NovelToon NovelToon

Mother

1 Bukan Murid Populer

"Nek, Rei pergi dulu ya."

"Iya, hati-hati ya, di jalan."

Reinata mengayuh sepeda bututnya, di keranjang sepedanya ada beberapa kotak yang berisikan kue yang nantinya akan dia titipkan di warung-warung. Ada tiga kotak yang akan dia titipkan, setelah itu dia akan ke sekolah.

"Bu, ini kuenya. Kotak yang kemarin saya titip lagi ya, nanti pulang sekolah saya ambil."

"Ya, belajar yang rajin, ya," ucap ibu pemilik warung. Setiap harinya Rei memang menitip kue, kotak kue hari ini akan diganti dengan kotak kue besok, dengan jenis kue-kue yang berbeda tiap harinya, agar pembeli tak merasa bosan.

Di depan gerbang, dia melihat seorang murid perempuan yang turun dari ojol, dia adalah Freya, cewek populer yang menjadi idola cowok-cowok. Satu kesamaan dia dan Freya, sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Sesekali juga Freya akan menjual kue di sekolah, namun kue itu langsung habis dibeli oleh sahabat-sahabatnya.

Jima Freya adalah murid tenar, dengan segudang prestasi, maka dia bagai murid tak kasat mata. Meskipun merema sekolah di sini sama-sama karena beasiswa, tapi nasib mereka berbeda. Freya selalu dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya yang kaya itu, yang datang ke sekolah dengan mobil mewah, dan barang-barang branded.

Reinata juga murid beasiswa, namun bukan yang paling pintar di sekolahnya, termasuk di kelasnya.

"Anjir, Freya masukin kecoak di dalam tasku," ucap Arby.

Ya, selalu hal yang sama yang dia dengar, keributan antara geng Freya dan geng Arby. Padahal Freya dan sahabat-sahabatnya itu meruoakan junior Arby, tapi mereka tak pernah takut akan hukuman. Mungkin karena Nania, Aruna dan Nuna anak-anak orang kaya, sehingga tak takut mendapatkan hukuman dan dikeluarkan dari sekolah.

Ada rasa iri pada diri Reinata. Dia ingin memiliki sahabat dan bergaul layaknya anak sekolah.

Namun tuntutan hidup yang keras membuatnya tak punya banyak waktu untuk bermain. Sepulang sekolah, dia akan menggoreng kacang, lalu membungkusnya dan dititipkan di warung-warung. Jika ada tetatangga yang menitipkan balitanya, maka dia akan menjadi babby sitter dadakan dengan upah seadanya, kadang hanya diberi nasi bungkus satu porsi yang akan dia bagi dua bersama neneknya.

Reinata anak yatim piatu. Bapaknya meninggal saat dia dalam kandungan, rumah yang dulu dimiliki oleh orang tuanya terpaksa harus dijual untuk biaya operasi bapaknya, namun bapaknya meninggal dua hari setelah operasi. Keuangan mereka semakin memburuk karena tulang punggung keluarga tak ada lagi.

Karena tak memiliki biaya, saat melahirkan Reinata, ibunya hanya dibawa ke dukun beranak, bukan bidan apalagi rumah sakit, karena tak memiliki uang. Reinata menjadi anak yatim piatu, karena ibunya meninggal setelah melahirkannya, karena mengalami pendarahan.

Dia hanya dibesarkan oleh neneknya, dan tinggal di kontrakan petakan hingga saat ini.

Tok

Tok

Tok

Seseorang mengetuk mejanya, membuyarkan lamunannya.

"Ambil tugas di ruang guru, sana!" ucap Arby.

Rei mengangguk, lalu berdiri.

"Ar, kamu enggak ke ruang guru?" tanya Ikmal.

"Sudah aku suruh Rai buat ambil."

"Rai? Siapa Rai?"

"Itu, yang rambut pendek, duduknya di pojok belakang."

"Hmm, Rei kali maksudnya?"

"Iya, kali. Terserahlah, mau Rei kek, Rai kek, Roi kek."

Reinata masih mendengarkan percapakan itu, sebelum suara itu menghilang.

Benar, dia memang bukan murid populer, bahkan ketua kelas di kelasnya saja tidak mengingat namanya. Dia hanya seorang murid beasiswa yang beruntung bisa sekolah di sini. Murid biasa yang juga memiliki rasa minder, saat teman-temannya di antar jemput dengan mobil mewah, namun dia datanng dengan sepeda butut yang dia tiripkan di warung seberang sekolah.

