Elivia baru saja pulang dari restoran cepat saji dimana dia bekerja. Hari ini dia mendapatkan sift pagi jadi dia pulang jam 3 sore. Gadis ramping yang berusia 25 tahun itu berjalan santai menuju ke kostnya.
Di gang yang tidak terlalu sempit itu, dia melihat seseorang nenek renta berpakaian lusuh yang sedang berjalan kemudian terserempet sepeda motor. Nenek itu terjatuh dan lututnya terluka. Tidak ada satu orangpun yang menolongnya. Padahal banyak anak-anak remaja yang ada disekitarnya. Mereka semua nampak tidak peduli dan melanjutkan bermain ponsel.
Sedangkan si pengendara motor langsung tancap gas meninggalkan si Nenek tanpa bertanggung jawab. Elivia langsung bergegas menghampiri Nenek itu dan menolongnya.
“Nenek tidak apa-apa?” Tanyanya khawatir. Ia membantu Nenek itu untuk berdiri dan menahan tubuhnya.
Si Nenek meringis menahan sakit di lutut dan telapak tangannya yang sedikit mengeluarkan darah. “Terimakasih Nak.” Kata si Nenek dengan lembut.
“Nenek bisa jalan? Biar saya antar Nenek pulang. Dimana rumah Nenek?” Tanya Elivia.
“Rumahku sangat jauh. Dan aku lupa dimana tepatnya. Bisakah aku menginap dirumahmu? Besok aku akan menghubungi keluargaku. Ponselku mati, habis baterainya.” Jawab si Nenek. Dia menunjukkan ponsel jadul keluaran pertama yang sudah sangat usang. Elivia bahkan tidak yakin kalau ponsel itu masih berfungsi.
“Baiklah, Nek, mari.. Nenek bisa istirahat ditempat saya.” Ujar Elivia kemudian mengajak Nenek itu pulang ke kamar kostnya.
Kost Elivia sangat sederhana. Hanya berukuran 3x4 meter persegi. Didalamnya juga tidak banyak perabotan. Hanya ada sebuah ranjang mungil disana. Dan seorang gadis yang terbaring lemah diatasnya.
“Masuklah Nek, maaf kalau keadaannya hanya seperti ini. Saya harap Nenek nyaman berada disini.” Kata Elivia tersenyum ramah.
Nenek memperhatikan dengan teliti seisi kamar dan terakhir pandangannya berhenti pada gadis yang sedang terbaring diatas ranjang itu.
“Dia adik saya Nek, namanya Arina.”
“Siapa, kak El?” Tanya Arina.
“Nenek ini tadi jatuh di serempet pengendara motor. Jadi kakak tolong dan bawa kesini.” jelas Elivia.
“Sakit apa dia?” Tanya Nenek dengan masih memperhatikan Arina.
“Kecelakaan, Nek. Ditabrak orang yang tidak bertanggung jawab. Dia mengalami cidera tulang belakang yang sangat seirus. Sudah lebih dari satu tahun dia begini.” Jelas Elivia.
Karna itu dia merasa tidak tega kalau harus membiarkan Nenek dan tidak menolongnya. Dia jadi teringat dengan Arina.
“Kenapa tidak dibawa berobat?”
“Hanya berobat jalan Nek. Seminggu sekali.” Elivia menyodorkan teh hangat yang baru diseduhnya kepada Nenek. Nenek memandangi Arina dengan tatapan iba.
“Ooooo..”
“Sini Nek, biar saya obati luka Nenek.”
“Terimakasih banyak, nak Elivia. Tapi, apa kamu tidak takut kalau aku adalah seorang penipu?” Tanya Nenek tiba-tiba.
Elivia tetap bergeming untuk mengobati luka Nenek. “Aku tau kalau Nenek adalah orang baik.” Jawab Elivia. Ia menatap wajah renta Nenek dan tersenyum.
Entah kenapa dia begitu yakin. Padahal ia baru bertemu dengan Nenek itu.
Dua hal yang paling membuat lemah Elivia adalah, jika hal itu menyangkut dengan adiknya, Arina, dan orang tua. Apalagi kalau orang itu sudah renta seperti Nenek. Rasa tidak tega itu akan langsung memenuhi rongga dadanya.
