NovelToon NovelToon

Marry (To) Me

Prolog

              Suasana kafe sore itu sedikit temaram diselimuti alunan musik trendi yang menguar di sekeliling gadis berambut keriting sebahu itu. sesekali ia menmyesap minuman dinginnya yang mulai mencair dan membuat tetes embun di gelas kacanya. Ia memainkan jemari, mengetuk meja menigkuti nada lagu yang terdengar sembari melirik kecil jalanan di luar sana. Ramai bebalut mendung yang menggantung di langit.

Dia sudah tamat SMA. Awalnya, ia kira semua akan indah seperti dalam novel atau film. Ia memasuki masa kuliah, bertemu teman baru tanpa melupakan teman lama. Bersama kekasihnya yang sudah bersama sejak SMA dulu. Berjalan-jalan, kuliah, bercanda dan belajar. Dia pikir semua akan indah seperti itu. Juga, bersama keluarganya yang sempurna. Tapi, ternyata tidak. Ada banyak batu kerikil tajam yang datang. Silih berganti, nyaris setiap saat membuatnya semakin rapuh. Bahkan... keluarga yang sempurna? Hah...

Gadis itu melirik kembali ke arah jalanan yang riuh namun tak bersuara. Hari ini, dia ingin mengucapkan sesuatu yang penting. Dan dia memiliki harapan cukup besar agar bisa meringankan sedikit saja kekalutannya. Rupanya, dia tidak cukup kuat merahasiakan semua.

              “Sepuluh menit. Jarang banget sih nih anak telat?” lirihnya seraya melirik jam tangannya dengan sedikit kesal namun juga menyisakan kekhawatiran. Dia mengatur napas dan mengatur tekadnya. Sudah lama ia memutuskan hal ini dan akan ia ungkapkan sebelum semakin tertekan.

              Tak lama, suara gemerincing lonceng di pintu masuk kafe membuatnya menoleh. Seulas senyum lega sekaligus kesal terulas di bibirnya. Menyambut kedatangan seorang laki-laki tinggi yang berjalan ke arahnya. Laki-laki itu terlihat sedikit terengah namun tetap menunjukkan senyum tulus yang memamerkan lesung di ujung bibirnya. Dia sangat memukau. Sejak pertama bertemu sampai detik ini, gadis itu selalu terpesona akan auranya. Kuat, dalam dan manis. Hah... pesona itu nyaris meruntuhkan niatnya.

              “Sori, tadi kudu ketemu ama dosen bentar,” ujar laki-laki itu sambil menyeret bangku di depan gadis itu dan duduk sambil meletakkan tas di lantai, “Udah lama?” rambutnya bergerak saat angin dari pendingin ruangan menerpanya. Aroma samar dari parfum bargamot berbaur mint yang menjadi ciri khas laki-laki itu, menerjang penciuman gadis itu. Benar-benar aroma yang telak yang membiusnya. Lagi.

Gadis itu memberengut, menyeruput sejenak minuman di mejanya lalu melempar tatapan kesal seraya memicingkan kedua matanya yang memanas. Yah, terlalu banyak menyimpan air mata membuat matanya nyaris buta karena panas. Meski ungkapan itu berlebihan, sih... .

              “Menurut lo?” tanya gadis itu dengan nada sedikit sarkas, mengabaikan perasaannya yang berkecamuk.

              Laki-laki itu hanya tersenyum, sedikit aroma bargamot yang berbaur dengan mint menyeruak kembali kala ia menghela napasnya. Laki-laki yang terlihat cukup manis. Dia istimewa dengan lesung pipi yang selalu hadir di ujung bibirnya. Laki-laki yang mempesonanya dalam 5 tahun terakhirnya sejak masa MOS SMA dulu. Arsean Sasongko –Sean—. Selama itu mereka bersama. Cukup lama tapi pesona Sean di mata gadis itu, tidak pudar.

              “Gue pesen minum bentar ya,” ujar Sean yang kemudian melangkah menuju meja bar untuk memesan minuman.

