Gadis berkacamata tebal itu nampak berjalan dengan cepat menuju ruangan VVIP yang akan menjadi tempat pertemuannya dengan kekasihnya yang bernama—Daniel.
Naina, gadis cantik berambut panjang diikat ekor kuda dengan tinggi tubuh 152 cm itu nampak begitu bersemangat untuk bertemu dengan kekasihnya setelah mendapatkan pesan dari Daniel yang mengatakan ingin mengajaknya makan siang di salah satu cafe yang cukup terkenal di kalangan anak muda di kotanya siang itu.
"Daniel pasti akan senang karena aku datang lebih awal dari waktu janjian kami." Senyum lebar terbit di wajah gadis culun itu. Rambut panjangnya yang diikat ekor kuda itu nampak berayun-ayun mengikuti langkah kakinya menuju ruangan VVIP.
Di ambang pintu yang tidak tertutup rapat, Naina menghentikan langkahnya saat mendengar namanya di sebut oleh suara yang dikenalinya di dalam sana.
"Kau benar-benar badjingan, Niel... Bisa-bisanya kau terus meniduri Naina tanpa ada rasa cinta sedikit pun untuknya." Kepala Kevin menggeleng tak percaya dengan apa yang didengarkannya.
Tawa Daniel terdengar menggelegar hingga memenuhi sudut ruangan. "Hentikan omong kosongmu. Jangan bilang kau berkata seperti itu karena sekarang kau menyesal karena saham sepuluh persen milikmu sudah menjadi milikku." Ucap Daniel dengan sinis.
Kevin berdecih. "Saham sepuluh persen itu tidak ada apa-apanya untukku. Aku hanya kasihan dengan Naina yang sudah menyerahkan kesuciannya untuk pria sepertimu." Kevin kembali menggeleng.
"Tapi kau benar-benar hebat bisa menyelesaikan tantangan ini kurang dari enam bulan. Mengingat Naina yang culun itu tidak pernah sedikit pun melirik ke arahmu." Tepuk tangan pun Dio berikan pada Daniel.
Daniel membusungkan dadanya. "Aku... Tidak ada satu pun wanita yang bisa menolak pesonaku." Ucapnya dengan sombong. "Lagi pula mendapatkan hati dan tubuh wanita seperti Naina itu bukanlah tantangan yang besar untukku." Lanjutnya kemudian.
"Seandainya Marvel ada di sini, dia pasti sangat kagum dengan keberhasilanmu saat ini." Seloroh Dio yang ditanggapi Daniel dengan senyuman sinis.
Daniel kemudian tertawa. "Apa kau tahu jika meniduri Naina itu sudah menjadi candu untukku? Bahkan aku bisa menidurinya beberapa kali tanpa bayaran sedikit pun." Daniel kembali teringat malam-malam panasnya bersama Naina di apartemen miliknya. "Wanita culun itu cukup membuat hasratku terpenuhi dengan baik." Tawa Daniel pun terdengar lebih keras.
Kevin yang mendengarkannya hanya mendengus. Walau pun ia juga turut serta dalam taruhan mereka kali ini. Namun entah mengapa rasa bersalah mulai menyeruak di dalam dadanya saat mengingat wajah polos Naina. Gadis culun dan polos itu sudah ternoda karena taruhan konyol mereka.
"Bukankah kau berkata akan mengajaknya makan siang di sini sebentar lagi?" Tanya Dio menghentikan aktivitas Daniel yang sedang berbalas pesan dengan kekasih barunya.
"Ya. Aku rasa setengah jam lagi dia akan sampai." Daniel meletakkan kembali ponselnya di atas meja. "Hari ini aku akan kembali menikmati tubuh gadis bodoh itu dengan gratis. Dan satu minggu lagi aku akan memutuskan hubungan dengannya karena aku sudah cukup puas menikmati tubuhnya." Sinis Daniel.
"Bagaimana jika Naina sampai hamil jika kau selalu menidurinya?" Tanya Dio.
Pertanyaan Dio pun berhasil membuat Kevin menatap Daniel dengan tajam.
Daniel menatap Dio dengan sinis. "Jika wanita itu hamil, aku hanya perlu memberikan uang kepadanya untuk menggugurkan kandungannya. Lagi pula aku tidak akan sudi memiliki anak dari wanita bodoh dan culun sepertinya."
Deg
Lagi-lagi hati Naina terasa hancur saat mendengar dengan jelas alasan apa yang membuat pria yang populer di kampusnya itu mau untuk menjadikannya kekasihnya.
***
Selamat datang di karyaku yang baru... Huhu... Karya ini sudah lama ingin aku terbitkan. Namun karena waktuku yang kurang, akhirnya aku baru bisa menerbitkannya di awal tahun ini.
Selamat membaca😊
Dan untuk mendukung karya author yang baru. Mohon berikan dukungan dengan cara...
