NovelToon NovelToon

Falling Into Your Trap

Prolog 0.0 : Planning to Escape With The Fire On Top

Merah.

Segalanya terlihat seperti warna merah di matanya saat ini. Dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain luapan emosi yang sudah tak terbendung. Empat puluh delapan jam yang lalu dia masih bisa menahan semua rasa amarah dan kekesalan dan juga pemberontakkan yang membuatnya merasa tertekan dan hampir gila. Dua puluh empat jam terakhir dihabiskannya dengan berdiskusi pada dirinya sendiri setelah mengunci pintu kamar dan tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam satu-satunya ruangan aman untuknya, terkecuali itu terasa seperti lima puluh persen mencekiknya dalam gelembung emosi yang menyeruak.

Tetapi, setelah lima jam terakhir dihabiskannya dengan asupan napas penenang diri, dengan bulan yang memancarkan cahaya indah yang seperti mengejeknya, dan dengan segudang rencana yang berseliweran di kepalanya yang sudah dia rancang dengan kilat dan terencana dalam buku catatan kesayangannya, dia malah menemukan sesuatu yang membuat hatinya serasa diremas dengan kuat oleh tangan besar berkuku tajam dan berlendir yang membuatnya hampir kehilangan napas saat itu juga.

Kecewa.

Mungkin satu kata itu terlalu ringan untuk menggambarkan apa yang dia rasakan saat ini. Napasnya memburu, tetapi dia meneguk kembali emosi yang bangkit dan makian yang ingin melepaskan diri. Seorang Nalisa Rembulan Cakrawijaya yang saat ini tengah kacau balau di dalam dan seluruh tubuhnya, memilih untuk putar balik dan melangkah dengan hentakkan dan jarak lebar antara kaki satu dan lainnya untuk segera pergi dari sana. Yang dia lihat terakhir kali dalam kabut merah matanya adalah tatapan terkejut dan hampir bersalah yang dia sendiri yakin ia balas dengan tatapan remeh dan jijik.

Tidak seharusnya dia melihat pemandangan yang membuatnya ingin memuntahkan seluruh makanannya yang bahkan dia lupa entah kapan dia membiarkan perutnya terisi. Lisa merasa sangat penuh dan mual. Ada hal besar dalam hidupnya yang harus dia tangani, namun sekarang Lisa malah mendapatkan kejutan dari sahabatnya yang telah ia anggap keluarga-, satu-satunya cinta dalam hidup Sinar, sang kakak yang ia jaga layaknya permata dalam hidup, membuatnya memiliki perasaan berkecamuk ini.

Dalam kemerahan bias di matanya dan air panas yang seakan ingin menyeruak dari kedua belah bola mata yang lelah, Lisa berhasil membanting pintu kamar milik seseorang yang keberadaannya malam ini benar ingin ia datangi.

Seseorang dengan rambut pendek yang diikat bak tangkai apel itu terperanjat, hampir menjatuhkan joy stick miliknya ketika mendengar bunyi debuman yang disebabkan oleh Lisa. Matanya yang dibingkai dengan kacamata anti radiasi itu menajam, hampir marah. Tetapi kemudian sang empu terdiam dan menghela napas sebelum berbalik dan membiarkan Lisa untuk menjelaskan sebelum dia sendiri yang mencekik perempuan yang kini sudah duduk bersila dengan napas yang dihembus pendek-pendek hasil endapan emosi diatas tempat tidur hotelnya yang yang telah di reservasi untuk satu minggu lamanya.

“Apaan, sih lo, Lis? Untung gue engga ada riwayat penyakit jantung” Lelaki itu mendengus. Pilihannya untuk menghentikan permainannya sesuai insting karena dia memahami Lisa seperti membalik telapak tangan. Alpino menghentikan semua kegiatannya dan duduk bersila di sebelah Lisa yang kini menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terlihat sangat frustasi.

“Gue pengen ngomong kotor sekarang, Al” Bisikan yang diredam seolah sedang menahan teriakan diberikan oleh Lisa dengan respon dengusan oleh lelaki rambut apel itu. “Aneh Lo, biasanya juga ngomong kotor ngegas aja kenapa sekarang pake aba-aba?” Decakan diberikan Alpino sebagai balasan yang mampu dirinya pikirkan untuk menenangkan suasana.

“Anjing, Lo!”

Lisa mengangkat kepalanya dan menatap Alpino dengan tatapan tajam yang basah, matanya lembab dan merah, hampir terlihat seperti orang yang menangis dan begadang tanpa henti dalam beberapa hari. Rencana Alpino untuk menggoda Lisa disimpannya jauh di dibawah bibirnya.

“Astagfirullah, ukhti. Kenapa gue yang jadi di sembur?” lelaki itu beranjak berdiri, mencari saklar agar mereka bisa mengobrol dengan lebih baik, juga mungkin bisa sedikit menenangkan sahabatnya. “Lo ada masalah apalagi sih, Lis? Masa calon pengantin udah jadi gila aja sebelum akad”

Tawa Alpino renyah bersamaan dengan terangnya lampu yang menenggelamkan ruangan menjadi terang benderang. Namun tetap saja tidak ada respon baik dari Lisa. Perempuan itu terlihat sangat hancur dan berantakkan. Alpino diam-diam mendekat dan menepuk kepala Lisa dengan lembut.

“Lo kenapa?” Alpino bertanya lagi, kali ini dengan lebih serius. “Lo dua hari ngurung diri di kamar dan makan cuma pas waktu di bawain bang Sinar atau Hala doang dan sekarang lo keluar kamar udah jadi berantakkan gini? Seenggak sukanya itu lo jadi pengantinnya Bang Noren, Lis?”

“Lo tau sendiri gue tuh dipaksa nikah, Al”

Alpino jujur merasa bergidik. Lelaki itu mengigit bibirnya menahan perasaannya yang resah.

“Gue min-“

“Bisa nggak, sih gue mati aja seka-“

“HUSSH!!”

Alpino dengan kedua matanya yang membola besar bergegas membekap bibir Lisa dengan kedua tangannya.

“Amit-amit Nalisa! Lo tuh kalau ngomong ya dipikir dulu, anjir! Lo, ya, dateng-dateng bikin gue jantungan! Kalau lo mau mati, gue duluan yang bakalan ngebunuh elo!”

Lisa melepaskan dengan kasar telapak tangan Alpino dari wajahnya, berusaha untuk menggeser berat yang Alpino berikan ketika lelaki itu menghimpitnya seolah benar-benar akan berusaha membunuhnya dengan kedua tangan dan tubuh besar dia sendiri.

“Gue stress, Al”

Lisa berbisik dengan kedua tangannya yang kali ini mengacak rambutnya yang sudah berantakkan. Alpino yang berusaha menetralkan detak jantungnya atas adrenalin yang telah diberikan Lisa beralih menatap perempuan itu dengan tatapan sedih dan sayang yang bercampur. Orang yang pernah menjadi begitu spesial di hatinya itu membuatnya sangat ingin menjadi pelindung untuk perempuan itu.

“Lisa,” Alpino merubah cara duduknya menjadi sedikit lebih nyaman di sebelah Lisa, menatap kea rah langit-langit kamar hotel dan hening ruangan yang terasa sedikit menyegarkan oleh pendingin ruangan. “Gue tau ini berat buat Lo, tapi gue mau Tanya, emang engga ada sedikitpun perasaan yang ada dalam diri lo buat bang Noren sedikit aja dengan segala usaha yang udah dia lakuin buat lo? Udah tiga bulan lamanya dia deketin lo dan gak seharipun absen buat bikin lo jatuh hati dan nyaman dengan dia, tetap aja nggak ada ruang buat dia?”

Lisa menghela napas, kali ini lebih dalam lagi.

“Udah gue bilang, gue nggak bisa dipaksa, Al” Kukunya kali ini menjadi sasaran empuk kunyahan gigi Lisa, tetapi dengan cepat Alpino menarik tangannya dengan paksa untuk menepuknya dan memberikan sedikit remasan. Berharap Lisa tidak kembali merusak kuku-kukunya lagi.