“Beruntung sekali aku bertemu denganmu. Kau adalah gadis yang baik. Semoga nanti aku bisa membalas semua kebaikanmu ini.”
“Tidak perlu memikirkannya, Nek. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Nenek. Aku ikhlas dan tidak mengharapkan sedikitpun balasan.” Netra Elivia memancarkan ketulusan.
Tangan renta Nenek membelai wajah Elivia. Ia tersenyum penuh makna.
“Orang tuamu pasti bangga padamu.”
Kalimat itu mampu mengubah raut wajah Elivia. Kini tatapannya menjadi pias. Ia mengalihkan pandangannya kepada Arina.
“Semoga....” Ujarnya lirih.
“Nama Nenek siapa?” Arina bertanya untuk mengusir suasana kesedihan yang hampir saja datang. Ia tidak mau melihat kakaknya meneteskan air mata karna terkenang kedua orang tua mereka.
“Suri...” Jawab Nenek.
“Kenapa Nenek bisa ada disini? Dimana keluarga Nenek?”
“Sebenarnya, aku pergi dari rumah untuk mencari seseorang. Tapi sepertinya aku tersesat. Maafkan aku telah berbohong padamu, Elivia. Tapi aku benar-benar tidak mengingat jalan pulang kerumahku.
Mendengar kisah Nenek, hati Elivia kembali trenyuh. Sangat benar kalau dia menolong Nenek itu dan membawanya ke kostnya.
“Bagaimana kalau kak El antar Nenek ke kantor polisi? Mereka pasti akan membantu menemukan rumah Nenek.” Arina memberi saran.
“Tidak. Jangan. Aku tidak mau berurusan dengan polisi. Seumur-umur, aku paling takut dengan polisi.” Tolak Nenek dengan wajah yang ketakutan.
Elivia dan Arina saling pandang. Merasa tidak tega dengan Nenek.
“Nenek bisa tinggal disini bersama kami sampai Nenek mengingat alamat rumah Nenek.” Ujar Elivia pada akhirnya
Sebenarnya Arina merasa keberatan. Tempat sekecil itu, bahkan untuk mereka berdua saja sudah terasa sempit. Apalagi ditambah dengan satu orang lagi. Belum lagi biaya hidup yang harus dikeluarkan oleh Elivia
*****
Sudah lebih dari satu bulan sejak Nenek tinggal bersama Elivia dan Arina. Sebenarnya sangat tidak nyaman. Tapi mau bagaimana lagi. Elivia merasa kasihan dengan Nenek tua itu. Elivia mencoba ikhlas karna pengeluarannya yang jadi bertambah.
Tapi disisi lain, Elivia juga merasa sedikit tenang, karna Nenek membantunya menjaga Arina. Kadang menyuapi Arina makan dan membersihkan tubuh Arina. Jadi dia lebih leluasa dalam bekerja di restoran.
Dia juga tidak pernah menanyakan kenapa Nenek belum juga mengingat alamat rumahnya. Dia berfikir mungkin Nenek punya alasannya sendiri dan Elivia tidak ingin ikut campur.
Suatu hari, Elivia baru pulang dari bekerja dan tidak menemukan Nenek di kostnya. Sedangkan Arina tengah tertidur pulas. Nenek menghilang tanpa jejak.
Elivia segera membangunkan Arina dan bertanya, tapi Arina juga tidak tau kemana Nenek pergi. Sesaat sebelum ia tertidur, Nenek masih ada di kamar membantunya melipat pakaian.
“Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya?” Tanya Elivia. Ia nampak sangat khawatir. Selama sebulan tinggal bersama, mereka ternyata sudah mempunyai ikatan batin yang kuat. Elivia dan Arina sudah menganggap Nenek sebagai bagian dari keluarganya.
“Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengannya, Kak.”
“Aku akan keluar untuk mencarinya. Kau tunggulah disini.” Ujar Elivia yang langsung kembali keluar untuk mencari Nenek.
Elivia berfikir mungkin Nenek pergi keluar untuk mencari udara segar. Ia mencoba menyusuri setiap lorong yang berada tak jauh dari kost, dengan harapan akan menemukan Nenek. Tapi ia tak kunjung menemukannya.