Like
Komen
Votenya
Agar author semakin semangat melanjutkan ceritanya. Terimakasih😊😊
Naina memundurkan langkah dengan pelan sambil menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar isakan tangisannya tidak keluar. Setelah merasa cukup jauh dari ruangan VVIP itu, Naina pun segera membalikkan tubuhnya dan berlari dari cafe itu dengan berderai air mata.
Para pengunjung cafe nampak menatap heran dengan wanita yang tengah menangis sambil berlari itu. Namun mereka pun kemudian acuh dan kembali menikmati makanan masing-masing.
"Aku memang bodoh... Agh... Kau bodoh, Naina... Bodoh...." Naina menepuk dadanya yang terasa sesak. Naina pun menambah laju kecepatan motornya saat melewati jalan yang terasa jauh untuk sampai di rumahnya.
Bayang-bayang awal kedekatannya dan Daniel pun mulai berputar di benaknya. Air mata Naina semakin mengalir dengan deras sehingga membasahi baju yang dikenakannya.
"Kau mau memasukkanku sebagai anggota kelompokmu?" Naina bertanya sambil menunduk tanpa melihat pada lawan bicaranya.
Pria di depannya tersenyum manis. "Ya. Tentu saja. Kau belum mendapatkan teman kelompok bukan?" Tanyanya dengan lembut. Keberadaan Naina di kampus itu memang bagaikan tak terlihat. Bahkan teman-teman sekelasnya pun merasa enggan berteman dengannya karena penampilannya yang culun dan juga tertutup.
Naina mengangkat wajahnya hingga matanya bertemu dengan mata pria tampan di depannya.
"Apa kau yakin akan memasukkanku ke dalam kelompokmu? Sepertinya teman-temanmu tidak akan menyukai keberadaanku nantinya." Kepala Naina semakin tertunduk saat melihat tatapan tajam dari wanita yang berada di belakang pria itu. Di saat tugas kelompok seperti ini adalah hal sulit bagi Naina. Karena tidak ada satu pun dari teman-temannya yang mau menerima keberadaannya kecuali dipaksa oleh dosennya.
"Tidak perlu memperdulikan mereka. Kau hanya perlu mengikuti apa perintahku nantinya karena aku adalah ketua di kelompok ini." Terang pria itu.
"Daniel..." Naina mamanggil nama pria itu dengan ragu.
"Ya, Naina." Ucapnya begitu lembut.
"Apa kau sedang tidak kesurupan sehingga mengajakku sekelompok denganmu? Bukankah kau biasanya selalu tidak memperdulikan keberadaanku." Ucap Naina merasa heran.
Daniel tertawa. "Aku tidak mengabaikan keberadaanmu. Aku hanya tidak ingin mengganggu privasimu. Bukankah kau adalah wanita penyendiri? Dan aku tidak ingin mengganggumu di saat kau sedang berimajinasi." Ucap Daniel.
"Berimajinasi? Bagaimana kau bisa tahu?" Kening Naina mengkerut dalam.
"Aku cukup banyak mengetahui semua hal tentangmu, Naina." Daniel tersenyum manis. "Bahkan aku cukup tahu kau adalah penulis novel yang cukup terkenal dengan nama belakang penamu." Ucap Daniel kemudian.
Deg
Jantung Naina berdetak begitu cepat saat merasakan senyuman pria itu menghunus ke dalam jantungnya.
"Sudahlah... Tidak perlu banyak berpikir. Lebih baik kau ikut aku sekarang juga." Daniel menarik tangan Naina keluar dari dalam kelas dan meninggalkan tatapan heran orang-orang kepadanya kecuali Marvel, Dio dan Kevin yang menatap kepergian Daniel dengan tatapan penuh arti.
Ada apa dengan Daniel? Dia terlihat begitu baik dengan si culun itu? Bisik-bisik teman sekelasnya mulai terdengar.
Dan semenjak hari itu, Daniel pun mulai melakukan pendekatan dengan Naina dengan berbagai cara. Bahkan pria itu tak segan-segan mengantarkan Naina pulang ke rumahnya walau hanya sampai di depan gang karena Naina menolak untuk diantar sampai ke depan rumahnya. Dan Daniel juga tak pernah absen untuk mengirimkan pesan singkat selamat pagi kepada Naina.
"Daniel... Kenapa kau selalu baik kepadaku? Kau bahkan rela meninggalkan teman-temanmu untuk mengantarkanku pulang." Ucap Naina merasa tidak enak saat mereka sedang berada di dalam mobil menuju rumah Naina.
"Kau tanya kenapa?" Daniel mengulang pertanyaan Naina.
Naina mengangguk.
"Karena sepertinya aku sudah mulai menyukaimu." Ucap Daniel yang membuat kedua bola mata Naina membelalak dengan jantung yang berdetak semakin kencang.
***
Cerita Daniel dan Naina cukup memakan bab lebih banyak ya...
