Ruby sibuk memainkan sedotan di dalam gelas berisi jus alpukat yang dipesannya. Sementara, ketiga temannya terlihat asyik memperbincangkan hal-hal random seputar kehidupan kampus mereka.
Ruby tidak tertarik dengan apa yang mereka bahas. Teutama bagian menjelek jelekkan sesama teman kampusnya ketika di belakang. Mungkin jika ia tidak ikut, bisa saja gilirannya menjadi bahan gunjingan.
Kehidupan kampus yang baru dijalani selama satu semester berjalan begitu membosankan. Kebanyakan mahasiswa di tempatnya lebih mengutamakan penampilan daripada belajar. Datang ke kampus tujuan utamanya untuk pamer barang barang bermerk atau pengalaman liburan keluar negeri.
Ruby bukanlah orang yang kaget dengan gaya hidup seperti itu. Dia sendiri sudah terbiasa mengenakan barang barang bermerk, karena memang orangtuanya mampu untuk membelikannya. Tapi, menurutnya, apapun outfit yang dipakai ke kampus tidak lebih penting dari mendengarkan pelajaran yang diberikan oleh dosen.
“Iya sih, aku tidak menyangka keluarga Selena bisa bangkrut begitu. Ayahnya terjerat kasus korupsi lagi. Benar benar mengerikan.” Ucap salah seorang teman Ruby yang berambut pendek.
“Hati-hati, mulai sekarang jangan dekat dekat dengannya. Nanti dikira ayah kita juga terlibat korupsi lagi.”
“Aduh! Aku minggu lalu padalah baru nonton bareng dia loh…. Kemarin juga dia mengirim pesan mau ajak jalan lagi.”
“Jangan mau! Nanti kau ikut ikutan dikucilkan teman.”
“Oh, iya. Ve, itu jam tanganmu baru, ya?”
“Ah, ini…. Iya, pacarku yang membelikannya dari USA.” Ucapnya bangga. Sementara, Ruby membuang muka seraya tersenyum. Pasalnya, ia melihat ketika Venya mebeli ja tangan itu di pasar penjualan barang-barang tiruan yang harganya juga lumayan karna sangat mirip. Demi mendapatkan sanjungan dari orang lain, terkadang orang juga bisa melakukan penipuan.
“Beruntung sekali kamu punya pacar pengusaha. Sesekali kenalkan pengusaha muda yang sudah sukses seperti pacarmu.”
“Hahaha…. Makanya sering sering datang ke pesta. Aku juga ayahku yang mengenalkannya.”
“Beruntung banget sih kau…. “
Ruby kembali ingin tertawa. Sulit untuk menemukan pengusaha muda yang sudah sukses tapi masih lajang. Kebanyakan mereka sudah beristri atau bertunangan. Kalau mau mencari yang kaya tapi sudah mapan, cari saja duda. Tapi kebanyakan juga sudah tua seperti ayahnya.
“Eh, aku pamit dulu, ya. Ada janji soalnya.” Pamit Ruby yang sudah tidak betah berada di sana.
“Yah…. Kok buru buru.”
“Pasti janjian sama pacar ya, By?”
“Hahaha…. Aku tidak punya pacar. Aku mau mengerjakan tugas saja bareng teman.”
“Rajin banget…. Kalau sudah selesai, ajari kami, ya…. “
“Oke.” Jawabnya enteng. “Pesanan kalian akan aku bayar sekalian. Have fun, ya.” Ucapnya sembari tersenyum lalu berjalan pergi menuju kasir.
“Yey! Ruby memang yang terbaik!”
Kadang Ruby suka aneh dengan mereka. Membeli barang yang mahal saja mampu, tapi kalau ngajak nongkrong malah lebih sering berharap ditraktir. Ruby tidak ambil pusing dengan hal itu. dia memang bisa mendapatkan teman karena banyak uang dan lumayan cantik. Katanya bisa meningkatkan keestetikan circle pertemanan kalau ada dirinya.
Bagi mereka, teman Ruby, nilai tinggi sepertinya bukan tujuan utama. Yang penting bisa lulus, itu sudah cukup. Selebihnya adalah tugas keuarga untuk memasukkan mereka ke dalam jabatan jabatan penting dalam bidang bisnis maupun pemerintahan. Hal ini biasanya disebut dengan ‘the power of orang dalam’.
