NovelToon NovelToon

Sang Pewaris Tahta

Bab 1

15 Juli 2003.. 

Hujan dan petir yang saling sahut membuat suasana malam itu semakin mencekam. Semua masyarakat yang tinggal di sekitar desa terpencil itu sudah sejak sejam lalu meringkuk di bawah selimut, berteman cahaya temaram dari sinar lampu teplok.

 

Desa kecil yang didiami hanya ada 15 rumah tangga itu, lebih terlihat seperti kuburan ketimbang sebuah tempat tinggal manusia hidup.

Entah apa yang sedang terjadi, seolah alam di luar sana sedang marah menyaksikan satu peristiwa, hujan yang awalnya hanya berupa rintik kini menjelma menjadi badai yang siap memporak-porandakan setiap rumah bambu yang ada di sana.

Sepasang suami istri, yang sudah memasuki awal empat puluhan, berjalan tergesa menuju rumahnya. Jarum jam yang menunjukkan pukul  tujuh malam, biasa nya tidak segelap malam ini. Kedua nya baru pulang dari sawah, menyelesaikan menanam jagung dan juga cabai hingga harus pulang setelah adzan Maghrib tadi, namun di tengah perjalanan menuju perkampungan tempat tinggal mereka yang memang hampir satu jam berjalan, hujan turun yang mengharuskan mereka berteduh di gubuk seseorang saat melewati jalan.

"Apa tidak sebaiknya kita tempuh saja pak" ucap sang istri menatap langit yang semakin gelap.

"Sabar Bu. Sebentar lagi, bapak yakin hujan akan reda. Kamu baru saja sembuh dari demam panjang mu, nanti kalau kena hujan lagi, bisa kambuh" sahut pak Parjo menenangkan istrinya.

Sepasang suami istri itu sudah menikah selama sepuluh tahun lebih, tapi belum juga dikaruniai anak. Saat awal-awal pernikahan mereka, Parjo selalu menghibur sang istri, Tini, saat wanita itu meratapi nasib mereka yang hingga kini belum di percayai memiliki keturunan.

Seiring berjalannya waktu, Tini sudah bisa menerima kekurangan mereka, dan mengikhlaskan pada rencana sang Khalik. Tak pernah lagi bermuram durja ataupun mengutuk nasibnya yang tidak memiliki anak. Pun saat melihat tetangganya yang kini justru sudah memiliki cucu, Tini tidak memiliki rasa iri lagi.

Bagi nya menjalani hidup dengan ikhlas dan selalu bersyukur adalah ibadahnya pada sang kuasa.

"Hujannya awet pak. Kita terobos saja ya. Aku sudah lapar" bujuk Tini. Parjo sekali lagi melihat ke angkasa dari gubuk itu, tidak ada pertanda akan segera berhenti hujan.

"Baiklah Bu. Tapi kita pelan-pelan saja ya" ucap Parjo mengulurkan tangan kanannya agar menjadi tumpuan sang istri saat menapaki jalanan yang licin, sementara tangan kirinya memegangi ujung tongkat cangkul yang sudah disampirkan dibahunya.

Setapak demi setapak mereka menjalani jalan menuju rumah. Melewati jalanan yang di penuhi rumput dan duri sudah hal biasa bagi mereka. Tanpa melihat pun, mereka sudah hafal jalan untuk pulang. Setengah perjalanan, hujan mulai berhenti. Kedua nya masih saling bergandengan, hingga Tini sayup menangkap suara tangis bayi dari kejauhan.

Rasa penasaran wanita itu, membuat nya menghentikan langkah nya. "Ada apa Bu? kenapa berhenti?" Parjo ikut celingak-celinguk mengikuti arah pandangan istrinya yang menatap sekeliling dalam gelapnya malam.

Satu per satu tetesan air hujan masih terasa membasahi wajahnya yang turun dari kepala dan rambut.

"Apa bapak tidak mendengar ada suara bayi menangis?" tanya Tini yang masih mencoba menajamkan telinganya mencari sumber suara itu.

"Hush..jangan nakut-nakutin Bu" hardik Parjo menarik tangan Tini untuk melanjutkan langkah mereka.

