Hari sudah sore, saat mobil van besar memasuki halaman sebuah rumah dengan desain bangunan lama.
Angin bertiup sepoi-sepoi, menggoyangkan ranting-ranting pepohonan yang tumbuh rindang di halaman rumah tersebut.
"Jadi ini rumahnya Tom?"
Tanya Ibunya, manakala mereka akhirnya sampai di rumah baru Tomi.
Beliau memandangi bangunan rumah itu dari balik kacamatanya.
Rumah sederhana dengan bangunan model lama.
Ibunya Tomi tampak menoleh pada Nilam, sang menantu kesayangannya yang sedari tadi diam saja seperti ada yang tengah ia khawatirkan.
Entahlah, sejak sang suami memberitahu jika dirinya mendapatkan SK dari kantor diangkat sebagai manager untuk koperasi tempatnya bekerja, hati Nilam bukannya bahagia malah justeru tak tenang.
Bukan...
Bukan karena ia tak bersyukur atas karunia yang sudah diberikan semesta pada mereka yang baru menikah empat bulan ini, namun karena SK sang suami mengharuskan mereka tinggal di tempat yang jauh dari sanak famili.
Ya, sebagai pengantin baru, tentu saja Nilam masih butuh banyak bimbingan dari orangtuanya maupun juga mertuanya, baik dari cara melayani suami sebagai isteri yang baik, maupun juga mengurus rumah, belum lagi ia tentu saja harus belajar memasak, dan yang paling penting adalah mempersiapkan diri menjadi Ibu untuk anak-anak yang akan dilahirkannya kelak sebagai buah cintanya bersama Tomi sang suami.
Ah...
Tapi...
Nilam menatap rumah yang merupakan pemberian dari kantor sang suami tersebut.
Rumah yang mereka akan tempati selama Tomi menjabat manager kantor cabang di salah satu kota di Jawa Barat tersebut.
"Ibu turun dulu ya."
Suara Ibu Tomi mengejutkan Nilam yang tengah sibuk melamun.
Nilam terkesiap, lantas cepat mengangguk pada mertuanya.
Ibu Tomi membuka pintu mobil van kantor Tomi yang memang sengaja diperuntukkan menjemput mereka dari Jakarta menuju kota tempat Tomi ditugaskan.
Tomi yang duduk di depan bersama driver juga tampak turun dari mobil.
"Katanya Pak Irfan, manager sebelumnya tidak tinggal di sini, kenapa?"
Tanya Tomi pada sang driver yang tampak berjalan memutari mobil untuk membuka bagian belakang mobil guna menurunkan barang-barang milik Tomi dan keluarganya.
Untuk satu minggu ini Ibunya Tomi memang berencana akan menemani pasangan itu tinggal di rumah baru mereka, namun setelah itu beliau akan pulang dijemput Iwan, adik Tomi.
"Sayang, kamu nggak turun?"
Tomi melongok ke dalam mobil menatap sang isteri yang masih bengong melihat ke arah pohon rindang di depan rumah yang akan mereka tempati.
Nilam merasa ada yang mengawasi di sana, sesuatu atau sosok yang tak terlihat, yang Nilam yakin mereka ada di sana meskipun bentuknya tak bisa Nilam tangkap dengan mata kepalanya.
"Pak Irfan tidak mau tinggal di sini karena beliau tinggal sendirian di kota ini, isteri dan anak-anaknya tidak mau pindah dari Bandung, makanya beliau memilih tinggal di kamar kecil di atas kantor koperasi."
Ujar driver menjawab pertanyaan Tomi tadi sambil meletakkan dua koper pakaian milik Tomi dan sang isteri.
"Kamu sakit?"
Tanya Tomi pula pada Nilam yang pelahan akhirnya turun dengan sedikit terhuyung, untunglah Tomi segera meraih tubuhnya, hingga tak sampai limbung.
"Isterimu sepertinya kelelahan Tom, lebih baik suruh istirahat."
Ujar Ibunya Tomi sambil mengusap-usap punggung sang menantu dengan lembut.
Dari arah rumah, terlihat kemudian seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh ke arah mereka, ia sepertinya Bik Surti, asisten rumah tangga yang ditugaskan mengurus rumah untuk tempat tinggal sang manager.
"Bu... Selamat datang."
Bik Surti menyalami Ibunya Tomi, dan juga menyalami Nilam serta Tomi tentu saja sebagai Tuannya yang baru.