Bahkan setelah dua hari Nenek tak kunjung pulang juga. Hal itu membuat Elivia dan Arina merasa sangat khawatir. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Nenek?
Untuk mengusir rasa khawatir karna masih belum menemukan Nenek, Elivia memilih untuk bersih-bersih kamar saja. Berniat mengganti sarung bantal milik Arina. Tapi kemudian ia menemukan sepucuk surat yang diletakkan dibawah bantal Arina.
Elivia segera membuka surat itu dan terkejut. Ternyata itu adalah surat dari Nenek untuk mereka.
‘Terimakasih atas semua bantuanmu nak Elivia, maaf Nenek harus pergi seperti ini. Nenek akan membalas semua kebaikanmu.’
Elivia dan Arina hanya ternganga saja. Tidak menyangka kalau Nenek sudah pergi, bahkan tanpa berpamitan kepada mereka.
“Kak El, kita berdoa saja mudah-mudahan Nenek sudah bertemu dengan keluarganya dalam keadaan baik-baik saja.” Kata Arina mencoba menenangkan kakaknya.
“Yang Mulia, kenapa Anda berpakaian seperti itu?” Tanya seoarang pria yang berpakaian serba hitam kepada wanita tua yang berpakaian lusuh. Tapi yang ditanya hanya terdiam tanpa mempedulikan sama sekali
“Anda baik-baik saja?” Pria itu memperhatikan sekujur tubuh wanita itu. Pakaiannya terlihat sangat kotor. Dia penasaran apa yang sudah dilakukan wanita tua itu selama sebulan berada di rumah santai.
“Aku baik-baik saja.” Kata wanita itu dengan terus berjalan masuk kedalam kamarnya. Beberapa pelayan langsung mengikutinya dan membantunya membersihkan diri.
Setelah membersihkan diri dan berdandan, wanita itu keluar dari kamarnya menuju keruang tengah rumah mewah itu. Penampilannya sungguh berbeda dengan tadi. Sekarang dia nampak anggun dengan rambut putihnya yang ditata rapi menyerupai sanggul.
“Arya, dimana Dan?” Tanya wanita itu.
“Yang Mulia Pangeran Dan sedang berada dikamarnya Yang Mulia.” Jawab pria bernama Arya itu.
“Panggilkan Dan, juga wanita itu. Katakan, ada yang ingin kubicarakan. Penting.” Dia masih nampak tidak menyukai selir anaknya itu.
Arya segera melaksanakan perintah Ibu Suri. Dia menaiki lift menuju ke lantai 2 dan segera memberitahu kepada Dan juga Ibunya yang ada dilantai 2.
Zaydan dan ibunya turun hampir bersamaan. Pria tampan berwajah dingin itu langsung menyusul menghampiri ibunya saat melihatnya di depan lift.
“Kenapa Ibu Suri memanggil kita?” Tanya Sophia.
“Tidak tau Ma, kata Arya ada hal penting yang ingin disampaikan Nenek.”
Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu hanya menghela nafas kasar.
Sesampainya di bawah, mereka segera mengahampiri Ibu Suri yang tengah duduk di ruang keluarga secara bersamaan dan duduk disofa dihadapan Ibu Suri. Seorang pelayan segera mnyuguhkan minuman teh hangat kepada mereka.
“Dan. Aku akan memberikanmu hak penuh atas manajemen perusahaan.” Kata Ibu Suri.
Zaydan yang mendengar itu nampak sumringah. Itu adalah hal yang sangat ia harapkan. Dia yakin hari itu akan tiba. Hari dimana dia akan bisa mengelola hak manajemen secara penuh diperusahaan milik kerajaan.
Sophia tidak kalah senangnya mendengar kabar itu. Itulah yang selalu ia impikan selama ini. Dan berusaha keras mewujudkannya. Demi putranya.
“Apa anda serius Yang mulia?” Tanya Sophia antusias.
“Benarkah itu Nek?” Zaydan tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya.
“Tapi dengan satu syarat,” kata Ibu Suri tegas.
