NovelToon NovelToon

Sekretaris Pilihan Milik Ceo Tampan

Bab 1. Awal Kesulitan

Semua bermula saat sekretaris yang telah lama bekerja di perusahaan Khanif tiba-tiba mengundurkan diri karena ingin menjalani hari-harinya yang akan datang dengan menjadi ibu rumah tangga saja.

Empat wanita yang bekerja di perushaan Khanif pun didaulat menjadi sekretaris, namun tentunya hanya seorang lah yang nantinya akan menjadi sekretarisnya. Di antara dari ke empat calon kandidat itu, tiga diantaranya sudah mulai menujukkan kemampuan mereka masing-masing. Seperti, datang pagi ke kantor, mengerjakan tugas tepat waktu dan berpenampilan layaknya seorang sekertaris sungguhan.

Bahkan sepertinya, ke tiga wanita itu sudah tergila-gila menjadi sekretaris dari pemilik salah satu perusahaan terbesar di indonesia ini. Coba pikirkan, siapa yang tidak menginginkannya? Ditambah lagi nilai plus-plus dari ceo mereka yang rupawan dan masih single!

Bisakan, suatu hari nanti, status sekertaris berubah menjadi status nyonya pemilik hati sekaligus pemilik salah satu perusahaan terbesar di indonesia ini. Memikirnya, membuat pikiran ke tiga wanita calon sekretaris itu tidak akan membuang kesempatan langka seperti ini. Namun, tentunya ada saja yang berbeda dari semua calon kandidat itu. Ya, Ia adalah Rania. Kandidat terakhir yang dipilih oleh pihak HRD.

Rania tidak memikirkan apa yang kandidat lain pikirkan. Lagi pula, sepertinya Rania seakan tidak tertarik untuk naik ke lantai dua puluh satu itu dan menjabat sebagai sekretaris utama  Khanif, selaku ceo dimana tempatnya bekerja sekarang.

Meski hanya sebagai staf bagian keuangan biasa, Rania sudah cukup puas dengan gaji dan bonus yang diberikan perusahaan padanya. Bukannya Rania tidak ingin bertambah tanggung jawab, hanya saja Rania lebih menyukai berada dilantai limabelas - tempatnya berbagi kesenangan dan kesusahan ditempat kerja.

Berada di lantai lima belas pun sudah cukup membuatnya menjadi seseorang yang dibutuhkan oleh perusahaan dan Rania tidak menginginkan lantai lain tempatnya menuju. Namun, semua berubah saat dirinya kembali masuk ke dalam tiga besar dalam kandidat sekretaris yang terpilih.

Apakah ini kutukan karena dirinya terlalu pintar? Atau karena keadaan dirinya sendirilah yang mendukung? Jika ya, Rania akan dengan senang hati menerimanya, tapi tidak dengan masuk ke dalam calon kandidat sekretaris lagi.

Rania tentu saja tau apa maksud dari masuk kembali ke dalam calon kandidat! Itu artinya, Rania harus berusaha agar tidak terpilih lagi di pencalonan kandidat berikutnya.

Semua kemampuan mengelak telah dilakukannya. Mulai dari berangkat ke kantor seperti biasa, memakai pakaian yang biasanya ia pakai ke kantor dan mengerjakan tugas seperti biasa.

Jujur saja, sebelumya Rania sudah mengerjakan semua tugas yang diberikan seperti hari-hari biasanya. Ia berbeda dengan kandidat lainnya yang lebih menonjolkan diri. Bahkan dari mereka semua, ada yang dengan terang-terang mendekati Rahayu, pihak HRD yang ditunjuk oleh Khanif untuk memilih mereka.

Meski sudah dekat, tak ayal Rahayu yang memang seorang yang Bijak, tidak terlalu memberikan keleluasaan yang terbaik. Karena beliau tau, masa depan perusahan tidak tergantung pada tindakan yang sementara saja, tapi tindakan yang akan terus-menerus sampai kapan pun.

Kedua kandidat lainnya tetap melanjutkan bakat mereka, dan ia sendiri tidak menujukkan tanda-tanda untuk bersaing seperti ke dua kandidat yang terpilih. Namun meski begitu, dirinya tetap saja terpilih dan hal itu tentu saja membuat Rania semakin gusar.

