*Aku "Naomi Tavita Arka" Mahasiswa terbaik di universitas terbaik di Kota B, mencapai prestasi yang banyak dalam 3 tahun dalam usia 25 tahun. Tahun-tahun dimana aku selalu merindukan keluarga kecilku, suamiku "Rayyan Marendra" yang kini berusia 30 tahun & Putra ku "Ranvie Oami Marendra" berusia 5 tahun. Setiap tanggal 3 di setiap bulan aku pasti merindukan mereka & selalu membuat surat yang aku kumpulkan di lemari khususku, setiap malam menangis merindukan mereka, tak banyak yang tahu orang yang ku rindui telah tiada.
Dikelas aku selalu menolak berteman ataupun bersahabat dengan siapapun, menolak ditemani. Mereka berpikir aku perempuan yang sombong, aku selalu sendiri dalam segala hal, berinteraksi dengan orang-orang hanya kepentingan.
"Naomi", teriak salah seorang gadis dari kejauhan, saat menoleh ternyata "Livy Rose". Dari dulu ia selalu ingin menjadi sahabatku, tapi aku menolaknya, ia orang yang baik, tapi entah mengapa aku selalu menjaga jarak dengan siapapun.
"Ya, ada apa?" Tanyaku dengan senyum.
"Na, maukah kau mengajariku dalam setiap piano?"Pintanya dengan mata penuh harapan agar ku berikan jawaban Ya.
"Vy, kenapa harus aku? Bukankah diuniversitas ini banyak yang lebih baik dariku untuk mengajarimu. Mereka bahkan lebih berprestasi dariku". Kataku menolaknya secara halus, meski ku tahu tujuannya untuk mendekatkanku dengan kakak laki-lakinya yang tertarik denganku, berusaha mendekatiku, meski ku tahu "Darvin Imanuel" adalah orang sempurna menurutku sebagai wanita ketika menilainya dan begitu mapan dalam hal financial, tapi sampai saat ini dimata, hati & pikiranku, laki-laki sempurna itu "Rayyan Marendra" hingga saat ini.
"Semua orang tau, kau lebih banyak meraih prestasi selama 3 tahun ini, kenapa kau selalu menolakku?" Tanyanya dengan sedih sambil menunduk.
"Aku bukan menolak, tapi aku menolak mengajar saja, aku tidak terbiasa dengan adanya murid". Jawabku dengan senyum.
"Na, tenanglah aku akan membayarmu selama kau menjadi guruku".
"Hanya mengajarimu kan?" Tanyaku.
"Ya, hanya mengajariku saja." Jawabnya dengan wajah ceria.
"Baiklah, aturlah waktu untuk dirimu sendiri aku akan kerumahmu", kataku.
"Terima kasih, Na. Aku tahu kau orang baik, aku tahu kau tidak seperti apa yang mereka katakan, masalah bayarannya kamu tenang saja aku akan membayarmu dengan mahal." Kata Livy dengan kegirangan.
"Masalah bayaran, aku tidak perlu. Aku hanya mengajarimu cuma-cuma sambil mengasah kemampuan ku lebih baik lagi".
"Yah, terserah kau saja. Asal kau mengajariku, aku sudah sangat senang". Katanya sambil belari keluar dari kelasku.
Aku memutuskan mengajarinya, karena mengingat selalu pesan Rayyan terhadapku. Membantu orang & menjadi orang berguna disekitar. Seketika muncul dalam ingatanku bersamanya, hingga aku ingin menangis, tapi aku sadar ini adalah kelas banyak mahasiswa memperhatikanku jika aku tiba-tiba menangis.
"Darvin Imanuel". Gumamku kaget melihatnya diruang latihan melukisku "Apa yang kau lakukan disini?" Tanyaku dengan heran.
"Nao, aku dengar kau telah memutuskan untuk mengajar adikku, bukankah aku harus menyapa gurunya, yang menjadi murid karate ku?" Tatapannya yang sinis membuatku berhenti keheranan.
"Tuan Darvin, kalau hanya untuk menyapaku, kenapa harus repot mendatangkan dirimu ketempatku? Lagipula kau bisa menyapaku dirumahmu". Kataku dengan dingin.
"Nao, kau masih saja dingin terhadapku."