Tapi semakin melangkah ke depan, suara bayi itu semakin jelas. Hingga Tini menangkap satu benda oleh pandangannya. Benda itu tergeletak di pinggir jalan, ditutupi oleh daun pisang.

Penuh rasa takut, Tini mendekat setelah melepas genggaman tangan Parjo. Nalurinya menuntun ingin melihat lebih dekat. Perlahan disingkapnya lembaran daun pisang yang menutupi benda itu. Benar saja tangisan itu berasal dari sana. Seorang bayi merah berlumuran darah menangis menggeliat kedinginan.

"Pak, lihat ini" jerit Tini. Setengah berlari Parjo menghampiri istrinya yang sudah berlutut menghadap bayi itu.

"Anak siapa ini Bu? kenapa diletakkan disini?" tanya Parjo terbata. Bagiamana tidak, bayi merah itu masih berlumur belas darah dan lendir yang lengket di sekujur tubuhnya.

"Tidak tahu pak. Tapi tampaknya bayi ini baru saja dilahirkan" ucap Tini menunjuk pada tali pusar bayi yang dipotong dan masih berdarah.

Tanpa pikir panjang, Tini menggendong bayi yang hanya dibalut kain pantai berwarna biru merah darah. Saat menggendongnya, dari lengan bayi itu terjatuh satu liontin berbentuk kunci dengan batu Ruby merah ditengahnya.

"Kita bawa pulang ya pak. Kasihan" ucap Tini mendekap bayi yang masih saja terus menangis. 

"Tapi bagaimana kalau kita nanti dapat masalah Bu?"

"Kasihan pak. Bayi ini pasti sudah dibuang orang tuanya. Jika mereka tidak menginginkan anak ini, buat kita saja pak. Ini mungkin rejeki kita dari Tuhan. Menjawab doa kita untuk menjadi orang tua" bujuk Tini menatap anak itu. Harapan baru muncul dalam hatinya.

Baru saja melihat bayi itu, tapi rasa sayang pada bayi itu sudah muncul.

"Tapi janji bu. Kalau ada yang mencari anak ini, kita harus siap untuk melepasnya ya" seru Parjo dan Tini hanya mengangguk.

Penuh suka cita, sepasang suami istri itu pulang bersama bayi merah yang selama dalam perjalanan, menghisap jari Tini pertanda lapar sudah melandanya.

Setibanya di rumah, Parjo sigap menuang air panas dari termos plastik ke dalam ember yang biasa di pakai Tini mencuci pakaian. Lalu walau sedikit kaku, Tini membersihkan tubuh bayi itu sementara Parjo membuat teh manis untuk si bayi yang kehausan.

"Besok, bapak akan ke kota, membeli susu untuk bayi ini" ucap Parjo memandangi bayi mungil itu yang kini sudah tertidur dalam pelukan Tini. Rasa hangat dari balutan dua selimut tebal, membuat bayi itu jatuh tertidur di tengah dinginnya udara malam.

Bayi itu sudah selamat, sesuai permohonan sang ibu pada yang Kuasa sebelum dirinya sadar sesaat lagi dirinya akan meregang nyawa.

Malam itu menjadi saksi, sepasang suami istri Cayapata dihabisi oleh sekelompok penjahat yang sudah membuntuti mereka. Setelah menghabisi Aldebaran Cayapata dan membuang jasadnya ke jurang, kelima penjahat itu mengejar Mika Cayapata, sang istri yang tengah berlari menyelamatkan diri setelah dipaksa sang suami.

"Aku ga mau mas. Aku akan tetap bersamamu" isaknya menggenggam tangan Al.

"Pergi Mika. Demi anak kita. Selamatkan dia. Aku akan menghadang para penjahat itu" pinta Al memaksa.

"Jadilah anak yang berani nak. Papa sayang padamu" bisik Al mencium perut Mika sebelum menyuruhnya berlari.

Wanita itu terus berlari, hingga tidak terlihat lagi oleh Al yang sedang berkelahi dengan kelima penjahat bayaran itu. Kelimanya bukan tandingan, hingga Al terbunuh, dan dengan sadis melempar jasadnya ke jurang lalu secepatnya mengejar Mika.