Ya, istilah itu bukan sebatas isapan jepol belaka, melainkan sesuatu yang memang lazim terjadi di sekitar Ruby. Bahkan ayahnya sendiri pernah bilang kalau dirinya tidak perlu terlalu stres dengan mata kuliah di kampus. Asalkan bisa lulus saja sudah cukup untuk kepantasan. Apa lagi anak perempuan, tidak perlu pintar pintar karena yang bertugas mencari uang adalah kaum lelaki. Sementara, tugas kaum wanita untuk menikmati hasil kerja keras lelaki.
Tentu saja itu bukan sesuatu yang Ruby harapkan. Dia kuliah karena ingin menjadi pintar. Meskipun otaknya pas pasan, tapi semangatnya agar bisa menjadi seorang pebisnis wanita sukses sangat tinggi.
Ruby tak pergi kemana mana setelah jalan dengan teman temannya. Ia langsung pulang ke rumahnya yang besar namun sangat sepi. Direbahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah seraya menghela nafas panjang. Hanya dia sendiri yang menepati rumah sebesar itu bersama para pelayan tentunya. Ibunya sudah meninggal sekitar lima tahun lalu saat ia masih kelas 1 SMP.
Sedangkan ayahnya, sering pergi ke luar kota atau luar negeri untuk urusan bisnis. Jarang sekali ia bisa bertemu ayahnya. Makanya dia benar benar bosan. Kampus membosankan, rumah juga membosankan. Menurutnya kehidupan orang kaya tidak semenarik yang orang pikirkan. Ruby sendiri lelah, ia ingin menjadi orang biasa saja yang bahkan masih bisa tertawa tawa meskipun hidup serba kekurangan.
“Neng Ruby sudah pulang? Mau saya siapkan makan sekarang?” Bi Isna yang menjadi kepala pengurus rumah menghapiri Ruby untuk menawarkan makan.
“Tidak usah, Bi. Tadi aku baru makan bareng teman.”
“Baik, Neng. Kalau begitu, saya mau kembali ke belakang. Kalau butuh sesuatu, panggil saja saya atau pelayan yang lain.”
“Iya, Bi. Terima kasih.”
Ruby kembali bangkit. Dengan langkah malas ia berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya di lantai atas. Kamar yang hanya ia gunakan untuk tidur itu selalu terlihat rapi oleh tangan pelayan rumah.
Otaknya sudah ruwet, semakin dipikirkan semakin ia ingin meninggalkan rumah itu. Akhirnya dengan keputusan bulat, ia memutuskan untuk pergi hari ini juga dari rumah. Segera ia berjalan menuju ruang pakaian, mengambil koper yang lama tak terpakai. Lalu, ia mengemasi beberapa pakaian ke dalam koper tersebut. Tak lupa ia juga membawa dokumen dokumen yang nantinya akan ia butuhkan.
“Neng Ruby mau pergi kemana? Kenapa mebawa koper besar?”
Langkah Ruby terhenti. Kepala pelayan memergokinya. Ia bersaha bersikap biasa dengan senyuman tulus di wajahnya.
“Bi, saya ada kegiatan study banding ke luar kota bareng teman satu kampus dan dosen. Satu minggu ini aku tidak pulang ya, Bi.”
“Neng Ruby sudah ijin kepada Bapak?”
“Sudah…. Masa aku pergi tidak ijin Papa. Tapi sepertinya Papa juga sedang sibuk, jadi belum sempat memberi tahu Bibi.”
“Oh, kalau begitu hati hati di jalan, Neng. Jangan lupa jaga makan supaya maag tidak kambuh lagi.”
“Iya, Bi. Aku pergi dulu.”
“Eh, tunggu! Suruh antar Pak Hasan ke kampus. Masa bawa koper sebesar itu sendiri….”
“Tidak perlu, Bi. Ini tidak berat karena aku bawanya diseret kok bukan dipikul. Di luar juga sudah ada taksi yang menunggu, tidak enak kalau membuatnya menunggu lama.”
Ruby mempercepat langkahnya dan langsung masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan. Akhirnya ia bisa keuar dari rumah itu dengan aman. Setidaknya seminggu ke depan ia tak akan dicari cari oleh orang rumah.
“Bi Minah…. !” Seru Ruby.
Wanita paruh baya yang sedang menyapu di halaman rumahnya yang terbilang sangat sederhana itu menghentikan aktivitasnya sejenak.
Ia tiba tiba merasa mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Namun, ia menganggap dirinya sedang bermimpi bisa mendengar suara yang dirindukannya.
