NovelToon NovelToon

Cinta Gadis Malam

Pertemuan Pertama

Alunan musik masih menggema. Sesekali nyanyian merdu ikut terdengar lembut. Beberapa pasang mata berfokus pada gadis manis yang menyanyikan lagu-lagu cinta hits masa kini. Beberapa lagu sudah ia nyanyikan dengan sepenuh hati.

"Terima kasih..." ucap gadis itu mengakhiri nyanyiannya, lalu beranjak turun dari panggung mini itu.

Riuh suara tepuk tangan para pengunjung cafe memecah keheningan malam. Wajah puas pengunjung oleh sajian suara emas sang penyanyi itu pun, terlihat dengan jelas.

"Fanya, kamu tuh selalu keren yah. Pokoknya the best lah!" puji Marina, pemilik cafe itu.

"Wah, terima kasih ya Miss Marina. Aku seneng dipuji begitu. Yah, semoga saja para pengunjung di sini semuanya terhibur." balas Fanya sopan.

Marina tersenyum, kemudian matanya beralih menatap ponselnya.

"Eh, ini pacarku mau mampir ke sini. Tumbenan ya? Uhm, ada angin apa ini?" gumam Marina tapi masih terdengar oleh Fanya.

"Yasudah, kamu istirahat aja dulu. Boleh makan dan minum sesuka kamu. Aku tinggal dulu ya." kata Marina sembari melangkahkan kakinya menuju ruang kerja pribadinya.

Fanya pun memilih duduk di kursi sebelah pojok. Memilih tempat yang lumayan hening dari lalu lalang pengunjung. Kemudian berniat mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Tapi sialnya, ponselnya tak ada. Fanya pun berpikir dimana keberadaan ponselnya. Tertinggal di kostan apa hilang sebab jatuh atau bahkan dicuri orang? Lama Fanya mencari jawaban atas pemikiran abstraknya. Tapi hasilnya nihil.

"Ahhh, aku bisa gila!" geram Fanya frustasi.

Fanya mengacak rambutnya kesal. Bagaimana tidak, ponsel pintar miliknya baru saja lunas beberapa hari yang lalu. Kalaupun harus mencicil untuk beli ponsel baru, tentu saja harus mengorbankan pengeluaran lain. Sebelumnya saja, Fanya harus rela jalan kaki dari kostan ke cafe tempat ia bekerja. Dengan alasan untuk berhemat sekian rupiah agar bisa membayar cicilan ponselnya.

Pikiran kalut kembali menerawang. Fanya makin gusar dan hendak menitikkan air mata. Tapi ia tahan karena menangis bukanlah pilihan terbaik. Bukan karena dirinya kuat, tapi karena gengsi saja menangis di tempat umum.

"Ini punyamu?" tiba-tiba saja.

"Ah iya!" seru Fanya sesaat setelah mengamati sekilas apa yang laki-laki sodorkan di depannya.

Fanya meraih ponsel pintarnya. Tapi laki-laki itu belum mengizinkan Fanya mendapatkan kembali ponselnya.

"Loh kenapa? Itu punyaku. Di wallpaper aja kan udah jelas fotoku. Masa iya kamu nggak percaya?" kata Fanya lirih.

"Iya sih. Tapi ada satu syarat." seringai laki-laki itu menatap tajam Fanya. Bibirnya tersenyum, namun tatapan tajamnya menakuti Fanya.

"A... Apa? Coba katakan!"

"Aku belum memikirkannya. Entahlah. Untuk sementara aku simpan nomormu ya. Jaga-jqga aja agar kamu nggak kabur!" tegas laki-laki itu.

Fanya merengut. Ada perasaan lega dalam dirinya karena ponselnya ditemukan. Tapi sayangnya, Fanya sudah terlanjur berprasangka hal-hal yang kurang menyenangkan dari laki-laki itu.

"Aku bukan orang jahat. Bukan juga pria mesum sembarangan. Namaku Sakti. Kamu siapa?"

Fanya tersenyum dipaksakan. Sebenarnya malas meladeni, tapi mengingat ponselnya tidak hilang, mau bagaimana lagi.

"Fanya Asmara. Buruan gih balikin ponselku! Aku mau ada tugas malam lagi."

"Tugas malam? Tugas seperti apa itu? Setauku di cafe Monix ini, nggak ada tuh pelayanan One Night Stand gitu. Apa iya kamu...?" kata Sakti tapi tak dilanjutkan.