Bukannya ia tidak ingin sesekali melanggar tugas seperti terlambat datang ke kantor atau tidak melaksanakan tugas dengan baik agar dirinya didiskualifikasi dari kandidat. Hanya saja, Rania bukanlah tipe wanita pekerja yang harus menghilangkan kehormatan kerjanya hanya untuk membuat dirinya lepas dari pencalonan. Rania katakan 'tidak akan' meski, dirinya tetap masuk ke dalam kandidat pencalonan sekretaris.

Jadi, sebenarnya inilah salah satu kelemahan wanita berlesung pipi itu, ia tidak ingin hanya karena ketidakmauannya akan membuat hidupnya berantakan dan bahkan akan membuat karirnya sebagai karyawan teladan berakhir sia-sia.

Saat Rania sedang terfokus pada angka-angka yang terpampang jelas dikomputer depan wajahnya, ia terperanjat saat seorang wanita yang telah berusia hampir kepala lima itu, menepuk pundaknya. Rania seketika memundurkan kursi dan menunduk memberi hormat. Setelahnya, ia kembali menegakkan badan dan tersenyum pada wanita yang telah memberinya pekerjaan ini.

"Bisa ikut saya sebentar?" tanya Rahayu.

"Bisa bu."

"Baiklah, kita keruanganku."

Rania mengangguk, ia pun lebih dahulu menyimpan tugas di komputernya terlebih dahulu, sebelum mengikuti langkah kaki yang mulai tidak terlihat itu. Sesampainya Rania didepan lift, ia terkejut saat melihat lift terbuka dan menampilkan sosok yang mungkin akan menjadi atasannya langsung dikemudian hari.

"Siang pak," sapa Rahayu, setelahnya memberikan hormat pada ceo mereka.

"Siang," balasnya.

Rania pun ikut memberi hormat, tapi tidak ikut menyapa lelaki bermata hazel didepannya ini. Sesudahnya, Rahayu masuk kedalam lift diikuti oleh langkah kaki Rania yang menyusulnya.

Di dalam lift, keadaan nampak canggung. Siapa sangka mereka akan bertemu secepat ini? Pasalnya, lelaki yang merupakan atasannya itu mempunyai lift khusus. Namun apa ini? Bahkan tanpa diketahui, atasannya memakai lift khusus para karyawan.

Saat Rania sibuk dengan pemikirannya, tiba-tiba atasannya berdehem dan mengatakan, "lift saya sedang diperbaiki."

Hei, siapa yang bertanya padanya? Apa Rahayu barusan? Atau dirinya yang tanpa sadar mengatakannya? Tapi setau dirinya, ia masih tetap diam dari tadi. Kecuali dirinya sempat melamun dan tidak menyadari kalau Rahayu telah bertanya tadi.

"I ... Iya pak, tidak apa-apa," jawab Rania seadanya tapi malah membuat Rahayu diam-diam tersenyum lucu.

Rahayu lalu menyenggol lengan Rania, membuat gadis itu menoleh melihatnya. Dengan kode mata, Rahayu menujukkan kalau Khanif - atasannya sedang tidak berbicara dengannya tapi dengan seseorang yang tengah dihubunginya saat ini lewat telepon pintar.

"Aduh," gerutu Rania dalam hati saat ia mengetahui kesalahpahamannnya. Ditambah lagi dengan tatapan Khanif yang melihat heran dengannya.

"Maaf pak, saya kira bapak sedang bicara dengan kami," ujarnya menahan malu. Khanif mengangguk tidak mempermasalahkan.

Setelah angka di lift menujukkan tempat tujuan Rahayu dan Rania, secara otomatis pintu lift terbuka, mereka pun melangkah keluar dari lift. Namun sebelumnya, mereka kembali menunduk hormat pada Khanif yang masih melanjutkan acara telponannya. Pintu itu pun kembali tertutup dan mereka kambali melanjutkan perjalanan menuju ruangan di depan mata mereka.