“Bi Minah…. “
Sekali lagi terdengar suara yang sama. Ia yakin kali ini tidak sedang bermimpi. Bi Minah membalikkan badan. Dilihatnya seorang wanita muda yang cantik berdiri dengan kopernya di sana. Wanita muda yang masih tampak seperti anak kecil di matanya.
“Neng Ruby…. “ lirihnya.
Mata Bi Minah berkaca kaca. Sudah lama ia tidak bertemu dengan anak yang dulu pernah dia asuh sejak bayi hingga berusia 13 tahun.
Ruby berlari membawa kopernya. Ia memeluk dengan lembut tubuh wanita yang ikut berjasa dalam membesarkannya. Ruby ikut menitihkan air mata karena terharu.
Ketika Ruby dilahirkan, ibunya sakit sakitan, sering keluar masuk rumah sakit. Oleh karena itu, sejak bayi Ruby sudah diasuh Bi Minah. Seingat Ruby, selama mamanya hidup, mamanya selalu terlihat lemah. Kondisi kesehatannya selalu buruk hingga akhir hayatnya. Entah apa penyakit yang diderita mamanya, tapi penyakit itu tidak pernah bisa sembuh. Maka, ketika mamanya meninggal, Ruby tidak terlalu larut dalam kesedihan. Mamanya sudah tenang di alam sana, tidak menderita kesakitan lagi. Tuhan tahu yang terbaik untuk mamanya.
Ruby melayangkan pandangan ke setiap penjuru ruang tamu rumah mantan pengasuhnya. Menurutnya, kondisinya masih jauh dari kata layak. Sangat berbanding terbalik dengan rumah yang biasa ia tempati. Lantai rumah dengan tegel berwarna abu abu kusam, dinding rumah yang terbuat dari setengah pondasi dan setengah kayu, serta langit langit rumah tanpa plafon sehingga rangka rumahnya juga terlihat. Rumah itu berkuran kecil, sekitar 6 x 8 meter atau hanya seukuran kamarnya saja.
“Diminum dulu, Neng…. “ Bi Minah menghidangkan secangkir teh ke hadapan Ruby.
“Terima kasih, Bi.”
Bi Minah duduk di hadapan Ruby dengan senyuman yang terus merekah. Ia masih tidak menyangka anak yang 13 tahun diasuhnya kini sudah berubah menjadi gadis yang sangat cantik.
“Bi…. Rumahnya susah banget dicari. Aku sampai tiga hari mencari kesana kemari karena Bi Minah ternyata sering pindah pindah.” Keuh Ruby.
Bi Minah tampak menghela nafas, “Iya, Neng. Maafkan Bibi.”
Raut wajahnya berubah muram seperti ada yang sedang ia pikirkan.
“Bibi tinggal di sini sendiri?”
Bi Minah mengangguk.
“Em…. Suami Bibi dimana?”
Bi Minah menyunggingkan senyum, “Kami sudah lama berpisah. Setelah berhenti bekerja dari rumah Neng Ruby, Bibi diceraikan. Neng pasti tahu kan, alasannya apa?”
“Karena Bibi belum bisa hamil?”
Bi Minah mengangguk.
Saat diasuh oleh Bi Minah, Ruby pernah memergoki Bi Minah dan suaminya bertengkar karena belum juga memiliki anak setelah bertahun tahun menikah. Suaminya juga sering marah, memberi alasan katanya Bi Minah terlalu sibuk bekerja jadi tidak bisa punya anak. Padahal, Bi Minah juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena suaminya hanya pekerja serabutan yang penghasilannya tidak tentu. Belum lagi orangnya suka mabuk dan main kasar. Seharusnya Bi Minah sudah sejak dari dulu meninggalkan suami semacam itu.
“Lalu…. Kenapa Bi Minah tinggal di rumah seperti ini? Memangnya gaji dan pesangon yang diberikan Papa kurang, ya?” ada rasa bersalah melihat kehidupan orang yang pernah mengasuhnya itu terlihat meprihatinkan.
“Tidak, Neng…. Tidak. Pesangon yang Bapak berikan sangat lebih dari cukup. Bapak bahkan pernah membelikan rumah.”
“Tapi semuanya diambil oleh orang itu dan kabur dengan wanita seingkuhannya.”
“Makanya Bibi sekarang sudah tidak punya apa apa lagi. Rumah ini saja hanya rumah kontrakan, Neng.”
“Maaf ya, Bi. Aku jadi membuka luka lama.”
