...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
Seperti biasanya, setiap tahun ayahku selalu merayakan ulang tahunku: Kejora Aditama, putri kesayangannya. Tapi biasanya perayaan ulang tahunku tidak pernah semegah ini. Barangkali karena ini momen sweet seventeen-ku, jadi ia ingin menyenangkanku dengan menyiapkan pesta ini semeriah mungkin.
Semua teman sekolahku datang. Ucapan selamat ulang tahun silih berganti kuterima lengkap dengan cipika cipiki -- cium pipi kanan lalu cium pipi kiri ala anak gaul kota metropolitan. Mereka memenuhi serambi rumah ayahku yang megah bak istana itu dan membuat kebisingan khas anak SMA. Celoteh riang dan canda tawa mengisi atmosfer ruangan terbuka itu. Yeah, sedikit keheningan hanya terjadi di saat detik-detik aku meniup lilin, semua perhatian para tamu undangan tertuju kepadaku, dan setelah itu suasana kembali riuh. Kue ulang tahun besar dengan gula-gula pink sudah dipotong dan dibagi-bagikan. Potongan pertama kuberikan kepada ayahku, Daddy Gibran Aditama. Dia layak mendapatkannya karena dia yang memberikan aku kehidupan. Dia -- perantara yang telah dikirimkan Tuhan untukku.
"Terima kasih, Sayang," ucapnya, plus satu kecupan hangat mendarat di keningku.
Ah, akhirnya suaranya terdengar juga setelah beberapa saat yang lalu ia nampak tertegun saat pertama kali melihatku dengan dandanan ala princess -- walau tanpa seorang pangeran di sisiku. Aku mengenakan gaun panjang warna pink lembut dengan dua tali kecil di kiri-kanan bahu, cocok dengan rambutku yang dibuat keriting menjuntai dan dihiasi jepit-jepit kecil.
Lalu, potongan kedua untuk nenekku tersayang, Oma Yulia Aditama. Wanita lanjut usia yang kupanggil oma -- dengan kelembutan tangannya itu aku tumbuh besar, dari sosok bayi merah hingga sekarang sudah menjelma menjadi seorang gadis cantik nan jelita. Dia memberikan kasih sayang seorang nenek -- sekaligus seorang ibu untukku. Sungguh, dia seorang wanita yang luar biasa, bukan?
Malam itu, semua orang sepertinya kenyang karena makanan-makanan di meja sudah habis, menyisakan piring-piring kotor dan gelas-gelas kosong yang bertebaran di mana-mana.
Live music masih mengalun merdu. Teman-temanku, cowok-cowok remaja SMA naik ke atas panggung dan bernyanyi untuk hari bahagia itu. Suara mereka yang sumbang membuat para tamu undangan terbahak-bahak. Mereka bercanda, melontarkan lelucon keras-keras, saling mengejek, dan saling menimpali.
Suasana meriah itu membuatku sungguh semringah. Teman-temanku hadir semua. Yang paling membuatku senang, ayahku, lelaki yang kupanggil Daddy itu menyempatkan diri menghadiri pestaku, meninggalkan kesibukannya sebagai petani buah di Sumatera. Dia selalu membuatku cemburu pada pekerjaannya, padahal ia punya banyak pekerja yang bisa mengurusi perkebunannya itu, tapi ia malah memilih terjun langsung dan meninggalkan aku, juga Oma di Jakarta.
Tapi... malam ini dia membuatku senang. Seperti janjinya, dia datang dan berdandan rapi. Dia hampir tak pernah memakai jas pesta, tapi malam ini penampilannya berbeda jauh dengan kesehariannya. Usianya yang sudah menginjak angka tiga puluh tujuh tahun tertutupi oleh ketampanan wajahnya yang hakiki.
