Apa itu kekuatan?
“Boodoh~! Mana mungkin kau menjadi penyihir!”
“Sihir biasa aja nggak becus!”
Salah. Kalian salah!
“Kembalikan! Kartu Kak Leyse … KEMBALIKAN!!” Sial, mereka menahanku. Membuatku tersungkur tak berdaya di hadapan Irving bodoh itu.
Jadi beginikah kekuatan digunakan?
“Ha? Apa bagusnya kartu lemah begini? Toh enggak keren banget, masih kerenan Sihir Emas!”
“Ya tuh, ya tuh!” seru dua temannya.
Bukan lemah. Tidak ada yang lemah dari Kak Leyse! Kakak sangatlah keren!
Ekspresi Irving mendadak marah, jelas terlihat di mataku. “Apa-apaan wajah itu? Nyoba jadi jagoan? Hah, mana mungkin. Make sihir aja enggak teratur, kombinasimu pada ngawur! Tinggalin aja kartu bodohmu itu!”
Sebisa mungkin aku mencoba lepas dari dua orang yang menahanku. “Apa katamu?!” Aku tak tahan lagi, rasanya enggak sabar untuk memukul kalian. Tapi itu tidak mungkin. Aku kalah kekuatan dengan teman gendutnya ini. “Lepasin oi! Aku ingin menjadi lebih kuat!”
“Sudahlah, dibilang jangan sok jagoan. Kau itu lemah, enggak berguna. Sama seperti kakakmu. Dia pasti curang ngedapatin gelar Archmagus, enggak mungkin pengguna sihir kartu lemah sepertinya bisa dapat!”
“Hahahaha!”
“Huuuu dasar penyihir gagal!”
Sial....
Ini adalah cerita ketika aku enam tahun.
“Sudah mau pergi? Tidak mau. Zale enggak mau itu!” Aku enggan melepas tangan indah kakak.
“Sudahlah ibu, biar Leyse yang menanganinya.” Senyuman kakak terasa hangat.
“Benar….” Dengan wajah percaya ibu menyentuh pundak kakak dan tersenyum. “Aku bangga denganmu, Nak. Sore ini jangan lupa segera kembali ya~!”
“Hehe, Roman nanti bakal kukenalkan kok Bu. Jangan khawatir!”
Bukit East, titik terbawah gunung yang katanya tertinggi di Kerajaan Fyord. Favorit kakak. Biasanya dia membawaku kemari setiap kali dimarahi ibu.
“Bulan purnama yang indah bukan?” Kakak terlihat begitu senang, ekspresinya lebih tenang dari sebelumnya. “Menurut Zale, kuat itu seperti apa?”
“Tentu saja mengalahkan mereka yang mengganggu, terutama Irving! Aku benci anak manja bodoh itu!”
Kakak tidak terlihat mencoba menanggapi jawabanku, malah senyum-senyum saja sembari terus menatap bulan. “Zale.”
“Hmm?” Aku melepas pegangan pada pembatas bukit, memilih memperhatikan sosok cantik di sebelahku.
“Bawalah ini.” Dia memberiku kartu berlambang es, terdapat gambar siluet orang yang duduk memohon. “Gunakanlah jika kamu sudah mengerti makna sesungguhnya dari kekuatan.”
“Artinya menjadi kuat?”
“Kamu tahu kartu ini disebut ‘Seribu Tahun Badai Salju’, juga bisa dipanggil ‘Keabadian Kekuatan’. Aku ... tidak bisa menggunakannya lagi. Jadi, sekarang milikmu. Terimalah.”
Waktu itu aku masih belum memahami perkataannya. Pikiranku mengganggapnya keren dan kesannya kakak hanya merendah. Jadi enggak ada salahnya menerima.
Rasanya begitu senang, seolah aku baru mengalami hal yang luar biasa. “Mmm! Zale janji, akan kubuktikan pada kakak kalau aku juga bisa! Baiklah ... pertama aku harus mengalahkan anak manja itu dan—“
“Hehehe, ya.” Dia mengelus kepalaku sembari tersenyum. “Kakak tak sabar menyaksikannya, berjuanglah ... adikku yang manis.”
Diriku yang enam tahun jelas takkan mengira ... bahwa itulah kesempatan terakhir. Seminggu setelah hari itu, seorang pria dengan muka penuh penyesalan datang menemui ayah dan ibu.
Dia adalah teman kakak.
Dia bilang ini sambil terus merendahkan wajah, “Padahal perang baru saja selesai, bahkan pelantikan Leyse menjadi Archmagus Negara Horoki ... semuanya terjadi secara tak terduga—“
Meskipun aku tahu dia adalah teman kakak, ini adalah perjumpaan pertama kami. Saat itu aku baru saja pulang dari pelatihan bibi. Kalimat tadi menjadi yang pertama terdengar setelah ibu sudah berlutut menutup muka.
Ayah tetap berdiri tegar.
“MAAFKAN AKU! S-Seharusnya aku punya kekuatan yang cukup untuk menghentikannya. Dia bilang bisa mengatasi monster itu sendiri, j-jadi ... aku memutuskan untuk percaya!” Teman kakak mengganti posisi menjadi sujud. “TERNYATA MALAH BERAKHIR SEPERTI INI!! MAAF! MAAF! MAAF!”
Bersamaan dengan jatuhnya kumpulan kartu sihir dari pangkuan lenganku, wajah ayah ketika menyadari keberadaanku, memberiku luka sayat yang lebih menyakitkan dari pengakuan teman kakak.
“Zale!” seru ayah terdengar begitu terkejut dan tak bisa menahan kesedihan yang selama ini ditahannya. Ayah langsung menghampiriku dan hanya menyerukan, “ZALE! ZALE! ZALE—“ Memelukku erat.
“Hei ... ayah, kakak kapan pulangnya? Hei ... HEI!!” Dengan terdiamnya ayah, tanpa kusadari air mata ini mulai ikut mengalir.
Aku tetap saja mencoba bertanya, walaupun selalu tidak ada jawaban darinya yang terus menyerukan nama kakak dengan sedih, bahkan ibu juga semakin tersedu-sedu. Leyse Llyod— Kakak cantikku ... telah meninggal.
Semenjak itulah temannya secara rutin kemari tiap hari hanya untuk minta maaf.
Mungkin larut nanti juga— Sial ... kenapa malah tiba-tiba mengingat kenangan buruk? Segini buntunya ‘kah diriku sekarang?!
Sudah dua tahun semenjak Kak Leyse menghilang. Tak seorang pun tahu mengapa, bahkan tunangan yang harusnya segera menikahinya juga ikut meninggal. Lelucon macam apa ini?
Selama ini aku sudah berusaha memikirkan berbagai cara untuk menjadi kuat. Mulai dari paman, lalu teman kakak, bibi, dan bahkan sepupuku.
Semua tentang sihir kartu kupelajari dan kupraktekkan sekaligus. Kartu piece—jenis mentahan—dan beta-ku—piece yang digabung— berlimpah dan kebanyakan tidak berguna.
Aneh bukan, katanya ini sihir yang mengandalkan pengombinasian kartu?
Aku sama sekali tidak menjadi kuat, selalu berakhir menyakitiku sendiri. Semakin tak menyerah, tahu-tahu sudah tertindas orang lain ... seperti yang terjadi sekarang.