"Ah kelamaan!" Fanya menyambar ponselnya dari genggaman tangan Sakti.

"Nomormu berapa?" tanya Fanya serius.

Sakti pun menyeburkan nomor teleponnya. Hingga sesaat ada miscall dari nomor asing di ponsel Sakti. Simpul senyum di wajah Sakti pun nampak.

"Itu nomerku. Hubungi saat perlu saja. Jangan menghubungiku dengan alasan iseng atau semacamnya. Auto aku blokir yah! Uhm, makasih udah nemuin dan balikin ponselku. Permisi."

Fanya menuju panggung mininya. Kembali menyanyikan lagu nuansa romantis untuk menghibur pengunjung cafe. Ia tak menyadari bahwa laki-laki atau bisa disebut pria dewasa tengah menatapnya lekat-lekat. Yah, Sakti masih saja fokus mengamati gerak-gerik Fanya yang sedang bernyanyi ria.

"Fanya Asmara. Nama yang unik untuk gadis cantik seperti dirimu. Suaramu pun lembut, terdengar pas di telingaku. Nantikan saja kejutan dariku!" gumam Sakti.

"Hey Sayangku!" panggil Marina.

"Sudah ku bilang kan, jangan panggil Sayang lagi. Aku bosan mendengar panggilan itu darimu. Bukankah kita sudah lama putus dan kini tak ada lagi hubungan spesial diantara kita? Mungkin sebatas teman saja. Itupun jika diperlukan." kata Sakti sedikit kesal.

"Iya deh iya. Tapi meski begitu, kamu pacar terakhirku. Sudah lama putus pun, aku masih setia sendiri menunggumu di sini." ujar Marina bergelayut manja di lengan Sakti.

"Sudahlah, aku ke sini untuk makan malam. Waktuku terbuang percuma jika harus berlama-lama berbincang omongan tak jelas denganmu." kata Sakti yang sontak membuat Marina cemberut.

"Ayo duduk di sana! Aku akan menemanimu makan malam."

"Terserah. Tapi tolong jangan ganggu aku dengan kata-kata manjamu. Aku mau menikmati makan malamku dengan tenang." tegas Sakti.

"Baiklah. Ayo!" seru Marina senang.

Sesuai kesepakatan, Marina menemani Sakti menghabiskan makan malamnya dengan tenang. Tanpa disangka, Fanya menyorot pemandangan aneh di hadapannya. Sempat bingung ada hubungan apa antara Marina dan laki-laki bernama Sakti itu.

Lagu tetap berkumandang dengan baik. Meski sebenarnya Fanya sudah tak seratus persen fokus pada tugas nyanyinya. Di benaknya masih bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya Sakti.

'Nggak penting juga sih identitas siapa sebenarnya si Sakti itu. Buat apa juga tau tentang dia? Nggak ngaruh untuk kehidupan kerasku ini. Iya sih, dia ganteng. Senyumnya manis banget. Tadi aja kalo nggak ditahan-tahan juga bakal meleleh juga aku sama dia. Yah Fanya Asmara, sadar dong kamu siapa? Penampilan pas-pasan kamu aja tuh jangan berharap tinggi. Nanti kalo udah jatuh, sakitnya nggak ketulungan.' batin Fanya.

Sakti pun juga mencuri-curi pandang ke arah Fanya. Suatu ketika, pandangan mata mereka bertemu dan membuat keduanya canggung sendiri.

Namaku Sakti

Sakti memarkirkan mobilnya di sebuah minimarket. Kali ini, ia mengendarai mobilnya sendirian saja. Biasanya ada Satya, sang asisten pribadi yang ikut bersamanya. Sakti sengaja membebastugaskan Satya hari ini. Sebelumnya mereka disibukkan untuk tender proyek besar.

Saat memasuki area dalam minimarket, udara dingin AC pun menyeruak menusuk kulitnya. Berbeda dengan suhu udara di luar yang panas, berhubung jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sakti berjalan santai menuju kulkas minuman dingin. Diambilnya beberapa kaleng minuman soda dan air putih dingin. Tak lupa beberapa camilan keripik kesukaannya. Selesai membayar tagihan di kasir, ia memutuskan untuk duduk di kursi yang disediakan.

Sakti menegak minuman dinginnya perlahan. Menikmati pemandangan jalan raya dan sekitarnya dari balik jendela kaca bening. Pikirannya tenang seiring ketenangan yang terpampang di depan matanya. Yah, ketenangan apalagi selain wajah cantik Fanya Asmara. Gadis yang pernah ia temui beberapa hari yang lalu di cafe Monix.