Bik Surti kemudian diminta Tomi menuntut Nilam yang agak sempoyongan berjalan.
Sementara Tomi membantu driver kantor mengusung barang-barang miliknya untuk dipindahkan ke dalam rumah.
💦 💦 💦 💦 💦
Seorang gadis berambut pirang yang cantik jelita duduk di atas pohon dengan kaki menggantung.
Gaunnya yang sepanjang lutut dan berenda-renda terlihat meriap-riap.
Ia menyisir rambut pirangnya dengan jari jemarinya yang lentik, sambil melantunkan lagu penuh rindu pada sang pujaan hati.
Mata coklatnya dengan bulu-bulu matanya yang bagaikan mata boneka itu terlihat menangkap kedatangan sebuah mobil van besar.
Mobil berwarna hitam pekat itu kemudian berhenti di dekat pohon di mana ia duduk di dahannya.
Sudah sekian lama ia tak melihat ada yang datang ke rumah itu.
Dan kini akhirnya setelah sekian tahun berlalu, akhirnya ada yang terlihat datang ke sana, dan tampaknya akan tinggal di rumah tersebut.
Gadis cantik jelita itu melayang berpindah dari dahan yang sebelumnya ke atas dahan yang lebih dekat dengan berhentinya mobil van yang kini tampak manusia-manusianya turun.
Ada seorang Ibu yang tampaknya adalah wanita yang anggun dan baik, juga seorang laki-laki muda yang tampan, sangat tampan malah.
Gadis itu tersenyum, matanya berbinar-binar melihat sosok manusia laki-laki yang kini berbicara dengan manusia laki-laki yang berjalan ke belakang mobil untuk mengeluarkan barang-barang.
Gadis cantik yang merupakan hantu itu terlihat penasaran dengan laki-laki tampan yang kini sedang melihat ke dalam mobil.
Hantu gadis cantik itu akhirnya turun dari dahan pohon, ia akan melayang mendekati sang laki-laki muda itu, namun ia lebih dulu melihat sosok perempuan yang turun dari mobil.
Perempuan berambut panjang yang cantik, laki-laki muda itu terlihat sangat perhatian dan memperlakukan perempuan cantik itu dengan penuh kasih sayang.
Hantu gadis cantik jelita itu akhirnya melayang kembali duduk ke dahan pohon.
Matanya yang semula berbinar-binar terlihat meredup, kecewa tergambar jelas pada raut patas cantiknya.
Paras perpaduan Indonesia dan Eropa, sungguh indah dipandang mata.
Hantu gadis itu menatap manusia-manusia di sana yang kini berjalan menuju rumah yang selama ini telah lama dibiarkan kosong.
Pantas Bik Surti datang lagi, ternyata ada yang akan menempati rumah itu. Batin sang hantu.
Hantu gadis itu melayang turun lagi, menjajari langkah laki-laki muda yang berwajah tampan.
Laki-laki itu terlihat menjinjing dua koper pakaian yang cukup berat, tak tega hantu itupun membantu ikut mengangkatnya.
Sejenak, laki-laki muda yang tak lain adalah Tomi itu menghentikkan langkahnya, ia merasa aneh karena tiba-tiba koper pakaian yang di sebelah kirinya terasa lebih ringan.
Hantu gadis cantik jelita itu cekikikan, karena melihat Tomi yang kebingungan.
"Wajahnya mirip sekali Kang Damar, apakah dia titisannya? Atau reinkarnasinya mungkin?"
Sang hantu gadis cantik itu bergumam-gumam sendiri.
Tomi kembali melanjutkan langkahnya, dan hantu itu tetap melayang di sampingnya membantu mengangkat koper pakaian yang dibawa Tomi.
"Kang Damar... Ini Lestari."
Bisik hantu itu di telinga Tomi, manakala Tomi sampai di kamar utama dan meletakan dua kopernya.
Hantu Lestari melayang ke hadapan Tomi, wajah keduanya berhadapan, tapi Tomi tentu saja tak tahu, ia berjalan lagi keluar kamar untuk mengambil barang lainnya, menembus tubuh hantu Lestari yang tertunduk kecewa.
💦 💦 💦 💦 💦
"Bang, hp ku di mana ya?"
Nilam tampak sibuk mencari hp di tas tangannya.
Tomi yang semula akan pergi untuk mengangkut barang-barang lainnya terpaksa kembali ke kamarnya lagi, melewati hantu Lestari, menembus tubuh hantu yang masih berdiri di tengah pintu kamar Tomi dan Nilam yang daun pintunya terbuka.