Mana mungkin sepeda bututnya bersanding dengan deretan mobil mewah dengan warna mencolok dan mengkilap. Bahkan, satpam di sekolahnya saja menggunakan motor dengan tahun terbaru.

Tidak ada lahan untuk sepedanya. Di sisi sebelah kanan, parkiran mobil untuk murid-murid, sebelah kirinya, parkiran mobil untuk guru-guru, sedikit ke dalam, ada parkiran motor, untuk guru juga murid, walau tak sebanyak mobil yamg terparkir.

Saat melihat Freya yang menggunakan ojek online, dia berpikir, mungkin sebaiknya dia juga mrnggunakan jasa transportasi itu. Namun kembali lagi ke kenyataan, dia tak punya cukup uang, bahkan untuk membayar angkot.

🌸🌸🌸

Pintu ruang tamu kontrakan Rei diketok dengan cukup keras.

"Mana uang kontrakan?" tanya pak Bambang, pemilik kontrakan.

"Maaf Pak, tapi saya belum punya uang."

"Terus, kapan kamu punya uangnya?"

"Belum tahu, Pak. Nanti kalau sudah ada, saya cicil."

"Ya sudah. Jangan lupa, sudah enam bulan kamu belum bayar uang kontrakan."

"Iya, Pak. Maaf dan terima kasih ya, Pak, atas pengertiannya."

"Hm."

Pemilik kontrakan itu menuju pintu sebelah, untuk menagih. Kontrakan berpintu sepuluh ini, dimiliki oleh pak Bambang. Kata orang-orang, dia juga masih punya kontrakan lain yang entah ada berapa pintu. Air di kontrakan ini menggunakan toran, yang listriknya dibayar secara patungan. Sampah dibakar, jika tak ingin membayar iuran sampah. Untung saja tak ada iuran keamanan, jika tidak, maka Rei akan semakin terbebani.

"Ayo Nek, makan dulu."

Rei menyendok nasi ke piring neneknya, lalu mengambilkan tiga potong tempe. Sedangkan untuk durinya sendiri, dia hanya mengambil sepotong tempe.

Dia harus berhemat sebaik mungkin, untuk pengobatan neneknya yang sering sakit, membayar kontrakan, dan makan.

Sejak sering sakit, beneknya tak lagi bekerja, dan tanggung jawab sepenuhnya jatuh pada Rei. Dia sudah mengumpulkan uang kontrakan, namun tiba-tiba neneknya sakit dan harus di bawa ke rumah sakit.

Di malam yang sepi, sesekali dia akan menangis, mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Dia merindukan kasih sayang orang tua, yang tak oernah dia rasakan bahkan sejak dia lahir. Satu-satunya keluarga yang dia miliki hanya neneknya, yang dulu bekerja sebagai asisten rumah tangga.

.

.

.

Selesai mengerjakan PR, dia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas yang telah usang. Tas itu dia dapatkan dari anak majikan neneknya lima tahun yang lalu, itu pun bukan tas baru saat dia mendapatkannya.

Rei lalu membuka buku-buku arsitektur yang dia pinjam dari perpustakaan sekolah. Dia ingin menjadi seorang arsitek, agar bisa membuat rumah yang layak untuk tempat tinggal dia dan neneknya.

Saat hujan, apalagi jika deras, maka air akan menetes dari atap. Dia tak punya nyali untuk meminta dioerbaiki oleh pemilik kontrakan, karena dia sadar diri jika dia madih menunggak selama enam bulan. Tidak di usir saja, dia sudah bersyukur.

Dia kembali memerikda isi tasnya. Buku-buku untuk pelajaran besok sudah dia masukkan ke dalam tas, begitu juga dengan peralatan tulis. Dia tak menggunakan kotak pensil, untuk memoertajam pensil, dia menggunakan silet, sedangkan untuk penghapus, dia menggunakan karet gelang yang dia ikat di bagian kepala pensil.

Ya, sekecil apapun dia akan berhemat, hal-hal yang tak biasa orang-orang lakukan untuk berhemat, maka Rei melakukannya.

Reinata, gadis remaja yang berjuang di tengah kerasnya hidup.