Dalam hati, Rania masih belum melupakan kejadian memalukan tadi. Sungguh, ia tidak menyangka akan begitu bodoh didepan atasannya. Tunggu, tiba-tiba Rania berhenti berjalan dan malah senyum-senyum sendiri. Tentu saja ia tersenyum saat menyadari hal memalukan tadi bisa menjadi perisai baginya! Bukannya itu hal yang bagus juga buatnya? Mungkin dengan kesalahpahaman yang tadi bisa membuat dirinya didiskualifikasi dari calon kandidat selanjutnya.

Memikirkan bagaimana hal itu bisa saja terjadi, membuat Rania tersenyum. Ia merasa ingin terbang saja. Adakah sepasang sayap untuknya? Jika ada, tolong berikan padanya saat ini juga!

Beberapa detik berlalu. Ia kembali seperti yang sudah-sudah, Rania kembali terkejut saat Rahayu memintanya masuk ke dalam ruangan disaat dirinya, hanya berdiri mematung karena kesenangan pikiran.

"Eh, maaf bu."

"Jangan mencoba berpikir karena kecerobohanmu tadi, kamu akan langsung didiskualifikasi dari calon kandidat yang ada," tebak Rahayu membuat Rania menyinggungkan senyum terpaksa. "Masuk," lanjut Rahayu.

Rania kini duduk tepat didepan Rahayu dengan meja yang menjadi pembatas. Saat Rahayu mulai membuka suara, entah mengapa perasaan Rania mulai tidak enak. Apakah perkataan Rahayu nanti akan membawanya ke dalam kekacauan yang akan segera datang di dalam hari-harinya? Jika ya, bisakah dirinya memutar waktu, saat dirinya belum berangkat ke kantor pagi ini!

"A ... apa, bu?" tanya Rania seperti tidak mendengar perkataan Rahayu barusan. Apakah dirinya sudah tidak dapat mendengar dengan jelas perkataan orang lain?

"Mulai minggu depan, kalian bertiga akan secara bergiliran menjadi sekretaris Pak Khanif. Kamu tenang saja karena sesi percobaan ini hanya berlaku selama seminggu pada tiap kandidat yang ada."

Bibir Rania seperti kebas untuk bertanya lagi. Namun bagaimana pun, ia ingin tau siapa kandidat pertama yang akan melakukan uji coba ini.

"Ehem ... kalau boleh tau, siapa kandidat pertama yang akan menjadi sekretaris pak Khanif, bu?"

"Tentu saja ...."

To be continued.

Kira-kira siapa ya yang menjadi kandidat pertama sekretaris Khanif ?

Penasaran? Sama aku juga. Jadi, jangan lupa untuk baca bab selanjutnya ya. Oh, iya. Jangan lupa juga untuk like dan komen!

By Siska C

Bab 2. Hari Pertama Rania

Hari senin tiba dengan sangat cepat. Padahal, Rania masih belum mau menjadi sekretaris Khanif yang terkenal dingin itu. Memikirnya, membuat dirinya menghela nafas panjang nan berat. Kini, ia telah berdiri tepat didepan pintu ruangan Khanif.

Sesuai tradisi sekretaris yang pernah menjabat, ia harus pergi menyapa atasan langsungnya itu. Ia pun berlalu dari tempat duduknya. Sampainya didepan pintu ruangan Khanif, ia menatap lekat knop pintu seraya menarik nafas panjang untuk kesekian kalinya. Setelahnya, ia mengetuk pintu megah yang ada didepannya.

Saat Rania menunggu suara seruan masuk, tiba-tiba ia kembali teringat bagaimana hal yang dihindarinya kembali terjadi padanya kemarin siang.

"Ehem ... kalau boleh tau, siapa kandidat pertama yang akan menjadi sekretaris pak Khanif, bu?"

"Tentu saja kamu, Lisa dan Farah akan bergantian di minggu berikutnya."

"Syukurlah bukan aku yang pertama."

Karena suara Rahayu yang kecil dan dirinya yang tidak terlalu fokus, Rania malah tersenyum karena berpikiran kalau dirinya bukalah calon kandidat pertama yang terpilih untuk menjadi sekretaris Khanif.

Rahayu yang begitu memperhatikan ekspresi Rania, menjadi heran dengan respon Rania kepadanya. Tapi tanpa menunggu lama, Rahayu menyodorkan tangannya hendak menjabat tangan Rania sebagai tanda penyerahan tugas.