“Gue nggak ada perasaan untuk Kak Noren sampai sekarang dan gue nggak bisa nikah secepat ini sebelum semua impian gue terlaksana. Gue nggak bisa ada dalam hubungan dengan paksaan dan sekarang gue disakitin sama hal lain yang buat gue pengen banget ngehancurin sesuatu!”

Nadanya tinggi kali ini, emosi dan kilatan hal-hal yang membuat Lisa mual mulai berkecamuk di matanya.

“Ini,” Lisa menyerahkan buku catatannya pada Alpino yang terlihat bingung. “Selama dua hari gue udah ngerancang apapun yang bakalan terjadi tiga hari lagi dan gue berharap lo, Jihan sama Fajri bisa bantuin gue. Pokoknya apapun yang ada di dalam buku itu harus terlaksana dan gue nggak mau ada penolakan apapun itu alasannya”

Tatapannya datar dan penuh tekad disaat yang bersamaan ketika dia memberikan benda itu pada lelaki yang kini terlihat serius. Alpino membuka catatan dengan hati-hati dan terperanjat ketika melihat isinya yang disusun dengan sangat rapi dan terencana.

“Sumpah? Ini beneran? Lo serius? ”

Lisa mengangguk. “Gue udah bilang apapun alasannya, gue nggak mau dapat penolakan sama sekali. Kalau enggak gue bakalan ngelakuin semuanya sendiri dan nekat. Lo tau, ‘kan kalau gue nekat gimana?”

Lelaki penggila game itu mengerang frustasi. Hal-hal seperti ini adalah apa yang ingin dia hindari, tetapi apapun yang terjadi dia tetap berada didalam garis yang sudah diberikan oleh Lisa dengan sepenuh hati. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Alpino akan melakukan apa saja untuk Lisa dalam hal-hal genting ataupun masalah sepele sama sekali.

“Tapi Hala nggak akan-“

“Anjing!”

Alpino terperanjat. Lisa tidak biasanya mengumpat ketika dia atau bahkan siapapun menyebut nama sahabatnya yang sudah dielukan sebagai sehidup-semati, dan seiya-sekata. Dengan kedua alis yang menekuk ke bawah penuh rasa penasaran, Alpino meletakkan dengan pelan buku catatan Lisa diatas ranjangnya sebelum berseru dengan lembut.

“Lo,” dia berhati-hati kembali. “Berantem sama Hala?”

Ada atmosfer menegangkan yang dikeluarkan kembali oleh Lisa seolah-olah rasa ingin menerkam sesuatu itu telah di push sampai dengan ujung tombaknya. Lisa berdecak dengan kasar dan rasa sakit.

“Gue lihat dia ciuman sama Heksa di balkon”

Alpino terdiam. Benar-benar terkejut seolah Lisa sedang melemparkan puluhan petasan banting ke arahnya tanpa aba-aba. Hening yang sangat lama ada diantara mereka sebelum Alpino mengumpulkan kembali sisa kewarasannya.

“Terus Bang Sinar..? gimana? Bukannya Hala sama Bang Sinar udah komitmen?”

“Gue ga pernah merasa sekecewa ini dan semarah ini dalam hidup gue, Al” Lisa membanting dirinya di atas kasur dengan wajahnya yang hampa. Perasaannya benar-benar berkecamuk seolah badai sedang menerjang di dalam dirinya.

“Gue gak masalah dengan diri gue sendiri. Lo tau sendiri se-setres apapun gue dengan tekanan dalam hidup gue, sampai masalah pernikahan paksa ini bisa-bisanya dilangsungkan tanpa consent dari gue, gue masih bisa cari jalan keluar segila apapun caranya” Dia menghembuskan napas lelah seraya menunjuk buku catatan yang telah dia berikan pada Alpino yang sekarang tergeletak di dekat pangkuan sang lelaki apel.

“Tapi gue nggak bisa kalau abang gue yang disakitin. Brengsek, sakit hati banget gue, Anjing!!! Bisa-bisanya dia nyari masalah sama gue waktu gue lagi gila kayak begini?”

Tangan Alpino dengan cepat meraih jemari Lisa dengan lembut. Mengelus punggung tangan milik sang empu yang sekarang matanya yang memanas dan merah itu mengeluarkan bulir-bulir sejuk emosi yang sedari tadi coba ia tahan. Bak gunung meletus, tangisan diam Lisa membuat Alpino bungkam dengan perasaan yang campur aduk.

“Lisa..”

“Pokoknya, sebelum akad gue berlangsung, lo, Jihan sama Fajri harus bisa bantuin gue. Gue cuma punya kalian doang sekarang. Kalau engga ya, lo pasti bakalan liat jasad gue doang nanti”

“Hush! Gila ya, lo, Lis” Alpino mencengkeram tangan Lisa untuk membuat perempuan itu bungkam dengan hal-hal bodoh yang keluar dari bibirnya. “Gue pastiin bakalan ada di belakang lo, Lis. Lo bisa percaya sama gue”

Ada seringaian yang ditarik oleh Lisa disela panas air mata sakit hatinya.

“Oke. Gue pegang ucapan Lo”

...…....

“Nalisa!”

“Lisa, gue-,”

“Diam atau gue bakalan lompat sekarang!”

“Dek-,”

Dan dengan itu, si bungsu dari keluarga Cakrawijaya menghentakkan kakinya untuk terjun bebas dari lantai tertinggi gedung pernikahannya dan Noren. Meninggalkan wajah-wajah shock dari semua tamu undangan dan jeritan tidak percaya oleh orang-orang terdekatnya.

“Udah gue bilang, gue bakalan lebih gila dari lo, kak Noren”

...🍁...

...-Prolog 0.0 End-...

Calon Suami Dan Perjalan Pertama

Message: Kak Sinar

[Dek, nanti gue balik sekitar jam tujuh, ya.]

[Masak makan malam yang enak ya, dedeknya kak Sinar yang cantik~]

[Porsi gede pokoknya!]

[Ajak si Hala juga ya hehe *wink*]

[Salam cium dari kakak tersayang buat adek kakak yang paling gemes :*]

^^^Dibaca, 09.10 AM^^^

Rasa keterkejutan hadir di wajah Lisa ketika dia menerima pesan yang mengatakan bahwa kakak laki-lakinya akan datang dalam waktu kurang dari tiga jam dan menyuruh Lisa menyiapkan makan malam. Mungkin wajar bagi sebagian orang, tetapi tidak untuk Lisa karena Sinar tidak pernah mengatakan kapan dia akan pulang atau pergi, kapan dia akan makan di rumah atau hanya membawa makanan dan menghabiskan malam film adik dan kakak bersama.

Tidak, bukan maksudnya Sinar tidak perhatian atau apapun kepada Lisa. Sinar tentu saja sangat menyayangi sang adik dengan sepenuh hati. Bahkan jika bisa dibilang sayangnya sang kakak sangat berlebihan sekali. Sinar itu tipikal kakak yang begitu perhatian, yang akan mengabulkan permintaan apapun untuk Lisa sebodoh ataupun setidak berguna apapun permintaan itu. Tapi masalahnya, sang kakak ini suka sekali mengejutkan Lisa atas kedatangannya.

Sinar memang jarang berlama-lama di rumah ataupun di kota. Dia akan selalu pergi keluar kota untuk mengurus bisnis yang dipercayakan Ayah mereka padanya. Tidak jarang juga Sinar akan pulang-pergi luar negeri untuk bisnisnya itu, tetapi tidak pernah sekalipun dia akan mengatakan dengan lantang bahwa dia akan pulang dan menyuruh Lisa untuk memasak makan malam.

Lisa menatap bingung pada layar ponselnya sebelum disenggol dengan keras oleh Alpino. Dengan mata melotot sebal, perempuan itu menatap sang tersangka yang sekarang sudah menekan kaleng soda dingin ke wajahnya, membuatnya menjerit dengan sebal.

“Apaan sih lo, Al?! Niat ngasih nggak, sih? Ini bedak gue luntur semua lo buat” Dia mengomel pada Alpino, tetapi tangannya tetap terulur untuk menerima soda pemberian sang tersangka. Alpino memutar mata malas sebelum mengambil duduk di sebelah Lisa.

