Don't go tonight
Stay here one more time
Remind me what it's like
And let's fall on love one more time
I need you now by my side
It tears me up when you turn me down
I'm begging please, just stock around
I'm sorry, don't leave me, I want you here with me
I know that your love Is gone
I can't breathe, I'm sonweak, I know this isn't easy
Don't tell me that your love Is gone
That your love Is gone
( Love Is Gone – SLANDER feat. Dylan Matthew)
***
Seorang pria dengan setelan jas navy sedang memandang keluar jendela. Ia memegang secangkir kopi di tangan kanan. Lensa mata hitamnya begitu gelap, seakan menyimpan banyak kepedihan.
Dialah Park Seung Min, CEO dari sebuah stasiun televisi ternama di Korea Selatan. Memiliki perawakan tinggi tegap, tampan, dan berkarisma. Namun, di usianya yang menginjak 35 tahun, dia belum menikah.
Tersebar rumor bahwa Seung Min adalah penyuka sesama jenis. Selama resmi menjabat sebagai CEO, tak pernah sekalipun dia menggandeng tangan seorang wanita. Sebenarnya, ada seorang wanita yang digadang-gadang akan menjadi istri Seung Min. Dia adalah Lee Eun Bi, putri salah satu pemegang saham terbesar di PSJ TV.
Lee Eun Bi sendiri merupakan seorang pemain biola di Seoul Harmonic Orchestra. Dia sering mengikuti pertunjukan yang diadakan grup tersebut.
Tok ... tok ... tok ....
Suara ketukan pintu menyadarkan lamunan Seung Min. Seorang pria dengan jas hitam, masuk ke ruangan Seung Min. Ia adalah sekretarisnya, Lee Young Tae.
“Presdir, Nyonya Besar ingin bertemu,” ucap Young Tae.
“Iya, biarkan ibuku masuk.” Seung Min yang tadi menghadap jendela, kini memutar tubuhnya memandang ke arah Young Tae
Tak lama seorang perempuan berusia lima puluh tahunan masuk. Dia adalah Nyonya Park, Ibu Seung Min. Langkah perempuan itu terlihat lemah, wajahnya pun sedikit pucat.
Seung Min meletakkan cangkir kopi ke atas meja, lalu menghampiri ibunya, dan memeluk tubuh sang ibu. Dia menggandeng lengan kurus Nyonya Park, menuju sebuah sofa empuk di sudut ruangan. Seung Min yang terlihat keras dan dingin, seketika akan berubah lembut saat bersama ibunya.
“Apa kabar, Bu?” tanya Seung Min kepada sang ibu sambil menggenggam kedua tangannya.
“Dasar anak nakal! Kau ini, jarang sekali mengunjungi Ibumu yang mulai sakit-sakitan!” Nyonya Park membuang muka sembari melipat lengannya.
Hati Seung Min terasa nyeri, dia mulai memperhatikan lagi tubuh sang ibu yang semakin kurus. Guratan penuaan di dahi perempuan itu juga mulai kentara. Nyonya Park tidak salah, sejak Seung Min mengampu beban sebagai CEO PSJ TV, ia jarang sekali mengunjungi ibunya. Jangankan waktu untuk orang yang ia perempuan paruh baya itu. Bahkan untuk dirinya sendiri pun hampir tak ada.
“Seung Min, Kau tahu 'kan Ibumu ini sudah tua. Selama ini, Ibu tidak pernah meminta apa pun. Semua berjalan sesuai kemauanmu.” Nyonya Park menatap lekat putranya.
Firasat buruk hinggap di hati Seung Min. Terdengar helaan nafas kasar Nyonya Park. Sedetik kemudian ibunya mulai berbicara lagi.
“Seung Min, menikahlah segera selagi Ibu masih sehat.” Nyonya Park memegang dadanya sambil memejamkan mata.
Seung Min hanya terdiam. Sebenarnya dia ingin sekali mengungkapkan, bahwa memiliki seorang perempuan yang sangat dicintai. Ingatan Seung Min terbang ke masa lalu.