"Tuan Darvin, kau tau sifatku dari dulu, dingin dengan pria".
"3 tahun, apakah aku sebagai gurumu tidak pantas tahu tentang masa lalumu?" Tanyanya dengan senyuman sinis.
"Oh, ya. Kau ingin tahu masa laluku? Apa kamu yakin ketika mengetahuinya, kau tidak akan berubah terhadapku!"
"Kau tahu aku tidak pernah peduli".
"Benarkah?" Tanyaku dengan senyum sinis.
"Tidak perlu bertele-tele lagi, katakan siapa mereka "Rayyan Marendra & Ranvie Oami"?
Betapa kagetnya aku mendengar nama itu, Darvin Imanuel, mencari tahu masa laluku, sampai menemukan nama suami dan anakku, yang ku simpan bertahun-tahun dari orang-orang.
"Tuan Darvin, apapun yang kau tahu tentang mereka sebaiknya tak usah mengungkitnya lagi".
"Kenapa?" Tanyanya dengan senyum jahat, seperti ingin memancingku berbicara tentang mereka berdua. "Apakah mereka terlalu buruk bagimu?"
"Yah, mereka berdua adalah laki-laki yang ku tipu dimasa lalu, apakah kau ingin aku melakukannya dimasa sekarang bersamamu?" Tanyaku dengan membalikkan senyum jahat kepadanya. Ku lihat dari wajahnya Ia begitu kaget mendengar pernyataanku, aku berharap Darvin benar-benar menyerah kepadaku tentang perasaannya terhadapku.
"Apa kau pikir aku akan percaya dengan kata-katamu itu?" Tanyanya sambil membalikkan badannya.
"Itu adalah urusanmu Tuan, aku tidak pernah memaksa siapapun untuk percaya padaku".
"Cepat atau lambat kau pasti akan mengakui masalalumu kepadaku". Katanya sembari meninggalkan ku, diruangan lukisanku. Aku tertunduk menahan tangisanku, memikirkan suami dan anakku.
Malam-malam aku selalu sendiri mengurung diri dikamarku, menangis dan mengingat kenangan ku bersama Rayyan dan Ranvie. Ada 30 panggilan tak terjawab dari Darvin yang sengaja ku abaikan dan 10 pesan masuk yang tidak ku balas bahkan tidak ku buka. Setiap malam aku hanya ingin sendiri mengurung diri dikamarku, ingin terus berada dalam ingatan ku kepada mereka berdua. Darvin memang baik, sejak pertama kali menerimaku jadi murid bela dirinya, ia sudah mulai mencintaiku perlahan-lahan, ia bahkan sering sekali mengajakku ikut kompetisi. Tapi aku selalu menolaknya, karena tujuanku mengikuti seni bela diri hanya untuk melindungi diriku sendiri. Semenjak Rayyan dan Ranvie pergi meninggalkanku, akupun harus menjaga diriku sendiriku.
Pagi harinya, diruang pianoku seperti biasa wajahku pasti sembab dan mataku bengkak, karena setiap malam menangis merindukan sesuatu yang tidak bisa lagi ku temui selamanya. Diruang khususku, aku selalu bisa menghibur diriku sendiri, diruang lukisku ketika aku merasa rindu, aku selalu melukis sebuah tempat dan aku terlarut didalamnya.
Diruang pianoku ketika aku sedih menerima fakta dan kenyataan mereka tidak akan pernah kembali. Diruang bela diriku ketika aku meluapkan amarahku kepada sesuatu yang ku tahu tidak akan bisa ku temui namun begitu sulit ku terima.
Diruang piano, tanpa sadar ditengah permainanku Darvin sudah dibelakang menyaksikannya, setelah selesai ia pun bertepuk tangan dan aku tidak kaget lagi dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
"Amazing, Nona Naomi". Kata Darvin sambil bertepuk tangan dan berjalan kearah ku yang membelakanginya.
"Ada apa?" Tanyaku sambil meliriknya.
" Haruskah kau bertanya seperti itu kepadaku?" Tanyanya balik. "Bisakah kau menyambutku dengan senyuman?"