              Gadis berambut keriting—Marry Andrea— melihat bahu Sean yang terlihat tegap dari belakang. Ia menopang dagu dan menatap punggung Sean dengan lekat. Lagi-lagi kegundahannya kembali muncul, rasa cemas yang ia simpan sejak duduk di Kafe, kembali muncul. Ada sedikit pemikiran berkecamuk yang membuat napasnya sedikit tercekat. Sungguh ia ingin bernapas barang sejenak, namun semakin sulit setelah bertatap langsung dengan Sean. Pikirannya akbar seketika. Segala pertahanan yang ia bangun susah payah, hampir tergerus.

Cukup lama Sean memesan makanan. Marry hanya bisa menatap kosong punggung tegapnya. Marry nyaris tenggelam dalam lamunan saat ia menemukan Sean sudah mulai berbalik badan sambil menenteng kayu bertuliskan nomor pesanan. Ia melangkah ringan sambil menunjukkan seulas senyumnya lagi. Sean terlalu banyak tersenyum manis sejak tapi. Tolong, itu membuat Marry sesak napas!

Sean kembali duduk di kursinya dan meletakkan nomor pesanan ke atas meja. Ia berdeham sejenak lalu kembali tersenyum polos ke arah Marry. Lagi!

              “Kenapa lo senyum mulu?” tanya Marry sembari berusaha menepis kegusarannya. Ia setengah memicingkan mata seolah curiga. Ya, memang senyuman Sean sedari tadi, agaknya cukup mencurigakan. Sean tidak terlalu sering memamerkan senyuman. Dia tipikal gunung es yang judes. Setidaknya, waktu SMA, dia begitu. Dia tidak pernah tersenyum atau berkomunikasi santai dengan sembarang gadis. Walaupun, Sean akan berubah sangat manis pada Marry, sih. Dia selalu bersikap lembut hanya pada Marry. Mereka sudah saling tertarik sejak awal.

              “Lo cantik.”

              “Wah, ada apa nih... tuan muda Sean jarang-jarang mau muji gue.”

              Sean meraih tangan Marry dan mengelusnya perlahan. Mendapat perlakuan kecil itu, membuat hati Marry berdesir. Setidaknya, sedikit kekalutannya menjadi ringan saat menatap genggam tangan Sean. Tapi, kegusarannya kembali melanda. Yah, ada hal yang membuatnya cukup tidak nyaman. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.  Marry hanya tersenyum kecil. Ia menarik tangannya, menghela napas pendek dan menatap lekat pada Sean.

              “Gue...--“ Marry terhenti sejenak karena seorang pelayan datang menghampiri meja mereka dan meletakkan pesanan Sean di atas meja. Sebuah minuman dan sepiring kecil kue coklat. Ah, aromanya sungguh mantap.

              “Sudah lengkap pesanannya, ya mas?” tanya pelayan tersebut seraya tersenyum.

              “Iya, makasih..., “ ujar Sean.

Pelayan itu melangkah pergi saat Sean menyodorkan sepiring kecil kue coklat ke arah Marry. Kue yang menggoda. Kafe ini adalaha favorit mereka selama ini, mereka punya kue coklat menggoda yang lezat. Kue coklat dengan paduan dark chocolate yang pahit tapi terasa lumermanis di mulut. Tadi, Marry hampir memesannya, tapi urung karena dia yakin jika Sean akan mengomelinya soal ‘diet’.

              “Tumben, nih...”

              “Sedikit sogokan karena udah membuat wanita gue menunggu.”

              Marry nyaris menyuapkan sepotong kue coklat ke mulutnya namun urug setelah mendengar kalimat Sean. ‘Wanita’ itu sungguh kata perumpamaan yang jarang bagi Sean ucapkan. Oke, ini sudah sesikit aneh. Sean sedari tersenyum menawan. Terlalu menawan, bahkan. Dan sekarang dia menggunakan kalimat metafora yang agak membuat Marry merinding.

              “What do you want, mr Sean?” ujar Marry meletakkan sendok kecilnya. Melempar tatapan sedikit curiga.

              Sean tersenyum. lagi, “You know me, Marry... .”

              “Yes... and what?”

              Sean meraih sendok kecil yang tadi dipegang Marry. Ia lalu memotong kue coklat itu tepat di tengah dan menyodorkannya pada Marry. Gadis itu mengernyit kecil dan merasa konyol karena Sean justru mau menyuapinya? What? Marry mendesah dan menatap potongan kue yang disodorkan Sean. Ia termenung sejenak, jelas ia melihat sesuatu yang berkilat di sana. Kue coklat tidak akan berkilau layaknya sebuah... cincin.