***
Seorang gadis manis berkacamata, tanpa sengaja menabrak laki-laki berbadan tegap di depannya. Gadis itu bernama Lee Eun Mi, seorang MUA yang bekerja di PSJ TV.
“Ah, maaf ... Saya tidak sengaja." Eun Mi membungkukkan badan berulang kali.
Laki-laki yang memiliki rahang tegas itu mengeratkan giginya, sampai menimbulkan suara. Yubi terkejut saat menyadari orang yang ditabrak adalah Park Seung Min. Matanya terbelalak melihat jas lelaki itu penuh noda mekap dari kuas yang hendak ia cuci. Eun Mi mengusap jas mahal milik Seung Min menggunakan sapu tangan.
Seung Min menghentikan gerakan tangan Eun Mi karena merasa tidak nyaman. Dia mengunci pergelangan tangan Eun Mi, dan tatapan mata mereka bertemu.
Tanpa sadar Seung Min memperhatikan setiap inci wajah Eun Mi. Mata indah tersembunyi di balik kacamata minus. Dia memiliki hidung mungil, kulit yang halus, dan bibir mungil. Lelaki itu merasakan gelenyar aneh dalam hatinya. Deheman Young Tae membuat keduanya seketika mengambil jarak.
“Presdir, Kita harus segera menghadiri rapat selanjutnya,” ucap Young Tae sedikit ragu.
“Ehem, baiklah.” Seung Min merapikan dasi yang masih rapi, kemudian meninggalkan Eun Mi yang masih mematung.
Setelah kejadian itu, entah mengapa mereka berdua sangat sering berpapasan. Sikap dingin Seung Min tiba-tiba berubah menjadi lebih hangat karena suatu kejadian.
Hari itu Seung Min pulang dengan menyetir mobilnya sendiri. Hujan mulai turun perlahan, tanpa sengaja ia melihat Eun Mi yang sedang duduk di halte bus sambil memegang selembar kertas. Eun Mi seperti medan magnet bagi Seung Min, dia memperhatikan gadis lugu itu. Eun Mi terlihat begitu senang, dan sesekali melompat kegirangan. Sampai sebuah angin kencang menerbangkan kertas yang digenggamnya.
Eun Mi mulai berlari mengejar selembar kertas itu. Hati Seung Min tergetar ingin membantunya, dia keluar dari mobil, dan berlari mengikuti gadis itu. Setelah bersusah payah, akhirnya kertas itu dapat diraih Seung Min.
Saat menyadari seseorang berhasil meraih kertas yang sedang dikejar, Eun Mi berbalik badan. Dia terkejut mendapati orang itu adalah Seung Min. Spontan Eun Mi mundur selangkah.
Keseimbangan tubuh Eun Mi goyah karena jalanan yang licin, tetapi Seung Min meraih pinggang Eun Mi. Tatapan mata mereka beradu, membuat jantung Seung Min berdebar begitu kencang. Aroma bunga persik yang menyeruak ke dalam hidungnya terasa begitu memabukkan.
“Presdir, maaf. Eh ... Tidak, maksudku terima kasih. Tapi maaf, tolong lepaskan. Anu ... sekarang Kita menjadi pusat perhatian.” Eun Mi menatap Seung Min sembari melirik keadaan sekitar.
Seung Min melepaskan lengan kokohnya dari pinggang ramping Eun Mi. Setelah itu, dia melihat sekeliling. Beberapa pasang mata kini sedang memperhatikan mereka. Seung Min berusaha menghiraukannya. Lelaki itu menyerahkan kertas yang berhasil raih kepada Eun Mi.
Eun Mi menerima kertas itu, melihat sekilas, kemudian meremasnya. Dia berjalan ke tong sampah dan membuangnya begitu saja. Merasa usahanya sia-sia, Seung Min berteriak.
“Ya! Aku harus keluar dari mobil hangatku, demi membantumu meraihnya kembali! Tapi dengan mudahnya Kamu membuangnya ke tong sampah!” Urat di sekitar mata Seung Min kini menegang.
