"Raja anak hebatnya papi." Raja menatap papinya yang sudah tak berdaya. "Papi minta maaf karena tidak bisa menemanimu tumbuh, nak." ucap papi disisa kesadarannya. Raja bisa melihat mata papi yang berkaca dengan seluruh penyesalan.
Darah yang bersimbah dimana-mana membuatnya takut dan hanya mampu meringkuk memeluk tubuhnya sendiri alih-alih bergerak mencari pertolongan.
"Maafin papi juga karena sudah membuatmu kehilangan mami... Tapi, kamu pasti akan lebih bahagia dengan pengasuhan Opa dan Oma.... Oma bisa memberikan kasih sayang yang tidak pernah kamu dapatkan dari mami, nak... Maafkan papi karena kamu harus terlahir dari seorang ibu yang buruk." papi beberapa kali berhenti saat berbicara, terlihat kesusahan menarik napas.
"Papi menyayangimu selalu." adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut papi. Dan kalimat itu selalu terngiang-ngiang di ingatan Raja.
Raja kecil hanya mampu menggigil ketakutan ditengah malam yang gelap dan petir menyambar. Ditemani kedua orang tuanya yang sudah tak bernyawa. Meninggalkannya seorang diri dalam ketakutan.
Ditengah ketakutan yang semakin menjeratnya. Suara yang sangat familiar ditelinganya memanggil dikejauhan. Menyeretnya untuk kembali.
"Raja.."
Suara itu kembali terdengar diiringi ketukan pintu yang membuatnya semakin gelisah.
"Sudah siang, nak. Bangun."
Raja membuka matanya terengah. Keringat dingin membasai dahi hingga ke leher. Badannya terasa dingin seolah jantung tak memompa darahnya dengan benar untuk mengaliri seluruh otot dalam tubuhnya. Mencoba duduk untuk menormalkan debar jantungnya setelah kembali melihat hal mengerikan yang sangat ingin ia lupakan.
Kata bangun bagai mantra yang menyelamatkannya dari mimpi yang lagi-lagi menghantuinya. Malamnya seolah tak pernah lepas dari mimpi itu. Seolah ia tak berhak bahagia setelah kejadian itu.
Tak seorang pun mengetahui keadaannya. Tak seorangpun tahu bahwa hingga detik ini ia masih tidak baik-baik saja.
Termasuk wanita paruh baya didepan pintu kamar yang menyelamatkannya dari mimpi buruknya.
Wanita yang ia panggil mama meskipun statusnya adalah seorang Oma. Wanita yang ia panggil mama hanya karena ia ingin hidup normal seperti teman-temannya yang masih memiliki orang tua. Hanya karena ia tak ingin merasa menjadi yatim piatu dan merasa sendiri.
"Raja bangun, sebelum papa yang membangunkan mu!"
Raja menarik sudut bibirnya tipis ketika mamanya itu mulai berseru kesal karena mengiranya masih terlelap.
Dengan kaki telanjang, Raja turun dari tempat tidur untuk membuka pintu. Pintu yang selalu ia kunci untuk menyimpan rahasia kelamnya.
"Raja sudah bangun, mah." ucapnya begitu wajah wanita berusia 75 tahun yang masih terlihat cantik itu menyambutnya didepan pintu.
"Mama itu sudah tua Raja.. Kamu juga sudah 28 tahun. Kamu harus bisa bangun pagi sendiri tanpa harus mama bangunkan." omelan itu sudah setiap pagi Raja dengar. Dan kata selanjutnya pun sudah Raja hafal diluar kepala.
"Mama akan berumur panjang hingga bisa membangunkan Raja setiap pagi." ucap Raja sebagai jawaban atas apa yang akan mamanya itu ucapkan seperti biasa. Yang akan selalu berkata bagaimana jika wanita itu meninggal. Siapa yang akan mengurus ia dan sebagainya.
Ia mengaduh ketika sang mama menjewer telinganya . "Kamu itu selalu saja berkata seperti itu. Padahal uban mama sudah semakin banyak!"
"Mama tetap cantik dengan uban-uban itu." Raja membungkuk untuk merangkul Lintang-mamanya-yang memiliki tinggi hanya sebatas bahunya. Menyandarkan kepala di bahu yang tak lagi muda itu.