Saat ini, Fanya sedang bertelepon dengan sahabatnya, Clara. Kebetulan Clara sedang berlibur ke luar kota. Jadi bisa dipastikan kalua Fanya sedang dilanda kesepian. Fanya tak menyadari sepasang mata tengah mengintainya dari balik jendela kaca minimarket itu. Sesekali tawa Fanya membuat lengkungan senyum di wajah Sakti. Entah karena apa, pemandangan di depan matanya membuat Sakti begitu senang bukan kepalang.

“Bagaimana bisa ada bidadari cantik lewat sini? Apa mungkin aku sedang bermimpi?” tanya Sakti pada dirinya sendiri.

“Oh gadis cantik itu ya? Namanya mba Fanya.” ucap karyawan minimarket yang kebetulan sedang merapikan display barang dagangan. Sakti pun langsung mencari sumber suara

“Mba Fanya itu pelanggan setia minimarket ini, Mas. Hampir setiap sore kalo dia nggak lagi kerja, pasti dia mampir kesini. Dia suka numpang wifi di sini. Secara, kostan dia nggak jauh dari sini.” kata karyawan bernama Petra itu.

“Uhm, apa Mas Petra kenal dekat dengan dia?” tanya Sakti sembari melihat nama Petra dari nametag yang Petra kenakan.

“Nggak kenal dekat sih. Cuma ya saling negor aja Mas. Orangnya ramah, sopan, dan banyak senyum deh pokoknya.”

“O… jadi gitu ya?” gumam Sakti mengulas senyum licik.

“Saran saya ya Mas. Kalo Mas suka sama mba Fanya, buruan gih dijadiin. Soalnya keburu diembat yang lain. Tau nggak Mas, sering tuh saya lihat, Mba Fanya dimintain nomernya sama pelanggan pria yang berkunjung ke sini. Tapi ya, semuanya ditolak mentah-mentah sama mba Fanya. Kalo sama orang asing, Mba Fanya suka galak deh. Entah kenapa. Hanya mba Fanya yang tau!” saran Petra sembari menjauh dari tempat Sakti.

Fanya memutus panggilan teleponnya. Saat pandangannya mengarah ke minimarket, ia melihat sosok pria yang pernah ditemuinya. Saat itu juga, Sakti juga tengah menatapnya. Sepersekian detik mereka saling bertatapan sampai Fanya menyadari kesalahannya sendiri.

'Ah kenapa juga aku mantengin liat wajah itu orang. Dia pasti ke GR an nih. Buru-buru cabut dari sini deh!’ batin Fanya.

Fanya segera berlalu. Ia berjalan cepat menuju kostannya. Ia hanya perlu masuk ke dalam gang samping minimarket itu. Hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai di lokasi. Tidak membuang kesempatan, Sakti segera menyusul Fanya yang berjalan cepat. Tapi Fanya tak menyadari itu. Sesampai di lokasi kostan Fanya, Sakti tak lantas menemuinya terang-terangan. Ia mengintai bak seorang detektif yang mengincar mangsa untuk ditangkap.

Baru beberapa menit Fanya masuk ke area kostan, ia pun keluar kembali. Melewati pagar kecil dan jalan setapak yang tadi ia lewati. Rupanya ia harus membeli makan siang. Perutnya sudah tak bisa ditoleransi lagi. Rupanya tadi sebelum berniat kabur dari tatapan Sakti, ia hendak membeli makan siang di minimarket itu. Kebetulan disana menjual menu cepat saji.

“Kamu tinggal di sini?” tanya Sakti yang menjegal langkah Fanya. Fanya yang terkejut, langsung memegang rahang kokoh Sakti. Secara, jarak mereka yang terlalu dekat dan Fanya refleks memegangnya, tapi lebih tepatnya mencengkeram rahang kokoh Sakti.

“Astaga, kenapa kamu di sini? Mengagetkan aku saja!” kata Fanya jengah dan terkesan kesal. Segera menarik tangannya kembali dari tubuh Sakti.

“Kamu tinggal di sini?” tanya Sakti lagi penuh selidik.

“Iya. Trus kenapa juga kamu ke sini?”

“Sengaja ngikutin kamu. Mau tau kamu tinggalnya dimana. Tapi tadi kamu kabur ya dariku? Kenapa? Apakah takut padaku?” selidik Sakti dengan menaik turunkan alisnya. Fanya mencoba mengelak dengan tangannya.

