Bagas Pradipta, pemilik Pradipta Grup yang merupakan perusahaan terbesar dan ternama di negaranya. Ia mempunyai istri bernama Nadine Maheswari juga dua orang anak bernama Rendy Fraja Pradipta 26 tahun, dan Nayla Fazira Pradipta 19 tahun.
......
Lima belas tahun yang lalu.
Bagas Pradipta sedang berdiri di pinggir jalan, karena ban mobilnya bocor. Dia berusaha menghubungi montir langganannya untuk segera datang memperbaiki ban mobilnya.
Kebetulan, saat itu Yoga–teman baiknya, ingin berangkat bekerja dan melewati jalanan tersebut dengan mengendarai motornya. Yoga yang melihat sahabatnya, dia pun menepikan motornya di pinggir jalan–di belakang mobil Bagas.
"Ngapain kamu di sini, Gas?" tanya Yoga pada Bagas, sambil menyetandarkan motornya dan melepas helm.
"Ini, ban mobilku kempes, kayaknya bocor. Aku lagi nunggu montir. Kamu mau berangkat kerja, Ga?"
"Iya. Kebetulan liat kamu di sini, jadi aku mau menyapa temanku dulu."
Keduanya pun terkekeh dan melanjutkan mengobrol sejenak. Namun, tiba-tiba dari depan–arah berlawanan, ada sebuah mobil Avanza berwarna hitam melaju dengan kencang ke arah mereka.
Yoga yang melihatnya, dengan cepat ia turun dari motornya dan mendorong Bagas. "Bagas, awas!" teriak Yoga, disusul suara benturan yang sangat kencang, dan Bagas sudah terjungkal cukup jauh akibat dorongan Yoga yang kuat.
Suara alarm dari mobil Bagas dan mobil Avanza langsung berbunyi keras bersahutan dengan kondisi kedua mobil itu ringsek di bagian depan akibat hantaman yang keras dari mobil Avanza yang menabrak mobil milik Bagas.
"Yoga!!!" teriak Bagas dengan histeris ketika melihat Yoga yang terhimpit di tengah-tengah mobil tersebut.
Kedua kaki Bagas langsung melemas, keringat dingin mengucur deras, tubuhnya menegang saat melihat kondisi Yoga yang saat ini terlihat mengenaskan.
Suara tabrakan yang cukup keras, langsung mengundang perhatian orang-orang sekitar dan langsung memadati tempat kejadian.
Semua orang di sana yang melihat seketika merinding, dan mengucap istighfar. Banyak juga yang langsung mengucap "innalilahi" saat melihat Yoga yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut.
Pengendara lain yang melintasi jalanan di sana juga menjadi terhenti dan itu menyebabkan kemacetan di sepanjang jalan.
"Yoga! Bertahanlah! Sebentar lagi ambulan datang!" ucap Bagas dengan gemetar dan tanpa sadar air matanya sudah mengalir deras.
Bagas berjalan dengan gontai mendekati Yoga yang sudah berlumuran darah dan sudah tidak sadarkan diri, setelah dia menghubungi rumah sakit untuk segera mengirim ambulan.
Tak lama, dua mobil ambulan datang bersamaan dengan pasukan dari tim kepolisian setempat.
Pengemudi Avanza dikabarkan telah meninggal dunia dan segera dibawa ambulan untuk menjalani serangkaian pemeriksaan. Sementara Yoga yang masih bernapas, dia segera ditangani dan dilarikan ke rumah sakit oleh tim medis.
Bagas ikut masuk ke dalam mobil ambulan yang membawa Yoga untuk mendampingi sahabatnya sekaligus sebagai saksi dalam insiden tersebut. Selain itu, Bagas juga harus memastikan jika sahabatnya akan baik-baik saja.
"Ba ... gas ...." Yoga memanggil Bagas dengan suara lirih dan napas tercekat, karena menahan rasa sesak serta sakit di sekujur tubuhnya.