Eun Mi hanya terdiam, matanya melotot, dengan tangan yang memegang dada. Dia terkejut karena lelaki selalu terlihat tenang itu, sekarang sedang memakinya. Namun, sedetik kemudian tawanya pecah.
“ Hahahaha ... Presdir, Anda aneh sekali!” Eun Mi terbahak sambil memegang perutnya yang tergoncang.
“Aku menolongmu dan kini Kamu bilang itu hal yang aneh? Benar-benar tidak berperasaan!” Tangan Seung Min kini disilangkan di depan dada.
“ Presdir, itu hanya selebaran dari Maple Tree House. Aku berencana mentraktir teman-temanku setelah gajian.” Jemari Eun Mi mengusap ujung matanya yang mulai berair.
“ Astaga! Ta-tapi kenapa Kamu sampai berlari dan menerobos hujan untuk mendapatkan brosur itu kembali? “
“Hehe, Saya belum selesai melihat daftar harga promonya.“ Kini Eun Mi tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Merasa kesal Seung Min meninggalkan Eun Mi yang masih mematung. Dia masuk mobil, kemudian memandang pakaiannya yang sudah basah kuyup. Hal itu membuatnya tersenyum kecut.
“Dasar bodoh Kau, Seung Min! Bisa-bisanya keluar dari mobil demi mengejar sesuatu yang sia-sia!” gerutu Seung Min.
Lelaki itu kemudian langsung tancap gas, membelah jalanan yang sudah basah karena air hujan.
.
.
.
Bersambung ...
Jangan lupa tap ❤️ supaya tahu kalau author update yaa...
BTW, Chika ada rekomendasi novel dari salah satu author kece, Kak Nophie. Boleh mampir yaa...
Sayang Kaliaaannn 😘😘😘
Hari berikutnya takdir kembali mempertemukan Eun Mi dan Seung Min. Sore itu langit berwarna jingga. Semilir angin menerpa rambut Eun Mi. Ia sedang menikmati senja di rooftop gedung, ditemani secangkir americano hangat.
Seung Min menuju lantai teratas gedung untuk merokok. Begitu membuka pintu, ia melihat siluet gadis yang membuatnya sedikit terobsesi akhir-akhir ini.
Mendengar pintu berderit, Eun Mi menoleh. Ia melihat Seung Min berdiri di sana. Sontak gadis itu bangkit dan membungkukkan badan. Seung Min melangkah mendekati Eun Mi, kemudian ia duduk di bangku yang sama dengannya.
Eun Mi duduk di tempat semula, walaupun sedikit canggung. Suasana terasa sunyi, tak ada satu pun dari mereka yang angkat bicara. Hanya terdengar tiupan lembut angin dingin ketika menerpa kulit keduanya. Seung Min memutuskan untuk membakar lintingan tembakau. Mencium aroma rokok, Eun Mi menoleh. Ia tak menyangka jika Seung Min adalah perokok.
"Anu ... Presdir, apa Anda pecandu rokok?"
Seung Min hanya diam tidak menanggapi. Ia menghisap lintingan tembakau di tangannya dengan santai. Merasa tidak digubris, Eun Mi menghela nafas. Sebuah kalimat meluncur dari bibir mungilnya dan membuat sang presdir menoleh.
"Rokok dan kopi itu rasanya pahit bagi mereka yang tidak tahu cara menikmatinya," ucap Eun Mi.
Seung min menoleh, menatap gadis yang duduk di sampingnya yang mulai tersenyum. Eun Mi melemparkan pandangan ke langit yang mulai berwarna jingga.
"Presdir, tahu? Banyak orang di luar sana yang masih menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja," kata Eun Mi.
"Tidak juga. Aku bukan orang yang seperti itu."
Seung Min ikut menatap langit sore.
"Benarkah? Kalau begitu ... menurut Presdir, Aku ini orang seperti apa?" Eun Mi bertopang dagu sambil menatap Seung Min.
"Cih, Kita saja tidak saling mengenal, bagaimana bisa Aku menilaimu orang seperti apa?" Seung Min mengangkat bahu.
Eun Mi mendengar penuturan lelaki dingin di sampingnya itu. Setelah berhasil meredakan tawa, ia kembali meminta Seung Min untuk menilainya.