Raja selalu bersikap normal didepan semua orang. Seoalah-olah dirinya baik-baik saja dan lupa akan masa lalunya. Meski sikap dingin dan jarang tersenyum kini melekat sebagai ciri khasnya.
***
Raja Adhitama Shandika. Pria mapan yang belum lama ini merayakan ulang tahunnya yang ke 28. Cucu pertama dari Rasya Jovan Shandika yang kini diakui sebagai putra bungsu dalam keluarga.
Raja lahir dan tumbuh di luar negeri hingga usia 10 tahun. Ayah kandungnya, Rafa Shandika adalah seorang pengacara ternama pada masanya. Begitu juga sang ibu, Ratu Angeline yang berstatus sebagai seorang model papan atas hingga kehadirannya menjadi alasan untuk ibunya berhenti dari dunia modeling.
Raja tidak tumbuh dalam keluarga hangat dan bahagia seperti yang orang-orang bayangkan. Hidupnya penuh luka. Ia tumbuh dengan teriakan pertengkaran orang tua.
Sampai usianya 10 tahun dan ia tinggal dengan opa dan oma yang kini menjadi papa dan mamanya.
Kini ia sudah rapi dengan stelan kerja dan duduk dimeja makan untuk menikmati sarapan dengan kedua orang tuanya. Karena semua anak dari Rasya dan Lintang sudah berkeluarga dan memiliki rumah masing-masing.
"Bagaimana pekerjaanmu, Raja?"
Papanya belum lama ini pensiun dari jabatannya sebagai CEO stasiun televisi swasta milik keluarga mereka yang konon didirikan oleh kakek buyutnya. Rasya kini hanya menyandang status sebagai dewan komisaris yang bekerja dari rumah.
Kini posisi CEO atau direktur utama digantikan oleh putra kedua papa yang bernama Rafi. Orang yang tetap Raja panggil om meski ia memanggil Rasya dengan sebutan papa.
Dan Raja sendiri menjabat sebagai salah satu direktur di perusahaan yang tengah berkembang pesat dan merambah ke jasa keuangan itu.
"Lancar pah." jawabnya singkat seperti biasa.
Raja bukan anak rumahan yang penurut. Ia termasuk nakal diusia remajanya. Biang onar dan sering terlibat tawuran bahkan balap liar yang sering kali membuat kedua orang tuanya datang ke kantor polisi untuk menjemputnya pulang karena masih dibawah umur.
Semasa kuliah pun ia masih nakal. Hanya sudah lebih pintar dan tak pernah lagi terciduk polisi meski tawuran yang ia pimpin memakan korban jiwa.
Kenakalannya ketika remaja masih berlanjut sampai sekarang. Club malam, minuman beralkohol dan tidur dengan wanita bukan hal baru untuk Raja.
Orang tuanya saja yang tidak tahu karena tertutupi dengan prestasinya di perusahaan yang cukup gemilang. Juga sikap baiknya ketika didalam rumah.
Lagi pula Raja tidak ingin lagi melihat mamanya menangis. Sudah cukup ia membuat wanita itu menangisinya setiap kali ia pulang dengan wajah babak belur penuh lebam dan darah semasa remaja.
Meski Lintang bukan oma kandungnya karena wanita itu hanya ibu sambung papinya. Tapi Lintang menyayanginya dengan tulus.
Wanita yang rela begadang untuk menjaganya ketika demam. Wanita yang selalu tertidur di sofa ruang tamu ketika ia pulang terlambat.
Membuatnya tak salah memanggil omanya itu dengan mama. Karena mama selayaknya ibu kandung yang selalu menyayangi dan mengkhawatirkan anak kandungnya sendiri.
"Pekerjaanmu lancar. Usiamu juga sudah matang.. Mamamu selalu khawatir tentang siapa yang akan menemanimu ketika kami tiada. Jadi, kapan kau akan membawa wanita untuk dikenalkan sebagai calon istri?"
Raja menghela napas. Lagi-lagi masalah itu. Hal yang sudah setiap hari ia dengar dari mamanya. Hal yang sampai kapan pun tidak pernah siap ia lakukan karena ia tidak percaya dengan sebuah komitmen.