"Tuan Darvin, dari dulu kau tau aku tidak pernah ramah terhadap dirimu, kenapa kau tidak pernah bosan mendatangiku yang tidak pernah mau menerimamu jadi tamuku". Kataku dengan ketus.
"Nona Naomi, ku beritahu satu hal kepadamu. Kalau kau tidak ingin bercerita masa lalumu terhadapku, aku akan melamarmu". Katanya dengan nada mengancam sembari duduk disampingku.
"Tuan Darvin, tidakkah kau lelah mengejarku terus menerus?"
"Tentu saja tidak". Katanya dengan tegas. "Aku tahu diriku ketika aku mencintai seseorang, aku tidak akan berhenti berjuang".
"Tuan Darvin, apa kamu tidak takut kalau suatu saat nanti mengetahui masa laluku dan kamu tidak akan menyesal?" Tanyaku sambil memalingkan wajahku.
"Apapun masa lalumu, itu hanya hal terbelakang, bagiku kau dan aku kedepannya". Katanya sambil memainkan jari-jarinya ke piano.
"Tuan Darvin, kau mungkin bisa menerimaku, tapi tidak pada keluargamu. Masih banyak perempuan-perempuan diluar sana yang bisa kau pilih untuk jadi istrimu, aku tidak bisa menerimamu meskipun kau berusaha, aku akan terus menghindar". Kataku dengan meneteskan air mata tanpa ia tahu.
"Nao, dari awal aku sudah tertarik denganmu, jika saja kau mau menceritakan masa lalumu kepadaku, aku akan mempertimbangkan diri untuk berhenti mencintaimu". Katanya sambik menyentuh tanganku yang masih berada di atas piano, air mataku pun jatuh seketika. Berpikir haruskah aku menceritakan semua pada Darvin? Tapi aku tidak bisa menceritakan segalanya kepada siapapun.
"Tuan Darvin, beri aku waktu 3 hari untuk memikirkannya. Aku akan menghubungimu dan memberimu jawabannya." Kataku, sambil menarik tanganku dari sentuhan tangan Darvin.
Iapun berdiri dari sampingku, "baiklah. Jika itu mau mu, aku akan menunggumu selama 3 hari, ku harap kau mau menceritakannya. Setidaknya, setelah mengetahui masa lalumu, kita bisa jadi sahabat". Katanya, lalu pergi dari ruanganku. Akupun menangis sejadi-jadinya, berdiri lalu berjalan kearah jendela, dengan tatapan kosong yang penuh air mata. Aku bukan sengaja menyembunyikan masa laluku, aku tidak ingin ada yang mengingatkanku tentang Rayyan dan Ranvie, karena setiap malam selama 3 tahun aku terus saja mengingatnya. Begitu susahnya melupakan masa laluku. Gumamku.
Aku kembali ke kampus dalam keadaan memikirkan jawabanku kepada Darvin. Aku tidak fokus pada semua mata kuliahku hari ini, sehingga semuanya tidak bisa ku serap ke otak ku, baru kali ini aku kuliah tidak fokus selama 3 tahun, Darvin benar-benar mengacaukan pikiranku. Gumamku dalam hati sambil menghela nafas dan memijat-mijat jidatku, karena pusing memikirkannya.
Ditaman kampus aku duduk sendiri di bangku taman, sambil memandangi foto Rayyan dan sesekali mengelus-elus bingkai foto itu. Tidak lama aku duduk, seniorku datang menghampiriku.
"Kau terlihat selalu sendirian". Katanya yang berdiri disampingku, aku pun mendongakkan kepala ku kearahnya.
"Kak Hans Govinra." Kataku dengan wajah sedih. Melihatku sedih, ia duduk disampingku.
"Hei, Are you okay?" Tanyanya khawatir.
"Ya, aku baik-baik saja Kak Hans".
"Naomi, aku tidak tahu kenapa kau begitu menyukai kesendirian. Dimana-mana kau terlihat selalu sendiri, apa kamu minder dengan dirimu?" Tanyanya dengan penasaran.
"Ya, aku senang dengan kesendirian ini. Aku sudah terbiasa, aku bukan minder Kak Hans, hanya saja sendiri itu menyenangkan bagiku". Kataku sambil menundukkan wajahku.