“Tidak kok. Aku hanya ingin mengambil dompetku di kostan.” Jawab Fanya asal.

“Dompet? Mana?” tanya Sakti lagi.

Sontak Fanya merogoh saku celana longgarnya. Tapi sayang, ia tak mendapati barang yang disebut dengan dompet. Tak ada apapun yang ia temukan di dalam sakunya.

“Yah nggak ada ya?” ucap Fanya lirih.

Kruk… Terdengar bunyi perut Fanya. Alarm yang mengingatkan empunya bahwa sudah waktunya makan. Betapa malunya Fanya. Ingin rasanya ia lari dari muka bumi ini.

“Sudah waktunya makan siang. Yuk makan bareng aku!” ajak Sakti.

“Ah tidak usah! Aku bisa makan sendiri. No, waktu Anda lebih berharga dibandingkan makan denganku. Sudahlah, aku bisa balik lagi ambil dompet dan cari makan. Bye!”

Fanya hendak melangkah memasuki pagar kecil area kostan, tapi tangan kecilnya dicekal oleh Sakti. Fanya mendelik kesal tapi dalam hatinya memuja ketampanan pria di hadapannya.

“Ayolah. Sudah tak ada waktu lagi!” tegas Sakti tak mau ada penolakan lagi. Alhasil Fanya mengikuti Sakti tanpa berkata apapun lagi.

***

Di sebuah cafe minimalis, Fanya duduk di sebelah kanan Sakti. Di hadapan mereka sudah ada beberapa menu yang terhidang. Fanya seakan ingin menerkam semua makanan yang menggoda matanya.Tapi rasa malu mengalahkan segalanya. Ia bertahan untuk tidak tergoda sama sekali. Gengsi rasanya untuk ikut makan bersama pria tampan yang mengajaknya makan.

“Makan gih! Selera makanku bukan abal-abal. Jadi ini pasti sesuai dengan standarmu. Dijamin enak. Ayolah, daripada bunyi perutmu berkumandang terus.” goda Sakti.

“Apa?” teriak Fanya kesal, tapi segera membungkam mulutnya sendiri karena pengunjung lain termasuk kasir ikut menatapnya kepo.

“Separah itukah? Maaf membuatmu malu.” Ucap Fanya pelan.

“Mungkin. Ini cobalah!” Sakti menyuapi Fanya saat Fanya berbicara.

“Enak kan?” tanya Sakti seraya tersenyum manis dan diangguki Fanya.

“Disini tuh tempat favorit aku kalo pas lagi suntuk. Suasana di sini bagus kan? Makanannya enak-enak. Trus nggak terlalu ramai juga, jadi lebih ke privacy gitu. Sering-sering yah temenin aku di sini. Biar ada suasana baru yang lebih asik. Mau ya?” Fanya hanya mengangguk tak ada pilihan.

“Tapi maaf ya, aku berpenampilan seadanya gini. Kamu berjas rapi, kenapa mau mengajakku yang tampil lusuh gini sih? Aku jadi takut buat kamu malu tau” kata Fanya pelan.

“Mba dan mas, bagaimana penampilan pacar saya?” tanya Sakti dengan suara keras.

“Cantik kok!” jawab salah satu pengunjung disana dan diangguki yang lainnya.

“Bahkan aku pun tak tau namamu. Kenapa kamu enteng sekali menyebutku sebagai pacar.” bisik Fanya di telinga Sakti.

Sakti meraih tangan kanan Fanya. Menyalaminya dengan lembut.

“Namaku Sakti Dirgantara. Mulai sekarang pacaranlah denganku!” kata Sakti tegas.

Sedikit cerita malam

Malam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah hampir menuju tengah malam. Suasana cafe Monix masih lumayan ramai. Mengingat hari ini adalah malam Minggu, malam panjang buat anak muda bersuka cita. Fanya pun masih stay di atas panggung. Jeda sejenak menanti request dari para pengunjung. Fanya menyadari bahwa suaranya tidak terlalu bagus dan wajahnya pas-pasan, jadi sebisa mungkin menciptakan hiburan yang membuat pengunjung nyaman dan menikmati penampilannya. Ia akan selalu mengabulkan permintaan lagu apapun asalkan dia bisa menyanyikannya alias hafal.