“Tidak apa apa, Neng. Bibi juga sudah melupakan semuanya. Hidup kan harus terus berjalan ke depan, bukan ke belakang.”
“Ngomong ngomong, Neng Ruby ada perlu apa mencari bibi?”
Launan singkat Ruby berakhir. “Ah, iya, Bi. Ruby mau minta tolong, boleh?”
“Apa yang bisa Bibi bantu?”
Ruby meraih kedua tangan Bi Minah, “Bi…. Boleh tidak aku tinggal dengan Bibi di sini?”
Bi Minah tampak membelalakkan mata. Anak yang biasa tinggal di rumah mewahnya dengan segala fasilitas tiba tiba datang mencarinya dan meminta ijin untuk tinggal bersamanya di rumah kontrakan kecil daerah kumuh.
“Neng, ada apa? Kenapa tiba tiba mau tinggal bersama bibi di tempat yang…. Aduh…. Bibi jadi ngeri sendiri membayangkan Neng tinggal di sini.”
“Aku kabur dari rumah, Bi.”
“Apa!?” Bi Minah kaget. “Bapak kasar ya, sama Neng Ruby?”
Ruby menggeleng, “Aku mau mencoba hidup mandiri, Bi. Bosan tinggal di rumah tidak ada tantangannya. Ruby mau juga merasakan rasanya hidup sebagai orang biasa.”
“Hahaha…. Keinginanmu aneh sekali, Neng. Hidup jadi orang biasa itu tidak enak, seharusnya Neng bersyukur bisa menikmati kehidupan yang nyaman dan berkecukupan. Tidak semua orang bisa menikmatinya.”
“Iya, Bi. Ruby juga tahu. Tapi, Ruby memang ingin melihat dan merasakan hal hal baru.”
“Apa Bapak sudah tahu dengan niat Neng Ruby?”
“Kalau Papa aku beri tahu, namanya bukan kabur, Bi.”
“Nanti Bapak pasti marah kalau tahu.”
“Ya jangan sampai Papa tahu…. Ini rahasia saja di antara kita berdua.”
“Neng…. Tolong dipikirkan lagi. Hidup sebagai orang biasa tidak seenak kehidupan yang sekarang Neng rasakan.”
“Tenang, Bi. Kalau aku tidak kuat, aku tinggal kembali ke rumah.” Ruby mencoba meyakinkan Bi Minah.
“Bibi juga tidak bisa memberikan fasilitas yang nyaman. Neng bisa lihat sendiri seperti apa rumah Bibi sekarang.”
“Tidak masalah, Bi. Aku yang akan mengikuti gaya hidup Bibi, bukan Bibi yang harus mengikuti gaya hidupku.”
Ruby memeluk Bi Minah dengan manjanya, “Bi…. Mau tidak Bibi menganggapku seperti anak sendiri?”
Bi Minah tertawa kecil, “Sejak dulu juga Bibi sudah menganggap seperti anak sendiri, Neng.”
“Kalau begitu, boleh ya, kalau Ruby panggil ‘ibu’…. “
Dalam hati Bi Minah seketika seperti bermekaran bunga bunga. Senang rasanya ada anak yang memanggilnya ibu. Meskipun tidak bisa meiliki anak, namun ia sudah menganggap Ruby seperti anak sendiri. Kasih sayang yang ia berikan dulu bukan semata mata karena tuntutan pekerjaan, melainkan ketulusan dari hatinya.
“Boleh…. Bi Minah senang sekali.” Bi Minah meneteskan air mata.
“Lah, katanya senang kok malah nangis…. “ Ruby mengusap air mata yang mengalir di pipi wanita yang hapir berusia 50 tahunan itu.
“Orang terlalu bahagia juga bisa nangis, Neng…. “
“Sudah ya, jangan nangis lagi. Mulai sekarang, Ruby mungkin akan merepotkan ibu. Mohon kesabarannya.”
“Kau ini ada ada saja.” Bi Minah mencubit lembut pipi Ruby.
Sekali lagi Bi Minah memandang bangga anak yang kini sudah tumbuh bahkan lebih tinggi darinya.
Setelah mengurusi kepindahannya ke kampus yang baru, Ruby sudah bisa memulai kuliahnya di tempat yang baru. Tempat biasa dimana tak ada fashion show barang barang bermerk, kehidupan kampus yang baginya lebih manusiawi. Orang orang kampusnya lebih ramah, meskipun ia mengenakan pakaian biasa, tak ada yang mempedulikan penampilannya.