“Lepaskan bodoh! Takkan kubiarkan bangsawan manja sepertimu menghina Kak Leyse!”
“Ha? Mentang-mentang kakakmu mantan orang hebat, bukan berarti bisa merendahkanku dasar rakyat jelata! Kau pikir siapa yang membuat kalian rendahan tetap hidup sampai sekarang? HAH?? Kami! Bangsawan besar Boreas! Aku bisa saja meminta pamanku untuk menghentikan jalur dagang di sini!”
LALU BUAT APA TINGGAL DI SINI BODOH?! MENDING CEPAT MINGGAT BIAR UDARA SEGAR MASUK!
“Mana aku peduli bodoh! Kembalikan itu sekarang juga!”
Sudah seberani itu, nyatanya sekalipun aku tidak mampu lepas dari mereka. Anak yang kuhina tadi langsung menendang wajahku.
Agh!
“Aaah! Membosankan. Pulang saja yuk!” Irving langsung membuang kartuku seperti sampah, tanpa kembali melihat.
“Ya tuh, ya tuh. Penyihir gagal bosenin banget.” Si gendut entah siapa namanya akhirnya mau melepaskanku, termasuk dia yang menahan tangan kiriku.
Tunggu sialan!
“Yakin ninggalin kartunya? Kelihatan kayak benda langka.”
“Lupakan saja, lupakan saja. Tidak ada gunanya menyimpan barang rakyat jelata. Bisa-bisa aku malu bertemu keluargaku.”
“Benar juga, hahahaha!”
Mereka akhirnya pergi.
Kartu pemberian kakak? Syukurlah. Aduh ... keras sekali dia menendang wajahku, sakit tahu!
Seperti kata kalian, mungkin ... aku memang tak berguna. Mimpi ini terlalu tinggi untukku. Maaf, Kak Leyse. Aku mau menyerah.
****
Terdengar suara barang hancur.
Hmm apa??
“TOLONG JANGAN!!”
Ugh– Uhm…? Kok bangun di sini?? Eh…? Ah, aku tadi pingsan, ibu mungkin yang membawaku pulang. Namun....
Setelah turun dari loteng aku menyeru, “Ibu? Semuanya!” Kutengok jam dinding yang biasa terpajang di papan besar penginapan. “Paman-paman yang sering nongkrong di sini mana? Malam harusnya ada yang datang—”
Apa yang terjadi?
“Ternyata masih ada satu tikus di sini.”
Eh…? A-Ada orang! Baru saja keluar dari dapur, pria bersyal dengan … pi-pisau?!
“Hahahaha, kau takkan bisa kabur.”
Siapa dia?!
Seketika pria asing itu mengejar, tanpa ragu menendangku menuju pintu penginapan hingga ambruk keluar. Aku tengkurap merintih kesakitan di atas kepingan-kepingan rusak.
S-sakit…! D-Dingin.
“Ha? Ada apa??”
“ZALE!!”
Ugh … i-ibu?
“Cepatlah bangun bocah ingusan!”
Goh– Ugh– Perutku sakit.
Rasanya barusan ada sesuatu yang menyentuhku, tangan yang lembut. Mengangkat dan memangku kepalaku dengan halus. “Kamu tidak apa-apa Nak?!” tanyanya menunjukkan ekspresi panik dan khawatir.
“Apa yang terjadi?? Kenapa ibu … kalian semua terikat?!”
Seseorang mendekat. Itu pria yang tadi. “Masih belum mengerti juga?” Sial, dia mengangkatku. S-Sesaknya. “Tentu saja menjarah desa kalian!!”
Menjarah? Mana mungkin bisa– Mustahil! Para bangsawan yang menguasai desa dikalahkan?! Mereka yang dibanggakan si sombong itu?! Pada akhirnya kau hanya mengatakan omong kosong, Irving.
Aku bisa melihat wajah takutmu dari sini! Payah sekali.
“BAIKLAH! Penduduk sialan, berikan satu harta berharga kalian! Terutama….” Tanpa peringatan dia membuangku kembali ke pelukan ibu, untuk mendekati anak sialan. “Bocah! Kau anak ingusan dari penguasa sini ‘kan? BERIKAN SEMUANYA!”
Irving berdecih dengan tangan dikepal erat.
“HOI ADA APA? Tidak dengar? CEPAT BAWAKAN SEKARANG!” Barusan dia melempar pisaunya, mengenai pundak seorang kakak laki-laki. Teriakan kesakitannya hanya menambah rasa takut kami. “Aku ini sudah berbaik hati lho,” ucapnya tertahan geram.
“JANGAN BERCANDA!”
Bodoh, Apa yang—
Pria menakutkan seketika melirik ke sumber suara, mencengkeram wajah Irving. “Bocah,” panggilnya bernada mengerikan.
Kau malah memprovokasinya, sekarang mencoba menyerangnya dengan senjata tipis. Bagusnya itu membuatmu terlepas. “Betapa biadabnya! Heh, sayangnya orang tuaku tidak lagi di sini. Aku akan segera pindah dari desa bodoh ini, percuma mencoba merampokku dasar sampah—”
Pimpinan penjahat memukul muka Irving cukup keras. “Oi, oi. Daripada mengayunkan mainan itu, sebagai gantinya berikan milikmu padaku.” Dengan santai mengelap darah lemah pada pipi, dia seolah tak merasakan apa pun. “Kau bangsawan bukan?”
Irving sama sekali tidak mendengarkan. Tetap menghunus senjatanya pada pria menakutkan itu. Anak sialan itu, masih saja keras kepala. Kau bisa mati tahu!
“Zale? Kamu jangan bergerak Nak, nanti penjahatnya sadar.”
Para penduduk sibuk memberikan hartanya. Sedangkan aku ... kenapa tidak bisa berhenti melihatnya?!
“Jangan remehkan aku, rendahan! Kau akan menyesal pernah menghadapi seorang dari Boreas, rasakan sihir terkuatku! Iris Sigma!”
H-Hebat, huruf ‘m’ merah terbalik itu mendorongnya hingga jatuh. Itu pasti sihir gambarnya. Apa dia berhasil?
“Ya ampun. Benar-benar anak nakal.”
“M-MUSTAHIL....” Irving terjatuh duduk, kakinya gemetaran dan wajahnya menunjukkan keputusasaan. “Padahal aku sudah mengerahkan semuanya, tapi kenapa??”
Bodoh, sudah kubilang kau takkan menang! Irving!
“Aaaaaa, berakhir sudah!”
“Anak itu akan dibunuh!”
Lihatlah perbuatanmu, mereka jadi putus asa! Menderita gara-gara kebanggaan bodohmu.
Dia sudah berakhir, tidak ada yang bisa menolongnya. Tak seorang pun? Bukankah aku masih— Tidak apa yang kupikirkan?! Aku membencinya! Kenapa harus—
“Mau ke mana Zale? Jangan Nak!”
Reflek kukeluarkan kartu acak yang kebetulan di saku dengan jepitan dua jari. Menarik napas lalu memusatkan energi sihir menuju sampulnya, di saat itu juga bersinar terang kemerahan.
“JANGAN!!!”
Kurem momentum ketika lari ini, kemudian tanpa ragu menghadapkan bagian depan kartu. “HOAAAAAHH!! Crimson Force!”
Di tengah hampir melancarkan pisaunya, pria menakutkan itu berhasil kualihkan. “HA—”
AYOOOO!!