"Yoga, aku pastikan kamu akan baik-baik aja! Kamu harus bertahan! Ok!" Bagas berusaha menyemangati sahabatnya itu meski, dirinya saat ini begitu panik dan ketakutan. Dia menggenggam tangan Yoga dengan erat.
"A ... Aku ... titip anak ... is ... triku ... tolong ... ka ... kamu jaga ... me ... mereka ...." Yoga dengan sekuat tenaga berusaha menyampaikan pesan terakhirnya, karena dia merasa jika sudah tidak bisa bertahan lagi.
Bagas menggeleng cepat. "Nggak, Yoga! Aku nggak mau! Kamu yang akan jaga sendiri anak dan istrimu. Kamu akan baik-baik saja, Yoga! Kamu harus bertahan demi anak istrimu! Yoga, bangun ... Yoga!!!" Bagas kemudian berteriak dan langsung memeluk Yoga sambil menangis histeris ketika mengetahui bahwa sahabatnya itu telah berpulang.
......
Siang ini, jenazah Yoga akan disemayamkan di TPU terdekat, di daerah tempat tinggalnya.
Salma, istri Yoga bersama Kirana–putri semata wayangnya, berjalan mengikuti dari belakang bersama rombongan ibu-ibu menuju TPU untuk mengantar jenazah suami sekaligus ayah tercinta ke peristirahatan terakhir.
Setelah jenazah Yoga dikebumikan, satu per satu warga meninggalkan area pemakaman.
"Mbak Salma, yang tabah ya. Saya turut berduka. Semoga almarhum Husnul Khatimah," ucap seorang ibu-ibu, disusul dengan ibu-ibu yang lain sebelum akhirnya pergi meninggalkan pemakaman.
Setelah semua warga pergi, Salma bersimpuh di samping makam suaminya yang masih basah serta penuh dengan taburan kelopak bunga mawar. Dia menangis sambil memeluk nisan yang bertuliskan nama 'Yoga Pratama'.
"Semoga kamu tenang di sana, Mas. Aku akan selalu mencintaimu dan semoga kelak ... kita di pertemukan lagi di syurga." Salma menangis memeluk nisan suaminya. "Kamu nggak perlu khawatir, aku akan menjaga anak kita. Kamu yang tenang di sana, Mas. Aku janji ... akan selalu menjaga Kirana dengan baik."
"Ibu, ayo kita pulang, Bu!" ajak Kirana yang ikut bersimpuh sambil menangis memeluk lengan ibunya meski, gadis kecil itu masih belum terlalu paham dengan apa yang telah terjadi.
Sementara Bagas dan Nadine yang sejak tadi hanya memperhatikan dari kejauhan, kemudian berjalan perlahan menghampiri Salma dan Kirana.
Bagas berjongkok di samping makam Yoga–di seberang Salma, sedangkan Nadine berdiri di belakang Salma dan Kirana.
"Yoga, aku berjanji akan menjaga dan menjamin kehidupan anak serta istrimu ke depannya," ucap Bagas sambil menatap gundukan tanah di depannya.
Mendengar itu, Salma mengangkat kepalanya dan menatap Bagas dengan mata merah, penuh luka dan kemarahan.
Nadine merangkul Salma dan Kirana, lalu berkata dengan setulus hati. "Mbak Salma, kami turut berduka atas kepergian Mas Yoga, ya. Semoga almarhum Husnul Khotimah. Mbak yang sabar ya."
"Salma, aku janji akan selalu membantu kalian. Aku yang akan menanggung semua biaya hidup kalian ke depannya. Izinkan aku untuk melakukan itu kepada kalian," sambung Bagas dengan serius dan tulus pada Salma.
"Iya Salma, biarkan kami menanggung semua biaya hidup kalian untuk ke depannya ya?" Nadine dengan lembut mengusap kepala Kirana penuh kasih sayang.