“Apa itu Nek?” Tanya Zaydan. Ia merasa tidak akan terlalu sulit untuk memenuhi syarat yang diberikan oleh Neneknya.
“Kamu Dan, harus menikah dengan gadis pilihanku. Kalau kamu tidak mau, jangan bermimpi kamu akan memiliki perusahaan itu!” Tegas Ibu Suri sekali lagi.
“Apa?!!!” Zaydan terkejut mendengar syarat gila dari Neneknya. Ia sama sekali tidak berfikir kalau masalah pernikahanlah yang menjadi syarat dari Neneknya.
“Tapi kan Nenek tau kalau aku sudah punya kekasih nek!” Ucap Zaydan tak kalah tegas.
“Sadila tidak pantas menjadi istrimu. Aku tidak menyukainya.”
“Bagaimana Nenek tau kalau dia tidak pantas? Selama ini Nenek tidak pernah sekalipun membuka hati untuknya. Jangan karna Nenek tidak menyukainya lantas bisa memutuskan pantas atau tidaknya dia menjadi istriku.”
“Dan!!!” Ibu Suri meninggikan suaranya. Menatap marah tapi sedih kepada cucunya itu. Ia terkejut dengan perlawanan Zaydan. “Aku tidak suka dengan sifatnya yang arogan. Fikirkan baik-baik tawaranku.” Ujar Ibu Suri sambil melirik Sophia kemudian pergi meninggalkan mereka
Zaydan menatap punggung tegas Neneknya dengan tatapan tidak percaya. Sementara ibunya mencoba menenangkan Zaydan.
“Tidak apa-apa Nak, kamu bisa menikahinya. Ini kesempatanmu untuk memiliki perusahaan itu seutuhnya. Setelah itu kau boleh menceraikannya sesukamu.” Kata Sophia.
“Tapi Ma, aku sudah punya Sadila. Tidak mungkin aku menghianatinya Ma. Dia yang selalu setia dan selalu ada disaat aku terpuruk.”
“Mama tau. Mama akan mencoba berbicara dengan Sadila. Dia gadis yang pintar, dia pasti mengerti posisimu. Mama yakin, dia juga pasti berharap perusahaan itu menjadi milikmu.”
Zaydan mendengus kesal dan pergi meninggalkan ibunya begitu saja menuju ke garasi mobil.
Dia melajukan salah satu mobil sport mewahnya dijalan raya dengan kencang menuju kesebuah tempat hiburan malam. Sesampainya di tempat hiburan itu, dia segera menghampiri teman-temannya yang sudah ada disana.
Dengan fikiran kalut, Zaydan terus menenggak minuman tanpa henti. Menggoda gadis-gadis penghibur yang bergelayut manja dilengannya. Dia sangat menginginkan perusahaan itu, tapi syarat yang diajukan Ibu Suri terlalu berat untuknya. Dia mencintai Sadila. Walau tidak terlalu, tapi dia tidak ingin menyakiti hati gadis itu.
“Hei Dan.! Kenapa kamu nampak sangat frustasi?” Tanya Kafa, sahabatnya.
“Brisik!” Jawab Zaydan. “Kalian semua pergilah. Kecuali kau!” Tunjuk Zaydan kepada Kafa. Kafa hanya menaikkan alisnya saja meihat sikap aneh Zaydan.
Semua teman-temannya dan para gadis penghibur bergegas pergi meninggalkan ruangan itu. Mereka melihat ada yang tidak beres dengan si Pangeran itu. Mereka tidak mau menerima imbasnya. Karna mereka sangat tau bagaimana sifat Zaydan jika pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk.
“Ada apa denganmu?” Tanya Kafa.
“Nenek menyuruhku menikahi gadis pilihannya kalau mau perusahaan itu menjadi milikku.” Curhat Zaydan.
“Apa?!!!” Kafa juga terkejut. “Lantas apa keputusanmu?”
“Entahlah. Aku tidak tau.”
“Hahhh,,, aku kasihan dengan Sadila. Dia sangat berharap untuk menjadi bagian dari anggota keluarga kerajaan. Tapi sepertinya dia tidak akan berhasil.” Seloroh Kafa.