Karena ini pertama kalinya kugunakan dengan kekuatan penuh, dampak ledakan membuat sekitar—termasuk aku sendiri—terhempas, tertutup kabut asap dan dedebuan.
Nghh....
“Uhuh, uhuk. Siapa yang menghalangiku?!”
“Aku,” ucapku percaya diri dan berani ketika baru bangkit.
Semuanya akan jelas saat asap ini hilang. Di saat itu terjadi, lokasi semua orang sepenuhnya terlihat. Pria menakutkan tadi cukup jauh, sedangkan aku membelakangi Irving.
“Kau … bocah yang tadi. APA YANG KAU LAKUKAN?”
“AKU TIDAK MENGERTI!! Tubuhku bergerak sendiri!!”
Sial, kenapa malah jadi begini? KENAPA??
“HAH?? JANGAN MAIN-MAIN DENGANKU BOCAH!!”
Aku bodoh!! AKU AKAN MATI, AKU AKAN MATI, AKU AKAN—
“Tindakan bagus, adik kecil.”
Eh— Suara itu….
“OI SIAPA KAU— AGHHH!!!”
“ARGGHH!!”
Apa yang ter– EH?? M-M-Mereka ... mereka diterbangkan!
“AAAAAAA!!!”
“Aurelius!”
T-Temannya kakak? Dia yang menerbangkan mereka?! Hebat!
“Tornado emas itu…,” gumam pria menakutkan, dia menganga bingung dan sedikit melangkah mundur. “KENAPA EL DORADO DI SINI?!”
Dorado...? Jadi itu nama kakak yang selalu berkunjung untuk minta maaf— DIA TERNYATA ARCHMAGUS TERKENAL ITU?!
“Minggir, minggir!”
“K-kuat sekali….” Salah satu anak buah pria menakutkan barusan jatuh ke sini, langsung pingsan begitu melihat bosnya sebentar.
“Tidak salah lagi, itu dia! Jangan-jangan— Ketahuan? Orang itu tahu tujuanku yang sebenarnya?!”
Tujuan sebenarnya?
“Berhenti!! Berani-beraninya kau!” Dia bersama lima orang yang tersisa menghalangi Dorado.
Enggak kelihatan! Dia dan mereka yang pingsan menghalangi pandanganku!
“Hoo yakin nih main keroyokan? Kuterima tantangannya!”
“Hyaaaaaah– Gaaah!”
“AGGGHH!!”
“Granderevere.”
Apa-apaan kekuatannya itu? Tiga orang itu terbanting gila. Tanahnya sampai retak!
Ada satu yang masih bertahan. “Ya ampun, kau dan kau. Tidak berguna sama sekali.” Senjata itu, sama seperti yang dipakai anak sialan itu.
“Ayo– Yo– Ayo– Ada apa? Bisa pakai senjatamu tidak?”
Aku tak percaya tusukan secepat itu tidak ada yang kena! Dia bukan manusia.
“Apa, sudah lelah? Bahkan kau lebih buruk dari anak itu.” Setelah melirik Irving, dengan mudahnya dia menumbangkan musuh sekali pukulan tengkuk leher.
“PENYIHIR EMAS!” Sial, tanpa kusadari dia menangkapku. “Berani mendekat, kepala anak ini putus!”
“Apa-apaan wajah takut itu? Yang tadi pergi ke mana ... adik kecil?”
Apa yang dia katakan?
“Tidak mungkin. Aku takkan bisa menang!”
Cepat tolong aku!
Bukannya bertindak, orang itu malah duduk sekarang. “Hah … ini merepotkan.” Orang ini, dari tadi mengatakan sesuatu yang aneh. Nyawaku dalam bahaya lho. “Coba bebas sendiri.”
“HAH??”
“Hahahahaha, yakin mau anak ini mati?”
“Kau penyihir bukan? Jangan cengeng terus, coba jalan sendiri.”
“Itu mustahil. Aku hanyalah penyihir gagal, sihir yang kupakai tadi saja meledakkanku. Aku benar-benar lemah dan tak berguna–”
“MEMANGNYA KENAPA GAGAL?”
I-itu….
“Tidak bisa lari? Jalanlah sekuat tenaga! Tidak bisa renang? Mengapunglah! Tidak bisa sihir? Gunakan tanganmu! Di dunia ini, setiap penyihir itu memiliki perannya masing-masing. BAHKAN PENYIHIR GAGAL PUN!!”
“Maksudnya aku selamanya menjadi pecundang?”
“BUKAN!!” Aku tidak mengerti ini. Orang itu berdiri, mengacak-ngacak rambutnya sendiri. “Haaaaahh!! Ngeluh ini ngeluh itu terus. Mau sampai kapan merengek terus, adik kecil. Jadilah penyihir gagal yang hebat saja!!”
P-Penyihir gagal hebat…? Aku bisa hebat? Tidak mungkin, karena itu—
“KAU BISA! Buktinya sifat heroikmu tadi!”
S-Sifat heroik…?
“Kau … bocah yang tadi. APA YANG KAU LAKUKAN?”
“AKU TIDAK MENGERTI!! Tubuhku bergerak sendiri!!”
Aku??
Seperti kata kalian, mungkin ... aku memang tak berguna. Mimpi ini terlalu tinggi untukku. Maaf, Kak Leyse. Aku mau menyerah.
K-Kak Leyse! Aku … aku!
“….”
APA YANG KULAKUKAN?! Kakak mempercayaiku, bahkan orang itu. Tapi aku … malah memikirkan hal bodoh!
“Berjuanglah ... adikku yang manis.”
BENAR! Aku harusnya jangan menyerah. Bukankah kau ingin memenuhi harapannya? Bukankah kau ingin tahu makna sebenarnya dari kekuatan!?
“Sejak tadi, apa yang kalian bicarakan?” Pria menakutkan makin mendekatkan pisau pada leherku. “Jangan salahkan aku kau mati tanpa menyadari kesiasiaan perjuanganmu!”
“Oh gitu.” Aku tidak peduli ini melukaiku, pokoknya harus bisa lepas. “Crimson Force!”
“Apa— “
*Duar!!*
Benar, Zale. Inilah yang seharusnya kau lakukan sejak awal. Menyerah bukanlah pilihan. Orang itu … kenapa sejauh itu untukku? Berkatmu mataku sepenuhnya terbuka, tidak ada lagi merengek tidak bisa.
Aku telah berubah!
“Haha, rasakan itu sialaaaan!” seruku dengan air mata mengalir deras.
Pria menakutkan hilang tanpa jejak dibalik asap ledakan, aku tahu dia belum kalah. Sejam kemudian pasukan kerajaan datang menangkap penjahat yang tersisa, memberi perawatan kepada warga terluka.
Termasuk bangsawan itu.
Itulah cerita pertemuanku dengan orang yang mengubah jalan pikiranku. Setelah kejadian itu dia berhenti berkunjung untuk minta maaf. Pada akhirnya selama tujuh tahun ini, satu-satunya pesan darinya hanyalah kalimat tak bertanggung jawab.
‘Menjadi kuat, tidak seperti yang kau bayangkan lho, adik kecil! Apa buktinya? Coba rasakan dan ingat-ingat kembali dirimu saat ini ketika berhasil— Dengan begitu.... ’
Aku tidak mengerti, dipaksakan pun rasanya mustahil. Namun....