2 Diganggu Preman

Pembagian rapot semester satu, Rei berharap bahwa dirinya bisa mendapatkan posisi pertama. Tak apa tak mendapatkan posisi pertama di angkatannya, tapi setidaknya dia ingin unggul di kelasnya.

"Seperti biasa ya, yang mendapat juara umum untuk kelas dua, Arby. Untuk kelas satu, Freya."

Lagi-lagi dia gagal, jika Arby bisa.mendapst juara umum, sudah pasti di kelas dia lah yang terbaik.

"Arby lagi, Arby lagi. Gantian napa, sama yang lain!" celetuk seorang siswa.

"Malu lah, kalau aku enggak bisa jadi yang terbaik. Apa nanti kata calon istri," balasnya, yang disambut gelak tawa murid-murid, kecuali Freya dan sahabat-sahabatnya yang terlihat geli.

Upacara yang hanya mengumumkan beasiswa dan para juara itu akhirnya berakhir. Meski tak dapat juara umum, namun Rei tetap mendapat beasiswa.

.

.

.

"Jadi, kamu mau ambil beasiswa apa?"

"Hm, saya ingin menjadi arsitek, Bu."

"Arsitek?"

"Iya," jawab Rei mantap.

"Kamu tidak ingin menjadi dokter? Ada beasiswa kedokteran, apa kamubtidak ingin melakukan tes?"

"Tidak, Bu."

"Hm, begini saja, bagaimana kalau kamu mengikuti tes, jadi atau tidaknya, itu urusan belakangan. Bagaimana?"

"Baik, Bu."

Rei mengikuti saja apa yang dikatakan wali kelasnya itu, tidak ada salahnya juga dia mengikuti tes.

.

.

.

Liburan semester ini, dimanfaatkan Rei untuk mencari uang. Dia harus membayar tunggakan kontrakan, biaya pengobatan neneknta yang harus check up setiap bulan, juga kebutuhan sehari-hari.

Untuk membuat kue pun, modalnya dia pinjam dari tetangga.

Pintu rumahnya diketok, membuat jantung Rei berdetak. Dia selalu merasa cemas dast ada yang mengetuk pintu rumahnya, cemas saat yang datang adalah pemilik kontrakan dan dia belum memiliki uang.

Belum membayar berbulan-bulan membuat dia takut diusir. Dia tak memiliki keluarga lain selain neneknya.

Rei membuka pintu, seorang wanita tersenyum ramah.

"Tadi ada selamatan di rumah, ini buat kamu dan nenek kamu."

"Terima kasih ya, Bu."

"Sama-sama."

Rei membuka bungkusan itu, ada empat kotak. Dua kotak kecil dan dua kotak besar. Kotak kecil masing-masing berisikan tiga jenis kue basah, dan satu jeruk. Sedangkan yang kotal besar berisikan nasi, sambel goreng kentang, tumis buncis, ayam, sabel, kerupuk dan pisang.

Rei mengambil ayam goreng, kerupuk dan pisang itu, lalu menyimpannya untuk di makan neneknya besok.

Datu kotaknya lagi, tanpa mengurangi isinya, dia berikan kepada neneknya.

"Ayo nek, makan. Tadi ada yang ngadih makanan."

Nenek melihat Rei yang hanya memakan nasi dan sayur, sedangkan di kotak makannya sendiri masih lengkap.

"Kamu hanya makan itu?"

"Ita Nek, ini juga masih banyak. Rei kan memang tidak terlalu banyak makan."

Nenek menatap iba sang cucu. Dia ikut menyimpan ayam, kerupuk dan pisang untuk dimakan besok.

Kue-kue itu juga disimpan, untuk dijadikan sarapan. Rei melihat ada dua amplop, dibukanya amplop itu yang ternyata berisikan uang. Dalam hatinya dia sangat bersyukur, uang itu bisa dia simpan untuk tambahan membayar kontrakanndan pengobatan neneknya.

Di rumah kontrakan yang kecil itu, barang-barangnya hanya sedikit, dan bukan barang-barang baru saat mendapatkannya.

Rei tak punya uang untuk membeli baju baru, atau barang baru lainnya.

.

.

.

Semester dua di kelas dua, diawali Rei dengan semangat. Dia pergi pagi-pagi sekali agar bisa mengantarkan banyak kue.

"Bu, saya titip kue, ya."

"Iya, Dek."

"Heh, lo, sini!" seorang pria bertato memanggil Rei.