"Kalau begitu nilai Aku dari penampilan luarku." Eun Mi duduk tegak dan menatap serius Seung Min.
Seung Min meneliti penampilan Eun Mi dengan saksama. Ia melihat wajah imutnya, kemudian memalingkan wajah. Lelaki itu kembali menghisap rokoknya dan mulai berbicara.
"Lugu, ceria, terkadang terlihat bodoh, dan ...." Seung Min tidak meneruskan lagi kalimatnya, karena tawa Eun Mi pecah.
"Hahaha, poin pertama adalah yang paling salah. Asal Presdir tahu, Aku bukan gadis selugu itu." Eun Mi tertawa sampai bahunya bergetar.
"Benarkah?" tanya Seung Min, dahinya berkerut menanti jawaban gadis itu.
"Aku ini perokok berat," ucap Eun Mi.
Seung Min tersenyum datar sambil menggelengkan kepala. Namun, seketika matanya melotot saat Eun Mi merogoh saku mantelnya, dan mengeluarkan sebungkus rokok lengkap dengan korek api. Rokok yang baru dihisapnya separuh jatuh ke lantai.
Eun Mi tersenyum simpul. Ia mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya. Gadis itu kemudian menghisap rokok dan meniupkannya ke udara.
"Dalam sehari Aku bisa menghabiskan dua bungkus rokok." Eun Mi tersenyum datar, diikuti mata Seung Min yang melebar.
"Ta-tapi kenapa sama sekali tidak ada bau tembakau yang menempel di tubuhmu?"
Seung Min tergagap.
"Aku juga tidak tahu penyebabnya, bahkan orang-orang bilang aromaku seperti persik," ungkap Eun Mi.
"Nah, betul!" Seung Min mengacungkan telunjuknya di depan wajah.
"Jadi kapan Presdir menyadarinya?" tanya Eun Mi sambil tersenyum lebar
"Kemarin, saat menolongmu mengambil brosur sialan itu!" Seung Min memalingkan wajahnya.
Perasaan Seung Min memburuk mengingat kejadian kemarin. Seketika ia bangkit lalu meninggalkan Eun Mi. Sebelum meraih gagang pintu, gadis itu menghampirinya.
"Presdir, mau menolongku? Atau mau berjuang bersama untuk berhenti merokok?" tanya Eun Mi.
Langkah Seung Min berhenti. Badannya berbalik lalu memandang wajah Eun Mi yang terlihat begitu serius. Ia merogoh saku jasnya, kemudian menyodorkan kartu nama kepada Eun Mi.
"Hubungi Aku segera, setelah itu Kita bicarakan lagi."
.
.
.
Beberapa hari setelahnya, Eun Mi memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada Seung Min.
Selamat siang, Presdir, sore ini bisa bertemu di Trough Cafe?
Setelah lumayan lama menunggu sebuah panggilan dari Seung Min masuk.
" Ya, halo, Presdir," sapa Eun Mi.
"Nanti jam empat sore bisa bertemu? Aku hanya ada waktu tiga puluh menit. Jadi, usahakan datang tepat waktu." Suara Seung Min menyapa pendengaran Eun Mi melalui ponsel.
"Baik, Presdir. Saya akan ...." Ucapan Eun Mi menggantung di udara, karena sambungan telepon sudah terputus.
"Orang sibuk memang beda ya!" gerutu Eun Mi sambil memaki ponsel yang ia pegang.
Eun Mi datang sepuluh menit lebih cepat dari jam yang ditetapkan. Ia memilih kafe itu karena suka dengan keunikan penyajian latte-nya. Pemilik serta barista di kafe ini akan mengkreasikan minuman yang disebut dengan Cream Art.
Mereka menggunakan kopi yang diseduh dengan teknik Dutch Cofee sebagai kanvas dan dihiasi dengan krim manis halus. Sang barista menggambar latte art langsung dengan tangannya. Mulai dari gambar bunga sakura yang sederhana, hingga lukisan Starry Night karya Van Gogh yang sangat rumit dan terkenal.