"Terima kasih, bu."

Dengan senang hati Rania menyambut uluran tangan Rahayu dengan senyuman yang mengambang.

"Mulai lusa kamu sudah bisa mencoba menjadi sekretaris pak Khanif yang pertama."

"Hah!" Rania heran, "bu, bukannya Lisa yang pertama ya?"

"Kamu ngomong apa sih Rania? Atau jangan-jangan kamu tidak fokus atas apa yang barusan saya katakan tadi?"

Rania menggeleng seperti tidak mengerti maksud dari Rahayu yang kini ikut menatapnya heran.

"Saya tadi bilang, kamu yang pertama menjadi calon kandidat yang menjadi sekretaris sementara untuk pak Khanif selama seminggu kedepan."

Rania tersentak kaget saat dirinya mendengar suara dari dalam ruangan yang mengatakan kalau dirinya boleh masuk. Rania lalu memutar knop pintu dengan perlahan dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang ada di lantai duapuluh satu itu. Ia menunduk sebentar, sebelum kembali melangkahkan kaki mendekati pria yang akan ia layani sebagai seorang sekertaris selama seminggu kedepan.

"Pagi pak," sapanya.

"Pagi." Khanif menjawab tanpa melihat Rania. "Apa jadwalku seminggu kedepan?" tanya Khanif langsung.

Tentu saja Rania tidak terkejut karena sebelumnya, ia sudah mengetahui apa arti dari pekerjaannya. Ia lalu berdehem kecil sebelum membacakan jadwal Khanif selama seminggu kedepan.

"Hari ini, bapak ada jadwal pertemuan dengan klien di grand clary pada jam sepuluh pagi ini. Setelahnya bapak free untuk urusan luar kantor sampai hari rabu."

"Selanjutnya."

"Hari kamis, bapak berangkat ke kota M untuk meninjau pembangunan vila disana."

Khanif mengangguk. "Kalau begitu, mulai hari ini, persiapkan semua kebutuhan perjalanan saya dan kamu."

"Hah?" Kontan Rania terkejut.

Ia tidak menyangka akan ikut dengan Khanif dalam perjalanan bisnis. Ia mengira karena dirinya hanya sebagai uji coba sekretaris saja, ia tidak akan ikut kemana pun atasannya ini pergi. Terlebih lagi pergi menuju luar pulau. Namun lagi-lagi dugaannya salah. Ia bahkan dengan tidak sadar membuka bibirnya - melongo tidak percaya.

"Kenapa?" tanya Khanif memicingkan matanya melihat Rania.

"Pak, sepertinya saya hanya mengawasi dari sini saja."

"Loh, bukannya kamu sekertaris saya sekarang? Jangan bilang kamu hanya menganggap ini sebagai uji coba saja! Meski begitu keadaan sebenarnya, harusnya kamu tidak harus menganggap demikian."

Lagi dan lagi, Rania tidak dapat berkata apa-apa selain hanya mengangguk patuh pada Khanif, lelaki yang tidak ingin dibantah sedikitpun dari cerita-cerita teman ruangannya.

"Baik pak. Kalau begitu saya permisi." Rania pun berlalu dari hadapan Khanif. Namun saat Rania hendak memegang knop pintu, tangannya hanya mengambang saat mendengar suara Khanif kambali.

"Tunggu."

Rania lantas berbalik, melihat tepat di mata laki-laki itu. Bisakah dirinya menghilang saja sekarang atau adakah orang yang bisa membantunya untuk lepas dikeadaan mendebarkan ini? Jujur, Ia bahkan takut mendengar apa yang ingin dikatakan Khanif selanjutnya. Seakan, kata-kata yang akan datang itu akan membuat hari-harinya yang santai akan menjadi berantakan. Dengan sedikit gugup, ia mengiyakan panggilan Khanif padanya barusan, tapi masih mematung ditempat.

"Kemari," panggil Khanif.

Rania kembali mendekat namun tidak sampai menunduk hormat kembali.

"Iya pak."