Di dalam kelas, lebih banyak yang fokus kepada pelajaran. Yah, meskipun tipe tipe yang menyepelekan kuliah juga masih ada. Biaya kuliah di kampus barunya jauh lebih murah dibandingkan kampus yang sebelumnya. Mungkin biaya satu semester di kampus lama bisa untuk biaya sampai lulus saat berkuliah di kampus ini.
Ruby orang yang penuh perhitungan. Sejak lulus SMA, niat gila kabur dari rumah sudah ada di otaknya. Ia juga sudah mencari referensi kampus yang saat ini menjadi tempatnya belajar sembari menjalani kuliahnya di tempat yang ayahnya inginkan.
Kebetulan kampus incarannya satu kota dengan Bi Minah. Jadi, ia juga mencari mantan pengasuhnya yang sudah lima tahun hilang kontak dengannya. Orang juga tidak akan tahu identitasnya yang sebenarnya kecuali Bi Minah. Karena, tempat tinggalnya sekarang dengan rumahnya sudah berbeda kota.
“Halo…. Boleh aku duduk di sini?”
Seorang wanita membawa nampan makanan berdiri di depan Ruby yang sedang menikmati makanannya di kantin. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tampaknya meja kantin sudah penuh. Hanya tempatnya yang masih tersisa.
“Oh, silakan…. “ Ruby mempersilahkannya duduk lalu melanjutkan kembali makannya. Makanan di kantin kampus jadi favoritnya. Rasa masakannya hampir sama dengan masakan Bi minah meskipun masakan Bi Minah tetap yang paling enak tentunya.
“Terima kasih.” Wanita itu duduk di hadapan Ruby.
“Kamu Ruby, kan?”
Ruby menghentikan makannya. Ia bahkan merasa baru melihat wanita yang kini duduk di hadapannya. Tapi, wanita itu bisa tahu namanya.
“Kita sering satu kelas, loh. Pasti kau tidak tahu, ya…. “ wanita itu mulai menyuapkan makanannya ke mulut.
Mata kuliah di sana sangat beragam. Selain mata kuliah wajib, setiap mahasiswa bisa meilih mata kuliah tambahan sesuai keinginannya. Belum ada satupun teman yang ia kenal, kecuali teman yang kebetulan pernah satu kelompok dengannya. Itupun ia mengenalnya sebatas tugas saja.
“Kenalkan, namaku Yorin. Kalau ketemu di kelas lagi jangan lupa sapa, ya…. “
“Oh, iya.” Jawab Ruby singkat.
“Aku kagum saat melihatmu presentasi di depan kelas waktu mata kuliahnya Pak Thoriq. Aku kira kamu anak yang pasif dan pendiam. Ternyata pandai sekali presentasi di depan kelas.”
Ruby tidak menyangka ada orang yang memperhatikannya saat presentasi. Di kampus lama, biasanya kalau ada yang bicara di depan kelas, yang lain sibuk dengan urusan sendiri.
“Untuk tugas terbaru dari Pak Thoriq, kamu sudah ada kelompok apa belum?”
“Belum.”
“Boleh tidak kalau aku sekelompok denganmu? Aku akan berusaha untuk tidak menjadi beban.”
“Boleh.” Jawab Ruby.
“Wah, senang sekali bisa satu kelompok dengan mahasiswa cerdas sepertimu.”
Ruby tersenyum, “Aku tidak seperti yang kamu kira. Kemampuanku juga biasa biasa saja.”
“Ah, jangan merendah…. Aku sudah melihat kalau public speaking mu juga sangat bagus.”
Sejak SD Ruby sudah diajarkan tentang public speaking karena hal itu memang penting untuk orang yang akan berkecimpung di dunia bisnis. Namun, bukan berarti ia sangat pandai dalam hal pelajaran. Kemampuannya juga hanya rata rata tapi dapat ditutupi dengan kemampuan berbicaranya yang baik.
“Maaf, ya kalau aku terlihat sangat cerewet.”
“Tidak apa apa, aku suka tipe orang sepertimu.”
“Hehehe…. Terima kasih. Sebenarnya aku juga sudah lama ingin berkenalan denganmu. Takut kau orangnya sombong. Ternyata kau ramah juga.”
“Apa mukaku terlihat seperti orang yang tidak ramah?”
“Tidak, itu hanya perasaanku saja. “
Keduanya kembali melanjutkan makan sembari meperbincangkan banyak hal seputar tugas sekolah hingga asal usul satu sama lain.