Rasa sakit terus menghentak, hingga Mika harus melahirkan anaknya ditengah jalan di pesawahan desa. Dengan berani memotong ari-ari bayi itu membungkus dengan kain yang sejak tadi dilampirkan di punggungnya. Menyembunyikan anaknya ditengah sawah dengan beberapa lembar daun pisang.

Mika tahu waktunya sudah tidak lama lagi, lalu menarik kasar kalung yang dia pakai dan meletakkan liontin nya didekat Bayi itu. Kalung yang dulu dipakaikan suaminya dihari pernikahan mereka. Kalung simbol keluarga Cayapata.

"Sagara..jadilah anak yang kuat dan pemberani. Mama dan papa sayang kamu, nak" ucapnya sebelum berlari menerobos gelap malam menuju arah dimana suaminya tadi dia tinggalkan. Dia memilih untuk bersama suaminya entah itu hidup atau mati.

Bab 2

18 tahun kemudian..

Sejak ditemukan nya anak laki-laki itu, hidup sepasang suami-istri itu lebih berwarna. Walau pada awalnya mereka mendapat cibiran karena mendapatkan seorang anak yang tidak jelas asal usulnya, tapi baik Parjo atau pun Tini tidak perduli. Dengan penuh kasih, anak itu mereka asuh, memberinya kasih sayang selayaknya anak kandung mereka.

Bara..anak itu diberi nama Bara oleh keduanya, karena memiliki kulit putih, yang jika menangis atau marah akan memerah seperti Bara.

Nama itu ternyata sesuai untuknya. Terbukti, anak itu tumbuh menjadi pria tampan yang kuat. Disegani anak-anak muda, tak hanya di desa nya, bahkan nama Bara juga sudah terkenal hingga desa tetangga.

Wajah yang tampan, lihai bela diri karena memang mengikuti karate yang diajarkan guru olahraga nya sepulang sekolah.

Ketampanan Bara, kadang juga membawa masalah tersendiri baginya. Banyak para gadis desa, bahkan putri bupati juga ikut meliriknya, namun bagi seorang Bara, urusan asmara itu tidak penting. Beberapa gadis bahkan nekat datang ke rumahnya, mencari perhatian pada kedua orang tuanya, agar mau diterima jadi mantu. Tidak jarang para gadis dari di desa itu menjadi bertengkar karena ingin mendapatkan perhatian Bara. Namun tidak ada satu gadis pun yang mampu menggetarkan hatinya. Terbukti, masa SMAnya dilalui dengan status jomblo akut yang disematkan oleh kedua sahabatnya.

Bagi Bara, tujuan hidupnya hanya ingin menghasilkan uang yang banyak, agar bisa membahagiakan orang tuanya.

Rasa sayangnya yang besar pada Parjo dan Tini bukan tanpa alasan. Bara sudah tahu hikayatnya dari para warga desa yang dengan gamblangnya mengatakan dia bukan anak kandung Parjo dan Tini. Bara adalah anak yang dibuang oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab.

Dendam, dan sakit hati. Itulah yang mengisi jiwa dan hati Bara selama 18 tahun ini. Benci pada orang yang sudah membuangnya dan menganggapnya sampah hingga harus di letakkan dijalan malam itu.

Pernah suatu kali, saat itu Bara yang sudah duduk dikelas dua SMA, bermain gitar bersama teman-temannya di perempatan jalan dekat warung tempat mereka biasa nongkrong sehabis magrib. Bu Wati, istri pak Kades lewat dan menyapa Bara.

"Ra, seandainya ibu yang menemukan kamu lebih dulu, pasti akan ibu rawat dan berikan kehidupan yang lebih layak lagi buatmu. Kamu kok bisa ganteng banget sih? ga cocok jadi anak suami istri miskin itu" ujar Bu Wati duduk didekat Bara.

"Ibu jangan sembarang kalau bicara, Aku ga terima ibu hina orang tuaku" ucapnya berdiri. Risih duduk di dekat Bu Wati, yang semua warga juga tahu dia wanita genit, yang suka bermain cinta pada anak lajang di desa itu. Dan kali ini targetnya adalah Bara.

Tubuh Bara memang tinggi. Kulit putih dan wajah bersih bak pangeran. Melihat postur tubuhnya, tidak akan ada yang menduga anak itu masih 17 tahun.