Bagaimanapun juga, Bagas akan merasa sangat bersalah seumur hidupnya atas kematian Yoga. Meskipun semua ini bukan salahnya dan murni kecelakaan yang tidak disengaja. Maka dari itu, Bagas tetap ingin bertanggung jawab atas kehidupan Salma dan Kirana.
Salma yang sejak tadi diam, dia pun bangkit dan menatap Bagas dengan penuh kebencian. "Aku nggak butuh bantuan apa pun dari kalian! Aku masih sanggup membiayai hidupku sendiri dan anakku!" Setelah mengatakan itu, dia menarik Kirana. "Ayo kita pulang, Sayang!"
Salma meninggalkan pemakaman tanpa menoleh ke belakang. Namun, hatinya penuh dengan luka, kesedihan, kemarahan dan kebencian.
......
Dua minggu kemudian.
Setelah kepergian Yoga, hidup Salma terasa begitu hampa. Laki-laki yang sangat dicintainya, yang selalu menemaninya, mengajaknya mengobrol serta bercanda bersama anak mereka, kini telah tiada.
Salma pun memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya dengan membawa Kirana. Dia mengemasi pakaiannya serta pakaian Kirana, dia benar-benar tidak sanggup jika harus berada di sini, di rumah suaminya yang penuh dengan kenangan indah kebersamaan mereka.
Bayangan suaminya terus saja membuatnya merasa terpuruk dan larut dalam kesedihan. Salma harus bangkit dan melanjutkan hidupannya demi Kirana, dengan status barunya sebagai seorang 'janda'. Bagaimanapun, dia harus bisa menafkahi Kirana, anak semata wayangnya dan membiayai kehidupan mereka berdua.
Beberapa hari setelah kepergian Salma ke kampung halaman bersama Kirana, Bagas dan Nadine mendatangi rumah mereka dengan niat ingin silaturahim sekaligus menawarkan bantuan kepada Salma. Namun, sayangnya, kedatangan Bagas beserta istri sudah terlambat.
Bahkan para tetangga di sana tidak ada yang tahu kampung halaman Salsa ketika Bagas bertanya. Akhirnya, Bagas dan Nadine pun memutuskan pulang dengan perasaan kecewa dan penuh sesal, karena tidak bisa bertemu dengan Salma juga Kirana.
Setelah pulang, Bagas juga sudah berusaha mencari tahu di mana kampung halaman Salma berada, tetapi tak ada hasil. Beberapa hari kemudian, dia pun harus pergi ke luar negeri mengajak anak istrinya dan menetap di sana untuk mengembangkan bisnisnya.
......................
Rendy naik ke atas menuju kamarnya dan mengamati seluruh ruangan kamarnya yang sudah berubah.
Memang jauh jauh hari, sebelum Rendy kembali ke Indonesia, Nadine sengaja meminta orang kepercayaannya untuk merenovasi kamar Rendy juga Nayla, karena kamarnya yang dulu tidak seluas dengan kamarnya sekarang. Apalagi kedua anaknya ini sudah dewasa.
Kamar dengan gaya klasik Eropa milik Rendy, terlihat begitu mewah dan elegan.
Rendy merasa puas dengan design kamarnya ini.
Selesai mandi, Rendy hanya melilitkan handuk di pinggangnya mengekspose dadanya yang bidang, perutnya yang kotak-kotak dan lengannya yang berotot karena rajin berolahraga. Tubuhnya yang tinggi, kulit putih dengan rambut sedikit kecoklatan. Dia terlihat begitu sempurna.
Rendy menuju walk in closet yang cukup luas. Disana terdapat lemari besar juga lemari kaca yang ternyata sudah terisi lengkap. Sepatu maupun sandal bermerk, jam tangan branded dan pakaian miliknya semua sudah disiapkan. Meski isi semua lemarinya belum penuh.
Semua pakaian dan barang-barang semasa kecilnya telah disimpan rapi di gudang bawah tanah.
Rendy kembali tersenyum puas melihat perubahan pada kamarnya. Dia meraih kopernya dan membukanya, mengambil pakaiannya lalu segera memakainya.