Hari ini 12 Juni 1315 Kalender Arcadia. Sekarang, di hadapan sekolah sihir Eisenwald— Akhirnya ... datang juga hari yang dinantikan ini! Pasti akan banyak halangan dan hal baru yang menemuiku nanti.
Meski belum mengerti, aku sudah tahu apa yang harus dilakukan. Itu….
“Aku lakukan, mau itu menemukan arti kekuatan atau kakak— Akan kubuktikan kalau aku juga bisa menjadi sesuatu! Bersinar seperti Kak Leyse.”
Ini adalah ceritaku.
To Be Continued….
Hah … kukira jadi lebih baik. Ini sudah seminggu.
“Uwah, itu si ledakan.”
“Aku tahu, aku tahu. Orang yang selalu meledak setiap kali menggunakan sihirnya ‘kan? Nggak kusangka orangnya suka tiduran di tempat kotor seperti itu.”
Apa-apaan sih? Pagi-pagi sudah ngomongin orang. Tempat ini tidak kotor! Nggak sopan banget. Tidur di bawah pohon itu kegiatan mengenakkan dan nyaman! Kalian punya masalah denganku?
“Hus, hus. Ganggu orang tidur saja.” Sekalian kuperjelas dengan gerakan tangan.
Tidak masalah jika yang melakukan hanya satu atau dua orang saja. Lah ini? Setiap dilewati selalu mendapat hal sama. Begitu kuusir malah ditertawakan terus. Maunya apa sih?
Padahal aku punya harapan besar dengan sekolah ini. Bahkan kakak dan orang itu sama-sama memulai rute Archmagus mereka di sini. Kukira aku segera mendapatkan sesuatu, nyatanya celaan saja.
Jadinya buat apa aku pindah ke tempat paman?
Kata paman aku bebas tinggal di rumahnya yang merupakan toko buku Ibukota Fyodor. Kadang-kadang dia datang untuk menanyakan soal bisnis dan kehidupanku. Setelah itu pergi entah ke mana.
Kira-kira beginilah hidupku sekarang. Pagi sekolah, siang sampai sore kerja. Memang tidak buruk, tapi rasanya lama-lama cukup bosan.
Kartu pemberian kakak, ‘Seribu Tahun Badai Salju’— Percuma! Diamati sambil tidur takkan membuat siapa pun mengerti! Apa benar-benar hanya bisa digunakan jika aku sudah cukup kuat?
Waktu itu aku memang masih kecil, tapi sekarang aku merasa ada yang Kak Leyse rahasiakan. Ternyata dia payah ketika cari-cari alasan.
Sial, mikirin mau bagaimanakan sihirku saja sudah bikin pusing, apalagi soal biaya hidup! Hah ... bulan ini cuma 500 Feld. Waktunya hemat dan jangan beli kartu terus.
“Ah, sudahlah. Waktunya ke kelas,” gumamku sembari bangkit dari tidur. Tidak lupa membersihkan celana sebelum jalan.
Tidak, bukan berarti aku percaya tempat yang kutiduri itu kotor. Ini normal dilakukan.
“Oh, ledakan. Selamat pagi. Ngambek seperti biasa?” Lagi-lagi orang ini menyindirku, ditambah tepukan punggung yang menyebalkan.
Dia Yuba Octavius Greissman. Terdengar seperti nama bangsawan bukan? Ada juga tipe sepertinya, tidak menjelekkanku dan malah sok akrab. Mungkin ini yang disebut ‘keramahan’.
Entahlah, aku tidak tahu orang ini benar-benar bangsawan atau bukan. Lagipula aku benci mereka.
“Pagi juga,” jawabku sedikit senang. Aku mempercepat langkah kakiku agar segera mencapai gedung sekolah.
Gedung ini berlantai tiga, masing-masing ditempati beda tahun. Kelasku tentu di lantai pertama. C-1 atau Kelas Orang Biasa Ruang Satu. Paling ujung kiri, dekat tangga dan kantor guru. Lebih cepat dicapai kalau tadi masuk lewat pintu dari halaman sekolah.
Karena banyak orang berkumpul, makanya aku sengaja tidak lewat sana.
Mengabaikan anak sebayaku yang berlalu-lalang di sekitar, kulewati mereka semua. Takkan kujawab meski kalian memanggil, aku lagi tidak ingin bicara sekarang.
“Nak Llyod, bisa minta waktunya sebentar?”
Hmm? Beda cerita jika orang ini. Wali kelasku, Fredrick Streusen.
Kantor guru, ini pertama kalinya aku masuk ke sini. Ternyata tidak seluas seperti yang kubayangkan. Cukup sempit, rasanya siapa pun dapat dengan mudah kepanasan. Mendadak aku kasihan dengan para guru di sini.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sopan kepada pria paruh baya yang sedang memilah barang di atas mejanya.
“Tolong ambil kotak di bawah.”
“Ini?” Kutunjukkan isi kotaknya agar dia yakin dengan pilihannya.
“Benar, benar. Itu merupakan lencana kita. Akademi Sihir Eisenwald memilih Phoenix sebagai identitasnya, dengan mengenakannya kamu dan teman-temanmu akan resmi menjadi murid di sini. Tolong bagikan ke kelas ya?”
Aku garuk-garuk kepala. “Tunggu Pak Fredrick, bukankah minggu lalu kami sudah mendapat segel identitas dari Bu Fusha?”
Bu Fusha adalah Wakil Kepala Sekolah, wanita ini mengajar matematika di kelasku.
“Apa yang kamu katakan? Segel yang dipasang Bu Fusha tak lain untuk memudahkan identifikasi oleh sekolah, sehingga kita bisa mencegah kasus penyusupan.” Pak Fredrick memungut salah satu lencana. “Ini ... adalah bukti untuk membuat masyarakat percaya, biarkanlah dunia mengenal kalian.”
“Oh, masuk akal.” Aku menerima lencana yang barusan beliau beri, kupasang pada dada kananku.
“Bagaimana hari-harimu di sekolah?” tanyanya setelah menyedu secangkir kopi. “Rasanya nostalgia, bicara denganmu di sini seolah mengingatkanku pada kakakmu.” Minumannya disedu lagi. “Dijuluki penyihir gagal yang lemah dan tidak punya satu pun teman.”
“Eh? Seriusan Pak?!”
K-Kak Leyse ... dulunya tidak punya teman? Sama?
“Ya. Setelah cukup lama, akhirnya Leyse mampu melewati semuanya dengan sabar. Mirip sekali, rasanya seperti melihat dirinya dalam versi laki-laki.” Pak guru kini memegang pundakku, tersenyum setulus itu. “Kamu benar-benar adiknya ya.”
Kutunjukkan senyuman, serius aku sangat senang sekarang. “Aku pasti akan menemukannya!” seruku sembari mengepal tangan kanan. “Ketika itu terjadi ... kubiarkan Anda mengetahuinya.”
“Hehe, semangat masa muda memang menggairahkan. Berjuanglah Zale, bapak yakin ... lambat laun semua orang menerimamu. Tidak ada yang salah dari payah!”
Pak Fredrick adalah orang yang baik. Terima kasih mau memperhatikanku dan … Kak Leyse. Mungkin selama tiga tahun ini aku akan banyak merepotkannya. Kurasa kehidupan sekolah ini tidak sepenuhnya buruk.