Tak terima mendengar penuturan istri kepala desa yang memang hobby bergosip, Bara menanyakan kebenaran pada Tini. Wanita yang sudah semakin tua itu tidak bisa mengelak lagi.

Dulu saat SD dan SMP, ketika Bara diejek oleh teman-temannya sebagai anak haram yang di buang, Bara akan berlari sambil menangis menemui Tini atau Parjo untuk bertanya kebenaran nya, tapi selalu berhasil menenangkan tangis Bara dan mengatakan itu semua hanya omong kosong. Mereka adalah orang tua kandungnya, dan Tini yang melahirkannya.

Tapi tidak untuk sekarang ini. Bara sudah tidak bisa di bohongi, dan mungkin inilah saatnya anak itu tahu kebenarannya.

Reaksi Bara terlalu sulit untuk diekspresikan. Terlalu datar. Tapi satu yang pasti, dia membenci orang tua kandungnya. 

Berjalannya waktu, Bara tumbuh menjadi pria keras. Tidak banyak bicara dan menjadi dingin. Rasa bencinya pada kehidupan ini membuatnya menjadi pribadi yang tertutup.

Baginya hidup adalah untuk uang, agar tidak diinjak dan dihina orang. Dia ingin mengangkat harkat orang tuanya.

Tak ada yang bisa Bara lakukan untuk membalas jasa orang tua nya, selain berbakti.

"Bu, nanti kalau ijazah ku udah keluar, aku mau pamit, izin merantau ke ibukota ya Bu" ucap nya memijit kaki Tini yang rebahan di dipan bambu.

Bara menatap wajah lelah ibunya. Wanita tua itu harus ikut banting tulang meringankan beban keluarga. Mereka butuh banyak uang untuk menyekolahkan Bara. Walau di sekolah pun Bara mendapat beasiswa dan tidak membayar SPP, tapi Parjo dan Tini yang memang adalah keluarga yang paling susah di desa itu tetap merasa kesulitan untuk membiayai Bara.

Tini tidak ingin, Bara ketinggalan oleh teman-temannya, baik dari segi pakaian dan alat sekolah.

Saat hasil dari lahan tidak bisa mencukupi semuanya, Tini menjadi tukang cuci dan menyetrika di rumah orang-orang kaya di desa itu dan desa sebelah.

Sementara Bara, sepulang sekolah akan pergi ke ladang untuk membantu ayahnya hingga petang. Walau hanya mempunyai waktu sedikit untuk belajar, nyatanya otak Bara memang encer, selalu berhasil menyabet juara umum di sekolah.

Bahkan pernah suatu kali mengikuti lomba sains se-kabupaten, Bara menyabet juara satu. Hasil dari kejuaraan itu, yaitu uang sebesar 2 juta di raihnya dan di serahkan pada Parjo untuk di belikan dua ekor kambing.

Parjo dan Tini begitu bangga pada Bara. Tuhan sangat baik, mengirimkan sosok anak yang begitu patuh dan menghormati mereka selayaknya orang tua.

"Kenapa harus ke ibu kota nak" sahut Tini menurunkan kakinya, duduk tegak menatap Bara. Walau sudah hampir delapan belas tahun, tapi Tini belum rela untuk berpisah dari anak itu.

"Aku ingin mendapat pekerjaan yang lebih bagus Bu. Bisa menghasilkan uang yang lebih banyak untuk bapak dan ibu" terangnya meminta restu. Bagiamana pun jika ibu nya bilang jangan pergi, dia tidak akan pergi.

Baginya restu kedua orang tuanya adalah jimat dan pelindung bagi langkahnya. Dia ingin pergi dari desa itu, dan kembali dengan pria sukses yang membuat orang yang selama ini menghina keluarga, berbalik menatap mereka nantinya.

"Apa kau sudah pikirkan masak-masak?" suara Parjo terdengar dari balik pintu bambu. Pria itu baru saja menyelesaikan mandinya selepas pulang dari ladang tadi.

"Sudah pak. Jika bertahan di desa ini, aku paling juga akan jadi buruh harian di ladang orang. Mencangkul dan membantu orang bertani. Atau paling hebat, jadi karyawan pabrik ikan di kota" ucap nya menatap Parjo.