'Tok tok tok!'
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Setelah memakai pakaiannya, Rendy segera membuka pintu kamar.
"Den, ayo makan malam dulu! Bibi sudah buatkan nasi goreng sea food spesial kesukaan Den Rendy." Teriak Bi Sumi dari depan pintu kamar.
Rendy berjalan ke pintu dan membukanya.
"Bibi duluan aja, aku mau telepon Mama dulu bentar." Ucap Rendy dengan tersenyum.
"Ya sudah kalau gitu, salam buat Nyonya ya Den. Bibi turun dulu." Ucap Bi Sumi yang diangguki Rendy kemudian Bi Sumi segera turun.
Rendy menutup pintunya. Baru mau menghubungi Mamanya, tapi ponselnya sudah berdering lebih dulu. Ternyata Mamanya lebih dulu menghubunginya. Dengan cepat Rendy menerima panggilan telepon dari Mama tercintanya.
"Hallo Mam! Aku baru aja mau telpon Mama eh kalah cepet sama Mama." Ucap Rendy begitu menerima panggilan telepon dari Mamanya sambil terkekeh dan duduk disofa didalam kamarnya.
"Kamu ini! Gimana? Kamu tadi sampai rumah jam berapa sayang?" Tanya Nadine terdengar begitu lembut.
"Dua jam yang lalu kurang lebih Mam." Jawab Rendy.
"Syukurlah. O ya, kamu suka nggak sama kamar barumu?" Tanya Nadine.
"Tentu dong Mam! Aku sangat puas! Makasih banget buat Mama juga Papa yang udah ngrenov kamar Rendy." Ucap Rendy dengan tulus.
"Ingat! Jangan sampai kamu bawa temen kamu apalagi perempuan datang kerumah sekalipun itu pacar kamu!" Tegas Nadine memberi peringatan pada Rendy.
"Iya Mam, Mama tenang aja. Udah ya Mam, nanti Rendy telpon lagi. Rendy laper mau makan dulu. O ya, Mama dapet salam dari Bibi." Ucap Rendy.
Setelah mengobrol dan menyampaikan salam dari Bi Sumi kepada Mamanya, Rendy pun mengakhiri panggilan teleponnya dan segera turun kebawah untuk makan malam.
...
Keesokan harinya pagi-pagi sekali Rendy terbangun karena dikejutkan dengan suara dering ponselnya. Dia segera meraih dan memicingkan matanya untuk melihat siapa yang sudah mengganggu tidurnya. Ketika melihat nama si penelpon di layar ponselnya, Rendy langsung menggeser tombol warna hijau. "Hallo honey!" Ucap Rendy degan suara seraknya khas bangun tidur begitu menerima panggilan telepon dari sang kekasih tercintanya.
"Honey, i miss u so much! Sehari nggak ketemu kamu, aku udah kangen banget!" Ucap Olivia kekasih Rendy dengan suara manjanya.
"I'm sorry, aku lupa ngabarin kamu semalam." Jawab Rendy sambil bangkit duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Baru sehari, kamu sudah lupa denganku, bagaimana kalau seminggu? Sebulan? Setahun?" Gerutu Olivia yang mulai merajuk dan banyak bicara membuat Rendy ingin sekali membungkam mulutnya dengan bibirnya.
"C'mon honey, jangan marah. Aku sudah minta maaf bukan? Aku capek banget semalem." Ucap Rendy membujuk sang kekasih.
"It's ok! Kalau gitu aku mau istirahat dulu." Jawab Olivia dengan acuh.
"No! Beri aku ciuman dulu!" Pinta Rendy sebelum Olivia menutup panggilan teleponnya.
Olivia mengganti panggilannya menjadi video call dan memperlihatkan wajahnya yang cantik. "I kiss you..emmuach!" Olivia menempelkan bibirnya yang terlihat sexy dan menggoda ke kamera seolah sedang memberi ciuman kepada kekasih tampan tercintanya di jauh sana.