"Meriah sekali, Sayang!" seru seorang wanita yang berdiri di samping Daddy. Dia itu Tante Sila, tetangga sebelah rumah yang baru bercerai dengan suaminya empat bulan yang lalu. Usianya terbilang muda, tiga puluh empat tahun. Belakangan ini dia sering menanyakan kabar ayahku dan kapan ayahku pulang. Mungkin dia bermaksud baik, tapi jujur saja aku terlanjur jijik karena dia selalu menanyakan tentang Daddy setiap kali kami tak sengaja berpapasan, atau dia main ke rumah: katanya untuk menemani Oma yang kesepian saat aku sedang sekolah. Sama seperti anaknya, Riko. Teman sepermainan di masa kecilku yang kini kembali sok akrab dan sok baik kepadaku. Padahal selama beberapa tahun belakangan ini, kami bahkan sudah tak pernah bertegur sapa. Yeah, yeah, mungkin sebenarnya mereka memang orang-orang yang baik. Tapi... gelagat PDKT-nya itu yang membuatku merasa risih sekali pada kehadiran mereka.
Well, aku mengangguk dan sedikit menyunggingkan senyuman supaya terlihat ramah kepadanya -- seperti yang kulakukan setiap kali Tante Sila menyapaku. "Ya, meriah sekali!" seruku, berteriak keras agar terdengar olehnya karena musik rock sedang diputar.
"Ayahmu hebat!" timpal Tante Sila seraya melirik ke arah Daddy.
Praktis, aku ikut melirik. "Tentu saja!" balasku. "Dia ayah terhebat sedunia. Kurasa aku harus mengucapkan terima kasih secara khusus setelah pesta bubar nanti."
"Ah, bisa saja kamu, Sayang. Ini sudah sewajarnya untuk putri kesayangan Daddy," katanya dengan sikap kalemnya yang khas. "Omong-omong, Daddy sudah menaruh hadiah di kamarmu. Daddy harap kamu suka."
Aku menggeleng kuat. "Aku tidak mau hadiah apa pun. Aku cuma mau menghabiskan sisa libur semester ini bersama Daddy. Please? Aku mohon?"
Oma menyikut putranya itu keras-keras. "Penuhi," katanya. "Sudah setengah tahun ini dia menunggumu pulang. Jangan dikecewakan!"
Entah kenapa, meski mengangguk, aku melihat penolakan di mata Daddy.
Apa yang salah dengan permintaanku, Dad? Aku sangat merindukanmu.
Aku menyadari, ayahku berubah semenjak aku menginjak usia balig. Bahkan, ia mulai jaga jarak denganku setelah aku duduk di bangku SMA. Meski komunikasi kami masih cukup lancar, tetap saja aku merasa kehilangan sosok ayah dalam hidupku.
Aku tahu statusku, aku bukanlah anak kandungnya. Tapi keadaan ini sungguh menyakitkan. Hingga aku bertanya, jika begini -- untuk apa ia mengadopsiku sebagai anak? Untuk apa?
Kenapa begini -- hanya karena darahnya tak mengalir di dalam tubuhku, apa hubungan kami mesti jadi renggang seperti ini?
Oh Tuhan, kini aku kembali merasa terbuang.
"Bagaimana kalau kita liburan? Ke Bali misalnya?" tiba-tiba Tante Sila menimbrung.
Aku merengut. "Kejora cuma mau bersama Daddy," kataku lirih.
"Baiklah, baiklah. Jangan ngambek begitu. Ini pestamu, nikmati dan bersenang-senanglah. Oke? Daddy keluar dulu, mau merokok."
Kali ini aku mengangguk bersemangat. "Daddy janji, kan? Jangan kecewakan aku."
"Ya, ya, pasti."
Oh, betapa senang hatiku. "Thanks, Dad." Aku menghambur ke pelukannya, dan merasakan kedua tangan itu melingkari tubuhku -- ia membalas pelukanku setelah hampir dua tahun ini aku tidak merasakannya.
"Nah, sekarang bersenang-senanglah dengan teman-temanmu."