              Marry tertegun, ia menatap Sean yang tengah menunggu di balik senyumnya. Mereka sama-sama tahu apa yang sedang terjadi. Sebuah momen besar yang membuat banyak jawaban masa depan mereka. Sesuatu yang layak untuk mereka setelah 5 tahun perjalanan kisah mereka. Sesuatu yang lebih luas dalam mencerna arti komitmen. Sesuatu yang besar tapi bukan sesuatu yang berakhir bahagia. Setidaknya bagi Marry, ini bukan hal yang ia tunggu saat ini. Damn!

              “Sean... ,” lirih Marry.

              “Marry me, miss Marry... ,” ujar Sean.

              Marry tertunduk sejenak lalu mengangkat kepalanya dengan mantap. Ia tersenyum... getir.

              “No, sorry.”

 

-oOo-

 

New Cha(os)pter

              Suara alarm berdentang cukup kencang di segala penjuru kamar kecil Marry. Ia masih terlelap di antara bantal, menganga dan sedikit mendengkur. Sesaat ia mengernyit dalam lelapnya dan mendesah panjang. ia terduduk dnegan mata masih terlelap. Ia menyipitkan mata, melirik ke arah ponsel yang tergeletak di meja sebelah ranjangnya. Ia mematikan alarm ponsel yang memekakkan telinga tersebut denagn sedikit bergumam tidak jelas. Tak lama, ia melihat jam yang tertera di sana. Jam 8 pagi.

              “Hmm... ,” ia mendesah, terdiam dalam lamunan sejenak lalu memasang wajah panik, “Sial! Telaaatt!”

              Ia bergegas bangun dari ranjang dan berhambur keluar menuju kamar mandi. Terdengar suara gemericik air singkat sebelum kemudian pintu terbuka. Marry membongkar lemari pakaian dengan masih menggosok gigi. Ia mengambil celana hitam dan sebuah kemeja warna biru langit dan melemparnya ke arah ranjang. ia memasukkan ponsel, charger, notes, bolpoin sekardus kecil, dompet dan sebuah name tag dengan potret dirinya memakai jas putih dokter. Ia kembali berlari ke kamar mandi dan tak lama keluar dengan rambut terikat. Ia memakai pakaian yang sudah ia pilih dan memakai sedikit make up dan di akhiri semprotan parfum ke seluruh jengkal tubuhnya. Sedikit terbatuk tapi ia tidak berdiam. Ia menarik tas, mengambil jas putih yang tergantung di delakang pintu, dan memakai sepatu sneakers hitamnya seraya berlari ke luar meninggalkan rumahnya. Sesekali ia melirik jam tangannya dan merapalkan sumpah serampah karena dia sudah bisa dipastikan akan terlambat.

 

-oOo-

 

              Pukul 9 lebih 5 menit, ia terbungkuk di depan pintu masuk lobby sebuah rumah sakit sambil ternegah. Keringat membasahi sekujur tubuh, bercampur dengan aroma parfum yang asal ia semprot. Ia cukup merasakan perut kosongnya berdenyut nyeri. Dia belum sarapan dan belum menyesap kafein favoiritnya. Dia melirik sekeliling dan bergegas menuju lift yang nyaris tertutup.

              “Maaf, permisi... ,” ujarnya sambil merangsek memasuki lift yang setengah penuh. Ia menuju ke arah dinding lift, menyandarkan diri sambil mengatur napas.

              Ia merogoh ponsel di dalam tas dan menemukan 17  panggilan tidak terjawab dari Acha. 20 pesan whatsapp dari Acha yang terus menanyakan keberadaannya. Dia juga melirik 3 pesan penyemangat dari Zara. Ada puluhan pesan di grup ‘Hell’ . Ia sedikit mulai rileks dan memilih untuk membalas pesan dari Zara sembari mengetik kata ‘Gue telat’.