"O ****! Kamu benar-benar menggodaku honey! Aku harap kamu segera nyusul aku kesini." Ucap Rendy penuh harap.
"Well, tunggu aku datang, honey! Sudah ya, aku mau istirahat!" Ucap Olivia sambil merebahkan tubuhnya yang sexy diatas ranjang sengaja ingin menggoda Rendy dan membuat Rendy benar-benar tidak tahan lagi dibuatnya.
Rendy mengbuang nafasnya dengan kasar menahan sesuatu yang bergejolak didalam dirinya. "Ok, aku akan selalu menunggu kedatanganmu." Jawabnya kemudian segera mengakhiri panggilan teleponnya.
Dia melempar ponselnya ke samping dan beranjak maduk ke dalam kamar mandi ingin mandi dengan air dingin untuk menenangkan gejolak pada dirinya akibat godaan sang kekasih.
Rendy dan Olivia sudah berpacaran sejak mereka kuliah di salah satu universitas terbaik di negara L. Setelah lulus pendidikan S1nya, Olivia yang sudah merintis karirnya didunia modeling sejak dibangku SMA, dia memutuskan untuk tidak mengikuti langkah Rendy melanjutkan pendidikan S2 dan lebih memilih melanjutkan pekerjaannya sebagai model dan bintang iklan.
Nama Olivia sudah cukup terkenal di tanah air tempat kelahirannya.
Awalnya, Rendy merasa tertarik dengan Olivia ketika dia tidak sengaja hampir menabrak Olivia saat memasuki parkiran mobil di kampusnya.
Olivia yang ternyata sudah lebih dulu merasa tertarik dan jatuh cinta dengan Rendy. Selain berada dikampus yang sama, mereka juga berasal dari negara yang sama.
Setelah mengenal Rendy, Olivia selalu berusaha untuk bisa dekat dengannya. Akhirnya, dengan kemampuannya, dia berhasil membuat Rendy tertarik kepadanya. Dirinya pun juga merasa nyaman berada dekat dengan Rendy.
Terlebih lagi, Rendy laki-laki yang selain sangat tampan, dia juga sangat royal. Apapun yang diingkannya, Rendy pasti akan memberikannya.
Rendy sudah cukup tau dengan kehidupan Olivia sebagai seorang model. Didunia entertainment tempat Olivia merintis karir sebagai seorang model, jauh dari kata sederhana. Semua yang dipakainya selalu tampak berkelas dan mewah. Tentu saja semua barang-barang miliknya merupakan barang branded dengan merk ternama dan dibeli dengan harga yang tidak murah.
................
Rendy telah rapi memakai setelan jasnya warna abu-abu gelap. Wajahnya semakin tampan dan sangat menawan. Terlihat sangat berwibawa.
Pagi ini dia akan ke Pradipta Grup melihat perusahaan milik Papanya yang sebentar lagi jabatan sebagai Presiden Direktur akan diduduki olehnya.
Bi Sumi tersenyum lebar melihat Rendy yang tampak semakin tampan memakai setelan jas. Bi Sumi menyapa dengan penuh semangat. "Selamat pagi Den ganteng!"
"Pagi juga Bi." Jawab Rendy dengan tersenyum.
"Ayo sarapan dulu. Bibi sudah siapin sandwich tuna kesukaan Den Rendy." Ucap Bi Sumi sambil menuangkan jus jeruk ke dalam gelas lalu meletakkannya dihadapan Rendy yang baru duduk.
"Makasih Bi." Ucap Rendy.
"Sama-sama Den."
"Apa Bibi udah sarapan?" Tanya Rendy sambil mengambil sepotong sandwich.
"Nggak perlu mikirin Bibi. Ya sudah Den, Den Rendy habisin sarapannya ya! Bibi mau lanjut beresin dapur dulu." Jawab Bi Sumi yang diangguki Rendy dan segera pergi ke dapur.