Setelah lima menit menunggu, akhirnya Seung Min datang. Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru muda yang dilipat sampai siku. Kemeja itu dipadukan dengan celana slimfit katun berwarna biru tua. Karismanya begitu menyilaukan mata. Tanpa sadar Eun Mi telah jatuh dalam pesona seorang Park Seung Min.
Eun Mi berdiri lalu melambaikan tangannya. Melihat sosok yang ia cari melambaikan tangan, Seung Min mendekat. Tanpa diberi aba-aba ia mendudukkan bokongnya ke atas kursi yang berseberangan dengan Eun Mi.
"Baiklah, langsung saja. Aku tidak suka basa-basi. Poin pertama yang mesti kuluruskan. Aku perokok tapi bukan pecandu." Seung Min mencondongkan badannya ke arah Eun Mi.
"Lalu kenapa Presdir menanggapi permintaan Saya? tanya Eun Mi sambil memiringkan kepala.
"I-itu karena ... setelah dipikir-pikir membantumu akan menjadi sebuah ladang perbuatan baik untukku." Tangan Seung Min kini berada di atas dada bidangnya.
"O ...," ucap Eun Mi sambil terus mengangguk.
"Jadi, apa alasanmu ingin berhenti merokok?" tanya Seung Min.
"Karena memang ingin berhenti saja." Eun Mi menatap Seung Min, sembari menyilangkan lengannya.
"Aku butuh alasan yang lebih spesifik. Jadi, Aku bisa memutuskan apakah kamu pantas ditemani berjuang atau tidak," kata Seung Min.
"Ayahku perokok berat. Dari merokok, ia mulai jadi pecandu alkohol. Setelahnya, ia suka berjudi dan sering memukul ibu." Mata Eun Mi menerawang mengingat kembali kejadian masa lalu yang memilukan.
"Lalu kenapa Kamu mengikuti jejaknya?" Seung Min menautkan kedua alisnya.
"Ibuku didiagnosis mengidap kanker paru-paru karena menjadi perokok pasif. Ia meninggal setelah berjuang selama setahun. Tadinya Aku berharap dengan merokok bisa segera menyusulnya." Eun Mi menunduk, bahunya kini merosot.
"Bodoh!" seru Seung Min.
"Aku memang bodoh," ucap Eun Mi sambil tersenyum kecut.
"Dan sekarang, kenapa ingin berhenti? Sudah tidak berniat untuk mati?" Seung Min tersenyum datar.
"Itu ... karena Aku tiba-tiba menemukan harapan untuk tetap hidup. Aku memiliki teman yang sangat menyayangiku," ucap Eun Mi dengan mata berkilat.
"Oke! Mari kita berjuang bersama!" Seung Min kini beranjak dari kursi, diikuti senyum Eun Mi yang mengembang.
Sejak saat itu mereka berdua saling mengingatkan satu sama lain. Keduanya mencoba berbagai cara agar bisa berhenti merokok, bahkan menentukan target kapan harus benar-benar hidup tanpa tembakau.
Demi mencapai target yang ditentukan, mereka sering makan bersama di atap. Biasanya Eun Mi akan membawakan bekal makan siang. Selesai makan, keduanya akan bermain game atau sekedar mengobrol agar tidak merokok.
Setiap pagi mereka akan bertemu untuk joging atau bersepeda di dekat sungai Han. Mereka bertemu hampir setiap waktu. Tanpa mereka sadari, sebuah perasaan asing mulai menyelinap. Orang biasa menyebutnya cinta.
Pagi itu suasana begitu cerah. Eun Mi yang libur, memutuskan bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan. Ia berencana akan sarapan bersama Seung Min setelah bersepeda.
Begitu sampai di tempat biasa bertemu, Eun Mi tidak melihat sosok Seung Min. Rasa kecewa menyelinap di dadanya. Ia merogoh ponsel di kantung celana training-nya, dan menelepon Seung Min untuk bertanya di mana ia berada.
"Halo Seung Min ... Kamu dimana?" tanya Eun Mi.