Well, kulepaskan pelukanku dari tubuhnya sambil nyengir kesenangan. Tapi... belum lagi aku berbalik, Tante Sila menarik tanganku.
"Ra... izinkan Tante ikut, ya... please...?"
"Maaf, Tante. Tapi aku dan Daddy butuh quality time berdua."
"Nah, justru itu... kalian berdua tidak boleh berdua-duaan. Kalian kan bukan muhrim."
Deg!
Seketika hatiku meradang. Aku tahu kenyataan itu. Aku tahu aku bukan anak kandungnya. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa menerima ketika ada orang yang mengingatkan tentang hubungan kami yang tidak sedarah.
"Hei!" Dinda menepuk bahuku. "Lagi ngapain? Ayolah... hormati tamu-tamu dengan berbaur bersama mereka." Dia langsung menarik tanganku dan membawaku berkumpul bersama teman-teman lain di sekitar panggung.
Tapi hatiku tak ada lagi di sana. Aku memikirkan kehadiran Tante Sila yang semakin menjadi-jadi. Tidak bisa kubiarkan, pikirku. Dia bisa merebut Daddy dariku dan menyingkirkan aku seandainya ia bisa mencuri hati lelaki yang kusayangi itu. No, tidak akan. Jika pun Daddy ingin menikah lagi, ia mesti menikahi perempuan yang menjadi pelengkap keluarga kami, bukan seorang pemisah seperti Tante Sila.
"Yang dibilang Mami gue itu benar."
Aku terkejut, Riko tahu-tahu berdiri di sampingku. "Jangan ikut campur!" tukasku.
"Lo, kenapa sewot begitu, sih? Lu nggak bisa memungkiri itu, Ra. Itu kenyataan. Ayolah, Kejora, jangan naif. Lu tahu, kan, kenapa Oom Gibran jarang pulang semenjak lu beranjak dewasa?"
Aku melengos. "Itu bukan urusan lu, Rik! Jangan sok tahu!"
Riko menahan tawa. "Lu naif banget sih, Ra," ujarnya. "Harusnya lu jangan menyangkal kenyataan begitu. Atau begini saja, gue juga ikut. Jadi--"
"Mimpi! Gue nggak bakal mau pergi jalan-jalan bareng cowok kayak lu! Berengsek!"
Dengan amarah menggelegak, aku segera beranjak dari tempatku menuju pekarangan depan -- meninggalkan Dinda dan teman-temanku dalam kebisingan lagu-lagu dangdut yang mereka nyanyikan untuk bergeli-geli ria.
Aku memandang ke sekeliling. Di sana ada beberapa orang, termasuk teman-teman sekelasku yang mojok pacaran, petugas katering, juga Daddy yang merokok di sudut taman sambil mengutak-atik ponselnya.
"Dad," panggilku masih dengan tampangku yang cemberut.
"Lo, kenapa? Kok kamu keluar?" Ia berdiri, menjatuhkan puntung rokoknya dan menggilasnya dengan ujung sepatu.
"Acaranya udahan, Dad. Aku mau istirahat, capek," tuturku dengan rasa sakit yang mengganjal di tenggorokan. Kurasa mataku pun nyaris berkaca.
Daddy menunduk sejenak, kupikir barangkali ia sedang memikirkan bagaimana cara untuk membujukku supaya aku kembali ke acara pesta itu atau bagaimana cara lainnya supaya ia bisa menghindariku lagi. Tetapi ternyata ia tak melakukan hal itu. Nampaknya kali ini ia mau mengerti keadaan hatiku yang sedang kacau.
"Mau Daddy temani?" tanyanya.
Sejenak, aku pun tertegun, lalu aku cepat-cepat mengangguk. Ada sepercik rasa senang yang singgah di hatiku -- yang lebih dari sekadar rasa senang seorang anak ketika keinginannya dipenuhi oleh sang ayah. Waktu itu aku tidak mengerti akan rasa itu: rasa yang hadir diam-diam dan mulai bersemayam di hati.