****
“Oi, kalian! Ada barang dari Pak Fredrick. Jangan diilangin lho!”
Untung mereka sudah masuk semua, tidak perlu khawatir mencari ke mana-mana. Tanpa menanggapi perkataan, kubagi lencana dan kegunaannya. Kulakukan cepat, aku ingin segera duduk.
Tinggal mereka saja. Orang yang tadi menyindirku dan … gadis cantik! Yuba dan Chloe. Makin akrab saja kalian, pacaran ‘kah?
“Oho! Bukannya ini si ledakan? Tadi dari mana? Kupikir kau sampai di kelas duluan.” Mendengar ucapannya saja sudah membuatku kesal.
“Pagi, Llyod.” K-kalau ini tidak masalah, gadis manis tidaklah berdosa.
“Ini, tinggal kalian saja yang belum. Pak Fredrick yang menyuruhku membagikannya, kenakanlah.”
Aku tidak sedang mengigau, ini benar-benar membuatku penasaran. Tak salah lagi mereka berdua ini bangsawan. Kenapa memilih kelas orang biasa ini?
“Terima kasih~!” ucap Chloe dengan halus dan senyuman.
“He … jadi ini yang namanya lencana pengenal. Bukankah sangat keren? Meletakkan simbol Phoenix ini di dada. Hehe makasih~!”
Yah aku tidak berhak menanyakannya, bisa apa orang asing sepertiku?
“Kalian berdua, gurunya sudah datang,” ujar Chloe sembari menunjuk.
Ah beneran, barusan tiba di mejanya.
Keadaan kelas yang semula ramai dan acak-acakan, menjadi sunyi dan rapi. Setelah itu ketua kelas memimpin ucapan selamat pagi, lalu jam pelajaran dimulai.
“Selamat pagi semuanya. Baik langsung saja— Ingat pembahasan kemarin kamis?” Pak guru menunjuk seorang siswi deretan bangku timur.
Dia pun berdiri dan segera menjawab, “Jenis-jenis sihir Pak!” Kemudian dengan sopan duduk kembali.
“Benar. Seperti yang kalian ketahui, ada empat jenisnya. Dasar, Lanjutan, Kuno, dan Alat Sihir.” Pak Movano Stradeus, guru teknik menunjukku. “Llyod, bisakah kamu jabarkan pengertian tingkat menengah?”
Inimah gampang! Soal pelajaran aku yakin nggak ada yang bisa ngalahin— Ehm ... dalam praktek mungkin iya. Mendadak aku merasa malu tanpa alasan.
“Sihir tidak sulit dan tak mudah, ini adalah jenis kompleks yang membutuhkan penguasaan dasar seperti kontrol dan pendeteksian agar bisa menggunakannya.” Tentu saja pengandaian itu hanya contoh.
“Lalu sihir kartumu itu termasuk apa?”
“Sekilas terlihat seperti alat sihir, tapi bukan. Sihir kartu adalah medium yang menyimpan ‘sihir lain’ dan sebenarnya termasuk sihir ruang. Karena sifat universal seperti harus merapal mantra, oleh Asosiasi Penyihir, Prominence, sihir kartu diberi identitasnya sendiri.
Jadi termasuk lanjutan. Tipenya sendiri terbagi jadi dua, Piece atau gampangnya ‘kartu mentahan’ dan Beta, kumpulan piece yang dijadikan satu. Penyihir diharuskan memainkan strategi suportif dan mencari momen tepat untuk mengandalkan kartu kombinasi demi kemenangan.”
Memang memalukan untuk dikatakan. Meskipun hobi membaca, aku kesulitan mengaplikasikan apa yang diajarkan. Mungkin aku tidak berbakat.
Ampun deh.
“Bagus, kamu boleh duduk.” Pak Movano berdehem. “Baiklah sekarang buka halaman 12, hari ini kita mulai mempelajari—“
****
“MEMANGNYA KENAPA GAGAL?”
“KAU BISA! Buktinya sifat heroikmu tadi!”
S-sifat heroik–
Aduh, kepalaku terbentur sesuatu! Ehm…?
“Oi, kau tidak apa?”
“Ah–”
Yang tadi mimpi? Ternyata tanpa sadar aku tertidur.
“Bukan apa-apa, barusan aku bermimpi.” Kusegera berdiri, tak bisa menahan tanganku yang mengusap kepala ini.
“Benarkah?” Dia terdengar tak yakin. “Ngomong-ngomong jam istirahatnya baru saja mulai.”
Ohh! Terima kasih teman sebangku yang tidak kukenal!
“Sampai nanti,” pamitku kepadanya, segera jalan tanpa ada niatan memperhatikan maupun mendengar respon.
Gawat, lupa bawa uang.
Pasti tertinggal saat bersih-bersih kamar tadi pagi. Hah … padahal menu hari ini merupakan favoritku. Mending lihat pemandangan dari jendela halaman saja.
Tidak buruk melihat sekumpulan anak bertukar tawa dan sebagainya. Paling terpenting adalah pemandangan ini! Pohon besar tempatku tiduran, hiliran angin sejuk dan taman indah yang enak dipandang.
Penyihir gagal dan sesuatu tentang ‘Ledakan’, padahal aku hanya berusaha semaksimal mungkin. Bodohnya diriku memutuskan hanya menggunakan Crimson Force untuk lulus tes masuk.
Waktu itu hampir saja....
“Selanjutnya, Zale Llyod!”
Area luas tanpa apa pun selain tembok putih ini adalah tempat tes terakhir. Setelah dipanggil, aku pun keluar dari barisan melintang, menuju hadapan target latihan yang bergerak.
Syarat untuk lulus hanya satu, gunakan sihir secara minimal lalu arahkan pada bagian tengah. Kesempatan ada tiga. Sesederhana itu, tapi ... aku mengacaukannya.
“Akan kutunjukkan buah latihanku selama ini, begini-begini penyihir gagal bisa jadi keren!” Tarik napas lalu menepuk pelan kedua pipi, aku pun sepenuhnya siap. “Ini dia...!”
Kuhentakkan kaki kanan ke depan, menguatkan pinggul dan mengeratkan jepitan dua jari pada pojokan kartu. Seperti teorinya aku pun mengarahkan sampul tepat ke tengah, kemudian segera merapal mantra.
Dan duar! Aku pun ‘meledak’ dan jadi bahan tertawaan para anak baru, termasuk kakak kelas yang ada. Yah ... meskipun entah bagaimana aku bisa lulus. Rupanya ledakan membuat lantai retak dan secara kebetulan serpihannya melesat mengenai target.
Yang beginian masih termasuk minimal? Aneh banget standar penilaian guru itu, lagian siapa pun barusnya tahu kalau cuma kebetulan!?
Memalukan, harusnya waktu itu pakai yang sudah kukuasai saja. Sikap sombong sepertinya sudah memberiku pelajaran berharga. Aku mungkin pintar, tapi ternyata bodoh?
Haha mungkin saja.
“Hei.”
Ada yang memanggilku? Selain itu energi ini terasa familiar ... masa dia? Tidak, tapikan aku tidak pernah tahu ke mana keluarganya pindah. Entahlah. Namun, jelas-jelas bau masalah baru.
“Akhirnya sadar juga, padahal dari tadi sudah kutunggu berbalik. Kurasa bertambah dewasa tidak menghilangkan perilaku tak bermartabatmu, rakyat jelata rendahan!”