"Nao, cobalah bergaul dengan orang-orang dikampus ini, kau mahasiswi berprestasi, mereka pasti akan welcome terhadapmu".
"Justru itu Kak Hans, aku tidak ingin diterima karena berprestasi, aku ingin diterima bukan karena itu".
"Nao, sudah 3 tahun berlalu. Dari awal kau masuk ke universitas ini, kau selalu sendirian, selalu menolak setiap kali ada lomba antar universitas. Apa kamu tidak bosan hidup sendiri selama 3 tahun?" Tanyanya dengan raut wajah sedih. Akupun memalingkan mukaku kearahnya.
"Entahlah, Kak Hans. Aku juga bingung dengan diriku sendiri, aku seperti tidak membutuhkan sesuatu lagi selama 3 tahun ini. Kak Hans, terima kasih sudah mengkhawatirkan ku". Kataku sambil tersenyum.
"Nao, setidaknya kalau kamu tidak bisa menerima pria untuk dekat denganmu, bertemanlah dengan perempuan. Agar kau merasa masih ada orang disekitarmu." Katanya sambil beranjak dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan ku.
Hans Govinra seniorku dikampus yang sejurusan denganku, ia juga berusaha akrab denganku semenjak ia mengospek ku diawal masuk kampus. Setahun aku dikampus, ia menyatakan rasa sukanya terhadapku, tapi aku menolaknya, padahal ia adalah idola kampus, tampan & kalangan orang berada. Hans sering dikejar-kejar perempuan kampus, tapi sudah 2 tahun setelah ku tolak ia tetap saja menungguku.
Dari jauh ada yang memanggilku "Naomi Arka", teriaknya dengan nada penuh amarah. Aku berbalik kerah suara tersebut dan kaget, ternyata "Tasyi Aurora". Ia perempuan yang tergila-gila kepada Hans Govinra, tidak bisa ku pungkiri ia memang cantik, bodynya bagus dan sekelas dengan Kak Hans.
"Ya, ada apa? Bisakah kau tidak berteriak? Aku bukan orang tuli. Kataku dengan santai.
"Kau memang tuli, beberapa kali ku peringatkan untuk menjauhi Kak Hans, kenapa kau tidak mempedulikannya". Katanya sambil menunjuk-nunjukku.
"Tasyi, dari tadi kau memata-matai kami ya? Tasyi, berhentilah. Yang perlu kau ingatkan bukan aku, tapi Kak Hans. Aku sama sekali tidak tertarik padanya."
"Kau pembohong Naomi. Kau selalu berduaan dengan Kak Hans." Katanya dengan emosi.
"Tasyi, ku beritahu. Daripada kau memperingatkan aku, lebih baik kau berpikir bagaimana caranya untuk memenangkan hati Kak Hans". Kataku sambil tersenyum.
"Bagaimana aku bisa mendapatkannya, kalau kau masih berada di kampus ini".
"Jadi kau mau aku keluar dari kampus ini?" Tanyaku heran. Tasyi mengangguk. "Jangan mimpi kamu, Tasyi. Aku kesini untuk belajar, bukan datang merebut para lelaki atau mencarinya". Kataku dengan mata melotot dan suara tinggi.
" Kalau bukan itu tujuan mu, maka pergilah". Katanya sambil mengusirku. Aku tahu Tasyi anak konglomerat yang berpastisipasi dalam dana kampus, jadi seenaknya mengusir orang.
"Dengarkan aku baik-baik Tasyi, selama aku belum lulus dari kampus ini, aku Naomi Tavita Arka, tidak akan pergi sebelum tujuan ku tercapai. Kalaupun kau berusaha mengusirku, maka berpikirlah, jangan sampai aku mempermalukanmu". Kataku dengan tegas dan sedikit mengancam, lalu pergi meninggalkannya. Tasyi sangat mengenal kepribadianku, karena awal aku masuk di kampus ada anak laki-laki yang berusaha melecehkanku, tapi gagal karena sebelum beberapa bulan masuk ke universitas B, Darvin Imanuel guru seni bela diriku mengajariku. Pada akhirnya, anak laki-laki itu ketika melihatku, mereka menundukkan kepalanya. Karena aku membuatnya babak belur di wajah, sehingga lebam dan hidungnya mengeluarkan darah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!