              Pintu lift terbuka dan ia segera memakai jas putih yang terselip di tasnya lalu memasukkan ponsel ke dalam saku jas. Ia sedikit berjalan cepat menuju ruangan yang berada di ujung. Perlahan ia membuka pintu dan melihat beberapa orang berjas putih tengah duduk di meja bundar dan ada beberapa orang duduk berjejer di depan ruangan.

              Suara decit pintu yang cukup nyaring membuat semua mata tertuju ke arah Marry yang membatu dalam ketegangan. Ia terdiam sejenak, menelisik ekspresi setiap orang di sana. Ia melihat ke arah seorang gadis dengan rambut cepol yang tengah menepuk jidatnya, Acha. Lalu, Marry melihat ke arah depan ruangan. Ada sekitar 6 orang dengan jas putih namun dengan usia yang lebih tua. Mereka adalah para bos di Rumah sakit tersebut. Oke, ini cukup memalukan. Lagipula, kenapa pintu ini harus berdecit nyaring begitu?

"Maaf, saya terlambat... ," lirihnya dengan kepala tertunduk.

              Yah, hari pertama Marry magang dan dia terlambat. Dan lagi,  sebuah nyanyian dari lagu korea kesayangannya berbunyi memenuhi ruangan tersebut. Marry merasa familiar dengan suara musik itu. Seperti suara... panggilan ponselnya? Bergegas, Marry merogoh ponselnya dan meneukan Zara sedang meneleponnya.

              Marry mendengus dan berusaha mematikkan ponselnya tapi justru tidak sengaja menekan tanda loud speaker. Dengan sangat jelas, suara Zara di ujung saluran tengah memekik panik.

              “LO HAMIL?”

              “Ha?” Marry melotot dan melihat sekelilingnya yang tampak lebih mengerikan dari sebelumnya. Apa-apaan ini?!

 

-oOo-

 

              “Bunuh gue, cha... .”

              “Dengan senang hati,” ujar Acha sambil menepuk pundak Marry yang terduduk lemas di sebelahnya.

              Marry hanya bisa tertunduk sambil sesekali memukul kepalanya. Saat ini, ia sudah duduk di antara 15 orang termasuk dirinya dan Acha. Mereka sedang berada di ruang tunggu aula, menunggu informasi pembagian ruangan tempat ia magang. Mereka akan magang di RS tersebut selama tiga bulan. artinya, Marry harus berhadapan dengan rasa malunya sampai tiga bulan ke depan. Padahal, ia sudah berangan akan menjadi pemagang terbaik agar bisa jadi salah satu jajaran dokter di RS itu. tapi, harapannya musnah bersama dengan teriakan Zara di telepon tadi pagi. Kini, semua memandangnya sebagai ‘Bumil’.

              Meski sudah menjelaskan dan juga meminta maaf akan keterlambatannya, sepertinya dia akan menghadapi neraka yang jauh lebih mengerikan selama magang.

              “Bego gue,” ujarnya gemas.

              “Lagian, lo udah gue ingetin sejak semalam. Jangan sampe telat. Eh, malah hamil.”

              “Anjir lo... ,” omel Marry seraya menoyor kepala Acha dengan gemas.

              “Dulu, lo punya julukan ‘jenius’, ‘prety’... siapa sangka sekarang lo punya julukan... bumil.”

              “F*ck.”

              Marry menatap ponselnya. Ia masih membuka percakapan whatsapp dengan Zara dan tidak ada habisnya memaki gadis sialan itu. Bisa-bisanya dia teriak dengan polosnya untuk menanyakan kehamilannya. Kurang ajar memang sahabatnya itu. Dia terlalu polos atau terlalu bodoh, sih? Arrggghhh!

              “Lihat aja lo, Zar... begitu lo balik dari Jepang, mampus lo!” omelnya.

              Marry kembali meringis di pundah Acha yang makin terkekeh melihat kelakuannya. Acha menggosok kecil ujung kepala Marry dan sibuk mengecek ponselnya lagi. Acha adalah salah satu sahabatnya sejak masuk fakultas kedokteran. Dia cukup baik dan ramah. Mereka cocok dari segala segi terutama tentang ‘fangirling’. Ya... mereka sama-sama penggemar Kpop dan Kdrama.