"Kenapa, Bang?"

"Sini, gue mau makan kue lo!"

Sedikit takut, Rei menghampiri pria itu dengan membawa kotak kuenya. Dapat Rei cium aroma tak sedap dari tubuh pria itu.

"Apa-apaan, nih. Kue begini kok dijual."

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kue buatan Rei. Tapi memang pada dasarnya preman dan pemabuk, selalu saja mencari masalah.

Pria itu lalu membuang kue Rei, dan menginjaknya.

"Bang, kenapa kue saya dibuang?" tanya Rei dengan sedikit berteriak.

"Apa? Lo berani teriakin gue?" bentaknya.

Dia lalu mendorong Rei hingga jatuh, juga membating sepeda butut Rei, hingga rodanya lepas dan rantainya patah.

Tidak jauh dari situ, seorang gadis cantik memperhatikan kejadian tersebut sejak awal. Melihat gadis bersepeda butut itu ketakutan, dia lalu menghampiri mereka.

Sedangkan orang-orang yang melihat itu, hanya bisa menonton karena takut untuk membantu Rei.

Preman itu ingin menampar Rei, namun di cegah oleh seseorang.

"Jangan beraninya sama perempuan, masih sekolah, lagi."

"Freya?" ucap Rei pelan.

Freya lalu memiting tangan preman tersebut, lalu menendang betisnya, membuat pria itu terjungkal ke depan.

Orang-orang semakin ramai berkumpul, tetap tak ada yang membantu.

"Kurang ajar, berani lo sama gue?"

"Kenapa gue harus takut sama lo?"

Mereka berdua terlibat perkelahian.

"Freya, sudah, nanti kamu kenapa-kenapa."

"Dah, kamu diam saja, jangan mau ditindas sama orang."

Freya menyikut, menendang, memiting, bahkan menonjok preman itu.

"Ampun, ampun."

Rei tak mengira, ternyata gadis secantik Freya ternyata pintar bela diri, pantas saja menjadi idola sekolah.

"Awas kalau lo membuat rusuh lagi, apalagi gangguin orang-orang, gue patahin tangan lo."

"Iya, enggak lagi."

"Tunggu, jangan kabur dulu?"

Preman itu berhenti sambil meringis kesakitan.

"Ganti rugi, lah. Lo kan udah makan dan hancurin kue-kue teman gue."

"Pria itu lalu memberi uang seratus ribu."

"Apaan nih, hanya selembar? Kurang!"

"Kuenya juga gak banyak."

"Kue kamu berapa?" tanya Freya pada Rei.

"Lima puluh, satunya dua ribu."

"Berarti ini hanya ganti uang kuenya saja. Box kuenya belum, biaya berobat, ganti sepeda. Siniin dompet lo!"

Freya lalu mengambil dompet preman itu, lalu mengambil hampir semuanya, hanya.menyisakan dua lembar saja.

"Dah, sana pergi."

Preman itu pergi sambil menahan amarah, bisa-bisanya dia dikalahkan oleh pelajar perempuan, apalahi di depan umum.

"Nih, buat ganti rugi semuanya."

Freya menyerahkan semua uang itu pada Rei.

"Tapi ini kebanyakan," jawab Rei.

Dilihatnya tumpukan uang itu, yang pastinya ada satu juta lebih.

"Kan harus beli sepeda baru, box kue, modal kue, dan obat."

Rei meringis, sepedenya juga sepeda butut, kaki dan tangannya yang terluka cukup diolesin sama betadine dan plester.

Freya melihat tas sekokah Rei yang isinya berantakan. Tas itu sobek karena tersangkut paku, tak ada kotak pensil untuk menyimpan peralatan tulis.

"Hm, uangnya aku simpanin dulu. Tas kamu sobek, kalau nyimpan di kantong, takutnya jatuh. Pulang sekooah nanti, jangan pulang duluan, kita ke oasar sama-sama buat beli sepeda dan box baru."

"Tapi ...."

"Dah, enggak ada tapi-tapi. Aku juga jualan kue dan dititipkan di warung-warung, jadi aku tahu gimana rasanya. Ayo, nanti terlambat ke sekolah."

3 Kelas Tiga

Sepulang sekolah, Freya sudah menunggu Rei di depan gerbang. Mereka menaiki angkot untuk sampai ke pasar.