“Diam kamu.! Bukannya membantuku memberikan solusi, malah mengejekku. Sialan kau.!” Dengus Zaydan.
“Sudahlah. Turuti saja kemauan Nenekmu. Menurutku tidak ada salahnya juga. Gadis itu pastilah gadis yang baik sampai mampu meluluhkan hati Ibu Suri. Kalau pilihan Ibu Suri sudah jatuh kepada gadis itu, kebaikannya sudah dipastikan.”
“Menurutmu begitu?” Zaydan mencoba meminta kepastian dari sahabatnya. Ia merasa membutuhkan saran itu.
“Aku hanya berani bilang begitu. Selebihnya, terserah padamu. Kau yang akan menjalaninya. Fikirkan baik-baik.”
“Ya. Aku memang bisa saja menceraikannya setelahnya. Tapi bagaimana dengan Sadila? Aku tidak yakin dia akan menyetujui ide ini.”
“Tapi aku yakin dia akan setuju.” Kafa sangat yakin dengan ucapannya. Karna dia juga sangat mengenal siapa Sadila.
Zaydan nampak berfikir keras demi mencari jalan keluar. Tapi setelah lama berfikir, ternyata menikah dengan gadis itu adalah satu-satunya cara untuknya agar mewarisi perusahaan itu. Karna ia sangat tahu bagaimana tekad Ibu Suri saat sudah memutuskan sesuatu.
Awalnya Zaydan berfikir untuk merayu Neneknya sekali lagi dan memohon agar tidak menikah dengan gadis pilihan sang Nenek. Tapi ia tahu betapa keras kepalanya Ibu Suri dengan keputusannya. Neneknya itu tidak akan mengubah keputusannya hanya karna dia memohon atau merayunya.
“Baiklah, kalau ini merupakan satu-satunya cara, aku akan mengikuti permainanmu Nek! Yang penting perusahaan itu menjadi milikku. Aku akan menikahinya.” Kata Zaydan dengan lirih.
Elivia berjalan dengan terburu-buru saat kembali dari bekerja. Arina sedang menunggunya dirumah. Tapi dia menghentikan langkahnya saat ia melihat ada sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam yang terparkir didepan pintu gerbang kostnya. Sambil memulai kembali langkahnya, ia memperhatikan mobil itu dan terus melewatinya.
Ia terkejut saat melihat pintu kostnya terbuka lebar. Karna tidak mungkin Arina yang membuka pintu itu. Dan pula ada seorang pria berbadan tegap yang memakai setelan hitam sedang berdiri diluar kamarnya. Seketika fikirannya berubah menjadi panik. Dia segera berlari menghampiri pria itu.
“Anda siapa?” Tanya Elivia. Tapi pria itu hanya menatapnya saja tanpa menjawab.
“Elivia, kaukah itu?” Tanya seorang wanita dari dalam kamarnya.
Gadis itu segera melongokkan kepalanya dari pintu. Seorang wanita yang sangat anggun sedang duduk diranjang Arina.
Lama Elivia memperhatikan wanita itu. Ia seperti tidak asing dengan suara dan sorot mata wanita itu. “Nenek?” Kata Elivia. Tidak yakin kalau wanita itu adalah wanita tua yang pernah tinggal dengan mereka. Tapi kenapa penampilannya sangat berbeda?
Wanita itu kemudian berdiri dan mendekati Elivia. Menggenggam tangan Elivia erat. Ada senyuman diwajahnya. “Iya, ini aku.” Ujar wanita itu.
Elivia langsung menghambur dan memeluk Nenek. ”Nenek dari mana saja? Apa Nenek tau betapa khawatirnya kami pada Nenek? Benar begitu kan Arin?” Tanya Elivia. Tapi ia terkejut saat melihat adiknya yang tidak ada diranjang.
“Arina??!! Dimana Arina?” Tanya Elivia panik.
“Arina baik-baik saja. Ikutlah denganku. Akan ku antar kau ketempatnya.” Kata Nenek.
Pria berbadan tegap tadi membukakan pintu mobil untuk mereka, kemudian mengemudikan mobil menuju kesebuah rumah sakit mewah milik keluarga kerajaan. Fikiran Elivia dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Tapi dia tidak berani menanyakannya kepada Nenek. Dia masih bingung dnegan apa yang terjadi. Terlebih saat ini dia sedang mengkhawatirkan adiknya.