              Sementara Zara adalah sahabat Marry sejak SMA. Dulu, Marry dan Zara bersahabat sejak MOS. Juga dengan Sean. Marry terdiam. Beberapa kalinya, untuk sesaat dia selalu teringat dengan Sean. Mantan pacar yang ia tolak lamarannya. Sean yang sudah lama menghilang dari hidup Marry.

Sejak kejadian saat itu, ia menghilang tanpa jejak. Mungkin, Marry cukup kejam menolaknya. Sean tidak bisa ditemukan dimanapun dan tidak bisa dihubungi. Membuat Marry merasa semakin bersalah. Tapi, sesungguhnya, Sean yang lebih kejam karena menghilang begitu saja. Dari semua tragedi itu, hanya tersisa Zara yang selalu di sisinya. Meski, sekarang gadis cantik itu sibuk karena dia sudah menjadi model yang cukup terkenal. Saat ini, dia di Jepang untuk menghadiri pergelaran fashion. Siapa sangka, gadis yang dulu tomboy, sekarang menjadi model yang ternama.

              “Oi, bilangin Zara... jangan lupa oleh-oleh buat gue,” ujar Acha.

              “Bilang aja sendiri. Gue mau mogok bicara dengannya.”

              “Hah! Childish.”

              “Bodo.”

              “Eh, kira-kira kita bakal dapat bagian apa? IGD? ICU? Ruang Operasi? Rawat Jalan? Gue harap sih, rawat jalan. Karena gak terlalu ribet.”

              “Gue Cuma mau nyelametin reputasi gue. Gak peduli dimanapun, asal gue bisa nyelametin reputasi dan status gue. Gue bakal buktinya kinerja gue!"

              “Yakin? Awas aja kalo lo masuk IGD. Bisa mampus!”

              Marry mengernyit kening ke arah Acha, “Maksudnya?”

              “Lo belum tahu IGD sini. Terkenal ada ‘Martin’.”

              “Martin?”

              “Iya, lo tahu ada karakter malaikat maut yang cukup terkenal di internet. Namanya Martin. Tapi, Martin di sini bukan Martin yang lucu. Tapi, Martin yang menyeramkan. Artinya dia dapat julukan malaikat maut yang menyeramkan. Pokoknya dia lumayan kejam."

              “Hah? Gimana gimana?”

              “Uggghh... makanya, kalau punya grup whatsapp jangan Cuma jadi koran doang yang gak dihayati. Kalau ada info penting terlewat, lo yang rugi.”

              “Cuman 5 persen doang info pentingnya. Sisanya? Useless...” sahut Marry sembari memutar bola matanya malas.

              Marry melepas ikat rambutnya lalu kembali menata rambutnya yang sedikit berantakan. Oke, suasana hatinya sudah cukup membaik sekarang. Dia hanya perlu melalui 3 bulan magang untuk jadi karyawan. Dan, semua selesai.

              “Jadi, Martin di IGD ini... dia malaikat maut? Why?” tanya Marry.

              “Karena dia killer. Dia cekatan, pandai, hebat dan tanggap pada pasien. Tapi, dia kejam mengerikan terhadap kita.”

              “So?”

              “Kebanyakan pemagang, mundur kurang dari satu bulan karena stress berhadapan sama dia. Jadi, dia dapat julukan itu, deh... .”

              “Oh.”

              “Oh doang? Kita lihat saja, lo bakal bisa setenang ini kah jika dapat tempat magang di IGD?”

"Bodo amat. Gue yakin, gue bisa melalui ini semua. Dimanapun gue berada. Gue... bakal jadi karyawan di sini!"

 

-oOo-

 

              “Hah!”

              Marry dan Acha berdiri berdampingan bersama empat orang lainnya di antara lautan pasien yang tergeletak di atas bed. Saat ini, mereka ada di tengah ruangan Instalasi Gawat Darurat. Pusat keriuhan dan keramaian selama 24 jam. Mereka di sana. Di IGD. Marry seperti sedang terkena karma. Walau dia tidak peduli dengan 'Martin'. Tapi, sebenarnya di IGD cukup merepotkan. Garda terdepan yang harus siaga. Artinya, tenaga dan waktu serta pikirannya akan banyak terkuras di sana.