"Kamu naik sepeda ke sekolah, memangnya rumah kamu dekat dari sekolah?" tanya Freya.

"Lumayan sih, enggak jauh-jauh banget."

"Aku juga kadang naik sepeda, tapi sampai sekolah udah keringatan. Rumahku jauh dari sekolah."

Mereka tiba di pasar, tempat yang lebih dulu mereka datangi adalah toko sepeda. Freya memilihkan sepeda yang ada keranjangnya. Setelah itu mereka membeli box kue dan tas untuk Rei.

"Masih ada lebihnya kok," Freya memberi tahu sambil menunjukkan uang itu pada Rei.

Setelah membeli semua kebutuhan yangbdirasa perlu, Freya lalu mengajak Rei makan di warteg.

"Tapi ...."

"Aku yang traktir, anggap aja ini salam kenal dari aku. Kamu kelas berapa?"

"Aku kelas dua, sekelas sama Arby."

"Oh, sekelas sama pasukan kunyuk."

Rei antara ingin tertawa tapi juga meringis. Adik kelasnya ini memang terkenal tak pernah akur dengan senior mereka yang selalu dipuja kaum hawa itu.

"Pilih saja menu yang kamu mau. Aku baru dapat job tambahan, jadi punya uang lebih."

Job tamabahan? Dia tidak bekerja yang aneh-aneh, kan?

Rei lalu memilih nasi putih dengan sayur kangkung dan telur dadar saja.

"Kenapa hanya itu?"

"Iya, gak apa."

"Dah ambil saja ikan, atau kalau kamu alergi ikan, kamu pilih ayam.bJangan sungkan sama aku. Kamu kan senior aku, selama kamu enggak nyari masalah sama aku, aku juga bakalan baik sama kamu."

Rei tersenyum haru. Selama di sekolah, dia memang tak memiliki teman. Kemiskinan membuat dirinya minder, selain itu yangvada dalam pikirannya hanya bekerja dan belajar, agar bisa membahagiakan neneknya yang sakit-sakitan.

"Nanti pulangnya aku antarin, biar enggak ribet bawa belanjaannya."

Rei menggonceng Freya hingga rumahnya.

"Aku tinggal di sini."

Freya melihat kontrakan petakan itu. Pintu dibuka, muncul seorang nenek yang terlihat rapuh.

"Ini nenek aku, aku tinggal berdua saja dengan nenek."

Freya tersenyum pada nenek itu.

"Kamu mau main dulu di sini?"

Entahlah, Rei sangat ingin Freya mau main di rumahnya yang kecil ini. Dia ingin merasakan bagaimana ada seorang teman yang bermain di rumahnya, meski rumahnya kecil.

"Memangnya boleh?"

"Boleh."

Rei mengangguk dengan penuh semangat.

"Ya sudah, tapi tunggu dulu ya, nanti aku ke sini lagi."

Freya lalu berlari pelan. Sekitar dua puluh menit kemudian, dia kembali dengan membawa kantong belanjaan.

"Buat kita ngemil."

Rei jadi merasa malu, seharusnya dia yang menyuguhkan makanan untuk tamunya. Kan dia yang mengundang.

Freya masuk ke dalam kontrakan kecil itu, dilihatnya kasur lipat yang sudah tipis dan usang. Ada kardus yang berisikan baju Rei dan neneknya. Tidak ada kipas angin, apalagi TV.

"Maaf ya, keadaannya seperti ini."

"Enggak apa. Kontrakan aku juga kecil."

Freya tahu Rei tidak ingin dikasihani, sama seperti dirinya.

"Oya, ini sisa uang kamu."

Freya memberikan sisa uang yang dia rampas dari preman tadi. Tangan putihnya lalu merapihkan uang yang lecek itu dan menghitungnya.

"Ada lima ratus delapan puluh tiga ribu."

"Ko banyak?"

"Ya bagus lah, bisa buat kebutuhan kamu dan nenek kamu," jawab Freya enteng.

"Tapi uang ini ...."

"Dah, enggak usah dipikirkan, uang ini juga dia rampas dari orang-orang."

Tidak lama kemudian datang seorang pria.

"Rei, sudah ada uang buat nyicil kontrakan belum?"

"Iya Pak, saya bayar satu bulan dulu ya."

Rei lalu mengambil uang yang tadi di kasih Freya, lalu menambahkan dengan uangnya sendiri.