Siapa sebenarnya Nenek? Kenapa penampilannya sangat berbeda dengan waktu itu? Sekarang Nenek terlihat anggun dan elegan. Apa Nenek orang kaya? Kenapa Nenek punya mobil dan sopir pribadi segala? Kalau memang benar Nenek berasal dari keluarga kaya raya, kenapa waktu itu dia terlihat sangat kumuh dan kumal. Pakaiannya juga sangat sederhana.. Ah... Entahlah. Yang terpenting sekarang adalah keberadan Arina. Batinnya.
Mobil berhenti tepat di depan rumah sakit milik kerajaan. Nenek mengajak Elivia untuk turun. Disana, nampak semua dokter dan karyawan rumah sakit menunduk hormat kepada Nenek. Elivia merasa heran. Dia semakin penasaran, siapa sebenarnya wanita itu? Kalau semua dokter menunduk kepadanya, berarti dia pasti punya pengaruh yang besar dirumah sakit ini.
Elivia terus mengikuti Nenek menuju kelantai atas dimana ruang VVIP berada. Nenek menuju kesebuah kamar yang dijaga oleh dua orang yang juga berbadan tegap dan mengenakan setelan hitam. Kemudian salah satu dari mereka membukakan pintu kamar untuk mereka.
“Arin!” Pekik Elivia saat melihat adiknya yang sedang terbaring diranjang rumah sakit itu. Dia langsung menghambur menghampiri adik semata wayangnya itu dan langsung memeluknya.
“Kak El.” Kata Arina lirih.
“Kamu baik-baik saja? Bagaimana bisa kamu ada disini?” Tanya Elivia kemudian. Ia meneliti setiap jengkal wajah Arina.
“Nenek yang membawaku kesini Kak.” Jelas Arina.
“Nek, apa maksud dari semua ini?” Tanya Elivia menoleh kepada Nenek yang masih memperhatikan kakak beradik itu.
“Aku akan menjelaskan semuanya. Ayo kita minum sesuatu yang hangat lebih dulu.” Ajak Nenek. Wanita itu menggandeng lengan Elivia dan membawanya menuju kesebuah cafe yang ada dilantai dasar. Nenek memilih sebuah ruangan private untuk mereka berdua.
“Siapa sebenarnya Nenek?” Tanya Elivia memberanikan diri setelah ia duduk dihadapan Nenek.
“Aku bukan siapa-siapa nak Elivia. Aku hanya ingin membalas semua kebaikanmu karna telah menolongku waktu itu.” Jawab Nenek.
“Saya hanya berniat menolong Nek. Tidak berharap balasan.” Kata Elivia jujur.
“Mulai sekarang, aku yang akan membantumu untuk mengobati adikmu. Dirumah sakit ini fasilitas medis nya sangat canggih dan memadai. Mudah-mudahan Arina segera sembuh seperti sedia kala.”
“Kenapa Nenek sampai seperti ini? Nenek tidak perlu membalas apapun yang sudah kulakukan untuk Nenek.”
“Aku tau. Sebenarnya, aku ingin meminta bantuanmu lagi.”
“Bantuan apa Nek?”
“Aku ingin kau membantuku. Aku punya seorang cucu yang sangat berantakan. Bantu aku untuk mengubah sifatnya. Dia cucu yang sangat kusayangi.”
“Apa yang bisa kulakukan Nek?” Elivia jadi merasa berhutang budi kepada Nenek. Dia sudah membawa Arina kerumah sakit ini dan berjanji akan membawa dokter terbaik untuk menyembuhkannya. Elivia berniat menuruti permintaan Nenek. Walaupun dia masih belum tau apa itu.
“Menikahlah dengannya.”
“Apa?!! menikah? Nenek bercanda kan?!” Elivia sangat terkejut. Tidak menyangka dengan permintaan wanita itu.
“Aku tidak bercanda. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Aku berjanji akan menyembuhkan adikmu.” Tatapan Nenek memelas. Wanita itu menggenggam erat tangan Elivia dan terus memohon dengan jaminan kesembuhan adiknya.