              Marry terlihat cukup tenang tapi tidak dengan beberapa rekan yang lain. Mereka tampak lebih tegang dengan ekspresi takut. Mereka terlihat sangat tidak nyaman dan gelisah. Entah kenapa, ketakutan mereka ada di satu masalah. Martin. Oke, Marry sekarang cukup penasaran seperti apa si Martin ini.

              “Hanya ada 2 aturan main di sini,” ujar seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang mereka. Seorang pria berusia sekitar 35 tahunan dengan wajah yang cukup tampan. Dia berkulit sawo matang, tinggi sekitar 170cm, rambut pendek dan rapi.

              Laki-laki itu terlihat cukup tampan dan manly. Jujur, dia seperti idola dalam drama-drama. Hanya saja, dia terlihat kurang ramah dan sedikit jutek. Dia berkacak pinggang menatap ke arah para pemagang termasuk Marry.

              “Ralat. Ada 3 aturan main di sini,” ujarnya. “Satu. Kalian hanya mengikuti kata-kataku. Dua apapun yang terjadi ingat aturan nomor satu.”

              “Hhh,” desah Marry perlahan sambil menahan tawa mendengar aturan konyol itu. Seketika, laki-laki itu menatap judes ke arah Marry yang kemudian berpura-pura tertunduk.

              “Ketiga. Dilarang terlambat. Meskipun dia sedang hamil.”

              Sial. Gerutu Marry. Si Martin ini terlihat menyindirnya dengan gaya. Untuk sesaat, Marry meyakini satu hal. Laki-laki ini, menyebalkan!

 

-oOo-

About Martin

 

              “Bumil, pasien di bed 3 sudah direkam jantung?” tanya Martin. Oke, terbiasa menyebut julukan Martin membuat beberapa orang lupa namanya. Dokter Ravendra Dwi.

              Marry hanya memutar bola matanya sebal lalu menoleh ke arah Ravendra dengan senyum lebar seraya menyodorkan secarik kertas berisi hasil rekam jantung pasien yang dimaksud Ravendra. Marry menatap cukup intens seolah mengatakan ‘berhenti memanggilku bumil’. Tapi Ravendra yang menerima kertas Marry hanya meliriknya sekilas. Dia benar-benar tidak peduli. Ditambah dengan ekspresinya yang jutek. Serius. Dia tidak takut terlihat tua, apa?

              “Bumil memang mudah emosi."

              “Ahhh... terimakasih atas perhatiannya, dokter,” ujar Marry setengah menggertak gigi, menahan emosi. Ughh! Menyebalkan!

              Sunyi sejenak. Marry melihat Ravendra sibuk menelisik kertas di tangannya dengan serius. Sungguh, apakah Ravendra serius menganggapnya hamil? Ekspresi wajahnya selalu serius termasuk saat memanggilnya bumil. Jadi, apakah Ravendra sungguh menganggapnya hamil? Ah, Marry sudah gila. Dia masih belum bisa menyelamatkan reputasinya. Dan, dia masih mogok bicara dengan Zara.

              “Ulangi.”

              “Ha?” Marry menoleh ke arah Ravendra.

              “ECGmu salah. Ulangi.”

              Marry menerima kembali kertas dari Ravendra. Dia menelisik hasil kerjanya dan merasa tidak ada yang salah. Dia mengernyit kecil dan memilih untuk mengambil alat ECG lagi dan menuju bed 3 untuk kembali melakukan rekam jantung sesuai perintah Martin, upss... Ravendra.

              Beberapa saat kemudian, Marry membereskan perlengkapannya, berpamitan ramah pada pasien dan menuju ke tempat Ravendra untuk menyerahkan hasil kerjanya. Lagi. ravendra membaca sekilas hasil kerjanya lalu melemparnya ke meja.

              “Ulangi.”

              Marry mengernyit kecil. Dia menatap kertas yang dilempar Ravendra. Menurutnya tidak ada yang salah. Ravendra juga tidak menjelaskan apapun yang salah dan hanya memerintahnya untuk mengulangi. Marry menggigit kecil jarinya dan kembali menuju pasien bed 3. Kali ini, pasien bed 3 merasa tidak nyaman karena harus diperiksa ulang.

              “Kenapa sih, dok? Ada masalah dengan saya?” tanya pasien tersebut.