Nah ‘kan muncul, masalah.
“Apa yang kau inginkan, Irving?”
Ya, Irving sama seperti dulu. Pengganggu dan anak bangsawan yang kelewat sombong. Dua orang itu masih saja berteman dengannya, si gendut dan siapalah itu.
“Ha? Kau pikir posisi kita sama karena satu sekolah? TIDAK! Penyihir rendahan, tetaplah rendahan! Aku sekalipun tidak pernah melupakan penghinaan itu, kau pikir bisa mendapat simpati setelah menyelamatkanku? Benar-benar lancang, RAKYAT JELATA!”
Apa yang dia katakan? Dia marah soal kejadian itu?
“Apa anak sialan?! Sejak dulu kau tak pernah berubah! Kau makin sombong dan berisik saja, sudahlah hentikan itu.” Kuhampiri dia untuk meminta jabat tangan, aku serius berniat baikan.
“Ini maksudnya apa?”
Tentu saja permintaan damai! Apa lagi?
“Jangan harap bisa bersalaman denganku, penyihir gagal!” Dengan kasar dia menampar tanganku, cukup keras sampai bisa didengar anak-anak sekitar.
“Benar, benar! Kau seratus tahun terlalu cepat untuk berjabatan tangan dengan Tuan Muda kami!”
“Bersihkan dulu tangan kotormu itu, hahahaha!”
“Hahaha!”
Berisik! Mau sampai kapan kalian terus menjadi penjilat? Dasar tak berpendirian.
“Baiklah jika itu maumu, aku tidak punya waktu bermain denganmu. Sampai nanti.”
“Mau ke mana, siapa bilang boleh pergi?”
“Hah? Kenapa aku harus mendengarkanmu? Terserah aku mau melakukan apa, bodoh!”
“Kubilang aku ini tidak memaafkanmu!” Dia meraih pundakku, dengan paksa memutar balik diriku. Menarik kerah baju dan menatapku dengan wajah murka sombong. “Bertarunglah denganku sekarang juga, akan kubuktikan siapa pecundang sebenarnya!”
“Omong kosong, aku lelah denganmu. Biarkan aku pergi!”
“Jangan kabur lho. Aku sudah repot-repot mendapat izin demi balas dendamku!”
“Izin?”
Apa ini? Kok tiba-tiba ramai? Kenapa mereka seperti sedang memberi jalan?
“Oi, bukannya itu Page Hour?”
“Eh beneran!”
“Untuk seukuran gadis dia tinggi juga, cantik lagi.”
“Apa yang dilakukan anak kelas tiga sepertinya di sini?”
“Jadi dia salah satu sepuluh akar jenius itu?”
Page Hour? Oh dia yang mendekat itu. Sepuluh akar apa?
“Anak itu benar. Kalian sudah mendapat izin dari Kepala Sekolah, akulah yang akan mengawasi pertarunganmu.”
Uwah apa-apaan kakak cantik ini? Dilihat dari dekat dia jauh lebih tinggi dariku.
Dia mengenakan pakaian bernuansa pustakawan, monocle pada mata kiri dan buku di himpitan lengan kanannya membuktikan asumsiku. Rambut ikat panjang abu-abu sangat cocok dengan mata ungunya.
“Begitulah katanya, dengan begini kau tidak bisa menolak!”
Bertarung ‘kah? Siapa takut! Saat yang tepat untuk mengetes sihir baruku. Apakah dengan Takedown—Sihir pemerkuat fisik yang katanya alternatif terbaik untuk si payah kartu—aku bisa mengalahkannya?
Apa pun itu, aku tak sabar menghajarnya hingga bonyok!
Aku pun tersenyum semangat, mendaratkan pukulan pada telapak kiri. “Baiklah, kenapa tidak? Ingin membuktikan siapa pecundang? Sepertinya kau perlu melihat dirimu lagi, dasar bodoh!”
To be Continued….
Jadi ini arena latihannya? Cukup besar, tidak seperti yang kubayangkan. Siapa pun bisa bertarung lepas. Itu bagus!
Bagaimana dengan penonton? Tempat ini pada dasarnya arena pertarungan yang ada di mana pun, mereka tentu ada di kursi khusus. Jumlahnya mungkin semua yang melihat tadi.
Aula Phoenix, terletak terpisah dari semua gedung kelas. Dekat gerbang masuk pada ujung selatan dan biasa didatangi para siswa untuk menyelesaikan masalah, maupun sekedar latihan.
“Kakak, wasitnya ‘kan?”
Woah, caranya mengangkat Monocle dan membuka buku itu keren! Kupikir dia orang yang cukup estetik. “Ya. Sebelum itu, aku Page Hour. Di saat-saat seperti ini, aku akan selalu berperan sebagai wasit. Itu kriteria yang diberikan Kepala Sekolah padaku.”
Begitu ya, sederhananya jika ingin bertarung maka datangi Page Hour.
“Lalu bagaimana caramu menjadi wasit?” Aku yakin anak sialan seberang sana juga mau menanyakannya, harga dirimu seakan menekanmu untuk tidak bertanya.
“Lihat buku ini?” Tangan kanannya mengambil pena bulu dari sampul depan. “Talisman, dengan ini aku dapat memanipulasi keadaan setiap benda selama waktu tertentu.” Dia mulai menulis sesuatu. “Contohnya ini.”
Sesuatu yang sulit dipercaya terjadi setelah senior menjentikkan jarinya. Arenanya dikitari penghalang putih. Selain itu, yang terjadi ... partikel cahaya mencoba menempel padaku.
Hebat! Talisman sihir yang menarik juga, apa mungkin begini karena dialah penggunanya? Kekuatan besar pasti memiliki batas.
“Jangan khawatir. Lux Valhalla membuat kalian tidak mendapat luka selama sejam. Rasa sakit masih bisa dirasakan, jadi tolong jangan terlalu terbawa suasana ya.”
Aku yakin bukunya tidak memiliki kemampuan untuk menghidupkan seseorang, hal begini memang sulit dicari solusinya. Kakak....
“Begitu. Lalu penghalang putih di sana berguna sebagai pelindung penonton, bukan?”
Senior Page hanya mengangguk. Masuk akal jika memang untuk itu.
“Sihir yang hebat,” ucapku dengan nada kagum. Aku serius.
”Sampai sini saja, aku akan mengamati dari sana.” Wujudnya tiba-tiba hilang, muncul kembali–ditandai dengan suara–di blok penonton kosong. “Mulailah.”
Itulah katanya. Apa pilihanmu, Irving? Tentu aku takkan berhenti, sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.
Karena itulah aku berani memprovokasi, menyuruhnya duluan melalui isyarat tangan. Dengan semangat. Jika tidak dia takkan kepanasan.
“Rakyat jelata sepertimu, sok belagu!” Dia terpancing. Bagus, segera keluarkan Rapier itu dan majulah. “Jangan pikir aku sama seperti dulu.”
Segera kusiapkan dua kartu di kedua tangan. “Itu juga berlaku untukku, bo~doh!”
Delapan tahun, kira-kira seberapa jauh perbedaan kami?
Akhirnya pertarungan dimulai. Diawali tusukan beruntun padaku, dia makin cepat setelah beberapa tahun ini. Aku takkan bisa terus-terusan menghindar, aku harus membalasnya!