Selesai sarapan, Rendy bergegas pergi ke Pradipta Grup diantar Pak Salim.
"Apa Bapak udah sarapan?" Tanya Rendy ketika Pak Salim melajukan mobilnya.
"Sudah tadi Den." Jawab Pak Salim dengan menatap Rendy dari kaca spion. "Den Rendy terlihat makin gagah dan ganteng. Mirip sekali dengan Tuan Bagas." Lanjut Pak Salim.
"Tapi pastinya aku lebih ganteng dari Papa kan Pak?" Ucap Rendy sambil menyeringai.
Pak Salim pun tertawa. "Ya karena Den Rendy masih sangat muda. Dulu, Tuan Bagas waktu masih muda juga ganteng seperti kamu Den."
Rendy tersenyum menanggapi pujian Pak Salim terhadap Papanya. Dia mengakui kalau Papanya memang tampan. Kalau tidak? Mana mungkin dia juga bisa setampan ini?
Rendy mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya lalu melihat ada notifikasi pesan yang masuk.
Papanya mengirim pesan chat kepadanya. Papanya memberitau kalau Pak Sony sudah menunggunya dan nanti akan membantunya untuk melihat-lihat perusahaan dan memberi tau apa saja yang harus dilakukannya nanti.
Setelah membaca dan membalas pesan dari Papanya, Rendy memasukkan kembali ponselnya kedalam saku jasnya. Rendy terkejut karena tiba-tiba Pak Salim mengerem mobilnya dengan mendadak hingga membuat tubuh kekarnya terhuyung kedepan.
"Ada apa Pak?" Tanya Rendy dengan mengernyitkan keningnya.
"Anu Den..itu..tiba-tiba ada perempuan yang nyebrang gitu aja nggak lihat-lihat!" Jawab Pak Salim dengan terbata karena merasa panik dan cemas kalau saja mobil yang dikemudikannya menabrak perempuan itu.
"Apa Bapak menabraknya?" Tanya Rendy ikut sedikit panik. Kalau memang mobilnya menabrak orang, bisa panjang urusannya.
"Enggak Den, sumpah!" Jawab Pak Salim.
"Coba cek Pak, apa dia baik-baik aja atau enggak!"
Dengan segera Pak Salim turun dan menghampiri perempuan itu.
Seorang gadis yang terlihat sedang terduduk diaspalan karena terjatuh saat ingin menyeberang dan hampir saja tertabrak mobil milik Rendy yang sedang melintas kalau saja Pak Salim tidak tepat waktu menginjak rem.
"Mbak, apa mbak baik-baik saja?" Tanya Pak Salim sambil sedikit membungkuk untuk melihat gadis yang sedang duduk di aspal sambil menepuk-nepuk pelan lengannya dan meringis merasa perih dibagian sikutnya akibat terjatuh membentur aspal.
"Euh? Iya..enggak apa-apa kok Pak. Maaf ya, saya buru-buru dan tersandung sampai nggak lihat kalau ada mobil yang melintas." Jawab gadis tersebut sambil berdiri dan menepuk-nepuk rok sepan selututnya mengusir kotoran yang sedikit menempel.
"Syukurlah kalau mbak baik-baik saja. Lain kali hati-hati mbak! Untung saya langsung ngerem. Kalau enggak.....?" Ucap Pak Salim sambil menghela nafasnya lega.
Rendy yang sedari tadi duduk didalam mobil hanya memperhatikan dari dalam mobil dan menggelengkan kepadanya. Dia berdecak merasa sedikit kesal karena masih saja ada orang yang ceroboh dan hampir celaka. "Gadis ceroboh!" Gumamnya dengan pelan.
Setelah bicara dengan gadis itu, Pak Salim kembali masuk lagi kedalam mobil. "Dia bilang baik-baik saja Den. Cuma tadi Bapak perhatikan, sepertinya lengannya terluka." Ucap Pak Salim begitu masuk kedalam mobil.
Rendy juga tadi memperhatikannya dari dalam mobil.