              Marry tersenyum manis dan ramah, “Maaf, Pak... tapi saya hanya ingin memastikan lebih detail.”

              Sreeek. Kelambu dibuka dan terlihat Ravendra muncul. Ia menggeser Marry sedikit kasar dan menggantikan posisi Marry untuk memeriksa pasien tersebut. semua alat terpasang rapi dan siap untuk periksa. Tapi Ravendra melepas alat penjapit dari kaki dan tangan pasien, merubah posisinya. Marry mengernyit kecil lalu melihat petunjuk di alat rekam jantung. Ternyata ada petunjuk terlewat. Marry  mengira alat rekam jantungnya sama dengan yang biasa dia pelajari.

              “Maaf, dok.”

              “Minggir!” sergah Ravendra.

              “Tapi—.”

              “Saya bilang, minggir!” ucap Ravendra sambil melempar tatapan tajam pada Marry.

              Marry mencengkeram ujung jas putihnya dan perlahan menyingkir dari tempat itu. tak lupa, ia masih melempar senyum ramah pada pasien agar tidak cemas. Marry menutup kembali kelambu yang menutupi bed pasien. Sekilas ia mendengar Ravendra meminta maaf dan kembali menjelaskan prosedur tindakan yang akan ia lakukan pada pasien dnegan ramah, jauh berbeda dengan nada yang ia gunakan saat berbicara dnegannya.

              Gadis itu menunggu di luar selama beberapa saat dan kemudian melihat Ravendra selesai melakukan tindakan. Ia melengos melewati Marry begitu saja dan kembali ke meja kerja. Ia mengetik dan melaporkan detail kondisi dan hasil pemeriksaan pasien ke dalam komputer saat Marry menyeret kursi dan duduk di sebelah Ravendra.

              “Maaf dok, saya kira alatnya sama dengan yang biasa saya pakai praktek.”

              “Saya tidak peduli.”

              “Tapi—.”

              “Saya bilang, tidak peduli. Selain buta, kamu juga tuli?”

              “Ha? Oh... nggak dok. Maaf.”

              Ravendra mendengus kecil dan mengabaikan Marry yang masih tertunduk di kursinya. Marry tidak tahu harus bagaimana. Jika dia kembali berbicara, Ravendra akan mengomelinya. Jika dia pergi, Marry tetap akan masuk dalam masalah besar. Jadi, dia memutuskan untuk tetap di kursinya sambil melirik komputer Ravendra. Jika dilihat dari hasil rekam jantung, pasien sepertinya harus dirawat karena iramanya tidak normal.

              Marry terdiam sejenak lalu ingat jika pasien sempat bercerita tentang keluhannya beberapa hari terakhir.

              “Dokter... pasien tadi bilang kalau tiga hari yang lalu dia sempat nyeri dada kiri hingga tembus punggung belakang saat di kamar mandi. Dan dia sempat terjatuh juga. Tadi saya lihat di kakinya ada lebam dan bengkak.”

              Ravendra menoleh ke arah Marry. Awalnya dia terlihat kesal dan melempar attapan dingin. Tapi, setelah mendengar penjelasan Marry, Ravendra segera menuju ke bed 3 kembali. Tapi, belum lama dia membuka kelambu dan berteriak, “Code blue!”

 

-oOo-

 

              Marry terdiam di depan meja kerja ruangan milik Ravendra. Setelah kejadian di IGD siang tadi, Ravendra berhasil menyelamatkan nyawa pasien tadi. saat ini, pasien sedang dirawat di ICU dan cukup stabil. Ravendra mengehela napas panjang dan melempar tatapan tajam pada Marry.

              “Kamu melakukan 3 kesalahan fatal terhadap pasien tadi.”

              “Iya, dok... maaf.”

              “Kamu pikir, dengan maaf kamu bisa menyelesaikan masalah. Menjadi dokter adalah pilihan pribadi masing-masing. Saya punya alasan, kamu juga. Apapun alasannya, kita punya dasar kode etik dan SOP,” jelas Ravendra.