Pria yang di kepalanya kini penuh uban itu hanya manggut-manggut mengerti. Duduk di bale-bale. Sigap Bara berpindah tempat, agar bisa memijit kaki bapaknya.

"Bapak dan ibu hanya bisa mendoakan mu. Semoga cita-cita mu tercapai. Kau bisa meraih kebahagiaan mu, nak" ucap Parjo menepuk-nepuk punggung Bara pelan.

Bab 3

Hari yang ditunggu Bara tiba. Sudah sejak pukul lima pagi dia bangun. Masak air untuk membuat kopi Parjo dan membuat nasi goreng untuk sarapan mereka bertiga.

Bara ingin melayani orang tuanya hari itu sebelum berangkat ke Jakarta. Biasanya. Setiap pagi, Bara lah yang membelah kayu, untuk di pakai masak oleh Tini, nanti tugas itu akan kembali pada Parjo. Melihat kedua orang tuanya yang sudah tua, Bara sebenarnya tidak ingin meninggalkan mereka, tapi hanya dengan merantau Bara bisa mencari uang lebih banyak, dan berjanji segera menjemput ibu bapak nya bersama nya nanti.

"Kau sudah bangun nak" suara Tini dari belakangnya membuatnya membalikan tubuh melihat kearah ibunya.

"Sudah Bu. Duduk dulu, sebentar lagi kita sarapan"

Tini hanya menatap punggung Bara. Anak terkasih nya itu kini sudah dewasa dan sebentar lagi akan berpisah untuk waktu yang dia sendiri tidak tahu sampai kapan.

Selain miskin dan serba kekurangan, yang di miliki keluarga itu hanya lah keramahan dan hati yang bersih. Walau banyak tetangga yang tidak senang karena pasangan itu akhirnya mempunyai anak yang entah berasal dari mana, tapi mereka menyukai Bara dengan segala kecerdasan dan sifat nya yang suka membantu.

Hal utama yang dia ingat hasil didikan orang tuanya adalah berpegang pada kebenaran dan juga harus jujur.

Waktu untuk berangkat tiba. Parjo dan Tini bersikeras ingin mengantar Bara ke stasiun bus antar provinsi yang ada di kota, walau Bara sudah melarang mereka. Ada dua hal yang membuat Bara tidak ingin diantar, pertama karena akan merepotkan kedua orang tua renta itu saat akan kembali ke desa mereka, selain karena biaya juga karena mereka sudah tua untuk melakukan perjalanan selama empat jam ke kota, belum lagi kaki Tini sedang sakit karena dua hari lalu menginjak pecahan kaca di rumah tetangga tempat nya mencuci.

Alasan kedua, Bara tipe orang yang sulit untuk mengucapkan kata perpisahan pada orang-orang yang di sayangnya. Biarlah hatinya menangis, di balik punggung mereka.

"Kamu baik-baik di sana, nak. Jaga diri, jaga kesehatan mu" ucap Tini masih terisak memeluk tubuh kekar Bara yang berusaha untuk tegar. Pertahanannya hampir jebol melihat air mata ibunya, wanita yang paling dia kasihi, yang dari padanya Bara bisa hidup hingga saat ini dengan penuh kasih sayang.

Mungkin darah yang berbeda mengalir dalam tubuh mereka, tapi tidak masalah. Cintanya pada Tini akan membuat nya menjadi pribadi kuat, berjuang untuk bisa membahagiakan kedua orang tuanya.

"Jaga diri. Jangan menjual kejujuran mu, terlebih jangan meninggalkan Tuhan mu" ucap Parjo menepuk punggung Bara sebelum melangkah naik ke dalam bus yang akan membawanya menjemput impian.

Hampir dua hari barulah Bara tiba di ibukota. Harus nya tidak perlu selama itu, tapi apa mau di kata bus yang di tumpangi mogok di perbatasan kota dini hari, hingga harus menunggu bantuan untuk memperbaiki.

Rasa penat dan lelah, menyatu dengan perutnya yang sangat lapar. Di perjalanan saat bus berhenti untuk sejenak istirahat makan dan minum, Bara memilih mengisi ulang air dalam botol kemasan yang dia beli di loket kampung halamannya.

