"Kenapa sih menghilang lagi?" terdengar suara percakapan dari sudut ruangan. Ada dua gadis yang sedang asyik mengobrol. Cafe itu tidak terlalu ramai pengunjung sehingga suara dapat tertangkap dengan jelas.
"Aku bagai mayat hidup sekarang Fan, tidak tau harus berbuat apa. Sekarang hanya sekedar bertahan hidup seperti orang normal biasanya."
"Kami merindukanmu, sungguh sangat rindu keceriaanmu dulu. Bukan pilihan yang bijak jika mengambil jalan ini. Bukankah kau orang yang bijaksana seperti arti namamu yang selalu kamu banggakan."
"Semua sudah berubah Fany, tidak seperti dulu lagi. Sudah tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi." Sahut gadis itu dengan tersenyum, suara gemetar menggemuruh mengisi seluruh ruangan. Meskipun diucapkan dengan lirih, namun maknanya begitu dalam. Tidak ada yang tau apa yang sedang dirasakan gadis itu.
"Aku tak bisa melihatmu seperti ini, izinkan aku membawamu keluar dari penderitaan ini?" Ujar Fany sendu.
"Tidak perlu, kau adalah sahabat terbaikku yang selalu paham isi hatiku meskipun disaat aku tidak mau bercerita." Senyum yang keluar dari wajah gadis itu begitu menenangkan, namun ada luka yang terselip di sana.
"Allah... kenapa susah sekali sih membuatmu untuk bersemangat dan bangkit kembali."
"Tak usah repot-repot untuk itu Fany, jika merindukanku, kita bisa bertemu di sini." Ujar gadis itu yang mendapatkan pelototan dari sahabatnya.
"Hei.. kenapa menatapku seperti itu, aku memang depresi, tapi aku tidak akan bunuh diri Fany." Tawanya pecah melihat wajah lawan bicaranya sedang tegang. Rambut panjang sahabatnya itu terurai menutupi bahu.
"Aku khawatir denganmu, kenapa kau masih bisa tertawa seperti ini," ujar Fany geram, menampakkan wajah sebalnya.
"Wajah cemberutmu bukan membuatku iba tapi ingin tertawa puas." Sekali lagi tawanya tersembul keluar.
"Aku sedang tidak ingin bercanda denganmu." Fany masih menampakkan wajah yang cemberut.
"Mengertilah Fan, aku masih butuh menyendiri."
"Hei, tamu yang terhormat sudah dua tahun anda menghilang dari peredaran dan menyendiri apakah itu masih kurang."
"Wooww, rupanya diriku penting juga ya." Sahut gadis itu dengan sombongnya.
"Bodoh, pertanyaan yang cukup bodoh." Fany melemparkan dompet pada orang yang ada dihadapannya.
"Benar sekali, itu adalah kata yang tepat untukku. Aku terlalu bodoh hingga tidak bisa melawan pikiranku sendiri." Senyuman masih terus memancar dari wajahnya yang teduh.
"Sudahlah jangan bicara seperti itu, kau membuatku sedih. Aku bahkan tidak tau apa yang kurang dari dirimu sehingga membuatmu seperti ini."
"Mau menemaniku berkeliling," pintanya dengan tersenyum. Lagi-lagi senyuman palsu yang nampak.
"Tentu saja, akulah dulu yang selalu menemanimu menangis di sepanjang jalan."
"Aku cengeng ya?" tanya gadis itu seraya tertawa.
"Banget..." Fany tersenyum melihat sahabatnya yang selalu berusaha tertawa sejak tadi. "Siapa lagi yang mau mendengarkan tangismu selain aku."
"Hei kenapa masih duduk disitu, ayo kita jalan sekalian cari pentol bakar." Fany menarik tangan sahabatnya keluar dari cafe.
Anda terlalu bodoh nona, terlalu naif dan mudah percaya. Fany tersenyum miring yang tak dapat dilihat lawan bicaranya.
Dua bersahabat itu menunggangi motor scoopy dan berkeliling menikmati suasana jalanan yang dapat menciptakan ketenangan, sambil mengadukan segala resah yang dirasakan jiwa.
Dari luar cafe ada seorang pria dengan tubuh tegap tengah bersembunyi, melihat dua orang itu pergi menjauh. "Jangan percaya dengannya, dia akan menyakitimu. Fany bukan sahabatmu yang baik." Lirih pria itu, dia akan terus mengikuti kemanapun gadisnya pergi.
Ingin mempertanyakan tentang diri ini, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Semangat hidupnya seakan hilang, dunia terasa gelap tanpa cahaya. Bagai berjalan ditengah kesunyian, tidak ada yang bisa dilihat.
