku!”
Lino menurunkan botolnya kembali, lalu meremas botol kosong itu, kemudian melemparnya begitu saja, namun tentu saja botol remuk itu langsung masuk ke tong sampah tidak jauh dari tempat mereka duduk.
“Nice shoot!” teriak Abin, Lino kembali meliriknya.
“Ehehe, Bang Lino yang ganteng jangan serem-serem gitu dong... ampun.. tapi bang”
Lino kembali menoleh pada Abin “Apa?”
“Itu.. mungkin saja dia memang diganggu.. eh, gini aja, mau aku bantu cari tau? kebetulan ada cewe di kelasnya dia yang lagi deketin aku, gimana?”
Lino menatap Abin dengan senyuman merekah, dia langsung mengangguk begitu saja “Boleh Bin, tumben pinter”
Abin tersenyum bangga “Iya dong! Abin gitu loh!”
Lino berdiri dari duduknya “Ayo pulang, udah sore nih” ajak Lino.
Abin ikut berdiri sambil menenteng ranselnya “Bang nginep dong... di rumah lagi sepi nih”
“Orangtuamu pergi lagi?” tanya Lino
“Iya bang, itu lho.. mereka mau buka cabang lagi”
Lino mengangguk mengerti. Orangtua Abin ini memang kaya raya, mereka punya perusahaan sendiri di bidang kuliner. Jadi biasanya Abin sering ditinggal orangtuanya untuk bisnis, dan biasanya jika sudah begitu dia akan menginap di rumah Lino atau sebaliknya, Lino yang menginap di rumah Abin.
Tapi meski orangtuanya memiliki bisnis kuliner, anehnya si Abin yang sudah kelas dua SMA ini payah sekali dalam urusan dapur, masak air saja bisa gosong.
“Hmm, cabang dimana lagi?”
“Di Lumajang katanya, tapi... Lumajang itu dimana ya bang? Kata papa deket”
Lino berpikir sejenak “Bukannya itu di bawah gunung Semeru ya Bin?”
“Gak tau bang, makanya nanya ini”
“Yaelah Bin”
***
Saat ini Sam dan Luna sudah berada di dalam rumah, ada bibi Yuli dan seorang pria tampan yang menunggu mereka.
Mereka duduk di ruang tamu, Luna duduk berdampingan dengan Sam, menunggu pembicaraan dimulai.
Beberapa cangkir teh telah tersaji di depan mereka, beberapa kue juga turut dihidangkan. Sepertinya, bibi Yuli yang menyiapkannya.
“Luna, ini Kim-ahjushi yang ikut kemari karena appa ingin aku dibantu dan diawasi seseorang. Kim-ahjushi orang kepercayaannya appa, dia sudah membantuku sejak lima tahun lalu setelah dia selesai wajib militer” kata Sam, memperkenalkan pria itu.
(ahjushi\=paman/om) (appa\=ayah)
“Nona bisa memanggil saya June” sahut June.
“Panggil aja Kim-jushi” Sam
“Ah..” Luna berdiri lalu membunguk sedikit “Mohon bantuannya Kim-jushi”
June terkekeh canggung, tidak percaya Luna akan ikut-ikut Sam memanggilnya Kim-jushi juga.
“Ternyata June pandai sekali berbahasa Indonesia ya” kata bibi Yuli
“Saya juga keturunan Indonesia, ayah saya berasal dari Bogor” jawab June “Selain itu, saya juga mengambil kuliah jurusan bahasa Indonesia” tambahnya.
“Kim-jushi yang mengajariku bahasa Indonesia beberapa bulan ini” sahut Sam, mendengar itu Luna menatap June kagum.
“Karena sekarang ada June, sepertinya saya bisa pamit pulang” kata bibi Yuli “sebulan lagi saya menikah, jadi harus pulang ke Banyuwangi”
Bibi Yuli ini masih berumur tiga puluh, selama ini terus bekerja dengan Ibunya Luna, tetapi sudah memiliki kekasih. Calon suami bibi Yuli sebenarnya orang Surabaya, namun bibi Yuli berasal dari Banyuwangi, jadi pernikahannya diselenggarakan disana.