“Ah, sepertinya aku harus pergi sekarang.” Ucap Yorin ketika melihat jam tangannya.
“Memangnya mau kemana?”
“Aku mau pergi kerja.”
Ruby mengerutkan keningnya, “Kamu kerja?” tanyanya heran.
“Ya…. Memangnya ada yang salah?” Yorin juga ikut heran dengan pertanyaan Ruby. Apa anehnya kalau dia bekerja?
“Kamu kan masih kuliah…. “
“Ya, ada yang salah dengan itu? Jam kuliah kan juga tidak full seharian. Jadi, daripada sia sia aku manfaatkan untuk kerja sambilan.”
“Bukannya kalau kerja harus bawa ijasah?”
“Hahaha…. Aku bukan kerja kantoran, ya. Aku kerjanya hanya karyawan restoran. Bahkan aku tidak perlu bawa ijasah SMA juga karena kenal pemiliknya. Lumayan bisa meringankan beban orang tua. Aku bisa jajan dengan hasil kerjaku.”
Ruby terdiam sejenak. Dia baru tahu kalau ada mahasiswa yang mau kerja pada posisi yang rendah tidak sesuai dengan bidang ilmu yang sedang ditekuni. Teman temannya di kampus yang dulu tentu saja tidak ada yang bekerja. Mereka hanya sekolah karena segala kebutuhan sudah dicukupi oleh orang tuanya.
“Kalau begitu, aku pergi dulu, ya!” Yorin beranjak dari kursinya hendak pergi.
“Tunggu!” Ruby ikut berdiri menghentikannya.
“Em…. Bisa tidak kalau kau mengajakku bekerja. Aku juga butuh uang untuk meringankan beban ibuku.”
Ruby sadar, ketika ia memutuskan untuk hidup mandiri, maka dia tidak bisa selamanya bergantung kepada uang yang diberikan papanya. Ia harus mulai belajar bekerja agar bisa mendapatkan penghasilan sendiri. Lagipula, ia juga tak mau menjadi benalu, menabah beban kehidupan Bi Minah yang sekarang ia tumpangi.
“Kamu yakin?” Yorin agak ragu karena kalau dilihat lihat Ruby bukan orang yang tipe biasa bekerja.
Ruby mengangguk.
“Baiklah kalau begitu, ayo ikut aku. Nanti aku kenalkan ke bos tempatku bekerja. Tapi jangan nangis minta pulang, ya…. “
*****
“Bos…. Aku datang…. “ seru Yorin dengan semangat.
“Oh, kamu sudah datang.”
Seorang lelaki yang masih tampak muda sedang sibuk memanggang makanan di atas bara api. Rambutnya sedikit ikal, wajahnya putih bersih, postur tubunya tegap dan lumayan tinggi. Pantas saja Yorin tampak semangat berangkat kerja. Ternyata bosnya lumayan ganteng. Agak aneh melihat lelaki seperti dia bukannya berjalan di atas catwalk tapi malah panas panasan di depan tungku api.
“Siapa dia?” tanyanya.
“Ini temanku, Bos. Namanya Ruby. Katanya dia sedang butuh kerja supaya ada penghasilan tambahan.”
“Teman kampusmu?”
“Iya.”
“Ruby, kenalkan ini bosku, namanya Hardi.”
Ruby menganggukan kepalanya sebagai tanda menghormati.
“Hai, Ruby. Kebetulan ada karyawan yang baru keluar karena mau menikah. Jadi bagaimana, kamu yakin mau bekerja di sini? Gajinya juga tidak banyak.” Katanya sembari terus membolak balik bungkusan daun pisang berisi nasi dengan berbagai isian.
“Iya, Pak. Saya mau bekerja di sini.”
“Hahaha…. Jangan panggil ‘pak’ dong, saya kan belum terlalu tua. Jangan juga ikut ikutan panggil ‘bos’ seperti Yorin. Aku tidak suka.”
“Panggil ‘kakak’ atau ‘mas’ saja, saya tidak keberatan.”
“Ah, iya, Mas Hardi. Terima kasih sudah meberi kesempatan bekerja di sini.” Ucap Ruby dengan canggung.
“Sama sama. Semoga betah.” Hardi memberikan senyuman. “Yorin, tolong ajak Ruby ke belakang, ya. Cucian piring di belakang sudah numpuk.”
“Siap, Bos.”
“Ayo, Ruby!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!