"Kamu bilang saya free hari rabu dan pada hari kamis saya harus berangkat ke M. Bagaimana dengan ini, perjalanan saya kesana dipercepat jadi hari rabu. Namun, hanya kamu dan saya yang tau kalau perjalanan ini dipercepat. Kamu ngerti kan?" Khanif kembali memicingkan matanya membuat Rania mengangguk mengiyakan.

"Satu lagi, karena keberangkatan kita dipercepat, saya mau kamu memesan terlebih dahulu kendaraan dan tempat menginap yang juga hanya diketahui oleh kamu dan saya."

"Iya pak."

"Baiklah, kamu boleh pergi. Selamat menjalani hari baru."

Deg, Rania seperti merasakan detakan jantungnya barusan menguat. Entah mengapa kata-kata Khanif barusan seperti memperngaruhi hatinya. Tidak ingin bertambah bingung, secepatnya ia berlalu dari ruangan berdominasi warna putih gading dengan interior modern itu.

Dibalik pintu ruangan Khanif, Rania bersandar dengan tangan berjulur ke dada. Ia memegang dadanya yang masih berdegup kencang. "Huff, kenapa ini?"

Ia sendiri tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya. Padahal Khanif hanya memberinya selamat dalam menjalani hari baru. Sebegitu berpengaruhnya kah, kata-kata Khanif? Rania seketika menggelengkan kepalanya, mencoba menepis anggapan yang hinggap di kepalanya. Ia pun berlalu dari pintu masuk ruangan Khanif menuju meja kerjanya sendiri.

Disana, dimeja yang baru tempatinya pagi ini, ia mulai mengerjakan tugas yang telah diberikan padanya barusan. Ia pun mulai mengetik kata kunci, yaitu nama sebuah kota yang ia sebutkan tadi di hadapan Khanif. Melihat layar komputer yang masih melakukan pencarian, ia mengambil note kecil untuk mencatat keperluan mereka saat sedang berada disana.

Akhirnya apa yang telah di carinya terbuka juga. Ia pun meng-klik salah satu artikel dan mulai membacanya. Lalu setelah mendapatkan apa yang tengah dicarinya, ia mulai menorehkan tulisan tangannya di note yang tadi diambilnya. Ia bergantian mencatat saat sudah membaca satu artikel ke artikel lainnya.

Tidak lupa pula, ia melakukan pencarian di youtube untuk membandingkan apa yang telah dibacanya tadi dan apa yang sekarang ia lihat. Ia mengangguk-anggukan kepalanya tatkala apa yang dibacanya sama persis dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini. Saat semua pencariannya selesai, ia membereskan meja kerjanya dan kembali menuju ruangan Khanif.

Sekali lagi - sampainya Rania disana, ia mengetuk pintu bercat putih itu. Namun seberapa kali dirinya mengetuk pintu, tidak ada juga jawaban dari dalam ruangan. Dengan takut-takut, Rania mulai memutar knop pintu dan memasukkan sedikit kepalanya untuk melihat apa yang terjadi didalam.

Ia tentu tahu hal yang ia lakukan adalah hal yang salah, tapi mau bagaimana lagi, ia sudah beberapa kali mengetuk pintu ini, tapi tidak ada juga tanda-tanda seruan masuk ataupun pintu yang terbuka.

Sesaat dirinya telah didalam ruangan Khanif dengan berdiri dibalik pintu, ia melihat ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Khanif. Tapi, seusaha apapun itu, ia tidak mendapati keberadaan Khanif dimana pun. Hingga, ia memberanikan diri masuk kedalam.

Saat dirinya sudah berada didepan meja Khanif, ia terperanjat kaget saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Pelan namun pasti, ia berbalik hendak melihatnya. Matanya dan mata orang yang tengah dicarinya beradu pandang, seketika ia menundukkan pandangannya.

Ia begitu terkejut saat melihat Khanif menatap tajam ke arahnya. Seperti ingin memakannya saja. Apalagi dengan penampilan yang baru pertama kali ia lihat - baju koko dan tak lupa pula peci yang masih berada di kepala Khanif.

"Maaf pak, saya sudah mengetuk beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Jadi saya masuk saja ke sini."

Khanif diam melihat gadis didepannya takut. Ia pun berdehem mencoba mencairkan suasana.