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Fanya pamit pada Marina untuk pulang. Sebenarnya Marina berat hati untuk mengizinkan Fanya pulang, mengingat suasana cafe yang masih lumayan ramai. Namun karena sudah menjelang pagi, jadi tak ada pilihan lain selain mengiyakan permintaan Fanya untuk pulang.

“Yasudah, kamu boleh pulang. Lekas istirahat ya. Biar besok kamu tetap fit. Hari Minggu juga pasti nggak kalah ramai dari hari ini.” kata Marina.

“Siap Miss Marina. Fanya pamit yah!” seru Fanya girang karena segera pulang.

“Eits, kamu bawa motor? Apa mau bareng Aldi aja? Biar dia pulang aja deh sekalian anter kamu juga. Kalian searah kan ya?”

“Enggak usah Miss Marina. Aku mau pesan ojol aja deh. Kalo malam Minggu nggak susah order ojol. Lagian nggak enak sama pacarnya Aldi.” jawab Fanya sambal menahan tawa.

“Pacarnya Aldi? Bonita?”

“Nah iya. Miss Marina tau itu. Nanti kalo ada perang dunia lagi, Fanya deh yang kena getahnya. Ogah deh…” seru Fanya yang membuat Marina tertawa.

Marina melambaikan salam perpisahan pada karyawannya. Fanya yang menurutnya sudah seperti adiknya itu, dirasa sangat mengerti apa keinginannya. Mudah diarahkan dan tidak banyak menuntut. Bahkan Marina sering memberinya hadiah. Bukan semata sebagai apresiasi pekerjaan, melainkan sebagai tanda sayang selayaknya keluarga. Fanya tak tau itu. Marina tak pernah menunjukkan secara terang-terangan kekagumannya pada Fanya.

Fanya sudah berada di depan cafe. Kemudian tangannya sibuk mengutak-atik aplikasi order ojol di ponselnya. Beberapa kali pemesanannya gagal dan gagal lagi. Wajahnya mulai menunjukkan gusar dan cemas. Beberapa kali ia menguap tanda mengantuk. Lima belas menit pun berlalu dengan sia-sia. Tak ada ojol yang menerima orderan Fanya. Ingin rasanya Fanya menangis kesal, tapi ditahannya dalam-dalam.

“Ayo aku antar pulang!” tawar seorang pria yang suaranya sangat familiar di telinga Fanya

“Hah?” Fanya heran tanpa menolak atau mengiyakan tawaran itu.

“Naiklah!” ajak pria itu tegas.

Ya, pria itu adalah Sakti. Pria tampan yang notabene sering menampakkan dirinya di depan Fanya untuk kesekian kali. Entah disengaja atau tidak, bagi Fanya itu adlah tanda tanya besar yang sulit ditemukan jawabnya. Tapi tidak bagi Sakti. Pertemuannya dengan Fanya adalah anugrah terindah yang pernah ia rasakan.

“Ayo!” ajaknya lagi sambal menyodorkan jaket kulit pada Fanya.

“Ah iya!” Fanya menerima jaket itu dan memakainya.

“Ayo!” Keduanya sudah siap di atas motor, Sakti menarik tangan Fanya agar memeluknya.

“Pegangan yang kuat ya Sayang.” ucap Sakti seraya menautkan jari tangan Fanya untuk mengunci tubuhnya.

Sakti tersenyum bangga saat Fanya sudah sempurna memeluknya. Sesekali tangan kirinya ikut bergabung menggenggam lembut tangan Fanya yang kedinginan. Sementara tangan lainnya fokus mengemudi. Udara malam menjelang pagi itu, lumayan dingin untuk dilalui dengan berkendara motor.

“Udaranya sangat dingin. Tolong peluk lebih erat lagi.” Fanya menurut saja, meski pikirannya sebenarnya menolak.

“Kenapa nggak ngebut? Kan lagi sepi.” Fanya protes.

“Ah tidak perlu. Biar malam ini semakin panjang. Akan lebih banyak waktu yang bisa kita lalui bersama. Momen kebersamaan ini sangat disayangkan jika dilalui dalam waktu sekejap. Aku ingin lebih lama menghabiskan waktuku bersamamu.”

Fanya mendadak canggung. Tapi untunglah Sakti tidak menatapnya karena harus mengemudi. Coba saja kalo Sakti melihatnya, pasti Fanya akan bertambah malu.

“Sudah sampai. Padahal masih ingin berlama-lama denganmu.” Sakti berkata jujur.

