NovelToon NovelToon

One Night Love

Racun?

Hai dear . . . jangan lupa subscribe dengan cara tap love yang ada di bawah jika kalian suka. Sama kirim hadiahnya juga jika berkenan. Terimakasih 🙏🏻

“Apa kau mau lagi?” tanya Bellinda. Mengangkat botol anggur. Hendak menuangkan lagi ke dalam gelas Cakra.

Cakra menolak. Lelaki itu menepis tangan Bellinda. Menjauhkan gelasnya. “Tidak usah. Aku tidak ingin berlama-lama. Katakan, apa maumu?” Cakra menatap tajam.

“I just wanna have fun, Baby.” Tersenyum. Bellinda menggeser duduknya. Dari yang tadinya agak sedikit berjarak dari Cakra. Kini sudah menempel dengannya.

“Cih, wanita kotor!” Berdecih kesal. Cakra memalingkan muka. Muak dengan Bellinda yang dulunya tampil polos. Lugu. Namun, nyatanya adalah singa betina. Cakra kemudian bangkit dari duduknya. Berdiri, menjauh dua langkah.

Kecantikan dan kemolekan tubuh Bellinda memang begitu menarik perhatian. Tapi, itu dulu saat Cakra masih menilai Bellinda adalah sosok polos, lugu. Demi apapun Cakra selalu menahan diri untuk tidak menyentuh kekasihnya. Tidak ingin menjamah Bellinda sebelum upacara sakral dilakukan. Segala cara Cakra lakukan untuk Bellinda. Tidak ingin gadis sucinya ternoda.

Sayangnya, gadis yang terlihat seperti kelinci putih itu nyatanya adalah singa betina hutan. Begitu liar terhadap lawannya. Sangat agresif saat sedang beradu di atas ranjang. Bukan dengan Cakra. Melainkan dengan pria lain. Rival Cakra. Membuat lelaki itu jijik, setiap kali mengingatnya.

Tempo hari saat baru pulang dari America. Bukannya langsung pulang ke rumah. Cakra malah menuju ke kediaman Bellinda. Sebuah apartemen yang beberapa bulan lalu diberikannya untuk Bellinda sebagai kado ulang tahun.

Saat itu bagi Cakra, Bellinda begitu berharga. Sehingga apapun akan ia lakukan, berikan untuk gadisnya. Hingga pada saat Cakra masuk ke dalam apartemen kekasihnya. Ia mendengar suara ******* dari kamar. Membuatnya penasaran, mendekat. Lantas melihat Bellinda yang sedang bermandikan keringat. Menaik turunkan tubuhnya di atas tubuh seorang pria. Menyatukan ‘milik’ keduanya!

Tidak menyerah. Bellinda bangkit. Kembali mendekatkan tubuhnya dengan Cakra. Bellinda melingkarkan tangannya di pinggang Cakra. Memeluknya. Mendekapnya erat. Menempelkan wajah di punggung kekar kekasihnya. Atau lebih tepat adalah ‘mantan kekasihnya’?

Ya, keduanya telah putus. Cakra yang mengakhirinya. Sepihak, namun dengan alasan yang jelas. Memperlihatkan video perselingkuhan Bellinda dengan kekasih gelapnya. Romy. Awalnya Bellinda tidak mengaku. Namun, bukti video itu begitu jelas. Bukan editan. Tanpa sensor. Terlebih, yang mengambil gambar tersebut adalah Cakra sendiri.

Alih-alih melabrak perselingkuhan tersebut. Cakra memilih pergi dari sana. Sebelumnya ia sempat merekam adegan panas tersebut dengan ponselnya, dengan perasaan yang bergejolak. Cakra menahan diri agar tidak berontak. Menghabisi pelaku adegan me sum yang ada di depannya. Tidak ingin mengotori tangannya hanya untuk seorang pengkhianat.

“Ayolah, Cakra . . . sebentar saja. Aku tau selama ini kau juga selalu menginginkanku. Malam ini aku ber__”

“Singkirkan tanganmu, Bellinda. Menjauhlah! Aku tidak sudi tubuh kotormu itu menempel dengan tubuhku!” sela Cakra. Dengan kasar melepaskan tangan Bellinda yang melingkar di pinggangnya. Mendelikkan mata. Menatap jijik pada tubuh mantan kekasihnya.

Bellinda tidak menyerah. Wanita itu kembali mendekat. Meraba bagian dada Cakra. Mengembuskan napas hangat pada telinganya.

Entah mengapa Cakra merasa ada yang aneh. Tubuhnya memanas. Sentuhan-sentuhan yang dilayangkan Bellinda bagaikan sengatan listrik yang menuju hingga ke syaraf. Cakra yakin ada yang tidak beres. Lantas ia teringat pada anggur yang barusan diminumnya.

“Damn it! Berani sekali kau meracuniku!” Cakra berteriak keras. Mendorong kasar Bellinda yang tanpa tau malu ingin kembali memeluknya.