"Kamu kira saya monster apa, sampai gemetaran begitu."

"Hah!"

"Duduk," perintahnya. "Apa yang membuatmu jadi tidak sabaran?" tanya Khanif melanjutkan setelah Rania telah duduk.

"Ini pak, saya ingin memberikan catatan ini kepada bapak," ujarnya seraya memberikan note yang tadi dipakainya mencatat.

Khanif mengangguk. Tangannya terulur untuk mengambil note ditangan Rania.

"Terima kasih."

"Sudah tugas saya pak."

"Oh iya, kalau jam begini saya tidak menyahut, berarti saya sedang sholat dhuha. Kamu mengerti?"

"Iya pak."

"Satu lagi, kamu siap-siap lah kita akan segera berangkat.

"Iya pak."

"Baiklah, kamu boleh pergi."

Setelah mengangguk, Rania berlalu dari ruangan Khanif secepat yang ia bisa karena tentu saja Khanif hendak mengganti pakaiannya kembali karena mereka akan pergi menemui teman bisnis yang telah melakukan janji temu.

To be continued.

Halo, jangan lupa like dan komen, ya!

By Siska C

Bab 3. Atasan yang Dingin

Hari telah sore saat mereka pulang dari pertemuan bisnis. Selama perjalanan pulang, diantara mereka tidak ada yang membuka percakapan walaupun percakapan untuk basa-basi saja. Bayangkan waktu selama setengah jam itu tidak ada percakapan membuat Rania bosannya minta ampun. Apalagi didalam mobil itu hanya ada dirinya dan Khanif.

Untung saja Rania merasa waktu cepat berlalu saat itu. Hingga dirinya tidak terlalu memikirkannya setelah mereka sampai di tempat parkiran mobil di kantor.

"Rania," panggil Khanif pelan setelah mereka berada didepan lift khususnya.

Rania menoleh disamping dan menjawab panggilan Khanif yang hampir tidak terdengar di telinganya.

"Iya pak."

"Mulai saat ini, kamu bisa menggunakan lift khusus ini untuk ke lantai duapuluh satu. 1122 adalah

Kode perintahnya."

"Baik pak."

Mereka pun sama-sama masuk kedalam lift kaca itu. Dari dalam sana, mereka bisa melihat segala macam aktifitas dari lantai terendah hingga menuju lantai tertinggi. Rania merasa heran saat setiap karyawan yang melihatnya berada disatu lift yang sama dengan Khanif seperti melihatnya dengan pandangan tidak percaya. Jujur, ia tidak tau apa maksud dari mereka memandangnya dengan pandangan seperti itu. Ia juga tidak ingin bertanya pada Khanif untuk saat ini.

Namun Khanif yang memang memiliki kepekaan yang tinggi, langsung saja berkata, "jangan heran mereka memandangmu seperti itu karena kamu termaksud orang yang beruntung bisa menggunakan lift khusus ini."

Rania menganggukan kepalanya tanda percaya. Pasalnya, ia hanya pernah melihat kalau selain dari orang tua Khanif dan Rendi sahabat Khanif, tidak ada lagi yang pernah memakai lift kaca ini. Bahkan sekretaris sebelumnya, belum pernah menggunakan lift ini selama dirinya berkerja di kantor Khanif.

Tidak tunggu lama disana, akhirnya mereka telah sampai di lantai yang terkesan sepi itu. Khanif pun melangkah lebih awal menuju ruangannya. Belum juga Khanif memutar knop pintu, ia kembali berbalik ke arah Rania yang sudah hampir duduk di kursi kerjanya.

"Rania," panggil Khanif.

"Iya pak."

"Segera datang ke ruangan saya, setelah kamu menyimpan tasmu," ujar Khanif sebelum menghilang dari balik pintu.

Rania mendesah, ia mengira Khanif akan memberikannya waktu jeda walau sedikit untuk beristirahat. Ternyata dugaannya salah. Rania pun menaruh tasnya dan bergegas masuk ke dalam ruangan Khanif tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Pak," panggil Rania saat melihat Khanif yang tengah memandang keluar dari balik kaca ruangannya.