“Halah nggak penting. Pake bedak nggak pake bedak juga sama aja sih lo, Lis” Lisa melotot pada Alpino sebelum melempar ponselnya diatas meja, meneguk minuman dingin yang dibelikan Alpino dan menghela napas lega. Alpino yang sejak tadi memperhatikan dengan bingung sekaligus juga penasaran kembali bertanya. “Lo kenapa sih, Lis? Wajah lo kayak kaget gitu tadi. Ada yang salah?”

Lisa cemberut dengan matanya yang berkeliaran ke sekeliling taman yang ramai. Orang yang mereka tunggu juga masih belum datang dan dia harus segera mengganti jadwalnya untuk membeli bahan makanan karena di kulkas jarang sekali ada stok bahan. Soalnya, Lisa dan rombongannya lebih senang membeli makanan di luar jika mereka berkumpul di rumah, atau ada juga kak Sinar yang terus mengisi stok bahan makanan hanya untuk satu atau dua hari saja. Biar segar, katanya.

“Salah banget sih menurut gue” Lisa menoleh ke arah Alpino yang memegang ponselnya di tangan, wajahnya masih terlihat sangat ingin tahu. Biasanya si Alpino ini sudah masuk ke dalam dunia game-nya ketika sedang menunggu anak-anak lain.

“Kenapa?”

“Itu, si kak Sinar tiba-tiba ngirim pesan ke gue bilang kalau dia bakalan datang tiga jam lagi. ‘Kan biasanya dia nggak pernah ngabarin ke gue kalau pulang. Huh, mana gue harus belanja lagi nih, ah malesin” Lisa mengetuk wajahnya di atas meja, kemudian kembali mengeluh. “Ini si Hala sama Heksa kemana, sih? Cuma beli es krim aja lama banget! Lo juga sih, Al, ngapain nggak sekalian ngebeliin es aja kalau emang tuh dua makhluk lamanya minta ampun begini”

Lisa merengek, kebiasaan kalau sedang badmood. Alpino menepuk kepala Lisa dengan malas, sekarang layar ponselnya sudah menunjukkan bahwa dia menunggu waktu loading untuk masuk ke dalam permainan. “Ya mana gue tau. ‘Kan gue tadi sekalian ke toilet, elah”

“Ya kenapa lo nggak tau? Harus tau pokonya!” Lisa menatap Alpino kesal, sedangkan yang ditatap memberi decakan geram sebelum menarik helai rambut Lisa dengan gemas. “Tuh, tuh, tuh! Kalau udah kesal ke orang malah nyalahinnya gue. Udah deh, lo tenang aja, mungkin kak Sinar cuma lagi kangen sama lo, ‘kan. Makanya dia minta lo masakin buat dia. Emang lo nggak bisa mikir positif apa sama kakak lo?”

Lisa memutar bola matanya malas sebelum mengerjap dengan sinis. Kemudian perempuan itu malah tersenyum lebar di depan wajah Alpino ternag-terangan yang membuat Alpino bergidik. “Nggak” jawabnya kemudian.

“Yaelah” Alpino mendorong wajah Lisa main-main. “Punya temen gini semua, sedih amat hidup gue. Pantes gue nggak pinter-pinter. Satu spesiesnya begini semua”

Lisa tertawa keras, menepuk punggung Alpino dengan gemas. “Dah ah, gue harus belanja nih. Gue butuh si Hala buat bantuin gue juga. Kak Sinar sendiri juga nyuruh ngajakin dia buat makan bareng. Gue jadi sangsi dia kangen gue apa kangen si Hala”

“Abang lo bucin banget, ya? Sayang si doi nggak peka. Gue turut berduka cita” Alpino tertawa, disusul dengan Lisa yang memang suka sukurin kakaknya sendiri itu.

“Sama, Al, Gue juga kasian sama dia. Kadang bosen juga gue dengerin dia nanyain si Hala mulu. Eh, itu orangnya muncul. Panjang umur dah”

Dari jauh, Hala dan Heksa datang dengan es krim di masing-masing tangan. Dua yang paling tinggi dan banyak dengan varian rasa berbeda dan wafer yang melimpah berada di tangan Heksa, dimana orang itu kini membawanya dengan ogah-ogahan dan pastinya es krim itu sendiri adalah pesanan Alpino dan Lisa. Sedangkan dua lainnya di tangan Hala, rasa vanilla greentea dan cokelat biasa miliknya dan Heksa.

“Hai, Lis. Lama banget ya?”

Hala berlari kecil ke arah Lisa dan Alpino, dua insan yang sudah menunggu kedatangan dua makhluk itu dalam waktu yang relatif lama. Perempuan dengan rambut pendek sebahu itu duduk dengan santai di sebelah Lisa dan menyuruh Heksa untuk cepat memberikan pesanan pada dua orang yang sudah menunggu. Lisa mengambil dengan matanya yang melotot pada Hala, berpura-pura kesal meskipun dia sudah lebih dulu kesal dengan sang kakak dan pemberitahuan yang tiba-tiba.

“Lama banget” Suaranya terdengar jengkel, tetapi ada selipan main-main di dalam nadanya. “Sampai gue jadi nggak kepengen es krim lagi, nih” Canda Lisa yang malah disahut semangat oleh Heksa setelah mengumpat sedikit pada Alpino yang langsung merampas es krim pesanannya.

”Oh, lo nggak mau, nih? Syukur deh, buat gue aja ya?” Heksa nyengir, yang kemudian terhapus seketika ketika Lisa ikut-ikutan merampas es krim dari tangan Heksa sebelum pria itu bisa menjilat bahkan sedikit pun.

“Santai dong, ah. Gue juga nggak doyan yang banyak banyak gitu. Hala, siniin punya gue”

Dia meminta es krim pada Hala yang langsung menyerahkannya seketika. Heksa duduk dengan nyaman di sebelah Alpino dan menjilat es krim nya dengan damai sebelum dia mulai mengoceh tentang ini itu pada Alpino yang sudah larut dalam permainannya.

Dua-duanya ini anak game, jadi langsung cocok kalau sudah menyangkut hal-hal berbau game. Lagian juga Heksa ingin kerja di perusahaan game. Kalau tidak sampai di Sony Interactive Etertainment sih, katanya dia mau di Nintendo. Kalau bisa, langsung di Jepang nya sekalian. Jadi dia semangat sekali kalau sudah bermain game bersama Alpino. Terkadang kalau mereka sudah berada lebih jauh di dalam zona-nya mereka, yang lainnya tidak akan digubris sama sekali.

“Eh, lo beli kola, Lis?”

Lisa yang sibuk dengan es krimnya menoleh pada Hala yang bertanya. “Oh, itu tadi si Alpino sekalian beli, sih. Gue minum aja karena gue haus. Kalau lo mau boleh ambil, deh” yang kemudian di tolak Hala dengan gelengan sebeum sibuk kembali pada ponsel dan es krimnya sendiri.

Hari ini sebenarnya mereka ber-enam, tetapi karena Jihan dan Fajri sedang sibuk jalan-jalan bersama hanya berdua saja entah karena ada event apa, jadi disini hanya ada mereka ber-empat saja. Biasanya mereka menghabiskan weekend sampai sore di tempat karaoke, lalu lanjut ke rumah salah satu dari mereka. Seringnya mereka berada di basecamp, yaitu rumah Lisa karena ada wifi. Tapi tidak jarang juga di tempat Hala karena tempatnya agak lebih dekat dari taman.

“Hala, kayaknya habis ini kita nggak bisa nge-room, deh”

Lisa berbicara di tengah acara makannya ketika dia ingat kalau dia harus belanja buat masak makan malam. “Loh, kenapa? Nggak seru dong kalau nggak ada lo, Lis. Kapan seneng-senengnya? Besok udah sibuk lagi kita tuh” Hala cemberut.

“Bukan gue doang yang nggak nge-room. Lo juga, tau” Lisa menggigit oreo cokelat kesukaannya sebeum meraih wafer yang lain. Hala menatap takjub pada sahabat se-remajaannya yang sudah berhasil mengabiskan setengah es krim raksasa dalam waktu singkat sebelum mengeluh bingung.

“Loh kok gue juga?”