"Ada apa sayang?"
Tanya Tomi menghampiri sang isteri.
Lestari melayang mengikuti Tomi mencoba kepo.
"Hp Bang, tadi perasaan di dalam tas, kok tidak ada ya."
Nilam seperti panik.
Tape? Hmm dia mencari tape. Batin Lestari.
"Mungkin di mobil tertinggal, aku carikan ya, kamu rehatlah."
Ujar Tomi.
Lestari menatap Tomi yang begitu perhatian pada Nilam, ia jadi cemburu melihat laki-laki yang wajahnya mirip sekali dengan kekasih hatinya itu begitu perhatian pada perempuan lain yang sibuk mencari tape.
Tomi akan kembali keluar kamar, manakala Bik Surti mengetuk daun pintu.
Meskipun posisi daun pintu kamar terbuka, sudah sewajarnya seorang asisten rumah tangga meminta ijin kepada majikannya untuk masuk ke ruang pribadi mereka.
Bik Surti tampak membawa nampan dengan dua gelas teh hangat.
"Ibu Tuan Tomi sedang mandi, tadi minta saya buatkan air teh dengan irisan jeruk lemon untuk Tuan Tomi dan Nyonya Nilam."
Kata Bik Surti pada Tomi.
"Iya Bik, letakkan saja di meja, Nilam biar minum lebih dulu, siapkan juga air hangat untuk nanti mandi isteri saya setelah Ibu ya Bik."
Pinta Tomi.
"Iya Tuan, siap."
Bik Surti mengangguk.
Bik Surti membawa nampan gelas teh dengan irisan jeruk lemon ke dalam kamar, saat akan masuk ia sempat melirik Lestari dan memberikan isyarat agar hantu itu jangan mengganggu.
Tapi hantu none Belanda itu tersenyum saja, seolah tak peduli isyarat yang diberikan Bik Surti.
Bik Surti menghela nafas saat dilihatnya Lestari melayang mengikuti Tomi keluar kamar dan berjalan keluar rumah.
"Bik..."
Panggilan Nilam tiba-tiba mengagetkan Bik Surti.
"Oh ya nyonya..."
Bik Surti tergopoh berjalan mendekati sang Nyonya muda yang cantik jelita.
Wajahnya mirip dengan artis cantik Putri Marino.
Nilam tampak duduk di tepi tempat tidur yang terbuat dari kayu dengan kasur busa biasa. Tempat tidur kayu dengan model lama yang di bagian kepala tempat tidurnya terdapat lemari kecil terbuat dari kaca. Kasurnya tampak rapi dibalut sprei batik bercorak burung merak warna biru kombinasi putih dan hitam.
Bik Surti meletakkan nampan dengan dua gelas teh hangat irisan jeruk lemon di atas meja kayu kecil dekat tempat tidur tak jauh dari Nilam duduk saat ini.
Aroma teh melati bercampur irisan lemon tercium begitu menyegarkan, Nilam meminta satu gelas untuk ia hirup.
Bik Surti membantu mengambilkannya untuk sang Nyonya, yang langsung menyambutnya dengan senyuman.
"Ada apa Nyonya? Apa perlu saya pijat? Sepertinya Nyonya kelelahan."
Kata Bik Surti.
Nilam tampak menghirup dalam-dalam aroma teh melati yang semakin nikmat karena bercampur irisan lemon tersebut.
Tampak ia kemudian menyeruputnya sedikit demi sedikit, mengurangi rasa lelah di tubuhnya.
"Bik Surti sudah lama mengurus rumah ini?"
Tanya Nilam sambil tetap memegangi gelas teh nya.
Bik Surti mengangguk.
"Sudah Nyonya, saya mengurus rumah ini sejak masih gadis, dulu Bapak dan Emak saya yang mengurus rumah ini, lalu akhirnya diturunkan pada saya."
Nilam mantuk-mantuk, lalu...
"Berarti sebelum rumah ini dimiliki Koperasi?"
Tanya Nilam.
Bik Surti mengangguk.