“Makasih banyak atas tumpanganmu. Seharusnya bukan kamu yang mengantarku. Tapi…”

“Maksudmu kamu mau dianter sama abang ojek? Lebih nyaman meluk abang ojek daripada pacar sendiri? Kamu nggak lupa kan, sejak kemaren kan kamu sudah official jadi pacarku?”

Jeder. Fanya kaget mendengar petanyaan yang mengandung penegasan dari Sakti. Entahlah, Fanya bingung mau bersikap seperti apa.

“Jadi yang kemaren itu bukan sekedar candaan ya? Itu serius ya?”

“Fanya Asmara, aku tegaskan sekali lagi. Mulai sekarang kita sudah jadi sepasang kekasih ya. Aku nggak mau ada penolakan.”

“Kok gitu? Aku bahkan belum menaruh perasaan apa-apa denganmu. Iya, kamu ganteng dan sesuai tipe aku. Tapi…” Fanya bingung sendiri menjawabnya.

“Kan mengakui kalo aku ganteng dan sesuai tipe kamu. Berarti yaudah ya, fiks kita bisa berbagi suka dan duka bersama.”

“Kan aku belum jawab iya. Kok jadi maksa sih. Ih kesel.” protes Fanya.

Fanya dan Sakti berdebat kecil mengenai hubungan mereka. Tak disangka mereka ditegor oleh bapak-bapak yang sedang roda keliling.

“Neng Fanya ya? Malem-malem begini masih di luar aja ya? Buruan masuk Neng! Dan ini Abang kalo mau niat anterin Neng Fanya, yasudah pulang aja. Kan udah sampe lokasi yah. Apa belum dikasih tips sama Neng Fanya?” sindir halus salah satu diantara bapak-bapak itu.

“Ah maaf Pak. Sebentar lagi saya pamit kok. Saya hanya mau menyampaikan sesuatu yang penting dulu sama pacar saya ini.” ucap Sakti sopan.

“Yasudah, jangan lama-lama ya. Nggak enak dilihat orang-orang.”

“Baik Pak. Terima kasih nasehatnya.”

“Kan, akhirnya ditegor juga sama pak RT. Kamu sih. Yaudah, aku mau masuk. Kamu pulang gih! Besok bukannya kamu mau ke luar kota ya?”

“Kok kamu tau?”

“Tau dari pengagum rahasiamu.”

“Siapa?”

“Miss Marina.”

“Oh Marina. Dia teman SMA aku dulu. Kamu gapapa kalo dia jadi pengagum rahasiaku? Kamu nggak cemburu?”

“Ya enggaklah! Cemburu dari segi apa? Aku kan nggak ada perasaan apa-apa sama kamu.”

“Yakin?”

“Ya… kin.” jawab Fanya tidak dengan penuh keyakinan.

***

Fanya merapikan kamar kostannya. Seharusnya masih banyak waktu untuk rebahan sebelum nanti sore ia tampil lagi di cafe Monix. Tapi rasa kantuknya hilang begitu saja setelah mendapat berondong pesan dan miscall dari mantan pacarnya yang minta balikan.

Beberapa bulan yang lalu, Fanya memang menjalin hubungan dengan seorang pria. Kira-kira selama satu tahun lebih mereka berpacaran. Seringnya menjalani LDR, membuat hubungan pacaran itu retak dan memilih berpisah. Terlebih lagi, ada indikasi perjodohan dari orang tua mantannya Fanya. Dengan berat hati, Fanya memilih untuk mengakhiri hubungan percintaan mereka. Sebelum Fanya menaruh rasa cintanya semakin besar.

Kini, Fanya sudah sepenuhnya melupakan mantannya itu. Tidak ada rasa yang tertinggal di hatinya untuk mantannya itu. Semua akses sudah ia blokir untuk mantannya. Hanya saja, mantannya sering menggunakan nomor lain untuk menghubunginya. Hal ini membuat Fanya jengah dan kesal.

“Padahal sudah berkali-kali aku menghindari pria ini. Masih saja seperti ini. Aku juga sudah membatasi akses untuknya, tapi tetap saja! Tapi aku sudah tak ingin lagi berurusan dengannya. Bagaimana ini ya? Apa yang harus aku lakukan? Apakah ada cara terbaik untuk menyingkirkannya? Yah, tentu bukan maksudku melenyapkannya dari muka bumi ini.” Fanya berpikir keras.

“Ah…” Fanya menemukan ide brilian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!