“Kak Sinar tadi ngechat gue katanya bakalan pulang ntar jam tujuh. Makannya lo harus belanja bareng gue. Dia juga ngajakin lo buat makan malam bareng”

Lisa mengalihkan kesibukannya dari menikmati es krim. Dua orang yang berisik dengan permainan di ponsel mereka sudah tenggelam jauh di dunianya, bahkan sampai heboh berkali-kali ketika mereka berhasil dalam taktik penyerangan yang sudah di atur sedemikian rupa dengan bangga. Sudah paham dengan kelakukan dua lelaki dewasa dengan mental anak kecil itu, Lisa kembali mengarahkan atensinya pada Hala yang bingung.

“Ah, lo kayak nggak tau kakak gue aja. Dateng aja lagi sih, La. Bantuin gue masak juga sekalian biar kak Sinar seneng lo ada kontribusi dalam makanan yang mau masuk ke perutnya”

Lisa menjilat sedikit sisa lelehan es di jemarinya sebelum menarik tisu yang selalu senantiasa berada di dalam kantung celananya sebelum melanjutkan ucapannya ketika Hala ingin memotong dengan geli.

“Lagian juga kalau lo nggak dateng ntar kak Sinar galau, terus ngerusuhin gue. Males gue, La”

Perempuan itu memberikan mata anak anjing terbaiknya yang berbinar-binar ke arah Hala yang tertawa geli. “Dih” dia melambai sebelum mengikuti mengambil sendok es krim terakhirnya. “Ngapain juga kak Sinar sampe sebegitunya kalau gue nggak dateng”

Lisa menatap Hala lama sambil menggeleng paham, menahan dirinya untuk tidak menggeplak kepala Hala dengan gemas.

Duh, anak ini!

“Yaudah, yuk. Lo udah selesai, kan?”

Hala mengangguk sebelum melompat dari acara duduknya yang nyaman dan mengikuti Lisa untuk pamit dari dua orang lainnya yang hanya melambai tanpa menghiraukan mereka.

...…....

Lisa dan Hala sudah selesai memasak makan malam. Ada rusuh yang menghambat disela-sela kegiatan mereka karena bingung dan berdebat akan memasak apa. Tetapi akhirnya mereka sepakat membuat makanan rumahan biasa dan satu kesukaan Kakak nya yang Lisa tau, yaitu tahu bacem dan pergedel daging yang biasa dibuat sendiri oleh Sinar ketika yang lebih dewasa sedang ingin.

Jadilah mereka selesai setengah jam sebelum kedatangan Sinar. Yang lebih tua sudah mengirim pesan pada Lisa kalau dia akan sampai di jam yang tepat sesuai dengan yang sudah dijanjikan dan diinfokan. Menunggu, Lisa mengajak Hala untuk menonton sebentar di ruang tamu yang disetujui Hala sehingga mereka berakhir tenggelam dalam film Disney yang sedang digemari akhir-akhir ini.

Ada dering bel ketika mereka sampai di sepertiga film. Lisa mengernyit bingung. Biasanya kak Sinar tidak sama sekali menekan bel jika dia datang. Lagi pula itu adalah rumah mereka juga, kenapa dia harus repot-repot untuk membunyikan bel pintu? Atau saja Sinar tidak sengaja membentur sesuatu di tengah jalan dan lupa ingatan tentang pin pintu mereka sendiri?

“Itu kak Sinar?” Hala bertanya. Duduk diam di sofa ketika Lisa sudah beranjak berdiri. “Kok nggak langsung masuk, sih?” Lanjutnya. Lisa berdecak sebelum mendengus malas.

“Nggak tau, tuh. Kenapa sih ya, punya kakak suka banget nyusahin adeknya” Lisa cemberut lagi, sedangkan Hala terikik geli sebelum mencuri lirik ke arah layar, mengejar tayangan yang terhambat. “Udah, ah. Sana buka pintunya. Mungkin dia lagi pengen disambut sama lo, Lis. Gue siapin dulu makanannya di meja, ya. Biar enak makannya masih panas”

Lisa mengangguk sebelum berjalan menuju pintu sambil mengomel. Perempuan itu menatap ke layar intercome. Di sana memang ada kakaknya yang menyusahkan sedang berbicara dengan seseorang. Kerutan di dahi Lisa menebal, sebelum menghela napas dalam untuk menahan diri. Kakaknya mengundang tamu tanpa pemberitahuan, membuat Lisa merasa kesal. Tetapi dengan tenang dan wajah yang tertekuk, dia memilih untuk membuka pintu dan tidak membiarkan kakaknya berlama-lama berdiri di luar.

“Kak Sinar”

Suara Lisa malas-malasan. Sinar yang tersentak segera berbalik dan tersenyum dengan begitu lebar dan cerah pada sang adik. “Halo adeknya kak Sinar yang cantik” Sinar langsung memberikan pelukan ringan untuk Lisa. Menepuk punggung Lisa dengan gemas, Lisa terkejut sebelum menggeliat untuk mendorong kakaknya yang semakin aneh itu menjauh.

“Apaan sih, kak? Udah, lepasin gue!” Lisa merengek. Disela menggeliat, dia akhirnya terdiam ketika melihat satu orang lain yang berdiri disana. Tamu kakaknya yang tidak bisa dia lihat dengan jelas melalui layar intercome tadi.

Pria itu terlihat sangat pendiam. Tampan, sih. Manis juga. Tetapi dia agak terkejut dengan wajahnya yang terlihat lucu. Lisa mengerjap sebelum wajahnya memerah dan mendapatkan kekuatan super secara tiba-tiba untuk mendorong Sinar hingga melepaskan pelukannya dari dirinya.

“Kak Sinar!” Lisa memekik, agak menahan dirinya karena disini mereka ada tamu dan Lisa merasa sedang diperhatikan sejak tadi. “Apa sih, dek. Masa kakak sendiri nggak boleh meluk adeknya? ‘kan gue kangen sama lo”

Sinar cemberut, menunjukkan sisi kekanakkannya yang membuat Lisa gemas ingin memukul wajah sang kakak yang sayangnya tampan nan rupawan itu.

“Berisik kak. Lagian lo bawa tamu nggak bilang-bilang!” Lisa membentak dengan melotot kepada sang kakak. Seolah-olah dikejutkan dengan realitas, Sinar menarik tamu yang disebutkan oleh Lisa untuk sedikit maju.

“Oh, Dek!”

Sinar terlihat sangat bahagia dan bangga secara bersamaan dengan gelagat yang agak aneh.

“Dek, coba tebak ini siapa?”

Sinar mengangkat kedua alisnya menggoda, membuat Lisa bersumpah ingin menendang kakaknya yang menjengkelkan itu jauh-jauh ke planet Mars saja sekalian.

“Teman kakak, ‘kan?” Dia melipat tangan di depan dada dengan malas. Ini kakaknya kalau ingin main-main dengan Lisa salah waktu sekali sebenarnya. Karena dia sudah sangat kesal dengan keanehan Sinar meski baru sebentar bertemu. Ditambah orang baru itu yang manis dengan pakaian formal yang membalut tubuhnya dengan sempurna menatapnya dengan tatapan yang Lisa tidak bisa deskripsikan sama sekali.

Tetapi entah bagaimana caranya, terlihat sangat familiar di matanya.

Tiba-tiba Lisa malu sendiri dengan outfit nya yang tidak terlihat menarik. Sebenarnya jauh sekali dari apa yang dikenakan oleh tamu milik kakaknya.

“Nah! Salah dek” Sinar menggeleng sebelum bergeser sedikit ke arah Lisa. “Yah, sebenarnya nggak salah-salah banget, tapi tetap salah!” Sinar tertawa jenaka, seolah-olah baru saja melemparkan lelucon yang sangat lucu disana.

Lalu, tanpa ada angin atau hujan, dengan tiba-tiba layaknya petir di siang hari, sang kakak bersrur dengan ringan di depan wajahnya.

“Kenalin dek, ini calon suami lo!”

Kemudian, jangan salahkan Lisa jika wajah Sinar yang tampan itu sekarang menabrak pintu rumah dengan tidak etis dan tatapan kaget setengah mati Hala di depannya menandakan bahwa dia berhasil memukul wajah kakaknya karena lelucon bodoh mengerikan yang di semburkan padanya beberapa waktu yang lalu.

“NALISA!!!”

...…....

...🍁...

...Chapter 01 : Calon Suami Dan Perjalan ****Pertama-End****...