Dan untuk mendukung karya author yang baru. Mohon berikan dukungan dengan cara...
Like
Komen
Votenya
Agar author semakin semangat melanjutkan ceritanya. Terimakasih😊😊
Motor pun terus melaju membelah keramaian. Hingga beberapa menit berlalu, akhirnya Naina pun sampai di rumahnya. Naina memperhatikan matanya di kaca spion yang terlihat sedikit sembab akibat terlalu lama menangis selama di perjalanan.
Untung saja sore itu Ibu dan Ayahnya belum pulang dari ruko tempat mereka berjualan sehingga Naina tidak perlu mencari alasan jika ditanya tentang matanya yang sembab.
Naina pun buru-buru memarkirkan motornya masuk ke dalam garasi rumahnya. Keluarga Naina cukup berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya memiliki sebuah toko bangunan dua pintu. Walaupun memiliki tiga orang pegawai, namun ibu Naina juga turut serta setiap harinya membantu ayahnya selama bekerja.
Naina memasuki kamarnya dengan langkah lunglai. Harusnya hari ini adalah hari yang berkesan baginya karena besok ia akan melakukan ujian sarjana untuk mencapai gelar sarjananya. Namun angan tinggallah angan. Harapan Naina yang ingin mendapatkan semangat dari kekasih hatinya harus pupus begitu saja di tengah jalan.
Malam harinya.
"Naina..." Suara Ibu terdengar begitu lembut di telinga Naina yang sedang tertidur pulas di dalam selimut tebalnya.
Kelopak mata Naina mulai terbuka. "Ibu..." Ucapnya dengan parau.
"Kenapa kau tidur di jam segini, Nak? Tidak seperti biasanya." Ucap Ibu mengelus rambut lembut putrinya. "Loh... Ini kenapa matamu sembab begini?" Ucap Ibu sedikit terkejut melihat mata sembab Naina.
"Agh ini..." Naina nampak berpikir. "Mungkin karena terlalu lama tertidur membuat mata Nai membengkak, Bu." Jawabnya asal.
Ibu pun mengangguk percaya. "Bukankah besok adalah hari ujian sarjanamu, Nai? Lalu kenapa kau tidak belajar?" Ucap Ibu merasa heran. Karena putrinya itu tidak biasanya mengabaikan kuliahnya seperti ini.
"Nai akan belajar sebentar lagi, Bu. Tadi Nai sudah sedikit belajar. Karena terlalu mengantuk, akhirnya Nai memutuskan untuk tidur lebih dulu." Ucap Naina berbohong.
"Ooh begitu... Ya sudah kalau begitu. Ayo makan malam dulu, Ayah dan adikmu sudah menunggu di meja makan." Ajak Ibu.
"Baiklah, Bu. Ibu duluan saja. Nai akan menyusul sebentar lagi." Ucap Naina tersenyum.
Ibu membalas senyuman putrinya. "Baiklah. Jangan terlalu lama." Perintah Ibu.
Naina menganggukkan kepala sebagai jawaban.
*
"Naina... Kenapa nasinya tidak dihabiskan?" Ucap Ibu saat Naina sudah membalikkan sendok di piringnya.
Naina memasang wajah memelasnya. "Nai tidak berselera, Bu..." Jawab Naina dengan lesu.
Ibu menghela nafasnya. "Sudah beberapa hari ini kau selalu saja tidak menghabiskan makananmu, Nai. Apa kau sedang sakit saat ini?" Tanya Ibu dengan cemas.
Naina menggeleng. "Naina baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit kurang berselera untuk makan." Jawab Naina.
"Jangan-jangan Kakak sedang diet, Bu..." Timpal Amara adik Naina. "Lihatlah tubuh dan perut Kakak saat ini. Sungguh begitu berisi tidak seperti dulu." Ledek Amara.
"Amara..." Ucap Ayah memperingati anak bungsunya.
Mendengar perkataan Amara, Naina pun melirik ke arah bagian perutnya. Naina dapat melihat dengan jelas jika saat ini perutnya mulai berisi dan beberapa bagian tubuhnya juga mulai menbengkak.
"Kakak sedang tidak diet, kok. Hanya saja sedang tidak berselera." Balas Naina pada Amara.
Amara tertawa. "Lagi pula dengan Kakak tidak diet pun tubuh Kakak lebih terlihat bagus saat ini. Apalagi jika Kakak menanggalkan kaca mata Kakak itu. Kakak terlihat lebih cantik dan manis." Puji Amara.
"Kau ini pandai sekali membuat Kakakmu melayang." Balas Naina dengan tersenyum.
Ibu dan Ayah pun turut tersenyum melihat kedua putrinya yang terkadang ribut dan terkadang saling mengasihi.
***
Untuk mendukung karya author yang baru. Mohon berikan dukungan dengan cara...
Like
Komen
Votenya
Agar author semakin semangat melanjutkan ceritanya. Terimakasih😊😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!