"Maaf, mulai hari ini Kita tidak perlu bertemu lagi. Kita sudah berhenti merokok," ucap Seung Min melalui sambungan telepon.
Mata Eun Mi mulai mengembun, tapi memang benar apa yang lelaki itu katakan. Perjuangan mereka sudah berakhir. Ia harus kembali terbiasa menjalani hidup tanpa Seung Min.
"Baiklah, terima kasih sudah mau berjuang bersama dan membantuku." Eun Mi langsung mematikan sambungan telepon. Ia sudah tidak sanggup menahan tangis, tak lama kemudian air mata Eun Mi mengalir deras.
"Huaaaaaaaaa... Aku tidak mau seperti ini!"
.
.
.
Bersambung ...
Semoga suka dengan ceritanya🤗🤗🤗
BTW sedang ada revisi untuk penggantian nama tokoh demi pengajuan kontrak. Mohon dukungannya❤️❤️❤️
Tangis Eun Mi yang pecah membuat Seung Min yakin bahwa mereka sudah saling bergantung. Dia menghampiri Eun Mi yang masih menangis meraung-raung seperti bocah yang terpisah dari ibunya. Lelaki itu semakin merasa bersalah, karena melakukan cara kekanakan untuk menguji perasaan Eun Mi. Seung Min mulai melangkah mendekati kekasihnya.
Merasakan kehadiran orang lain, Eun Mi mendongak. Tangisnya makin pecah, dan kembali menenggelamkan wajah ke dalam kedua telapak tangan.
"Huuuuaaaaaaa ... bahkan sekarang Aku sudah gila! Aku mulai berhalusinasi melihat Seung Min!" Tubuh Eun Mi semakin bergetar hebat karena tangisnya.
"Bodoh!" Seung Min membungkukkan badan.
Mendengar suara yang begitu akrab, tangis Eun Mi berhenti dan kembali mendongak. Dia mengusap kelopak mata, untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang berhalusinasi. Ternyata Seung Min benar-benar ada di depan matanya.
Lelaki itu merengkuh lengan atas Eun Mi, kemudian jemari Seung Min menghapus bulir-bulir air mata yang membasahi pipi kekasihnya.
“Maaf, karena telah membohongimu. Aku takut, kalau ternyata hanya Aku yang merasa kehilangan saat tak melihatmu." Sebuah senyum lembut terpahat di bibir Seung Min.
Mendengar perkataan Seung Min, Eun Mi terkejut. Ia tak menyangka ternyata mereka berdua memiliki perasaan yang sama. Mata Eun Mi terbelalak saat tubuh mungilnya berada dalam pelukan Seung Min. Pria itu menepuk pelan punggung Eun Mi. Perlahan sisa tangisnya berhenti karena perlakuan lembut Seung Min. Dadanya menghangat, rasanya lama sekali dia tidak mendapatkan pelukan penuh cinta.
"Aku tidak akan pernah menghilang lagi. Jadi, Kau juga jangan pernah hilang dari pandanganku." Seung Min mengecup puncak kepala Eun Mi
Senyum Eun Mi mengembang, dia mengangguk lalu membalas pelukan Seung Min. Saat itu mereka resmi berpacaran. Namun, keduanya sepakat untuk tidak membuka hubungan itu kepada orang lain.
Setiap hari mereka bertemu secara diam-diam. Saat Eun Mi menjadi tim mekap di luar kota, Seung Min akan menyusulnya. Setelah pekerjaan Eun Mi selesai, mereka akan makan malam bersama. Hubungan mereka berjalan begitu lancar, sampai sebuah kesalahan menodainya.
Malam itu Seung Min yang sedang frustrasi meminum alkohol dalam jumlah banyak. Hal itu dikarenakan desakan keluarganya, ingin Seung Min segera bertunangan dengan putri pertama Presdir Daewon Grup.
Di sisi lain, Eun Mi mulai khawatir karena teleponnya diabaikan oleh Seung Min. Dia berulang kali menelepon, tapi tidak diangkat. Eun Mi terkejut saat suara orang asing menjawab panggilannya.