Gaun Merah?

“Damn it! Berani sekali kau meracuniku!” Cakra berteriak keras. Mendorong kasar Bellinda yang tanpa tau malu ingin kembali memeluknya.

Terjerembab ke lantai. Bellinda memekik kesakitan. Belum lagi sempat merasakan panasnya percintaan  dengan Cakra, pinggang nya malah sudah sakit duluan. Ini kali pertama Cakra melakukan kekerasan fisik pada Bellinda. Padahal selama ini Cakra selalu bersikap lembut padanya.

“Ingat Bellinda. Mulai pada saat aku memutuskan hubungan denganmu. Kau, bukan siapa-siapa lagi bagiku. Jangan harap aku bisa bersikap lembut. Terlebih sekarang, saat kau dengan sengaja meracuniku!” Cakra berbicara seraya menunjuk ke arah wajah Bellinda. Terlihat sangat murka. Tampak dari sorot matanya.

Takut. Reflek Bellinda menundukkan wajah. Tidak berani menatap wajah Cakra yang dulunya terlihat seperti malaikat. Namun, sekarang terlihat lebih seperti Iblis yang mengerikan?

“Oh, sial!” Cakra mendesah kasar. Berusaha menetralisir perasaannya. Lelaki itu kemudian menyugar rambutnya ke belakang. Sebelum akhirnya menendang sebuah meja yang ada di depan sofa.

Braaakk!

Efek obat itu semakin bekerja. Cakra merasa tubuhnya semakin panas. Tidak ingin terjebak dalam perangkap Bellinda. Lelaki itu kemudian pergi dari sana.

Membuka satu persatu bagian atas kancing kemejanya. Cakra berjalan cepat menuju parkiran. Sebuah mobil BMW hitam kemudian datang dari arah kanan. Berhenti tepat di depannya.

Cakra membuka pintu BMW tersebut, tepat saat seorang pria berusia tiga puluh tahun yang mengendarai mobil tersebut ingin keluar menyambutnya. Lalu, sesaat kembali ke posisi semula ketika melihat Cakra sudah duduk di kursi penumpang.

Lelaki itu berkata,-

“Anda tidak apa-apa, Tuan?”

 Ia Jaya. Sopir sekaligus asisten pribadi Cakra.

“Saya tidak apa-apa. Jalankan saja mobilnya,” titah Cakra. Yang dengan segera disambut anggukan oleh Jaya.

Dan seperti perintah. Jaya melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Meninggalkan area gedung apartemen tersebut.

***

“Damn it! Obat itu benar-benar sudah meracuni tubuhku.” Cakra mendengus kesah. Napasnya mulai tersengal. Tak beraturan. Keringat dingin mengucur membasahi badan. Ada rasa yang ingin segera dituntaskan. Tapi bagaimana? Bagaimana Cakra bisa melakukannya?”

“Anda . . . tidak apa-apa, Tuan?” sekali lagi Jaya menanyakan perihal sama. Seperti saat tadi berada di parkiran apartemen. Cakra mendesah. Menepis tangan Jaya yang saat ini sedang menopang tubuhnya.

“Saya tidak apa-apa, Jaya,” desah Cakra.

“Jangan menahannya, Tuan. Menurut pengamatan saya saat ini kondisi anda sedang tidak baik-baik saja. Perlukah sa__”

“Pergilah. Saya hanya butuh istirahat.” Cakra menyela. Kembali menepis tangan Jaya yang sudah membantunya berjalan hingga sampai di depan pintu kamar president suite dari salah satu hotel ternama yang ada di pusat kota.

“Anda yakin?” tanya Jaya. Memastikan. Tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi pada Tuannya.

“Of course.” Cakra mengangguk gelisah.

“Yasudah, kalau begitu saya tinggal. Tapi nanti jika, Tuan, butuh apa-apa. Segera hubungi saya.”

Cakra mengangguk pelan. Jaya pergi dari sana. Lelaki itu kemudian menutup pintu kamarnya. Melangkah, menyusuri kamar.

Cakra berjalan sambil memegang dinding kamar. Menopang tubuhnya yang lunglai, supaya tidak jatuh ke lantai. Samar-samar ia mencium aroma lain dalam kamarnya. Sangat lembut, seperti aroma vanila. Memancing hasrat Cakra yang sedang bergejolak. Seakan ingin segera meledak.

Cakra berjalan menuju ranjang. Lalu setibanya di sana,-

“Hei, siapa kau?!” pekik Cakra bertanya. Kala melihat seorang wanita cantik berbalutkan gaun merah menyala sedang terbaring di ranjangnya.

Wanita itu menggeliat. Membalikkan badan. Sorot matanya sayu, terlihat lemah. Lalu berkata,- “to-tolong saya, Tuan. Sa-saya sudah ti-tidak tahan,” lirihnya dengan suara parau.

TBC.

Suite Room

Beberapa jam sebelumnya.

“Randy, kita mau ke mana?” Nara bertanya.