"Mama masih cantik. Masih muda dan sehat. Mama tidak usah mengkhawatirkan hal yang belum pasti." Raja tetap mengunyah roti isi miliknya. "Lagi pula Raja belum ada calon dan belum ingin menikah."
Raja melihat kedua orang tuanya yang saling melirik dan menghela napas bersamaan.
"Bagaimana dengan Rani. Dia anak yang baik, cantik dan ceria. Cocok untuk kamu yang jarang tersenyum."
*
*
*
Selamat datang di cerita baru. Semoga kalian suka.
Jangan lupa pencet love dan jempolnya. Saranghae ❤
Ooh ada salam dari Raja yang udah siap ngantor
Kalau ini versi nakalnya
Ini yang ngajakin nakal nih
Ini yang lagi galau disuruh nikah
Happy Reading ❤
Kata menikah terdengar sangat mengerikan bagi Raja. Ia tak percaya akan sebuah komitmen itu. Baginya pernikahan adalah petaka. Tak membawa kebahagiaan bagi mereka yang menjalani. Terutama jika ada anak yang terlahir di dalamnya. Seperti dia contohnya.
Dan mama memintanya apa tadi? menikahi Rani? Gadis berisik yang selalu mengganggu hidupnya? Kegilaan macam apa itu?
Rani bukan nama baru dalam keluarganya. Bukan keluarga mau pun kerabat dekat mereka.
Rani Ayudia Damayanti. Gadis keras kepala yang masih tinggal disebuah panti asuhan dan menolak semua orang yang ingin mengadopsinya.
Gadis yang lebih muda darinya empat tahun itu sudah ia kenal sejak bulan-bulan awal ia menginjakan kaki di Jakarta.
Mama adalah salah satu donatur tetap di panti asuhan tempat Rani dirawat. Sering membawanya mengunjungi anak-anak disana sekali dalam sebulan.
Siang itu ia yang masih kehilangan minatnya untuk berbicara dan dalam perawatan seorang psikolog, seperti biasa datang ke panti asuhan. Dan seperti biasa juga ia duduk dibawah pohon mangga yang kala itu tengah berbuah. Menunggu mama-yang saat itu masih ia panggil oma-tengah bertemu ibu panti dan menyerahkan hadiah untuk anak-anak.
"Aduh." pekikan seseorang dari arah belakang membuat Raja yang tengah melamun menoleh.
Helaan nafas keluar dari mulutnya begitu mendapati gadis yang baru memasuki bangku SD itulah yang menjadi sumber suara.
Rani duduk diatas rumput dengan memegang lututnya yang berdarah. Raja yakin gadis cilik itu berniat mendekatinya seperti biasa. Mengacaukan kedamaian disekelilingnya dengan suaranya yang tidak akan berhenti. Berceloteh apa pun hal yang baginya tidak penting.
Saat pertama kali Raja datang, Rani bahkan dengan percaya diri mengenalkan nama. Gadis dengan senyum cerah dan bandana kupu-kupu dikepalanya itu sangat antusias ketika melihatnya.
Raja mengabaikan Rani yang tengah kesakitan. Toh disana tidak hanya ada dirinya. Banyak anak-anak panti yang lain yang tengah bermain tidak jauh darinya.
Ruang kepala panti juga tidak jauh di belakangnya. Jadi Raja yakin akan ada yang menolong anak berisik itu selain dirinya.
Tapi semakin Raja mengabaikan, tangisan Rani semakin keras. Dengan terpaksa Raja berjalan mendekat dan mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri dan membawanya ke tempat yang lebih aman untuk mengobati luka di lutut gadis itu.
Tapi Gadis berisik itu hanya mendongak dengan mata berkedip dan menelan tangis. Ada binar dimata bening itu yang membuatnya heran.
"Kakak nolongin aku?" Rani bertanya dengan senyum mengembang dan nada takjub. "Kakak nolongin aku?!" pertanyaan itu kembali terulang dengan lebih antusias.
Raja menurunkan tangan yang tak kunjung mendapat sambutan. "Kau tidak mau?" suaranya terdengar aneh di telinganya sendiri.
Tak ingin terlalu lama meladeni bocah berisik itu, Raja berbalik dan siap pergi dari sana hingga teriakan nyaring Rani mengagetkannya.