Tidak bisa, dia tidak memberiku celah sama sekali—Bersabarlah Takedown ... sekarang bukan giliranmu, biarkan pirang belagu ini menunjukkan semua perkembangannya.
Bagaimana perasaannya jika ekspetasinya dihancurkan?
Ketika memikirkannya itu membuatku tersenyum bersemangat.
“Mau sampai kapan berlaku pecundang, rakyat jelata?” Tentu saja dia kesal, mengetahui diriku yang dari tadi belum menyerang. “Fritz Estelle.”
Gwah— Ogh! Ini sihir angin, sejak kapan belajar—
Tusukan lurus memutar ini mengenaiku telak! Cepat dan akurat, dampaknya diperburuk energi dorong yang seperti baru meledak. Aku pun terpental menghantam batas arena.
“Sakit, tapi….” Dengan entengnya aku bangkit kembali.
Kurasa itu tidak membuatnya begitu kaget.
Kuputuskan menyerang duluan kali ini, sudah cukup main-main sebagai pengamat. Temukan titik butanya dan perlahan biasakan mata dengan kecepatan teknik anginnya!
“Mau tak mau harus kugunakan.” Benar. Meski berarti melukai diri sendiri, aku tak peduli. Rasakan ledakan yang selalu kau buat lelucon ini. “Pocket Flambage—“
“Siapa juga yang mau kena.”
Dia mengetahui rencanaku?! Aku mengacaukannya—
“Agggh!” Aku tersungkur dipenuhi noda kehitaman, rasanya seperti melenyapkan setengah tubuh. “Sakit—“ Tubuhku terasa keras dan enggan untuk digerakkan, dipaksa pun hanya membuatku terlihat seperti kakek-kakek yang encok.
Ledakannya memang tidak sebesar Crimson Force, tapi satu ini lebih menyakitkan karena lebih terfokus.
“Hahahahaha!!”
“Orangnya beneran meledak! Konyol banget.”
“Kami datang untuk menonton pertarungan, bukan sirkus!!”
“Wooh, itu dia si ledakan yang terkenal itu!”
“Wahahahaha dia seperti badut saja!”
Nghh ... berkatalah sesuka kalian, ini tidak— Tidak sebanding dengan perampok menakutkan itu.
Karena itulah aku bangkit, sebelum asap ledakan menghilang. Setelah terjadi akan kucoba bertingkah keren, menunjuk diri dengan jempol sembari tersenyum percaya diri.
Tidak lupa mata berbinar.
‘Haha, gimana tuh??’ begitulah.
“Ngapain sok keren begitu? Kau hanya membuat dirimu terlihat bodoh, orang lemah yang bahkan tidak bisa mengendalikan sihirnya!” serunya sembari menghunuskan senjata, lebih marah dari sebelumnya.
“Heh, aku tahu itu kok!” seruku percaya diri.
Itu memang kataku. Dia benar-benar jauh lebih kuat sekarang. Seperti yang diharapkan dari anak bangsawan besar, kau sepertinya dilatih ketat oleh keluargamu— Hanya satu serangan, sekali serang.
Momen itu saja cukup untuk memberiku momentum. Tidak, bukan berarti aku mengakuinya lebih hebat dariku! Kelemahanmu ... terlihat jelas!
“Jangan terlalu terbawa suasana. Irving, sudah kuputuskan….” Mengabaikan lancipan Rapier di hadapanku, kutunjuk dirinya seperti ingin menciptakan kesan intens. “Setelah ini— Dalam sekali serang, kau akan kubuat berakhir di rumah sakit!”
“Kok dia seperti sedang meremehkannya!?”
“Apa yang kau katakan penyihir gagal!?”
“Mana bisa!!”
“Hahahaha si ledakan kehilangan akalnya!!”
Kalian mungkin marah, tapi tidak bisa dibandingkan dengan orang ini. Lihatlah! Tangannya gemetar mengepal keras, gigi geram dan urat otot dahi kesal itu. Kata-kataku membuatnya meledak.
“Sekali serang? Kau? Rakyat jelata lemah sepertimu??” Awalnya tingkat marahnya terlihat biasa saja “JANGAN MAIN-MAIN DENGANKU!!” Beginilah hasilnya, gara-gara itu serangannya jauh lebih agresif sekarang.
Ngh– Ugh, ngh. Luar biasa, tusukannya makin lagi! Sama sekali tidak memberiku waktu istirahat. Bahkan aku tidak bisa lolos meski harus mundur.
Kuda-kuda ini, pasti sihir itu. Yang ditunjukkannya saat melawan bos perampok. “Iris Sigma : Devoltration.”
Apa— Ugh?!
Benda mirip sigma mendorongku hingga batas arena, terjebak di sana seperti tengah terbelenggu. Padahal bara api pada ujungnya sudah cukup membuatku kepanasan, malah ditambah sengatan listrik—
“AKKHHHH!!!!”
“HANGUSLAH MENJADI ABU!!” Makin keras nada suaranya, makin hebat efek sengatan listrik.
“AAAGGHHH!!!”
S-sial, aku tidak lolos— Ogh— Uhuk!
Aku barusan bebas, tapi sayang tubuhku tak mampu menolak untuk tumbang. Rasanya mati rasa dan mengacaukan isi kepala.
….
“Hmph, sepertinya ini akhirnya.”
Kata-kata itu, sontak membuatnya dibanjiri sorakan dan kemeriahan penonton.
“WOOOOHH!!!”
“Akhirnya si ledakan tumbang!!”
B-berisik … ahh, suara nyaring ini tidak berhenti—
“Yah, aku tahu semuanya bakal terjadi seperti ini.”
“Huuuuu!!! Rasakan itu, makanya jangan sombong bodoh!!”
Berisik…!
“IRVING! IRVING! IRVING!”
Aku bisa mendengarnya, sorakan percaya diri mereka. Sangat memenuhi arena, siapa saja tak dapat mendengar hal lain selain ini.
*Ngiiing*
Tidak, belum berakhir. Aku belum menunjukkan perkembanganku! Masih ... Takedown ini menunggu jam terbangnya! Sekarang ‘lah saat yang tepat untuk melakukannya!
“IRVING! IRVING— “
“Oi, oi, oi, oi. Dia bangun tuh?!”
Ugh– Berdiri. Bertahanlah kaki! Kuatkan dirimu! Ayooooo!!
“Hah! Apa yang bisa kau lakukan dengan kaki gemetar seperti itu? Menyerahlah.” Agh, dia menendangku terpat di wajah. “Benar, jatuhlah seperti rendahan!”
Berdiri– Aku!!
“APA YANG MEMBUATMU TERUS BERJUANG? Aku akan pura-pura tidak ingat kejadian ini jika kau mau minta maaf sekarang, kalau perlu sujud sumpah menjadi babi di peternakan! Dengan begitu akan sedikit kupertimbangkan derajatmu!”
Ayo cepat berdiri aku! Sedikit lagi, sedikit lagi bisa! Tidak peduli apa yang kau katakan, aku takkan menyerah! HOOOOAAAAAAHH BERDIRIII!!
....
“Oooohh!! Mustahil!”
“Dia bangun lagi?! Bangun lagi lho!!”
“Kemauan yang hebat!!”
“Halah lihat dia begitu kacau!! Tinggal sekali serang saja toh bakal enggak bisa bangun lagi!!”