Elvina kehilangan arah dan tujuan, kehilangan harapan untuk terus mengejar impian. Ada banyak hal yang telah hilang dari hidupnya, mungkinkah semua itu masih bisa kembali.
Dia sedang berdiri dalam kehampaan, melintasi jurang kehidupan. Tenggelam dalam ilusi yang membuat semuanya terhenti. Akan ada apa lagi setelah ini, semua tak nampak untuk dilihat, kelam.
Tidak tau apa yang harus dilakukan, semua seakan buntu. Tidak ada tempat untuk mengadu, harus berdiri kuat. Meski sudah tidak memiliki semangat.
Begitu banyak pertanyaan dihidup ini yang belum bisa dia temukan jawabannya. Satu persatu permasalahan berdatangan. Melewati dinding kehidupan.
Gamangnya Elvina yang sedang kehilangan arah dan tujuan. Mencari cara untuk bisa keluar dari segala keterpurukan. Berusaha menemukan jawaban dari kisah kehidupan.
"Nana..." suara mama membuyarkan segala yang ada dipikirannya. Mama sudah ada di sampingnya duduk di sisi ranjang menatap dengan tersenyum.
"Iya Ma," Elvina menyambut senyuman mama dengan hangat.
"Pikiran-pikiran itu masih mengganggumu." Tanya Kila, putrinya ini mengalami depresi setelah kehilangan sang ayah dan gagal menikah.
"Sedikit," Elvina melepaskan senyuman maut agar mama tidak terlalu mengkhawatirkannya.
"Bagaimana pekerjaanmu sekarang?" Kila sangat tau bagaimana putrinya yang berusaha tersenyum. Tidak ingin terlihat seperti orang menderita.
"Masih seperti dulu Ma, anggaplah ini baktiku sama papa." Elvina mengusap pipi sang ibu yang sudah tidak muda lagi. "Mama jangan tinggalin Nana pergi ya," lirihnya pelan.
"Mama tidak akan ninggalin kamu Sayang, kita ke dokter ya?" Bujuk Kila, Elvina menggeleng. Kila sampai menyerah mengajak putrinya ke psikiater. "Papa sangat menyayangimu Na, papa ingin melihatmu bahagia."
"Aku tau, makanya aku sangat merasa kehilangan." Jawab Elvina sendu.
"Semua sudah ketetapan Allah Sayang, ini yang terbaik untuk keluarga kita." Kila memeluk putri semata wayangnya. "Papa pasti sangat bangga padamu. Papa sangat menyayangimu Nak."
"Kamu istirahat ya, jangan lupa baca doa lengkap seperti yang papa ajarkan." Kila mengurai pelukannya.
"Iya Ma, love you." Elvina mengecup kening sang mama. Sebelum wanita paruh baya itu meninggalkan kamarnya.
"Nana Sayang, ini kado ulang tahun yang ke enam belas buatmu dari anaknya teman Papa." Papa menyerahkan kado yang sangat besar. Elvina membukanya, isinya boneka teddy bear besar berwarna coklat dengan pita cream di lehernya.
"Papa, lucu banget. Tapi siapa yang ngasih Pa?"
"Kamu tidak perlu tau Sayang, yang harus kamu tau dia sangat menyayangimu."
"Sayang?"
"Astaghfirullah," Elvina terbangun dari tidurnya. "Mimpi papa lagi, kejadian delapan tahun yang lalu masih sangat jelas."
Elvina memeluk boneka teddy bear yang selalu menemaninya setiap malam selama bertahun-tahun ini.
"Siapa pemilikmu Sayang, kenapa selalu hadir dalam mimpiku. Katakan padanya aku rindu, sangat ingin bertemu. Aku ingin mengenalnya, aku ingin tau siapa dia."
Elvina beranjak ke kamar mandi mengambil air wudhu lalu sholat tahajud. Papa selalu mengatakan kalau terbangun tengah malam, itu artinya Allah sedang rindu. Ambil air wudhu lalu sholatlah, temui pemilik semesta ini.
"Ya Allah, siapa sebenarnya orang itu. Dia selalu hadir dalam mimpiku. Tolong jaga dia Ya Allah, sampaikan rinduku padanya. Sampaikan juga rinduku pada papa Ya Allah."
"Laa ilaaha illallah, El apa yang terjadi denganmu? Apa kamu sangat merindukanku seperti aku merindukanmu."
Lelaki itu melirik jam weker di meja samping kanannya. Jam tiga pagi, dia beranjak mengambil air wudhu kemudian melakukan sholat tahajud.
Selesai sholat lelaki itu melantunkan doa yang panjang.