“Sudahlah, ikut saja. Sebentar lagi juga kamu akan tau.” Randy terus menarik tangan Nara. Membawanya pergi dari acara ulang tahun perusahaan yang digelar oleh orangtua Nara.

Mengangguk. Nara mengikuti ke mana langkah kaki Randy membawanya. Hingga pada saat mereka tiba di depan salah satu kamar hotel. Randy menghentikan langkahnya. Lelaki itu kemudian mengeluarkan cardlock dari saku celana. Mendekatkannya ke arah lampu sensor.

“Ran, Kita ngapain ke sini?” Nara bertanya. Gadis itu menatap sayu wajah kekasihnya. Tersenyum. Memejamkan mata. Kala sentuhan tangan Randy mengitari wajahnya.

“Ada yang ingin aku bicarakan. Penting. Dan hanya bisa aku katakan di dalam.” Randy menyudahi sentuhannya. Kemudian mengajak Nara masuk ke dalam.

Mengangguk patuh. Nara mengikuti langkah Randy menyusuri kamar. Sebuah kamar hotel suite room dengan warna terraccota  yang mendominasi dinding kamar. Putih gading dan cream sebagai campurannya. Kombinasi yang menarik. Sehingga menciptakan nuansa modern nan hangat.

Nara duduk di sofa. Meletakkan clutch bag nya di atas meja. Menanggalkan high heels. Kemudian menyandarkan punggungnya di sofa. Sementara Randy, pria itu berlalu menuju pantry setelah tadi mempersilakan Nara duduk di sana.

Sesaat, Nara memejamkan matanya. Melepaskan penat dari segala rutinitas yang baru saja dilakukannya. Mengistirahatkan kedua kaki yang selama satu jam lebih terus berdiri?

Ya, sudah lebih satu jam lamanya Nara memakai high heels nya. Terus berdiri, berjalan, tanpa duduk. Menyambut para relasi, tamu yang hadir di acara ulang tahun perusahaan keluarganya. Nara terpaksa. Mengikuti keinginan Papanya. Mengingat, jika membantah maka jatah bulanannya akan dikurangkan. Daripada jatahnya dipotong. Bukankah lebih baik Nara menurut saja?

Mau tak mau Nara harus tampil maksimal. Memamerkan senyum pepsoden sepanjang masa kepada setiap tamu undangan yang datang menghadiri pesta. Untung saja sebelum datang tadi, Nara sempat gosok gigi. Kalau tidak, maka sudah dipastikan jika ia tidak akan berani mengangkat bibirnya lebar-lebar. Malu dengan gigi kuningnya.

“Wine?” tawar Randy. Barusaja kembali dari pantry dengan membawakan dua gelas minuman berwarna pekat.

Nara mengangguk. Gadis itu meraih gelasnya. Menghabiskannya dalam satu tegukan. Sebelum akhirnya kembali memejamkan mata.

“Kelihatannya kamu lelah sekali, hooney,” kata Randy. Membelai pipi Nara.

Nara menaikkan kelopak matanya. Menatap Randy yang sudah duduk di sampingnya. “Wajahku mulai terasa keram setelah terus tersenyum menyambut para tamu yang datang.”

Randy tertawa. Melepaskan tangannya yang mengitari wajah Nara.

“Kelihatannya kau begitu lelah. Yasudah, beristirahatlah. Aku tidak akan mengganggu.” Randy ingin beranjak.  Namun, langkahnya dicegat oleh Nara. Menarik sebelah tangannya.

“Apa kau membawaku datang ke sini hanya untuk mengatakan hal itu?” Nara bertanya seraya menaikkan sebelas alisnya. Randy menggeleng. “Kalau begitu, katakan apa yang ingin kau sampaikan,” pinta Nara. Menuntut penjelasan akan hal kenapa ia harus berada di tempat itu sekarang.

Sesaat, Randy terdiam. Mengembuskan napas panjang. Menatap wajah Nara, matanya, tajam. Randy menggeser duduknya. Mendekat. Hampir menempel dengan Nara. Kembali menyentuh wajah kekasihnya itu dengan punggung tangannya.

“Aku mencintaimu, Nara,” kata Randy.

“Aku tau,” sambut Nara.

Lalu saat Randy mulai mendekatkan wajahnya. Memusatkan perhatian ke bibir Nara. Berkeinginan untuk menciumnya. Nara menghentikannya. Gadis itu memalingkan muka.

“No lip kiss, Ran. Kita sudah sepakat,” ucap Nara.

Randy menghela napas kasar. Ikut memalingkan wajah sesaat. Sebelum akhirnya kembali menatap Nara.

“Tapi ini sudah berjalan hampir dua tahun, Nar, dan kita sudah sama-sama de__”

“Kita sudah membicarakan ini berulang-ulang. Dan kau sudah setuju akan hal itu. No *** before marriage, Ran.” Nara menyela.

“But this is not ***. Just a kiss, Nar. Tidak lebih dari itu!” protes Randy.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!