Bukan Lelucon

Jadi sekarang, Lisa sedang memandangi dengan horor kakaknya yang sedang diobati oleh Hala. Jelas saja, Sinar mimisan setelah mendapatkan pukulan telak di wajah akibat pintu keras yang menyapanya. Untung saja hidungnya tidak patah atau retak, kalau tidak, dia tidak tahu apa yang akan dia perbuat dengan adiknya. Membuatnya mengganti rugi tulang yang patah atau bahkan mengganti rugi ketampanan wajah Sinar yang hilang karena ulah Lisa yang keterlaluan.

Sinar menatap sengit Lisa, cemberut besar di bibirnya, sedangkan Lisa tahu bahwa orang itu agak berbunga-bunga karena Hala sedang ada disana, mengobatinya dan memberikannya perhatian yang jarang sekai diberi oleh si doi.

Lisa mencibir, menggertak sang kakak yang melotot padanya sebelum akhirnya perempuan itu memilih untuk menatap dengan aneh sosok orang baru yang diam dan mengamati ruangan. Orang itu tidak berbicara sepatah kata pun sejak awal dan Lisa hampir tidak ingin untuk berbicara dengan orang asing yang diperkenalkan secara tiba-tiba sebagai calon suaminya.

Itu sangat gila. Kakaknya memang terkadang terlalu berlebihan dan terlalu bersemangat untuk mencarikan calon pendamping untuk Lisa setelah memergoki sang adik yang bergelut dengan Alpino di kamar waktu itu.

Meskipun bergelut merupakan definisi jauh dari kotor, tetapi tetap saja dalam pandangan Sinar saat itu, Alpino sedang berusaha mengapa-apakan adik perempuan berharganya. Lisa menyangkal dengan penjelasan bahwa waktu itu dia dan Alpino sedang berusaha mengusir cicak yang berada di bawah selimut dimana Alpino ketakutan mengira bahwa itu adalah salah satu kecoa yang sangat dia benci, tetapi Sinar tetap saja tidak peduli dan dia menyingkirkan Alpino dan menganggapnya sebagai orang yang harus diwaspadai dan dijauhkan dari adik perempuannya.

Lisa memutar bola matanya malas sebelum mendorong dirinya untuk menyiapkan nasi dari rice cooker. Abai pada tatapan menusuk dari Sinar yang mencoba untuk mendapatkan perhatian penuhnya sementara tangannya modus mencengkeram pergelangan tangan Hala agar tetap bersentuhan dengan kulitnya. Lisa hampir ingin menendang kakak tercintanya itu dan sahabatnya keluar dari rumahnya meskipun Hala bahkan tidak tahu apa yang ada dipikiran Sinar.

Hala menatap Lisa dengan aneh sebelum mendengus dan menarik tangannya dengan lembut dari cengkeraman Sinar, mencoba untuk tidak berada pada posisi yang lumayan canggung. Perempuan itu mengernyit ketika Sinar tetap memegangnya degan erat. Dia menggeleng sambil menarik bibirnya menjadi satu senyuman tipis yang aneh sebelum akhirnya menyerah dan memilih duduk di sebelah Sinar. Melewatkan senyuman selebar lima jari di wajah yang lebih tua yang bisa dideskripsikan sedang berada di musim semi dengan bunga-bungaan di sekitarnya. Lisa menahan diri untuk tidak melotot pada ekspresi bodoh Sinar di sana.

“Lis, ini kak Sinar ngapain bisa sampai gini? Lo tuh, ya. Bukannya seneng kak Sinar balik malah mukul pake pintu. Kasihan, dong”

Hala mulai mengomel tanpa tahu konteks apa yang membuat Lisa memilih untuk hanya mengenyahkan kakaknya dari muka bumi ini. Lisa memiliki ekspresi tidak tertarik di wajahnya ketika dia menaruh mangkuk nasi besar di tengah meja makan. Lisa melirik sedikit pada pria yang menatapnya masih dengan tatappan yang aneh. Yang membuat Lisa merasa tidak terlalu baik dengan apa yang dipikirkan oleh orang baru itu dengan kejadian seperti ini.

Lisa mulai jengah juga sebenarnya karena tamu kakaknya ini sama sekali tidak terlihat ramah padanya. Calon suami? Cih. Itu lelucon konyol yang dilemparkan kakaknya pada Lisa. Perempuan itu kemudian melirik pada Sinar yang menatapnya dengan tatapan tak berdosa, kekanakkan sekali dan Lisa ingin menarik hidung yang luka itu untuk menyadarkan sang kakak bahwa dia terlihat seperti badut yang bodoh dan sedang kasmaran.

Memangnya kak Sinar itu umurnya berapa, sih? Ini seperti Lisa yang lebih tua saja dari Sinar disini dan dia mengumpat dalam hati untuk itu. Kakaknya itu seperti memiliki kepribadian ganda di depan orang lain saja, meskipun Lisa tahu kalau Sinar benar-benar menyayanginya.

“Hala, Lo kan tau gue nggak bakalan gituin kak Sinar kalau dia nggak macem-macem sama gue. Tuh coba tanyain sama orangnya sendiri”

Lisa mencibir, Dia mencoba mengabaikan dan tidak mengindahkan sama sekali orang asing disana. Soalnya, dari tadi pria itu masih bungkam seperti patung saja. Jadi, dengan berbaik hati dan tidak ingin mengganggu, dia ikut diam tanpa mencoba untuk menggubris. Hala terlihat agak berpikir sebelum melirik Sinar yang menggeleng dengan cemberut di wajahnya, lagi-lagi membuat wajah seperti bocah yang Hala balas dengan cibiran.

“Kak Sinar ngapain Lisa? Lagian juga kak Sinar bawa tamu nggak bilang-bilang kita”

Sinar mendengus sebelum menarik tangannya dari Hala, memilih untuk lebih peduli pada piring makanannya dan mengambil dua buah pergedel dan satu tahu bacem sebelum menyendok dua centong nasi dalam ukuran besar. Sementara tisu di salah satu lubang hidungnya masih melekat erat menahan aliran darah yang mungkin akan menyerang keluar lagi sewaktu-waktu.

“Kakak nggak ngapa-ngapain juga sebenernya. Cuma bilang kalau kakak bawa calon suaminya dia aja, dek”

Mata Hala yang sudah bulat kini membelalak lebih lebar lagi dan Lisa yang hampir membalikkan piring di meja. Horor terlukis di wajah Hala sebelum menatap pada tamu yang tidak diharapkan di dalam rumah yang kemudian Lisa dan Hala hampir tercekik kala pria itu mengeluarkan senyuman ringan yang manis dan bersahaja.

“Calon suami?!”

Hala histeris. Lisa menatap Hala dengan wajah datarnya, sedangkan ketika dia melirik kakaknnya, yang hadir di wajah pria itu adalah senyum lebar yang luar biasa. Kesenangan yang tampil nyata dan ceikikan lucu penuh arti yang Lisa tahu itu berbahaya, hadir sudah. Mengguncang seluruh waktunya yang Lisa yakin pasti bahwa hal ini akan mengacaukan masa depannya.

“Selamat malam”

Pria itu membuka suara, menyapa seluruh orang yang berada di meja makan yang sama. Lisa tertegun. Ini adalah kali pertama dia mendengar suara pria yang bahkan tidak dia kenal itu. Akhirnya, orang yang sejak tadi membuatnya gelisah dan penasaran cukup sopan untuk segera masuk dan melakukan percakapan nyata dari pada hanya menatap dan menatap tanpa berusaha untuk bergabung. Seolah-olah pria itu mempertahankan citra dinginnya di depan semua orang yang sangat tidak penting sama sekali.

Untuk sesaat, Lisa bisa menemukan kelegaan dalam dirinya dan berharap orang itu akan mengatakan bahwa Sinar sedang mengerjainya seperti biasa.

“Maaf kalau kehadiran saya mengganggu keharmonisan makan malam kelaurga ini”

Lisa melotot pada pria itu. Telinganya berdengung seolah-olah tidak percaya bahwa dia mendengar sapaan yang sangat sopan santun dan formal dalam bertutur kata bahkan setelah dia mendengar Lisa mengumpat dan Hala yang berteriak, hingga kegilaan Sinar yang jelas tertera nyata adanya.