Prestasi ini jelas mengejutkannya, matanya terbelalak tak menyangka sekali pun. “K-Kau…?!” Bahkan nggak sadar dirinya terus melangkah mundur, kemudian berhenti bergerak. “Kenapa … KENAPA KAU MASIH BISA BANGKIT?! Padahal aku menggunakan sihir terkuatku padamu!!”
Kenapa katamu? Segitu saking ingin tahunya?? Alasan hanyalah satu.
“Karena … aku memiliki tekad.”
“T-tekad…??” Irving tertegun. “Mana mungkin, itu hanyalah omong kosong!! DASAR CACING RENDAHAN, JANGAN PIKIR KAU LEBIH HEBAT DARIKU! HANCURLAH, Iris Sigma : Defragment!”
Uhh– Tepat waktu! Dunia di mataku serasa melambat, seakan-akan secara ekslufif memberiku panggung untuk unjuk gigi. Kaulah yang hancur duluan, anak sialan!
“He—”
Wajah itu, lagi-lagi aku mampu menggoyahkan kepercayaan dirimu. Bagaimana rasanya dikalahkan orang lemah sepertiku? Heh berakhir sudah.
“Terima kasih kesempatannya!” Kutunjukkan senyum kemenangan. Sekarang kami saling membelakangi. “Brace Shot.” Kupukul tengkuk lehermu dengan tangan yang dialiri energi sihir, mengganggu aliran kesadarannya. “TIDURLAH!!”
“Goh– Ogh–“
Dia pun langsung tak sadarkan diri.
“Hah … hah … rasakan itu. HAHA LIHAT? SIAPA YANG PECUNDANG? INI AKIBATNYA MEREMEHKANKU, DASAR BODOOOH!” Dan merupakan kelemahan terbesarmu saat ini.
Kedepannya pasti takkan seperti ini lagi. Irving memang menyebalkan, tapi dia tahu cara memanfaatkan sihirnya. Harus cepat-cepat ... cari cara untuk menguasai milikku. Tidak ada waktu bermalasan!
Melihat kondisi menyedihkanmu hanya akan membuatku lengah, lebih baik pergi.
Ugh, berat. Tubuhku … sakit. Kuabaikan apa reaksi atau apa pun omongan kalian. Tidak peduli, aku hanya ingin pergi. Hah...? Siapa yang menangkapku—
Dengan mata yang hampir pergi ke dunia mimpi ini, kusaksikan Page Hour menggunakan badannya untuk menahan jatuhku. Dia mengatakan sesuatu. Tidak terdengar.
*Ngiiing*
Yah ... itu tidak terlalu penting. Menang. Aku menang—
****
Ehm … mph…??
Terasa nyaman, apa ini? Halus dan sedikit dingin, memberi kenyamanan yang cukup untuk tubuh. Rasanya seperti ingin tinggal selamanya.
Aku … di mana? Atap dengan lampu? Begitu, ini ruang kesehatan. Aku ternyata pingsan. Lalu siapa yang—
Seketika aku sangat terkejut begitu menyadari dua sosok di sebelahku. Wajah yang kukenal, aku sangat mengenalnya. “Kalian— Yang membawaku….”
Yuba dan Chloe.
“Hohoo~! Akhirnya bangun juga. Waaah~ Yang kau lakukan tadi sangatlah keren kawan. Nggak kusangka benar-benar sekali serang, hebat banget!” Pujiannya lebih diperjelas lagi dengan acungan jempol.
“Eh?” Tentu saja aku tidak bisa berkata apa-apa, ini terlalu mendadak.
“Benar, kamu hebat. Llyod.” Kali ini aku mendengar ucapan kagum seorang gadis yang manis. Suaranya begitu nyaman dan menyejukkan hati, rasanya ingin mengulang waktu hanya demi mendengarnya lagi.
“Kenapa…?” Aku benar-benar ingin tahu alasannya.
Pria yang wajahnya selalu terlihat konyol, kini merentangkan tangan. “Nih apel, setidaknya makanlah biar tenang dulu.” Ucapannya terdengar begitu ramah, ternyata dia bisa serius juga.
“Y-ya….” Enak, setiap gigitannya memberi kesegaran. “Haha tentu saja tidak mungkin, kalian pasti hanya kasihan dan berpikir aku cuma penyihir rendahan yang lemah bukan?”
Benar, tidak mungkin mereka bisa sebaik ini tanpa maksud tersembunyi. Terlalu cepat untuk senang duluan.
“Itu tidak benar,” ucap Chloe dengan nada tulus.
“Ha?”
“Kami sama sekali tidak berpikiran begitu. Aku benar-benar berpikir kamu itu hebat, Llyod.”
“Chloe benar.” Yuba memegang pundakku sembari tersenyum. “Apa kami tidak bisa dipercaya?” tanyanya serius tanpa melucu sedikit pun.
T-Tidak bukan itu maksudku—
“Tidak masalah. Kau boleh tidak mempercayai kami, aku takkan memaksamu. Tapi tolong dengar. Semua yang kau lakukan tadi membuatku mulai mengagumimu, sekalipun belum pernah kutemukan orang keras kepala sepertimu. Mata yang kulihat waktu itu sungguhan, penuh akan tekad.”
O-Octavius….
“Hehe~” Yuba tersenyum makin lebar.
….
“Maukah kamu menjadi teman kami?” tanya Chloe begitu halus dan tulus.
T-Teman … aku??
“Tentu saja! Tidak perlu sampai menunjuki diri seperti itu, hehe.”
“T-Tidak, tapi aku … kau serius, mau dengan orang sepertiku?”
“Bahkan tanpa diminta sekalipun, sejak awal kita sudah jadi teman ‘kan?”
Sial.
“Kamu kenapa menutup mukamu, Llyod?” tanya Chloe, tanpa melihat pun aku tahu dia memperhatikanku dengan penasaran.
Hal seperti itu … ini! Aku … aku … sial, sekarang malah bertingkah seperti anak gadis yang cengeng! Kenapa jadi begini? Padahal aku tidak merasa ... jangan lihat!
“Berjuanglah Zale, bapak yakin ... lambat laun semua orang menerimamu. Tidak ada yang salah dari payah!”
Ah, P-Pak Fredrick!
“Fufu, nangis tuh? Uwah beneran!” Yuba terkekeh setelah aku tanpa sengaja menunjukkan wajahku.
Berisik! Ha ... Ha … berisik!
Sial, aku tidak bisa menahan air mataku. Senyuman kalian hanya memperparahnya. Mereka berdua memegang masing-masing pundakku, terasa begitu hangat. Pertama kali kualami di sekolah ini.
“Kalian serius mau berteman dengan orang sepayah diriku?”
“Hehe~ Tentu! Toh aku juga sama payahnya, hahahaha~!”
“Aku juga.” Sial, senyuman manisnya membuatku makin terharu. Benar-benar perawakan malaikat.
Kak Leyse, dengarkan aku. Kakak pasti tidak percaya. Untuk pertama kalinya aku mendapat teman! Bahkan kali ini ‘sungguhan’, bukan penipu yang hanya menginginkan uangku dan bangsawan bodoh.
Untuk pertama kali aku merasa begitu bersyukur karena telah berjuang selama ini.
Sepertinya aku memang kesepian....
To Be Continued….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!