              Marry hanya terdiam. Jujur saja, apapun yang dia katakan, tidak akan mengubah apapun. Benar, kata maaf hanya jadi tameng untuk sesal sesaat. Karena dia memang salah. Ah, benar-benar sial. Sejak dua hari magangnya, Marry sudah dapat masalah bertubi-tubi. Dia tidak menunjukkan kemajuan apapun.

              “Kamu bisa berhenti mulai sekarang,” jelas Ravendra.

              Marry mendongak terkejut. Dia menatap Ravendra cukup serius, “Maaf? Maksudnya?”

              “Saya tidak mau menerima orang yang tidak serius dengan tanggung jawabnya.”

              “Tunggu, tidak serius?” tanya Marry.

              “Sejak awal, saya sudah tidak ada keinginan untuk berpositif thinking sama kamu. Kamu terlambat, kamu tidak mau memahami sekeliling dan kamu kurang cepat tanggap. Sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kualitas kamu.”

              Marry terhenyak sejenak. Oke, dia memang banyak melakukan kesalahan. Tapi, tunggu, dia masih punya sisi positif. Dia cukup detail tentabg kondisi pasien. Walau agak terlambat. Tapi, apa ini pantas? Kita tidak hidup dalam drama yang membuat seorang dokter sebagai dewa penyelamat. Dan, Marry yakin kualitas dirinya tidak seburuk itu. hanya saja, saat ini orang di depannya bukan orang mudah untuk didebat.

              “Bengong? Keluar sana.”

              “Tu-tunggu... maaf, tapi sepertinya kita salah paham. Dokter, saya tidak seburuk itu. jadi, tolong beri saya kesempatan... ,” jelas Marry.

              “Sejak awal kamu sudah ditempatkan di IGD adalah kesempatan kedua dari saya. Karena sejak kamu terlambat dan membuat heboh di aula, saya sudah mencoret nama kamu.”

              Ravendra berdiri dari kursinya dan hendak pergi begitu saja karena tidak ingin berdebat dengan Marry. Marry tertawa getir lalu memutuskan untuk menghadang ravendra tepat sebelum membuka pintu. Ravendra menatap Marry dengan dingin sementara Marry mencoba melempar senyum tulus.

              “Kalau begitu beri saya kesempatan ketiga.”

              “Kamu lagi bernegosiasi dengan saya?”

              “Why not?” sela Marry, “Maksud saya... semua bisa dibicarakan baik-baik. Saya baru dua hari di sini. Baru dua hari anda menilai saya. Dan, anda menganggap saya sebagai sampah? No no no... ini gak adil. Setidaknya semingu melihat kinerja saya, baru anda menilai secara bijak.”

              “Oke. seminggu. Jika kamu tidak ada kemajuan. Pergi dari sana.”

              “Ha?” Marry terkejut dengan reaksi Ravendra. Harusnya dia mengajukan waktu sebulan alih-alih seminggu. “Sebulan?” tanya Marry.

              Ravendra mendengus dan melotot pada Marry yang hanya tertawa kecil.

              “Oke. seminggu... ,” desah Marry.

              Ravendra kembali mendorong Marry dan membuatnya terdorong ke sampping. Hanya saja, Marry belum siap dengan dorongan itu dan malah nyaris terbentur tembok. Tapi, Ravendra dengan sigap menahan lengan Marry agar tidak terbentur.  Tarikan tangan Ravendra membuat Marry terhuyung dan justru berbalik mendorong Ravendra hingga jatuh terduduk di depan Marry.

              Marry membekap mulutnya dengan panik dan hendak membantu Ravendra bangun tapi pintu ruangan Ravendra terbuka. Dan seorang perawat terlihat berdiri di ambang pintu, menyaksikan kejadian mereka berdua. Dan, Marry mengenal perawat itu. Suster Sandy, biang gosip IGD.

              “Oh, kemana dokter Ravendra? Sepertinya dia pergi. Oke,” ujar Sandy sambil menggedik bahu lalu menutup pintu ruangan Ravendra seolah tidak terjadi apa-apa.

              Marry menoleh pada Ravendra denagn tatapan cemas.

              “Kira-kira... bakal ada berita apa, ya?” tanya Marry.

              “Apa itu yang terpenting?” tanya Ravendra tegas.

              Marry! Apa yang terjadi dengan hidupmu, oh?

 

-oOo-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!