Seolah tidak memperhatikan suasana aneh disekitarnya, pria itu melanjutkan. Jarinya sudah turun dari kegiatannya melonggarkan dasi yang sempat menggantung erat di lehernya, terlihat seperti sangat mencekik.

“Nama saya Noren. Saya teman dari Sinar Adibima Cakrawijaya yang sudang dengan baik hati mengundang saya makan malam di tempat yang hangat ini”.

Sebentar.

Rasanya kepala Lisa sakit sekali. Dia menatap tajam pada Sinar yang terkikik geli di tempatnya, hampir tersedak dengan kuah miso yang masuk ke dalam mulutnya yang gemetar. Bayangkan saja, kakaknya yang sangat cengengesan seperti ini membawa temannya yang sangat formal dan kaku ke ruang makan mereka setelah mendapati drama yang sangat memalukan dihadirkan tepat di depan wajahnya! Bagaimana mungkin bisa rasa malu menghantamnya hingga sedalam ini karena perbedaan yang sangat luar biasa antara Sinar dan Noren saat ini.

Lisa benar-benar malu.

Merasa aneh, Lisa melirik Hala untuk mengkonfirmasi bahwa tdak hanya dirinya saja yang merasa campur aduk di dalam dan tidak pada tempatnya, yang ternyata temannya sendiri juga memiliki tatapan terkejut yang diarahkan pada Noren dengan kedua matanya yang bulat, mangkuk miso masih ada di tangannya dengan sendok setengah terisi yang hampir melayang ke dalam mulutnya. Posisinya agak aneh, tetapi masih bisa dimaafkan.

Hala membuat suara seperti gumaman untul membersikan ternggorokkannya yang terasa tersumbat, menyenggol tubuh Sinar yang hanya menyendok kuah misonya dengan gemar. Bertingkah seolah tidak ada yang aneh dengan situasi itu, meskipun ada geli dan puas dalam seringainya yang konyol.

“Kak Sinar!”

Lisa menendang kaki Sinar yang syukurnya bisa dia gapai untuk menyakiti kakaknya. Menyadari bahwa kakaknya harus menangani situasi yang sangat aneh ini. Sinar tersentak sebelum mendengus dan meletakkan mengkuknya kembali. Tubuhnya tegap dan luas sebelum kepalanya miring hampir mengenai bahu untuk menggoda temannya.

“Oi, Noren”

Ada kekehan lucu dari Sinar pada pria yang sepertinya sudah paham dengan situasi yang terjadi. Lisa bisa melihat bagaimana wajah Noren berangsur-angsur memerah karena mungkin malu atas caranya berbicara karena dia sedang berada di antara makan malam keluarga yang santai.

“Udah deh, jangan grogi di depan adek gue” Sinar menaikkan kedua alisnya menggoda, membuat Noren melotot padanya dari bawah poni yang jatuh mengenai sudut-sudut mata ketika Lisa memperhatikan dengan baik. “Adek gue nggak bakalan nerkam lo, kok. Aman, dia jinak soalnya”

Ada tawa terbahak-bahak yang besar dari Sinar sebelum pria dewasa itu menangkis tangan Lisa yang hampir mencoba melakukan hal anarkis padanya. Lisa merintih dan memaki sang kakak yang benar-benar membuatnya kesal sampai ke ubun-ubun.

Tetapi Lisa juga sempat melihat bagaimana semu merah muda yang hadir di wajah Noren berangsur-angsur menjadi lebih gelap seiring dengan tarikan senyuman yang manis di wajahnya. Pria itu mungkin jika di lihat dengan lebih baik lagi lucu dan tampan, rupawan juga. Lisa agak terpukau ketika dia melihat wajah polos dengan seringaian manis di wajah Noren.

Pria itu terlihat agak sopan, mungkin jauh lebih polos dari pada kakaknya dan entah kenapa Lisa merasa dia harus menjaga sikap di depan orang ini, Jadilah dia menarik tangannya sendiri dan duduk dengan layak di kursinya.

“Yah, sebenernya itu formal banget, sih”

Lisa membersihkan tenggorokkannya dengan dehaman yang sedikit lebih netral setelah melayangkan tangan untuk mencekik kakaknya terang-terangan di meja makan. Perempuan itu segera sadar diri, menarik mangkuknya lebih dekat padanya dan memberikan peringatan keras pada Sinar dengan pelototan mata yang kejam, yang di balas dengan juluran lidah konyol dari Sinar.

“Ini si kakak kapan pernah warasnya, sih?” Lisa mencoba untuk menahan diri dan bertanya dalam hati. “Punya kakak kenapa nggak ada bagus-bagusnya sama sekali, astaga” rengeknya lagi.

Lisa menarik napas dalam sebelum kembali fokus pada tamu kakak nya malam ini. “Nggak usah terlalu formal ya, kak” Lisa baru saja akan melanjutkan ketika dia sadar diri. “Eh, ini gue bisa manggil lo kakak, ‘kan? Kak Noren? Lo kan temennya kak Sinar juga”

Lisa mengambil lauk buatannya dan meletakkannya di atas piringnya sendiri dan makan dengan layak, Berusaha untuk mengabaikan situasi aneh tadi dan menganggapnya tidak pernah terjadi sama sekali. Dia hampir melewatkan batuk kecil dari Noren dan ketika perempuan itu mengangkat wajahnya untuk menatap sang tamu, dia dihadakan dengan wajah yang pemalu dan tatapan kagum yang terarah padanya.

Lisa tersedak di jalur makanan yang di telannya.

“Kenapa, hah?” Lisa merona juga. Ditatap dengan intens dan seaneh itu dari orang baru membuatnya agak gugup. “Gue bakalan lupain apa yang dibilang kak Sinar. Dia emang suka jahil sama gue. Sekarang lo makan aja di sini dengan tenang, kak. Anggap aja rumah sendiri. Ini gue sama Hala yang masak Jadi gue harap kakak suka sama makanannya”

Seolah sudah nyaman, Lisa menawarkan senyum hangatnya pada pria yang lebih tua. Mendorong mangkuk miso dekat kepada Noren yang terdiam sebelum meletakkan sepotong pergedel daging ke atas nasi Sinar yang menatapnya dengan tatapan haru.

Noren berkedip, tatapannya masih terarah pada perempuan berkuncir kuda itu. Matanya berlama-lama di wajah Lisa sebelum kembali menarik makanannya dengan diam. Lisa mengernyit, tetapi mengangkat bahunya dengan acuh dan mencoba menikmati makanannya sendiri.

“Hala, lo juga cepetan makan sebelum pulang. Besok masuk pagi, lo jangan susah dibangunin”

Lisa mencoba untuk mengalihkan perhatian dari canggung yang aneh dan berlama-lama di dalam ruangan. Mengarahkan fokus seenuhnya pada makanan dan memojokkan sahabatnya sendiri untuk pelarian. Hala mencibir pada Lisa sebelum mengunyah makanannya juga. “Gue nggak susah dibangunin, kok. Kemaren aja yang emang gue lagi marathon drama, hehe”

Hala mengerucutkan hidungnya dengan lucu, membuat Sinar yang di sebelahnya merasa sangat gemas. Tetapi, seolah tidak merasakan hal yang salah dari tingkahnya, Hala kembali mengunyah makanannya sebelum melihat dengan bingung ketika Sinar meletakkan beberapa sayur dan potongan daging di sendoknya.

“Makan yang banyak ya, Hala”

Ada senyum manis yang ditawarkan pria dari keluarga Cakrawijaya itu. Hala meringis ketika melihat makanan hijau dan menatap ke arah bungsu Cakrawijaya yang terkikik geli untuk meminta bantuan.

“Kak, Hala nggak suka sayur, lho. Udah berapa lama sih kenal sama Hala?”

Seolah-olah tersambar sesuatu, Sinar meringis. Pria dewasa itu menatap sahabat adiknya dengan tatapan sedih, persis dengan anak anjing yang baru saja di tendang dari rumahnya.

“Maaf ya, dek. Kakak lupa banget” Dia meringis, sebelum kembali melanjutkan dengan sedih. “Ya sudah, sini taruh di piring kakak lagi aja, lo makanin dagingnya aja, ya?”