"Halo ... maaf, pemilik ponsel ini sedang mabuk berat. Apa Anda mengenalnya?" Suara bartender bercampur dengan musik disko.
"Di mana dia sekarang? Aku akan menjemputnya." Bahu Eun Mi merosot, dia memegang kepalanya yang mendadak berputar.
"Dia sekarang ada di JJ Bar tolong segera kemari,” kata si bartender.
"Baiklah. Tolong jaga dia sebentar, sampai Aku datang." Eun Mi mematikan sambungan telepon, dan langsung memesan taksi untuk menjemput Seung Min.
Sesampainya di bar itu, Eun Mi langsung berjalan ke arah kekasihnya. Langkahnya berhenti ketika sampai di samping tubuh Seung Min yang sudah tak berdaya.
"Seung Min ....” Eun Mi menggoyangkan lengan kekar Seung Min.
Tubuh Seung Min mulai menggeliat. Ia menoleh sebentar ke arah Eun Mi, lalu tertidur lagi. Eun Mi mendengus kesal karena dia sudah berjanji untuk tidak menyentuh alkohol. Namun, kenyataan di depannya ini membuat gadis itu kecewa.
Eun Mi membawa tubuh tegap Seung Min ke dalam taksi, dibantu seorang karyawan bar. Mulutnya tidak berhenti menggerutu sepanjang perjalanan.
"Dasar! Sudah kubilang bukan? Kamu itu diciptakan untuk tidak menyentuh alkohol! Aigoo ... dasar anak bandel!" Omel Eun Mi sambil terus menoyor kepala Seung Min dengan jari telunjuknya.
Tak lama mereka sampai di apartemen mewah Seung Min. Eun Mi meminta bantuan sopir taksi untuk membawa Seung Min memasuki apartemen. Ia membaringkan tubuh kekasihnya di atas sofa ruang tengah, kemudian memiringkan kekasihnya agar tidak tersedak.
Kepala Eun Mi terasa pening, karena melihat Seung Min tak sadarkan diri. Dia memandang wajah Seung Min yang begitu tampan. Jemari nakal Eun Mi mulai membelai lembut paras kekasihnya yang sedang terlelap. Dis mengamati setiap inci bagian wajah Seung Min. Dahi yang lebar, alis tebal, hidung mancung, dan bibir tipis Seung Min.
Jari telunjuk Eun Mi berhenti di atas bibir Seung Min. Tiba-tiba mata Seung Min terbuka, sontak Eun Mi menarik jari-jari nakalnya dari wajah Seung Min. Namun, lelaki itu justru menarik lengan kekasihnya.
Kini tubuh mungil Eun Mi sudah berada dalam pelukan Seung Min. Sebuah perasaan sedih tiba-tiba menjalar di hatinya. Dia melihat kepedihan dalam tatapan Seung Min.
"Kau kenapa? Apa ada masalah?" tanya Eun Mi lirih.
"Sedikit.” Seung Min tersenyum datar.
"Tapi kenapa sampai mabuk begini?" Eun Mi menarik tubuhnya dari pelukan Seung Min. Dia menatap pria yang sudah berstatus sebagai pacarnya selama enam bulan terakhir.
"Seung Min, mau kuambilkan air putih?" tanya Eun Mi.
Seung Min hanya mengangguk. Eun Mi melangkahkan kakinya menuju dapur, dan kembali dengan membawa sebotol air mineral. Dibukanya tutup botol itu, lalu diberikan kepada Seung Min. Lelaki itu duduk, kemudian menenggaknya perlahan.
"Ada masalah apa? Bukankah Kita sudah berjanji, untuk saling bercerita jika ada masalah?" tanya Eun Mi.
Seung Min menghela napas kasar, berharap rasa sesak di dadanya ikut terhempas. Dia kemudian menceritakan tentang desakan ayahnya untuk segera menikah.
"Ayah ingin Aku segera menikah dengan putri dari Daewon Grup." Kepala Seung Min tertunduk lesu.
Eun Mi hanya terdiam ketika mendengar ucapan Seung Min. Ketakutannya selama ini benar-benar terjadi. Walau sering bersama, faktanya dia dan Seung Min seperti hidup di dunia yang berbeda.