Khanif berbalik dan menyuruh Rania duduk. Ia membuka lacinya, lalu memberikan Rania sebuah flashdisk.

"Isi flashdisk ini adalah rencana kerja perusahaan selama setahun yang akan datang. Lihat isinya dan pelajari, setelah itu buat kontrak kerja sama dengan klien tadi. Hari ini sudah harus selesai."

"Pak, apa tidak sebaiknya saya mempelajarinya dulu," ujar Rania.

"Bukannya kamu sudah mencatat tadi, hal-hal penting apa yang dibutuhkan dalam kontraknya? Saya kira kamu cukup mampu menyelesaikannya dalam waktu singkat." Khanif melihat Rania dengan pandangan tidak ingin dibantah. "Saya tunggu hari ini juga," lanjutnya kemudian mengakhiri pembicaraan mereka.

Rania lalu keluar dari ruangan Khanif tanpa mengatakan apapun. Tentu saja, apa yang ingin dikatakannya lagi, kalau kata-katanya yang belum terucap sudah di blokir duluan oleh atasannya itu. Rania sampai tak habis berpikir, ternyata ini salah satu sifat Khanif yang baru diketahuinya - tidak ingin mendengar alasan apapun.

Sesampainya Rania dimeja kerjanya, Rania tanpa sadar memijit pelipisnya yang kini terasa sakit. Ia lalu mencolok flashdisk dan mulai mencari bahan apa yang ia butuhkan untuk membuat kontrak kerja sama seperti keinginan Khanif.

Beberapa jam telah berlalu, ia bersyukur karena dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu sebelum jam pulang kerja berakhir. Jadi saat ini, ia kembali berdiri didepan ruangan Khanif untuk memberikan dokumen kerja sama mereka dengan pihak perushaan lain yang tadi mereka temui bersama.

"Ini dokumen yang bapak minta."

"Taruh saja disitu," ujar Khanif tanpa melihat Rania.

"Kalau begitu saya permisi pak."

"Hem, kamu bisa pulang sekarang."

"Terima kasih."

Sebuah senyuman terbit diwajah Rania setelah ia keluar dari ruangan Khanif. Inilah yang ia anggap 'usaha tidak akan menghianati hasil' Lihat, tadi dirinya sangat sibuk sampai ia tidak pernah menyentuh ponselnya walau sedetik pun dan sekarang ia bahkan leluasa mengecek notif ponselnya sambil berjalan ke arah lift kaca.

Dengan semangat yang menggebu, ia menekan angka satu dan dua sebanyak dua kali yang membuat lift impian semua karyawan terbuka lebar untuknya. Ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu perusahaan.

Saat dirinya baru saja keluar dari lift, semua mata memandang padanya. Seakan dirinya adalah selebritis yang baru kelihatan setelah sekian lama menghilang. Dalam pandangan itu, Rania bisa menebak pandangan apa saja yang diberikan padanya. Ada pandangan penuh kekaguman, apa pandangan tidak menyangka dan bahkan pandangan iri pun tidak luput dari penglihatan beberapa teman kerja wanita padanya. Rania tidak memusingkan hal tersebut karena dirinya ingin cepat segera sampai dirumahnya.

Jarak antara kantor dan rumah tidaklah terlalu memakan waktu yang lama, sehingga Rania bisa sampai dirumahnya dengan cepat.

Sesampainya Rania dirumahnya, Rania bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Baru setelahnya, ia merebahkan diri ditempat tidurnya yang empuk.

Jujur saja, ia sudah lelah sekali setelah mereka pulang dari pertemuan teman bisnis. Rania mendesah panjang tatkala mengingat kerjaannya dihari pertama. Bagaimana tidak, setelah mereka pulang dari pertemuan bisnis, Khanif menyuruhnya untuk membuat kontrak kerja antara dua perusahan sesampainya mereka di kantor. Padahal, kontrak kerja itu akan ditanda tangani dua minggu kemudian.

Ya, Rania tau memang hal itu adalah tugasnya. Namun, apakah hal tersebut tidak bisa ditunda walau barang sehari saja? Untung saja fisik Rania sangatlah baik. Kalau tidak, entahlah apa yang akan terjadi padanya dengan pekerjaan yang lumayan menguras tenaga dan pikiran itu.