Pak Salim melajukan kembali mobilnya menuju perusahaan Prasipta Grup.
...
Mobil yang dikemudikan Pak Salim baru saja sampai dan berhenti tepat di depan sepasang pintu kaca besar dan tinggi dibagian depan perusahaan Pradipta Group.
Gedung Perusahaan Pradipta Group ini memang tampak begitu megah. Gedung yang menjulang tinggi dengan ketinggian kurang lebih 280 meter dan terdapat 54 lantai.
Rendy segera turun saat satpam yang berjaga membukakan pintu untuknya. "Makasih." Ucap Rendy dengan ramah kepada satpam tersebut.
"Sama-sama..Mas..eh Pak!" Jawab satpam tersebut merasa bingung memanggil Rendy yang terlihat masih sangat muda, tampan dan gagah. Tapi, mereka tau kalau laki-laki muda dan tampan ini adalah Bos Besarnya.
Rendy sendiri tidak terlalu mempermasalahkan panggilan dari satpam tersebut.
"Selamat pagi dan selamat datang Mas Rendy!" Seru Sony sambil berjalan menghampiri Rendy yang masih berdiri di samping mobil.
Sony merupakan tangan kanan dan orang kepercayaan Bagas-Papa Rendy yang selama ini menggantikan posisinya sebagai Presiden Direktur di Perusahaan Pradipta Group.
Tapi hari ini, dia sudah bisa merasa lega karena ahli waris sudah datang untuk melanjutkan perjuangan Bagas dalam membangun kerajaan bisnisnya ini.
"Pagi Om Sony, maaf kalau telat!" Jawab Rendy dengan tersenyum.
Eee buset! Jadi dia anak Pak Bagas pemilik Prdipta Grup ini? Sumpah! Ganteng banget! Ini cowok idaman gue banget!
Ucap Siska dalam hati dengan melebarkan matanya menatap takjub dengan sosok Rendy.
"Enggak apa-apa Mas. Bagaimana kabarnya? Kamu makin ganteng aja! Pak Bagas dan Bu Nadine juga apa kabar?" Tanya Sony setelah sekilas memeluk Rendy.
"Makasih Om. Aku baik, Papa Mama juga baik." Jawab Rendy dengan tersenyum, senyum yang memabuatnya semakin terlihat menawan.
Pak Salim turun dan duduk samping pos satpam mengobrol dengan para satpam yang berjaga untuk menunggu Rendy.
Rendy mengalihkan pandangannya kearah Siska yang terlihat melangkah menghampirinya dan berdiri disamping Pak Sony. Pak Sony kemudian menoleh melihatnya.
"Oh iya. Dia yang akan menjadi sekretaris Mas Rendy." Ucap Pak Sony.
Rendy hanya mengangguk dan sedikit tersenyum meresponnya.
"Siska, perkenalkan diri kamu!" Sony memberi kesempatan pada Siska untuk memperkenalkan dirinya sendiri ke Rendy.
"Baik Pak!" Jawab Siska penuh semangat.
"Selamat pagi Pak Rendy. Perkenalkan, saya Siska Ayu Dewi dan biasa dipanggil Siska. Saya sekretaris Bapak dan akan selalu siap membantu apapun yang Bapak perlukan." Ucap Siska dengan sopan dan tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya.
Rendy mengangguk dan tersenyum tipis meraih tangan Siska untuk bersalaman. "Ok, terimakasih!" Ucap Rendy dengan ramah.
Pak Sony mengajak Rendy masuk kedalam dan langsung menuju ke ruang pertemuan untuk memperkenalkannya kepada seluruh petinggi Perusahaan Pradipta Group sebagai Presiden Direktur Utama baru mereka.
'BRUGH!'
"Aduh--awwh!" Pekik seorang gadis yang dengan tiba-tiba menabrak bahu Rendy hingga jatuh terjungkal kelantai.
Seketika Rendy menghentikan langkahnya dan melihat dia.
................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!