"Dulu ini tanah warisan yang terbengkalai puluhan tahun Nyonya, dulunya sempat berdiri rumah Belanda, lalu saat Jepang datang, rumah itu diruntuhkan. Berpuluh tahun tak ada yang mengurus, ada Tuan tanah dari Sumedang datang dan membangun rumah ini, lalu entah bagaimana ceritanya, rumah ini berpindah tangan pada salah satu keluarga jauh Bapak saya, rumah tidak ditempati, dibiarkan kosong dan hanya diurus oleh Bapak dan Emak saya, sampai kemudian rumah ini tiba-tiba disita, katanya jadi agunan di Koperasi, dan akhirnya jadi milik Koperasi karena katanya tidak laku masuk lelang sampai berkali-kali."
Nilam menghela nafas.
"Jadi dulu sempat berdiri rumah Belanda di tempat ini?"
Tanya Nilam dengan tatapan kosong dan suara yang semacam gumaman saja.
Bik Surti mengangguk.
"Dulunya kan di depan itu ada rel kereta api Nyonya, rel kereta untuk mengangkut Tebu, tak jauh dari sini ada pabrik gula, jadi kereta pengangkut tebu itu bolak balik di depan sana."
"Ooh begitu."
Nilam menghirup teh nya lagi, lalu kemudian ia menatap Bik Surti.
"Bik, maaf jika tidak sopan, boleh saya tanya?"
Nilam tampak hati-hati sekali takut menyinggung perasaan Bik Surti.
"Tidak apa-apa Nyonya, katakan saja, saya akan menjawab apapun pertanyaan nyonya jika memang saya mengerti jawabannya."
Kata Bik Surti membuat Nilam tampak lega.
"Bik Surti, apa di rumah ini atau di sekitar rumah ini ada hantu?"
Dan pertanyaan itu jelas sulit untuk dijawab Bik Surti.
Diiyakan akan bermasalah, tak diiyakan takutnya Bik Surti dianggap menutupi kebenaran.
"Saya entah kenapa merasakan ada perasaan tak enak sejak tiba di sini, dari pohon besar yang di depan rumah itu, sampai tadi masuk ke dalam rumah, saya merasa ada sesuatu yang ganjil. Saya tidak bisa melihat mereka Bik, tapi saya kadang sensitif dengan keberadaan mereka."
Kata Nilam tampak seperti takut.
Bik Surti menghela nafas.
Bingung harus menjawab apa sebaiknya.
Untunglah dalam kebingungan itu Ibu mertua Nilam muncul dan masuk ke dalam kamar, ia tampak segar habis mandi.
Dengan daster batik berwarna gelap dan rambut yang digulung handuk, Ibu mertua Nilam menghampiri sang menantu.
"Saya permisi dulu Nyonya, tadi Tuan Tomi meminta saya menyiapkan air hangat untuk Nyonya Nilam mandi."
Ujar Bik Surti tergopoh keluar, sungguh ia merasa memang harus cepat menghindari Nilam sebelum wanita itu bertanya lebih banyak yang makin sulit untuk dijawab.
"Tomi belum selesai memasukkan barang kalian?"
Ibunya Tomi melihat dua koper pakaian besar dan tiga tas jinjing serta satu koper ukuran kecil.
"Masih ada lima box di mobil, sedang diambil Bang Tomi dan driver Bu."
Kata Nilam.
Ibu Tomi mantuk-mantuk.
"Rumahnya nyaman, bangunannya memang ketinggalan jaman karena model lama, tapi rumah itu sebetulnya yang penting adalah yang menempati, jadi kamu tidak usah terlalu memikirkan rupa rumah ini."
Ujar ibunya Tomi.
Nilam mengangguk pelan, pura-pura mengiyakan saja apa yang dikatakan mertuanya.
Padahal, bukan itu masalahnya.
Tentu untuk Nilam sebetulnya yang paling penting adalah ada Tomi di sampingnya, tak peduli bagaimana rupa rumah yang mereka tempati yang penting ada Tomi.
Tapi...
Ini bukan soal rupa rumah, tapi suasana dan perasaan Nilam yang tak enak entah kenapa.
Ya, di saat mereka menjadi pengantin baru yang harus tinggal jauh dari keluarga, rumah yang mereka tempati pun rasanya seperti ada hantunya.
Itulah yang mengganggu perasaan Nilam.
Tapi, tentu saja Nilam tak bisa mengatakan apapun pada mertuanya.
Bagaimanapun mertua adalah mertua, tak akan bisa sebagaimana orangtua sendiri. Nilam tentu harus tetap menjaga tutur katanya, agar tak sampai dikira manja dan banyak tingkah.
💦 💦 💦 💦 💦
Lestari melayang mengikuti Tomi yang berjalan ke arah mobil Van milik kantornya.