Hala mendesah sebelum dengan tiba-tiba melayangkan sendok di depan wajah Sinar. Ada kepolosan lucu di sana yang membuat Sinar bertanya-tanya dengan wajah yang memanas.

“Ini deh, Hala suapin aja buat kakak. Ayo buka mulutnya nih, Aaa~”

Lisa tersedak, tidak mengharapkan drama roman picisan yang hadir di kedua matanya, sedangkan Sinar sepertinya terlihat jauh lebih bahagia dengan mata lebar dan bereri-seri seraya membuka mulutnya dengan suka rela dan tampang yang bodoh. Lisa hampir merasakan tangannya refleks melempar piringnya sendiri ke arah kakaknya yang selalu bisa modus di manapun, meski sedihnya Hala tidak akan mengambil itu untuk maksud lain selain kebaikan.

Merasa hal ini tidak terlalu penting karena, sumpah, dia hampir muak dengan segala keromantisan yang selalu di tawarkan oleh kakaknya yang modus dan Hala yang tidak pekaan di depan matanya setiap kali kakaknya akan pulang atau menginjakkan kakinya di rumah ini. Hal ini hampir sudah menjadi rutinitas yang wajar yang meskipun begitu Lisa tetap hanya ingin melemparkan sesuatu ketika melihat romansa konyol kakaknya dan sahabatnya sendiri. Agaknya mual, tetapi dia menikmati bagaimana kekonyolan kakaknya semakin merajalela.

Jadi, dengan mengabaikan hal-hal yang dapat membuat nafsu makannya menghilang, dia lebih memilih untuk menyendok nasi dan sayurnya sendiri. Menikmati hasil jerih payahnya hari ini dan sedikit sebal karena dia harus menghentikan keseruan acara kumpul bersama dengan anak-anak. Tetapi, baru saja dia akan mencoba untuk menikmati makanannya, dia merasakan tatapan yang sangat intens pada dirinya, seolah-olah berusaha membakar sampai ke inti dirinya.

Lisa mengernyit, tidak nyaman. Hal ini membuatnya mengangkat kepala dan menoleh ke arah Noren lagi.

Benar saja, pria itu menatap Lisa dengan tatapan yang begitu tajam. Lisa bisa merasakan menggigil menjalar di tubuhnya hanya dari tatapan aneh pria itu padanya. Hal ini menjadi lebih membuatnya merinding kembali dengan bertingkah malu dan memergoki Noren yang menatapnya dengan aneh seperti itu.

“itu orang kenapa, sih? Natap gue gitu banget? Emang gue salah kostum apa gimana ya? Serem banget ih”

Lisa membatin. Dia merinding sebelum menggeleng dan menantang balik tatapan Noren dengan tidak goyah.

“Lo kenapa, kak?”

Panggilan tiba-tiba itu menarik atensi yang lain. Lisa membanggakan dirinya karena tidak pernah menjadi sosok yang pengecut untuk menekankan bahwa dia juga bisa membela dirinya sendiri. “Ada yang salah sama gue?” lagi, dia bertanya dengan begitu percaya diri hingga membuat Noren sedikit terkejut, tetapi dia terlihat lebih puas dari sebelumnya.

“Oh, nggak ada kok" Ada senyuman manis yang hadir diwajah Noren. Hal itu agak membuat suasana tegang mencair dan menjadikannya nyaman. Noren mencoba untuk merilekskan dirinya, menyingkirkan peralatan makan yang masih banyak dan hampir tidak tersentuh itu ke sisi lain sebelum menopang dirinya dengan punggung tangan yang di letakkan di atas dagu, senyum terpatri secara sempurna ketika dia melanjutkan ucapannya.

"Cuma mengagumi calon istri aja kok, nggak banyak"

Layaknya ada petir menyambar di satu tempat, Lisa menggebrak dengan keras meja makan dan menatap Noren dengan tatapan paling gila yang pernah ada. Jantungnya berdebar dengan keras dengan aliran darah yang memacu hingga telinganya berdengung mendengar kekuatan keduanya dari dalam dirinya.

"GAUSAH MAIN-MAIN SAMA GUE YA, KAK!"

Lisa tidak bisa dibeginikan. Dia akan sangat marah jika dijahilin berlebihan seperti ini. Dia sudah sangat lelah dan dipermainkan sampai seperti ini sangat membuat dia kesal. Noren tetap orang asing, seharusnya dia tidak ikut-ikutan kejahilannya Sinar sampai sejauh ini.

"Tenang Lisa. Gue ngak lagi main-main, kok"

Noren tetap terlihat tenang. dia menegakkan punggungnya dan duduk dengan nyaman disana seolah tidak ada apapun yang terjadi, atau tidak ada hal yang begitu aneh untuk ditangkap atau bahkan tidak ada hal yang salah sama sekali disini. Lisa menjambak rambutnya, dia tidak suka dengan hal-hal aneh dan mengejutkan. dia akan memarahi Sinar habis-habisan setelah ini. Dia bersumpah.

"Apanya sih, Kak? Gue nggak suka kalau temennya kak Sinar juga ikut-ikutan jadi aneh begini. maaf kalau gue ngebentak kakak, Gue cuma lagi capek, kak. Gue nggak pengen di jahilin begini. Tenang aja, kalau kak Sinar yang sering nyuruh-nyuruh kakak buat ikutin kejahilannya dia, Gue yang bakal turun tangan buat ngajarin kak Sinar"

Lisa melempar tatapan kematian pada Sinar yang hanya mengangkat kedua bahu dan tenang di kursinya. Dia menghela napas pelan sebelum berdiri dan menarik kursi untuk duduk di sebelah Lisa. Melingkari tangannya di lengan Lisa dan mengelus rambut adiknya dengan sayang.

"Adeknya kakak yang paling cantik, dengerin kakak, ya” Sinar bersuara dengan lembut dan Lisa menatap Sinar dengan aneh. Kalau Sinar sudah seperti ini itu hanya berarti satu hal.

"Kak Sinar"

Kakaknya sangat serius tentang hal inii.

Lisa berhati-hati. Dia tetap tidak ingin membenarkan asumsi yang sudah didapatkannya. "Kak bilang kalau kakak bohong ya, kak. Please bilang kakak memang lagi jahilin Gue"

Lisa berharap, meraih tangan Sinar yang mengusap rambutnya dengan sayang. Namun Sinar hanya memberikannya senyum lembut dan berbalik untuk menggenggam tangan Lisa."Maafin kakak ya, dek" Dia bergumam dengan manis. tatapannya penuh rasa sayang pada adik semata wayangnya. "Kakak tau lo lagi nggak dalam suasana hati yang baik buat pembahasan ini. Tapi dek, Gue mau ngejelasin ini. cepat atau lambat lo emang harus ketemu sama Noren buat ngebenerin masa depan lo dan nggak nyembunyiin hal yang pasti lagi dari lo"

Lisa menatap dengan tidak percaya sang kakak. Dia menarik tangannya dengan kasar dari Sinar, lalu menatap Noren dengan tatapan besar tak percaya. Disana, pria itu hanya memberikan senyum manisnya yang Lisa tau ada banyak hal dibelakang itu semua. Ada sesuatu dan Lisa yakin bahwa tidak ada yang lurus tentang ini semua. Tidak ada lagi kepolosan dan ketulusan bahkan keramah-tamahan yang ditonjolkanya di awal pertemuan tadi. Semuanya hancur tak bersisa saat ini.

"Kak.. Gue nggak mau"

Lisa tegas, tetapi Sinar menggeleng menandakan bahwa dia tidak bisa menolak hal ini."Dengerin gue dulu ya, dek" Sinar mendudukkan dirinya dengan benar. Hala disana mengamati dengan tidak percaya tetapi lebih memilih diam seolah-olah dia sedang tidak ada dalam percakapan keluarga sebenarnya.

"Lo inget nggak waktu kakak pernah bilang kalau lo bakalan ketemu sama orang yang udah ditakdirin buat jadi suami lo, dek?" Lisa berkedip, mengingat kembali waktu itu ketika Sinar bercanda tentang pasangan takdir Lisa. Perempuan itu tentu menganggap kakaknya hanya mengatakan hal-hal aneh dan tidak ambil pusing. Tapi nyatanya? dia dihadapkan dengan situasi aneh ini semua tepat di depan matanya dan di jatuhkan bagai bom di waktu yang tenang.