Hal itulah yang membuat Eun Mi menyembunyikan hubungannya dengan Seung Min. Bukan karena Eun Mi tak sungguh-sungguh terhadap Seung Min. Sejujurnya, dia ragu apakah bisa terus bersama dengan Seung Min atau tidak. Belum lagi opini publik yang begitu jahat, karena kesenjangan status sosial di antara keduanya yang teramat jauh.
"Membayangkan harus berpisah denganmu, rasanya Aku ingin mati, " ucap Seung Min dengan suara yang mulai bergetar.
Eun Mi merangkum pipi Seung Min. Dia menatap kekasihnya itu dengan perasaan yang begitu kacau, sebisa mungkin Eun Mi berusaha untuk tetap tersenyum.
"Tenanglah, ayo Kita terus berjuang bersama!" Eun Mi menggenggam tangan Seung Min.
Mendengar ucapan Eun Mi, hati Seung Min sedikit lebih tenang. Dia memeluk kekasihnya itu dengan lembut. Setelah merasa nyaman, Seung Min melepaskan pelukan.
"Katanya, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Namun kurasa, tak akan ada perpisahan jika Kau tetap di sini bersamaku." Seung Min merangkum wajah Eun Mi sambil tersenyum.
Mendengar ucapan Seung Min, mata Eun Mi mulai mengembun. Tak lama kemudian, tangisnya pecah karena pelukan Seung Min. Dia tak menyangka cinta Seung Min begitu besar. Justru cintanyalah yang lemah, Eun Mi kehilangan harapan untuk bersama kekasihnya itu.
"Asalkan kamu masih berada di sini bersamaku, aku akan tetap kuat. Mari berjuang bersama." Seung Min melepaskan pelukannya, kemudian mengecup jemari Eun Mi.
Seung Min menghapus sisa tangis Eun Mi dengan jarinya. Perlahan Seung Min mendekatkan wajah, kemudian mengecup lembut bibir mungil Eun Mi. Ciuman lembut itu kelamaan semakin menuntut. Deru napas mereka bercampur. Tanpa mereka sadari, sebuah dosa besar telah mereka lakukan. Sebuah penyatuan yang akan berujung pada perpisahan di kemudian hari.
***
Keesokan harinya, Seung Min bangun dengan perasaan kacau. Bagaimana tidak? Eun Mi menghilang ketika dia terbangun. Seung Min beranjak dari ranjang, dan melihat ada noda merah pada sprei yang membungkus kasurnya.
"Sialan! Aku pasti sudah membuatnya kecewa!" Seung Min meninju tembok kamar.
Lelaki itu menyusuri setiap sudut apartemen, akan tetapi hasilnya nol. Dia juga mencoba menelepon Eun Mi, tapi sia-sia karena nomornya sudah diblokir. Seung Min segera membersihkan diri dan bergegas menuju stasiun televisi. Sesampainya disana, lelaki itu mencoba memanggil ketua tim mekap untuk mengetahui keberadaan Eun Mi.
"Aku minta jadwal tim mekap hari ini." Seung Min melemparkan tatapan dinginnya kepada Han Suji.
“Ya?” Suji melebarkan matanya karena pertanyaan janggal sang presdir.
"Apa Aku harus mengulangi perkataanku dua kali?" Seung Min menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
“Ti-tidak Presdir. Saya akan segera mengirimkan jadwal tim mekap kepada Anda." Suji membungkuk, kemudian kembali ke ruangannya.
Tak lama kemudian, ponsel Seung Min menyala. Ia menerima pesan dari Suji yang berisi jadwal kerja tim mekap. Setelah membaca jadwal milik Eun Mi, lelaki itu membanting ponselnya ke lantai.
"Sial!" umpat Seung Min sambil mengusap wajahnya kasar.
.
.
.
Hai ...
Apakabar semuanya ...
Hari ini Chika mau merekomendasikan sebuah Novel karya salah satu Author Eveliniq. Jangan lupa mampir yaa, sayang Kaliaaannnn❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!