Saat Rania baru saja mau memejamkan matanya, ponsel yang ia letakkan di meja kecil samping tempat tidurnya berdering. Mau tidak mau Rania beringsut dan mengambil ponselnya itu.

"Huft, pak Khanif mau apa lagi sih," ujarnya setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

Ia pun menggeser layar yang berwarna hijau ke arah kanan, lalu menempelkan ponselnya ditelinga. "Iya, pak."

"Rania, segera datang ke rumah saya!"

Rania melongo saat mendengar Khanif berbicara dengan nada perintah seperti itu. Ia heran bin pusing saat tau jam tidurnya masih harus terganggu dengan deringan ponsel yang barusan terdengar. Dengan waktu yang sudah lewat jam kantor, ia masih harus mengikuti kemauan dari atasan langsung-nya selama seminggu? Apakah atasannya waras?

"Bapak waras ya? Pak, ini sudah bukan jam kerja saya lagi. Bapak menganggu  waktu tidur saya, tau!"

Rania hendak mengatakan hal itu pada Khanif agar Khanif mengerti perasaanya yang ingin segera beristirahat. Tapi, semua hanya khayalan saat dirinya bergegas berganti pakaian untuk pergi ke rumah Khanif.

Biarlah ia menderita selama seminggu ini karena ia meyakinkan dirinya kalau ia tidak akan diterima sebagai pengganti sekretaris yang telah mengundurkan diri itu. Memikirkannya saja membuat Rania tersenyum senang.

Ia lalu menyambar kunci mobil papanya yang tergantung digantungkan dekat tv.

"Ma, Rania pakai mobil sebentar, ya."

"Mau kemana sayang," tanya Mama Dahlia.

"Rania mau kerumah atasan Rania, ma."

Mama mengangguk. "Hati-hati dijalan dan jangan pulang kemalaman."

"Iya ma." Rania pun pergi ke rumah Khanif dengan mengendarai mobil papanya.

Diperjalanan, tiba-tiba mobil yang dikendarainya mogok di jalanan. Untung saja ia segera meminggirkannya sebelum mobil itu benar-benar tidak bisa melaju lagi.

Rania takut. Ia sendirian dijalan yang mulai sepi ini. Ia lalu mengambil ponselnya hendak menghubungi seseorang yang dapat menolongnya. Saat dirinya ingin mendial nomor sang papa, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya.

Ia seketika mengangkatnya dan menangis sejadi-jadinya tanpa melihat lebih jauh siapa orang yang telah menelponnya itu.

"Aaa ... tolong saya. Mobil saya mogok di jalanan," kata Rania membuat seseorang diujung sana terlonjak kaget.

"Kamu berada dijalan mana?"

Rania menyeka air matanya. Walau masih sesegukan ia tetap mengatakan tempatnya berada saat ini.

"Jangan keluar dari mobil. Tunggu saya disana."

Perasaan Rania makin gusar saat ia merasa waktu berjalan kian lambat. Bahkan karena ketakutannya, ia menenggelamkan wajahnya di stir mobil menunggu seseorang datang menjemputnya.

Beberapa menit telah berlalu. Ia terlonjak kaget saat tiba-tiba ia mendengar ada sebuah ketukan di kaca mobilnya. Perlahan ia menoleh, mengangkat wajahnya untuk melihat siapakah yang telah membuatnya semakin ketakutan.

"Ini saya, Rania."

Rania seketika tersenyum haru. Ia lalu bergegas keluar dari mobilnya dan tanpa ia duga, ia tertarik ke dalam pelukan orang yang menolongnya.

"Maaf sudah membuatmu ketakutan."

"Kenapa kamu lama sekali datangnya. A ... aku hampir saja mati ketakutan," ujarnya tanpa bersikap sopan lagi.

"Maaf." Tangannya terulur mengusap kepala Rania agar Rania tenang di sisinya.

Rania tersadar, ia mendongak melihat siapa yang telah memeluknya saat ini.

"Hah!"

To be continued.

Hayo ada yang bisa tebak siapa yang menolong Rania?

Tinggalkan jejak - like dan komentarnya, ya!

By Siska C

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!