"Ini temen gue. Noren Agustion Giovano. Pemegang perusahaan manufaktur kendaraan terbesar ke tiga di Asia. Lo pasti tau AGIOV VOLKS Group kan, dek? Dan pasti lo tau wajahnya Noren kan?"

Lisa membelalak, sama dengan reaksi Hala yang langsung menatap Noren untuk memindai. Pria itu duduk dengan nyaman di kursinya seolah-olah dia tidak sedang dibicarakan disana. Dan benar saja, makanya Lisa familiar dengan wajah itu. Dia melihatnya dimana-mana karena Noren adalah orang terkenal yang tidak pernah berbicara banyak. Hal itu yang membuat pria itu sosok yang pendiam dan bahkan berbicara dengan formal di awal pertemuan tadi.

AGIOV VOLKS Group sendiri merupakan perusahaan bisnis yang memproduksi mobil komersil dan kendaraan besar seperti truk dan bus. Lisa mengetahui hal ini karena Papanya sendiri adalah pemilik perusahaan sparepart dan engine yang sekarang memiliki cabang di mana-mana yang menyebabkan dia jarang sekali bertemu dengan papa mamanya bahkan Sinar sekalipun. Perusahaan milik Noren akhir-akhir ini sangat tersorot, terlebih lagi setelah pergantian CEO yang dimana pemberitaan memberitakan bahwa CEO baru yang menjabat di AGIOV VOLKS Group masih sangat muda dengan paras yang begitu menawan.

CEO itu adalah Noren sendiri. Pria yang sekarang duduk dengan manis di meja makan rumahnya, dengan senyum yang menghiasi wajahnya yang jarang dia tampilkan saat Lisa tidak sengaja melihatnya di televisi dengan tidak peduli.

Kepala Lisa sakit tiba-tiba. Sinar menjilat bibirnya meskipun itu lembab disana. Dia hanya sedikit goyah ketika adik kesayangannya terlihat sangat pucat. Tetapi hari ini dia harus mengatakan hal yang tidak boleh disimpan terlalu lama lagi. Jadi, Sinar kembali berbicara dengan lembut.

"Dari dulu Noren udah ngeliat lo, dek. Dia udah seneng sama lo, tapi dia baru bisa benar-benar muncul dihadapan lo hari ini. Orang tua kita juga udah setuju dengan dia. Noren udah nemuin Mama sama Papa dari bulan lalu dan karena jadwal dia emang padat, jadi cuma hari ini dia bisa datang ke sini"

Wajah Lisa pucat pasi. Meskipun orang ini mungkin terkenal dimana-mana, masih muda dan bahkan Lisa sendiri yakin pria itu dikagumi banyak orang diluar sana, Lisa masih tidak bisa. Dia punya misi untuk menemukan cinta sejatinya dari hati! bukan dari hal-hal semacam ini.

"Kenapa kakak nggak bilang apa-apa dari tadi? kenapa nggak ngomong sama gue dari lama?" Lisa menuntut jawaban. Tatapannya menyala pada sang kakak yang hanya menghela napas lembut sebelum mencium kepala Lisa dengan sayang. Hala bungkam di tempatnya, melirik bolak-balik tiga orang di ruangan. Dia tidak ikut apapun di dalam ini dan merasa seperti asing sekali.

Dan juga mendengar Lisa mempunyai calon suami…

Hala bahkan tidak berpikir apapun tentang itu. Tapi Noren juga tidak buruk. Mungkin. Dia anak konglomerat yang terkenal. Dia juga tidak terdengar buruk ataupun mendapat pemberitaan apapun yang negatif. Tapi tetap saja ‘kan, Lisa juga sering mengumbar bahwa dia akan menemukan pangerannya sendiri. Hala sedikitnya merasa sedih untuk itu. tapi dia tetap diam dan berharap bahwa dia tidak mengacaukan apapun yang ada di depannya ini.

"Gue nggak bisa, dek. Tapi gue sebagai kakak lo tau yang terbaik buat lo. Lo paham, ‘kan kalau gue sayang banget sama lo, dek? Terlepas apapun gue suka ngejahilin lo, tetap aja gue pengen yang terbaik buat lo. Jadi lo pasti ngerti kan kenapa kakak setuju?"

Lisa menatap Sinar dengan tidak minat. Nafsu makannya pun hilang. Pandangannya pada Noren berubah dan dia tidak suka dengan apapun yang sedang terjadi disini. Lisa berdiri dan pergi ke kamarnya, tidak bersuara apapun. Sinar menatap Noren setelah menghela napas berat dan menyandar di bahu kursi.

"Bener ‘kan kata gue, Ren" Noren tersenyum sebelum menarik kembali makanannya. Pria itu makan dengan santai meskipun Lisa sekarang mungkin sedang frustasi di dalam kamar yang pintunya dibanting dengan keras itu.

"Dia cuma lagi shock aja, Nar. Pasti berat, ‘kan buat dia? Tapi lo tenang aja. Lo percaya aja sama gue sesuai dengan apa yang kita bahas, ya. Gue pasti jagain dia kok”.

Ada senyum di wajah Noren yang terlihat sangat yakin. “ lo.. paham ‘kan, Nar?" Sinar menghela napas dan mengangguk sebelum akhirnya dia sadar Hala masih disana dengan tatapan bingung dan campur aduk.

"Maafin gue ya, La, lo jadi harus denger dan liat yang gini" Sinar tersenyum lembut. Hala tersentak sebelum mengulas senyum agak resah. "Tapi gue emang butuh lo, Hala. Temui Lisa dan tenangin dia, ya? nanti kalau udah kakak mau ngomong sama lo. Kalau emang Lisa belum bisa tenang sampai malem nanti, lo tidur disini aja, ya?"

Hala meremas tangannya sebeum menghembuskan napas gusar.

"Kak.." dia mendesah sebelum mengangguk. "Ya" ucapnya kemudian tanpa membuka bibirnya. Lalu perempuan itu berbalik dan pergi ke kamar Lisa, perlahan meninggalkan dua orang di dapur dengan entah apa yang akan mereka bicarakan.

...…....

Ada udara yang berat disekitar dua orang pria dewasa yang sekarang sedang membersihkan ruangan dapur dan meja makan. Ada tatapan yang tidak malu-malu untuk satu sama lain. Sinar begitu terbuka dan tabah dengan tolakan adiknya, merasa sedikit bersalah meskipun dia tidak akan menarik perjodohan ini begitu saja hanya karena Lisa yang tidak menginginkannya. Lagipula, dia memiliki keyakinan dan kepercayaan yang kuat baha Noren bisa untuk dia andalkan. Meskipun memang, agak berbahaya untuk kedepannya, Sinar telah mewaspadainya sejak awal.

“Ren, pokoknya segila apapun yang lo coba buat deketin diri lo ke Lisa, jangan sampai lo ngelukain dia, ya. Gue sayang banget sama adek gue dan nggak pernah sekalipun main tangan sama dia. Kalau sampai lo yang ngelakuin hal itu ke dia, gue nggak bakalan segan-segan buat mutusin semua hal tentang kita saat itu juga”

Noren menghela napas pelan, lidahnya menjulur untuk membasahi bibirnya yang agak kering. Dia tidak terlalu tertekan dengan ancaman yang di lakukan oleh teman dekatnya sendiri karena dia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menyakiti orang yang sudah mengambil kedudukan penuh di hatinya itu.

“Tenang aja, Nar. Kita kenal udah dari kapan, sih sampe lo ngancem gue gini?” Noren terdiam sejenak ketika dia fokus untuk meletakkan makanan sisa ke dalam kulkas sebelum kembali bebicara, “Gue emang nggak terlalu suka dengan jalan yang apa adanya. Tapi lo tenang aja, segila apapun gue, dia tetap aman sama gue”

Seringainya muncul di wajahnya ketika dia mengusap rambutnya ke belakang. Pandangannya jatuh ke arah Sinar dengan lap meja di tangannya dan meja yang masih setengah bersih.

“Gue pegang ucapan lo, ya”

“Gue janji”

...…....

...🍁...

...Chapter 02 – Bukan Lelucon-End...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!