"Ya Allah tolong jaga Elvina di saat aku belum bisa menjaganya. Bukalah hatinya dan jadikanlah dia bidadari di dunia dan akhirat untukku. Jagalah cinta ini agar terus bermuara pada Ridho-Mu. Jangan biarkan cintaku ini menjadi nafsu yang mengembara atas diriku."
"Ya Allah jadikanlah Elvina jodohku yang sudah Engkau tuliskan di Lauhul Mahfudz. Pertemukan kami dalam ikatan cinta yang halal. Aamiin Allahuma Aamiin."
***
"Mama tau siapa orang yang memberi boneka teddy bear itu?" Elvina mengambil segelas susu yang sudah disiapkan Kila, sembari mengunyah roti yang sudah masuk di mulutnya.
"Tidak Sayang, kenapa?"
"Orang itu selalu hadir dalam mimpi bersama papa." Ujar Elvina menghabiskan roti di tangannya.
"Banyak-banyak berdoa buat papa dan pemilik boneka itu ya Sayang. InsyaAllah pasti sampai, semoga kalian nanti bisa bertemu."
Kila bukan tidak tau siapa pemilik boneka itu. Dia sudah berjanji untuk tidak memberitahu siapa pemiliknya.
Elvina mengangguk. "Aku berangkat dulu ya Ma. Love you." Dia mencium pipi Kila kemudian beranjak pergi.
...***...
"Siapa yang mengubahnya menjadi seperti ini?
Elvina berdiri menghempaskan beberapa dokumen yang dipegangnya ke meja, membentak semua orang yang ada di ruang meeting.
"Seenaknya saja mengubah semua yang sudah kita kerjakan. Ini sudah disetujui atasan." Desisnya, kepalanya pusing sekarang.
"Na, sabar dulu ya, tahan, kamu terlalu emosi." Sabil menenangkan temannya agar masalah tidak tambah runyam.
"Siapa yang tidak emosi Bil, kita sudah sebulan menyusun semua ini dan tiba-tiba diganti dengan konsep ecek-ecek."
Elvina terduduk lunglai, mengingat selama sebulan ini kurang tidur hingga lingkaran matanya menghitam. Hanya untuk memuaskan keinginan klien. Sekarang konsep pembangunan gedung apartemen itu berubah total, bagaimana dia menjelaskannya nanti, kalau terjadi komplain.
"Kami paham Na, kamu sangat kecewa karena sudah berjuang keras untuk semua ini, malah tidak dilirik sedikit pun." Sabil menenangkan Elvina dan memberikan segelas air putih. "Minum dulu Na, biar kamu tenang."
"Sampai Pak Nazar juga sudah setuju, lalu siapa yang mengubahnya?"
"Asistennya yang baru, meyakinkan pak Nazar untuk merubahnya." Jelas Sabil
"What! Dan kalian diam? Sungguh sebuah penghinaan. Orang baru mengacau semuanya." Geram Elvina, dia tidak suka dengan orang yang seenaknya sendiri.
"Biarlah Na, kita ikuti saja." Bujuk Sabil, mereka tidak bisa menentang bos besar.
"Kalian kenapa melemah seperti ini," teriak Elvina dengan lantang. Gadis itu memang tidak bisa mengendalikan emosi dengan baik.
"Ada apa ini ribut di ruang meeting?"
Seorang laki-laki yang diduga baru menjabat sebagai asisten pak Nazar itu dengan sombongnya memasuki ruangan. Badannya yang tegap dan tinggi membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona dengan kegagahannya.
"Oh, jadi ini orangnya yang kalian maksud. Pantas saja kalian tak berdaya."
Tampan, tapi sayang tidak tau sopan santun. Ingin Elvina melenyapkan manusia satu ini dari planet bumi.
"Lancang sekali anda tidak sopan berbicara pada saya..!"
Mata mereka saling bertatapan, deg membuat jantung Ken berdebar kencang. Mana bisa dia menolak pesona Elvina yang sangat cantik dan mengagumkan.
"Anda pikir, anda sopan?" Jawab Elvina tidak mengurangi kelantangannya meskipun sedang ditatap lelaki tampan. Suasana ruang meeting seakan berubah jadi panggung sandiwara.
Ya Allah, mata lelaki itu membuatnya tidak berdaya. Astaghfirullah sadar Elvina hentikan tatapanmu.
"Lakukan semua apa yang saya perintahkan." Titah Ken.
"Silahkan jalankan sendiri apa yang anda inginkan, dan jelaskan sendiri dengan klien. Mulai hari ini saya berhenti." Elvina segera mengalihkan tatapannya, saat ini semua orang sedang menonton aksi kemarahannya. Salah jika lelaki itu pikir Elvina akan takut dan mengalah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!