"Ya sudah, berarti masih nunggak enam bulan, ya."

Rei menunduk malu, karena Freya jadintahu bahwa dia menunggak kontrakan selama enam bulan. Namun Freya terlihat biasa-biasa saja.

Menjelang magrib Freya baru pulang.

"Ini, makanan kamu."

"Buat kamu aja, ribet nanti aku bawanya naik-naik bis."

"Makasih, ya."

"Hm. Oya, kalau ada yang gangguin kamu lagi, bilang saja sama aku."

Selepas kepergian Freya, Rei melihat makanan yang dibeli Freya.

Ada susu kotak berbagai rasa. Roti sobek, wafer, biskuit, permen, mi instan, roti tawar, selai, teh, gula, sosis, nuget, bakso, dan makanan lainnya.

Bukannya tersinggung, Rei justru merasa terharu. Dia menyeka sudut matanya yang basah. Setidaknya dia tidak pusing memikirkan makanan untuk besok. Dia bisa berhemat, dan makanan ini cukup untuk satu minggu ke depan.

Dia lalu melihat tumpukan barang belanjaan yang tadi mereka beli di pasar. Tanpa sepengetahuan Rei, sebenarnya Freya sudah menambahkan uang itu dengan uang Freya.

.

.

.

Rei ingin menegur Freya saat melihat gadis itu. Namun dia merasa canggung saat melihat Frrya bersama sahabat-sahabatnya yang kaya. Bahkan sast ini mereka kembali membuat kerusuhan dengan Arby cs.

Dia dan Freya memang jalan bersama, bahkannFreya kemaren bermain di rumahnya, tapi bukan berarti kini mereka telah berteman, kan? Rei melangkahkan kakinya ke kelas, duduk di pojokan sambil memandang jendela.

Matanya melirik tas yang kemarin dia beli, dalam hatinya dia berjanji akan selalu menyimpan tas itu. Ini sebagai tanda bahwa dia pernah mengajak seseorang ke rumahnya, bukan pacar, melainkan seorang yang dia anggap teman secara sepihak, entah Freya benar-benar menganggapnya teman atau tidak.

🌺🌺🌺

Waktu berlalu, kini dia sudah naik ke kelas tiga. Di depan gerbang, Rei melihat Nuna, Aruna, dan Nania berteriak heboh.

"Freya, kamu ke mana saja?"

"Kami mencarimu ke mana-mana."

Rei tersenyum kecil, negitubkahnrasanya kangen-kangenan setelah tak bertemu dengan sahabat?

Memasuki kelas, dia menghela nafas karena kembali satu kelas dengan Arby dan sahabat-sahabatnya.

.

.

.

Aku harus mencari uang tambahan untuk biaya berobat nenek dan uang kontrakan yang masih menunggak lima bulan.

Sudah tiga minggu Rei menjadi murid kelas tiga, dia sibuk tes ini itu untuk mendapatkan beasiswa kuliah. Sebenarnya Rei juga mendapat beasiswa kuliah di luar negeri, tapi dia tolak karena tidak ingin meninggalkan neneknya yang sakit, juga karena di kuar negeri biaya hidup jauh lebih mahal.

Rei menghela nafas berkali-kali. Hampir delapan belas tahun hidupnya terasa berat. Dia ingin rehat sejenak dari beban yang menggunung.

Brak!

Suara gebrakan membuat kantin mendadak sunyi. Rei melihat Freya yang memandang marah pada Arby, juga pada Nuna sahabat Freya.

Rei menatap dari ujung kantin, sambil memegang air miberal gelas yang dia beli karena kehabisan bekal minumnya. Dilihatnya Freya yang pergi dan disusul oleh Nania saja.

🌺🌺🌺

"Jadi kapan kamu mau bayar uang kontrakan?"

"Iya, nanti saya bayar kalau sudah daoat uang lebih. Nenek saya juga harus verobat ke rumah sakit."

"Itu terus yang kamu bilang. Saya ini sudah bermurah hati, loh, ngurangin uang sewa. Yang lain saja uang sewanya lebih mahal dari kamu. Mau sampai kapan? Saya juga butuh uang!"

"Maaf ya, Pak."

"Maaf mulu ujung-ujungnya, tapi tetap saja enggak lunas-lunas. Dah saya enggak mau tahu, mulai hari ini kamu pergi dari kontrakan saya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!