Bagaimana ini? Apa Elivia harus menerima permintaan itu? Tapi ini menikah lho! Pernikahan bukan sesuatu yang main-main. Pernikahan itu akan mengikatnya seumur hidup. Apa tidak apa-apa? Demi kesembuhan Arina? Apakah ini kesempatan yang diberikan tuhan untuknya? Selama ini dia sudah bekerja membanting tulang untuk membiayai pengobatan Arin. Tapi menikah? Elivia tidak yakin.
“Aku mohon nak Elivia.”
“Apa Nenek akan memulangkan Arin kalau aku menolaknya?” Nenek tersenyum.
“Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Walaupun kamu menolaknya, Arina akan tetap dirawat disini hingga sembuh. Seperti janjiku sebelumnya.”
Ah,,, itu hanya akan membuat Elivia semakin berhutang budi. Elivia tidak punya pilihan lain. Dia harus menyetujui pernikahan itu. Dia tidak suka berhutang. Apalagi hutang budi. Demi kesembuhan Arina.
Lama Elivia berfikir. Dan akhirnya dia menyetujui pernikahan itu.
“Baiklah Nek, aku menyetujuinya. Tapi bolehkan aku mengajukan beberapa syarat?”
“Apa itu?”
“Tidak ada pengekangan. Tidak ada publikasi. Aku tidak mau pernikahan ini ketahui banyak orang. Aku akan bekerja seperti biasa. Dan tinggal di kostku.” Jelas Elivia. Tentu saja itu semua untuk menjaga dirinya sendiri jika sewaktu-waktu ia terjebak dalam situasi yang sulit.
“Aku menyetujuinya” Nenek mengangguk anggukan kepala dan tersenyum. “Tapi tidak dengan syarat terakhir. Kamu akan tinggal bersama kami. Tapi aku akan membebaskanmu melakukan semua yang kamu inginkan.” Ucap Nenek lagi.
Elivia berfikir sejenak. Sepertinya tidak ada ruginya jika dia tinggal bersama mereka. Toh itu hanya sementara saja. Sampai hutang budinya kepada Nenek lunas dan dia bisa pergi dari rumah itu.
“Baiklah Nek.” Jawab Elivia pada akhirnya.
Nenek tersenyum senang mendengarnya. Dia terus menggenggam hangat tangan Elivia. Nampak raut kegembiraan memancar dari wajah rentanya yang masih terawat dengan baik.
**********
“Apa?!” Pekik Sadila. Dia tidak terima dengan penjelasan Sophia. Gadis cantik itu langsung berdiri dan memandang marah kepada Sophia.
“Tante mohon pengertiannya Dila, ini semua demi Dan. Lagipula Dan berencana menceraikannya setelah perusahaan berada dibawah kendalinya, dan kalian bisa menikah setelahnya.” Rayu Sophia.
“Tapi Tante,,, mana mungkin aku bisa melihat dan menikahi wanita lain. Mau ditaruh dimana mukaku? Semua orang tau kalau akulah kekasih Dan. Aku sangat mencintainya, Tante. Dan aku tidak akan sanggup melihatnya menikahi gadis manapun selain aku.” Sadila merengut menyilangkan tangannya.
“Tante dengar, gadis itu sudah mengajukan syarat untuk tidak boleh mempublikasikan pernikahannya, tante rasa dia juga tidak ingin menikahi Dan.”
“Tapi tetap saja,,,” Sadila merasa jengkel sendiri. Dia melihat Sophia dengan wajah memelasnya.
“Tolong mengertilah, Dila. Demi Dan, dan masa depan kalian.”
“Baiklah, aku akan mengikuti kemauan Tante. Tapi dengan satu syarat, setelah perusahaan berada ditangan dan, tante harus segera meminta Dan untuk menceraikannya.”
“Tante janji sayang.” Kata Sophia meyakinkan. “Lagipula Dan sudah berencana melakukan itu. Kamu tenang saja.”
Sadila berusaha meyakinkan dirinya tentang keputusan itu. Tentu saja berat baginya memutuskan untuk mengijinkan kekasihnya menikahi wanita lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!