Driver yang bernama Pak Dadang tampak sibuk mengeluarkan box-box dari belakang mobilnya.
"Pak Dadang lihat hp isteri saya tidak Pak?"
Tanya Tomi yang mencoba menghubungi hp Nilam tapi tak ada dering hp di sekitar sana.
Ah tentu saja, Nilam memang selalu menyetel mode silent untuk hp nya, itu susahnya jika hp nya terselip susah dicari.
"Saya tidak lihat Pak Tomi."
Sahut Pak Dadang sambil menggotong satu box berisi buku milik Tomi.
"Ini saya bawa ke dalam dulu ya pak, takut keburu hujan, sudah mendung."
Ujar pak Dadang.
Tomi memandang ke arah langit sejenak, terlihat memang gelap awan mendung menggelayut di atas sana.
Tampaknya akan turun hujan malam ini.
Tomi menghela nafas.
Laki-laki muda dan tampan itu kini mencari hp sang isteri di dalam mobil di mana tadi Nilam duduk, mencari sambil menelfon hpnya.
Lestari duduk di atas mobil, ia melongokkan kepalanya masuk ke dalam mobil menembus atap mobil.
Senang sekali ia melihat wajah tampan Tomi.
Rasanya tak ada bosan-bosannya.
Wajah yang sekian puluh tahun ia rindukan, wajah yang membuatnya terus menunggu di tempat ini.
Ah...
Lestari mengulurkan tangannya, mencoba meraih wajah Tomi, tapi tepat tangan Lestari akan mengusap wajahnya, Tomi tiba-tiba merunduk ke bawah jok mobil karena melihat hp isterinya terselip di dekat kaki jok.
Lestari mengangkat kepalanya, mendengus menatap langit.
"Dia Damar bukan? Dia Damar ku bukan?"
Teriak Lestari melengking.
Bersamaan dengan itu angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, dan sekian detik berikutnya hujan pun turun.
Pak Dadang berlari-lari dari dalam rumah dan segera ke mobil lagi untuk menyelamatkan dua box kecil milik Tomi.
"Saya bawa satunya Pak."
Kata Tomi sambil memasukkan hp isteri dan hp nya sendiri ke dalam saku celana.
Pak Dadang mengambil satu box yang kelihatannya lebih berat karena berisi buku-buku lagi.
Sedangkan box satunya hanya berisi seperti tas dan dompet serta sepatu saja milik Tomi dan Nilam.
Hantu Lestari yang melihat Tomi mulai basah akhirnya melayang di atasnya, melindungi laki-laki itu dari guyuran hujan yang semakin deras.
Tomi berlari menuju rumah sambil mengangkat box kecil berisi tas dan sepatu.
Sambil berlari ia masih sempat berpikir kenapa ia seperti ada yang memayungi.
Sesampainya di depan rumah Tomi tampak berbalik menatap halaman rumahnya yang kosong dan sepi.
Tak ada siapa-siapa di sana, tapi entah kenapa ia merasa ia tak sendirian.
Ah...
Tomi segera menggelengkan kepalanya, dialihkannya fokus pikirannya ke hal lain agar tak lagi memikirkan yang tidak-tidak.
Tomi akhirnya meneruskan langkahnya kembali ke dalam rumah, menjinjing box untuk ia teruskan ke kamar sebelah kamarnya yang akan ia jadikan ruang bekerja jika ia harus lembur di rumah.
Lestari di luar rumah tampak hanya bisa menatap nanar ke dalam rumah di mana Tomi berada.
Ia tak masuk ke dalam karena Bik Surti kini berdiri di pintu depan rumah menyuruhnya pergi.
"Damar... Aku hanya ingin bersama Damar."
Rintih Lestari.
💦💦💦💦💦💦
Flashback,
Pada tanggal 01 Januari tahun 1942, tentara Nippon dari Jepang pertama kali masuk ke wilayah Nusantara melalui Tarakan, Kalimantan Timur.
Dan tak ada satu bulan setelah mereka masuk ke wilayah Kalimantan, tepatnya pada tanggal 24 Januari tahun 1942 mereka menggempur orang-orang Belanda dan membuat Balikpapan jatuh ke tangan mereka.
Masih di tahun yang sama, tepatnya di bulan Februari hingga Maret, mereka melakukan serangan laut besar-besaran ke Pulau Jawa.