"Sebenarnya kamu belum terlalu capek dan belum mengantuk, ya kan?"
Aku mengangguk lagi. Lidahku tiba-tiba terasa kelu berhadapan dengan lelaki yang sudah mengurusiku sedari bayi ini.
"Ayo, Princess." Dia tersenyum dan memberikan lengannya untuk bergandengan denganku.
Eh, apa aku mimpi? Kok bisa?
Ah, rasanya aku ingin ulang tahun ke-tujuh belas tahun terus kalau seperti ini -- mendapatkan perlakuan spesial dari lelaki yang amat sangat kusayangi ini. Sebelum beranjak, ia memesankan puding untuk kami kepada karyawan katering, lalu kami pun duduk di salah satu meja yang berhiaskan pita-pita dan bertaplak putih menjuntai hingga ke lantai.
"Kenapa jadi murung?" tanyanya.
"Tidak apa-apa. Aku cuma kesal pada Tante Sila dan Riko."
"Ngapain dipikirin? Memangnya mereka bilang apa sampai membuat gadis kecil Daddy mendadak diam bagini?"
Hmm... sebenarnya aku tidak pernah berbohong pada ayahku, tapi kali ini aku juga tidak ingin jujur. Sudah cukup kerenggangan yang terjadi di antara kami berdua. Kalau aku membahas-bahas perihal hubungan kami yang tak sedarah, Daddy pasti ikut risih dan aku tidak bisa menebak bagaimana tanggapannya nanti. Sementara saat ini aku tengah merasakan lagi kehangatannya sebagai seorang ayah untukku. Akhirnya aku hanya menggeleng. "Bukan apa-apa kok, Dad."
"Mau quality time bareng Daddy besok?" Dia tersenyum ceria.
Oh, wow! Hatiku jadi ikut berbunga-bunga, senyumku seketika merekah, dan kepalaku spontan mengangguk dengan kuat. "Aku mau...."
Ah, manja sekali sih caraku menjawab. Aku berusaha mengingatkan diriku sendiri kalau aku sudah tujuh belas tahun.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya, Dad?"
"Kamu... harus selalu tersenyum. Daddy tidak mau melihatmu sedih begini."
"Uuuh... Daddy... Kejora terharu, tahu...! Ini, lihat, cantik, kan?" Kupasang tampang semanis dan seceria mungkin.
Dia mengangguk, dan kini malah matanya yang berkaca. "Ya, Sayang. Kamu cantik. Bahkan sangat cantik, persis almarhumah ibumu."
Pesta usai tepat tengah malam. Semua tamu perlahan membubarkan diri. Semua sangat puas, terutama aku. Aku senang sekali. Hadiah untukku menggunung di atas meja dan Daddy menyuruh orang memasukkan semua hadiah itu ke dalam kamarku.
"Bye, Ra!" seru Dinda di balik kemudi sedan silver-nya, ada Tiara yang duduk di sampingnya, dan Melisa duduk di belakang. Mereka bertiga melambai kepadaku, lalu ke ayahku.
Aku balas melambai. "Terima kasih sudah datang...," seruku.
"Terima kasih juga. Pestamu hebat. Seru, semua makanannya juga enak."
Aku tersenyum. "Siapa dulu yang mengatur pestanya. Daddy-ku hebat, bukan?"
"Yeah. Ayah terbaik! Terima kasih, Oom!"
Daddy berbinar mendapat pujian. Dia mengangguk dan berkata, "Ya, sama-sama, Anak-Anak."
Suara klakson menintin sekali, dan mobil Dinda meluncur mulus ke jalan raya.
"Lelah?"
"Lumayan, tapi Kejora bahagia. Trims, Dad."
"Sama-sama--"
"Mas!" panggil seseorang menyela obrolan kami.