“Saya pikir akan meninggalkan non Luna sendirian..” tambah bibi Yuli.
“Jangan khawatir, saya akan menjaga mereka berdua dengan baik, kapan berangkatnya?” June
“Besok sore naik kereta”
“Kalau begitu biar saya antar ke stasiun” June
“Eh? Tidak perlu repot-repot June”
“Tidak repot kok”
Setelah itu pembicaraan terus berlangsung, kebanyakan basa basi saja sih, atau saling menanyakan kabar.
Padahal yang Luna ingin tau adalah... kenapa tiba-tiba Sam bisa kemari?
Dan dari pembicaraan dengan June, sepertinya Sam bukan hanya liburan disini, tapi akan tinggal juga. Malah Sam sudah dipindahkan ke sekolah Luna, tadi saat Sam berada di taman itulah June mengurus kepindahannya.
Luna sudah masuk kamarnya, meletakkan ranselnya di kursi di depan meja belajarnya, lalu duduk di ranjangnya. Saat itulah dia menyadari ada sebuah koper besar warna baby pink tergeletak di lantai.
“Koper siapa ini?” gumam Luna sambil berdiri lalu mendekati koper itu, dia kemudian berjongkok dan memeriksa koper.
Ada tulisan ‘Hwang Jihyun’ dengan huruf hangul tercetak disana.
Ternyata milik Luna, mungkin Sam atau June yang menaruhnya disini.
“Sam!!” panggil Luna, dia berteriak tidak terlalu kencang, namun dia tau Sam pasti mendengarnya karena kamar Sam tepat berada di samping kamarnya.
BRAK
“Kenapa?”
Luna menatap Sam jengkel “bisakah kau membuka pintu dengan lebih lembut?”
Sam malah nyengir lebar, setelah itu menghampiri Luna “Oh! Koper itu untukmu, isinya beberapa oleh-oleh... eum, aku yang memilihkannya untukmu”
Mendengar itu Luna segera membuka koper, dan betapa terkejutnya dia setelah melihat isi koper.
Beberapa baju dan dress yang manis, terlihat sekali jika berasal dari brand terkenal.. pasti mahal. Selain itu ada sepasang sepatu warna putih, untungnya ukuran sepatunya pas... ada juga paket skincare yang terlihat mahal, satu set make up dari brand Korea yang cukup terkenal.
Luna mendongak menatap Sam “Kau memilih semua ini untukku?”
Sam mengangguk antusias “tentu! Dan –” Sam ikut berjongkok di depan Luna, lalu mengeluarkan sebuah kotak dari dalam koper “Aku juga membelikan iphone untukmu! Agar kita punya handphone kembar! hehehe”
Luna menerima Kotak itu tidak percaya.
Sam melanjutkan “Appa menyuruhku membelikan sesuatu untukmu, tapi aku tidak tau apa yang harus ku beri, lalu meminta saran dari followersku – oh! Aku punya banyak followers di IG, jadi aku menerima semua saran mereka dan membelikanmu semua itu”
Luna tertawa mendengar penjelasan Sam barusan, Sam yang bingung hanya menatap Luna tidak mengerti.
“Kenapa tertawa?”
“Habisnya... kau tetap bodoh seperti dulu”
Sam cemberut “Aku gak bodoh ya! Memang aku tidak terlalu pintar dalam belajar.. tapi – tapi aku tidak bod –” Sam menghentikan ucapannya saat Luna tiba-tiba datang padanya dan memeluknya erat.
“Terima kasih... aku menyukai semuanya”
Kemudian Luna melepas pelukannya, mereka berdua tertawa entah apa yang lucu.
“Sebagai balasan.. eum, aku akan mengajakmu jalan-jalan saat weekend nanti”
“Beneran?! Yeay!! Janji loh ya” Sam menyodorkan jari kelingkingnya, yang segera Luna tautkan dengan jari kelingking miliknya “janji”
“Tangan Luna kecil banget ya”
“Tanganmu saja yang kebesaran!”
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!