Hingga akhirnya di bulan Maret itulah, pasukan negeri matahari terbit itu berhasil mendarat di tiga titik di pulau jawa, yaitu di Teluk Banten, di Eretan Wetan Jawa Barat dan Kragan di Jawa Tengah.
Berhasilnya mereka masuk ke tanah Jawa menjadikan gempuran pasukan Nippon pada pasukan Belanda dan juga orang-orang Belanda di tanah Jawa semakin luar biasa.
Hingga di tanggal 5 Maret 1942, Batavia jatuh ke tangan Nippon, banyak orang Belanda dan keluarganya yang melarikan diri.
Termasuk adalah Soemitri dan anaknya Lestari Doutsen.
Ya, Lestari Doutzen adalah anak dari soemitri, isteri tidak sah seorang warga Belanda yang cukup berpengaruh di Batavia.
Saat serangan tentara Nippon yang luar biasa tak terbendung, banyak orang Belanda di tangkap dan juga dibunuh, termasuk suami Soemitri.
Atas perintah sang suami, Soemitri melarikan diri membawa putrinya yang masih berusia empat belas tahun.
Soemitri melarikan diri ke sebuah tempat yang merupakan seorang Tuan tanah di salah satu daerah di Jawa Barat.
Tuan tanah itu cukup baik berhubungan dengan Ambrosius Van Doutzen.
Karena hubungan baik itulah, Soemitri dan anaknya diterima dengan baik di kediaman sang tuan tanah.
"Jadi Mister Doutzen tewas oleh tentara Nippon?"
Tanya laki-laki gagah yang duduk di kursi kayu jati berukir burung Elang.
Soemitri menganggukkan kepalanya.
Laki-laki yang bernama Tuan Ageng Parta Prawira itu terlihat menghela nafas berat.
Ia sungguh merasa ikut bersedih membayangkan nasib yang menimpa Doutzen teman Belanda nya itu.
"Baiklah, Nyonya Soemitri, karena saya baru saja kehilangan isteri saya, maka akan lebih baik jika Nyonya Soemitri tinggal saja di rumah Nyai Enah, dia adalah salah satu abdi di rumah ini, dia menempati rumah saya yang ada di dekat perkebunan tebu. Tinggalah disana."
Ujar Tuan Ageng Parta Prawira.
Soemitri yang mendengar keputusan teman sang suaminya itu tentu saja menyambut dengan suka cita.
Ia lega luar biasa karena mendapatkan tempat tinggal dan bisa selamat dari tentara Jepang karena berdiam di rumah seorang tuan tanah lokal.
Tapi...
Soemitri tiba-tiba teringat Lestari, putrinya itu memiliki wajah yang identik dengan warga Belanda.
Jika ia berada ditengah warga lokal, pastinya ia akan sangat mudah dikenali.
Kebencian orang-orang pada warga Belanda, ditambah posisi orang lokal yang merasa sedang ada pembela, membuat Soemitri khawatir jika nanti Lestari akan menjadi sasaran juga.
"Ada apa lagi Nyonya Soemitri?"
Tanya Tuan Ageng Parta.
Soemitri melakukan sungkem pada sang Tuan.
"Saya mengkhawatirkan nasib putri saya Tuan."
Ujar Soemitri.
Tuan Ageng Parta mengerutkan kening.
"Ada apa dengan putrimu?"
Tanya Tuan Ageng dengan suaranya yang begitu berwibawa.
Laki-laki berusia empat puluh lima tahunan itu menatap Soemitri yang bersimpuh di lantai rumahnya.
Soemitri akhirnya menyampaikan kekhawatirannya akan nasib dan keselamatan putri semata wayangnya.
"Memangnya di mana putrimu?"
Tanya Tuan Ageng.
"Di luar Tuan."
Jawab soemitri.
Tuan Ageng menatap pembantunya, mengisyaratkan agar putri Soemitri dibawa masuk.
Sang pembantu Tuan Ageng pun segera menuruti perintah, tak lama berselang ia kembali bersama seorang gadis kecil yang sangat cantik luar biasa.
Wajahnya seperti boneka. Matanya, hidungnya, bibirnya, semua seolah terpahat dengan begitu sempurna.
Tuan Ageng Parta Prawira tanpa sadar berdiri dari duduknya, terperangah melihat kecantikan dan kemolekan Lestari Doutzen, putri Soemitri dan Ambrosiun Van Doutzen sahabatnya.
💦💦💦💦💦💦
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!