Kami menoleh ke sumber suara. Tante Sila, dia belum pulang dan justru menghampiri kami.
"Besok kalian mau ke mana? Aku ikut, ya?"
Astaga... masih usaha saja ini tante-tante. Awas saja kalau Daddy mengiyakan, aku tidak akan mau diintili tante genit satu ini.
Seketika, ayahku menoleh ke arahku -- ia seakan memintaku mengambil alih tanggung jawab untuk membereskan perihal keagresifan wanita yang melakukan pendekatan terhadapnya ini.
"Besok kami tidak akan pergi ke mana-mana, Tante. Besok waktunya istirahat. Apalagi Daddy kan baru pulang. Ya kan, Dad?"
Yes! Daddy mengangguk. Aku tahu dia mengerti kalau aku tidak suka jika Tante Sila dekat-dekat dengannya. "Ya, besok kami hanya menghabiskan waktu di rumah."
"Maaf, Tante, hari sudah malam. Kita mau istirahat."
"Baiklah. Tante juga pulang, ya." Lalu ia berpaling ke Daddy. "Selamat malam, Mas."
"Ya, selamat malam." Daddy berpaling kepadaku saat Tante Sila menjauh. "Ayo masuk, Sayang," ajaknya. "Omamu pasti sudah tidur."
Aku mengangguk dan mengekorinya masuk. "Omong-omong, Kejora penasaran, apa hadiah dari Daddy?" tanyaku.
Ia tersenyum. "Ayo, kita lihat. Daddy yakin kamu pasti suka."
"Tentu." Aku bersemangat.
Kami pun berjalan menuju kamarku, dan beberapa langkah mencapai pintu, ayahku berhenti dan berbalik. "Sekarang pejamkan matamu."
Aku patuh dan ia membimbingku masuk ke kamar tidurku.
"Oke, kamu bisa buka mata sekarang," katanya.
Aku membuka mata perlahan, lalu...
"Oh, waw...!"
Aku menatap Daddy, lalu kembali memandang ke dinding, dan melangkah ke sana, perlahan-lahan. Sebuah lukisan cat minyak -- potret diriku.
"Well?"
"Menakjubkan, Dad. Cantik sekali," gumamku.
"Tentu saja, itu Kejora, Bintang Terindah milik Daddy. Bagaimana mungkin tidak cantik?"
Aku terus menatap, dan akhirnya air mataku pun menggenang. Dia mencintaiku. Benar-benar mencintaiku seperti darah dagingnya sendiri. Lukisan itu mewakili ungkapan hatinya, bagaimana ia menyayangiku. Aku pun tersenyum semringah. "Terima kasih, Dad. Aku suka. Sungguh! Tapi ini bukan berarti Daddy boleh mengingkari janji, lo, ya. Quality time bersamaku selama libur semester hukumnya wajib. Jangan kecewakan aku. Kalau nggak, aku bakal ngambek."
Ia mengedikkan bahu. "Kita lihat nanti, ya, Sayang."
"Ah, Daddy...," rengekku.
Dan... tawanya terdengar, amat riang. "Iya, iya. Daddy akan penuhi permintaanmu. Sekarang kamu senang?"
"Ya," aku mengangguk, "sekali lagi terima kasih, Dad."
"Ya, Sayang." Ia menunduk sejenak, lalu kembali menatap. "Boleh peluk?"
"Emm?" Aku tertegun dan bengong sesaat, tapi kemudian aku mengangguk kuat. "Boleh, Dad."
Aku menghambur ke pelukannya. Terasa hangat. Dekapannya begitu erat, dan seolah menyampaikan kerinduan yang teramat dalam. "Selamat ulang tahun, Kejora." Satu ciuman lembut menempel di keningku. "I miss you. Mimpi yang indah, ya, Sayang." Ia melepaskan pelukan dan kemudian langsung berlalu.
Aneh. Ucapan Daddy terdengar begitu lirih. Ada apa, sih?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!