Rasa pusing pun menyerangnya. Dia sendiri tidak tahu harus melangkah kemana sekarang, tidak ada sanak saudara, atau pun orang yang di kenal. Merantau ke kota besar seperti ini hanya bermodalkan nekat dan tekat yang kuat. Dia juga harus menghemat uang dalam saku nya yang di pisah di kedua kantong.

"Jangan satu kan uangmu. Di perjalanan banyak orang jahat. Bisa saja pas kamu tidur, tas mu di susup pencuri, maka jangan masuk kan dalam tas" nasehat Parjo yang diangguk Bara.

"Dalam dompet juga jangan. Jakarta banyak copet, terlebih di terminal. Masukkan dalam kantong celana bagian depan, pisahkan kiri dan kanan"

"Baik pak"

Dan itu lah yang di lakukan Bara. Saat seorang penumpang yang sama dengan nya dari bus tadi berteriak kehilangan dompet, Bara hanya bisa menatap kasihan pada pria itu. Tapi mau membantu pun dia bisa apa?

Bara sudah memperhitungkan kalau dalam tiga hari dia tidak mendapat pekerjaan, dia akan mati kelaparan dan jadi gembel di ibu kota ini.

Maka setelah selesai menghabiskan makan siangnya di warteg hanya dengan memesan nasi putih dengan lauk dua potong tempe dan sambal, Bara bergegas menyusuri terminal.

Asik berjalan menatap langkahnya, seketika telinga nya mendengar deru langkah orang berlari. Seketika menoleh kebelakang dan  seorang pria bertubuh besar berlari ke arahnya yang di kejar oleh seorang pria awal 50 tahunan  sembari berteriak.

"Tolong, dia mencopet dompet saya"

Tepat ketika pria itu melintas di depannya, Bara langsung memukul pria yang di duga nya adalah pencopet yang di teriaki si pria tua.

Perkelahian pun terjadi antara Bara dan juga si pencopet. Walau berbadan besar, tidak sulit bagi Bara untuk melumpuhkannya dalam waktu singkat.

"Ampun..ampun.." ucap si pria besar setelah tangannya di kunci oleh Bara dari belakang.

Bara menghentak, melepaskan tangan pria itu dan berdiri tegak sementara si copet meringis kesakitan terjerembab ke tanah. Dengan mudah Bara mengambil dompet hitam itu dari tangan di pencopet. Saat menyerahkan barang itu pada si pemiliknya, pencopet pun bangkit dan langkah seribu.

"Terimakasih banyak anak muda. Terimakasih" ucap nya berulang-ulang sebagai bentuk rasa syukurnya.

"Sama-sama pak. Coba di cek lagi, ada yang hilang?"

"Tidak ada nak. Sekali lagi terimakasih"

Bara hanya mengangguk hormat, sebelum berlalu pergi. Si bapak yang sudah di tolong mengamati punggung itu yang menjauh.

"Tunggu" langkah Bara terhenti dan berbalik menghadap pria itu.

"Kamu bukan orang sini?"

"Iya pak"

"Baru tiba juga ya. Mau merantau cari kerja apa mau melanjutkan sekolah?" pria itu berjalan menghampiri Bara, kedua nya kemudian berjalan beriringan.

"Cari kerja pak"

"Di sini mau tinggal sama siapa? di jalan mana alamatnya, nanti biar saya antar"

"Saya ga punya kenalan atau saudara di sini pak"

"Loh, jadi nanti malam tidur dimana kamu?" logat Jawa bapak ini begitu kental. Bara hanya diam, mau jawab apa coba, dia memang tidak punya tujuan walau sekedar bermalam.

Seakan paham kondisi Bara, pria itu menepuk pundak Bara dua kali, hal yang sama mengingatkan Bara pada Parjo.

"Saya Sugito. Nama kamu siapa?"

"Oh..saya Bara pak"

"Bara, bagaimana kalau kamu ikut bapak pulang. Tinggal sama bapak sampai kamu dapat kerja"

Wajah Bara sumringah. Kata Tono, teman nya di kampung, di Jakarta tidak ada orang baik, hanya ada orang jahat. Tapi nyatanya, Bara beruntung bisa bertemu pak Sugi, orang berhati malaikat yang menolongnya di rantau.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!