"IBU! KAK RAJA NGOMONG SAMA RANI! KAK RAJA MAU NOLONGIN RANI!"
Raja kembali membalik tubuhnya guna menatap Rani yang berteriak heboh. Seakan sebelumnya ia manusia bisu, dan sebuah keajaiban hari ini ia bisa berbicara.
Terlihat mama berlari dan seketika memegang bahunya. Bahkan mata itu berkaca-kaca.
Sebahagia itukah mereka mendengarnya mau berbicara? Dan sudah berapa lama ia tidak mengunakan fungsi mulutnya selain untuk makan dan minum?
Ia bahkan tidak ingat sudah berapa lama ia berada di Indonesia. Dunianya seolah berhenti saat terakhir kali ia melihat tubuh orang tuanya yang terbujur kaku.
"Raja tadi ngomong, sayang?"
Suara yang penuh kasih sayang dari wanita yang masih menatap lurus dan penuh pengharapan untuk ia kembali bersuara itu membawa geleyar aneh disudut hatinya yang terasa nyeri.
Tak ingin mengecewakan dan menghilangkan raut bahagia itu, Raja menjawab. "Iya, mama."
Itulah pertama kalinya ia mau berbicara dengan mama. Dan itulah hari pertama ia memanggil wanita itu dengan sebutan mama yang tak ditolak sama sekali. Justru mama memeluknya erat dan tergugu dalam tangis bahagia. Membuat hatinya yang membeku sedikit menghangat.
Saat sampai dirumah, opanya langsung menyebut diri dengan sebutan papa tanpa harus ia minta. Tanpa penjelasan apa pun seakan semua memang sudah seperti itu sejak awal.
Ia mulai hidup normal sejak saat itu. Atau lebih tepatnya berpura-pura normal. Membongi orang-orang disekelilingnya, juga usahanya membohongi diri sendiri. Bahwa ia memang baik-baik saja.
***
Sesampainya di kantor, Rani berjalan mengikuti Raja masuk kedalam ruangan seperti biasa. Menjelaskan pekerjaannya hari ini.
Ya, Rani. Gadis berisik dari panti asuhan itu.
Rani yang bagi orang tuanya bak malaikat karena bisa membuatnya kembali berbicara, menjadi anak kesayangan mama dan papa.
Orang tuanya bahkan berniat mengadopsi Rani kala itu. Tapi seperti yang sudah-sudah. Rani selalu menolak siapapun yang berniat mengadopsinya. Entah untuk alasan apa.
Meski demikian, orang tuanya tetap memenuhi semua kebutuhan Rani. Termasuk biaya pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Membuat gadis itu selalu ada disekelilingnya. Bahkan entah siapa yang memberi ide konyol dan membuat gadis berisik itu menjadi sekrestarisnya kini.
Tapi Raja akui. Rani cukup profesional dan mumpuni untuk menjalankan tugas sebagai sekretarisnya. Membuatnya tak jadi memecat gadis itu setelah masa magangnya. Karena sikap Rani di dalam dan di luar kantor sangatlah berbanding terbalik.
"Hari ini ada meeting dengan PT. Gemilang untuk menentukan artis yang akan memandu acara baru kita."
"Siapa saja artis yang menjadi kandidat?"
"Ada Kaurina Larasati, Deanika, Angelo dan Jeremy, pak."
Salah satu sudut mulut Raja terangkat ketika nama Kaurin yang tengah naik daun disebut sebagai salah satu kandidatnya.
Kaurin memulai debut dari seorang model iklan. Tapi bakat Kaurin diberbagai bidang di dunia entertainment tidak diragukan lagi. Terlihat dari kesuksesan gadis itu dalam beberapa proyek film juga sinetron.
Dan Kaurin pernah menjadi teman satu malamnya tahun lalu.
"Menurutmu siapa yang mampu membawa acara ini?"
Raja melihat sekretarisnya itu berkedip beberapa kali sebelum menjawab. Mungkin bingung dengan pertanyaan yang ia ajukan. Karena bukan bidang Rani untuk menilai apakah artis-artis itu mempu membawakan acara baru ini.
"Melihat prestasi dan pembawaannya ketika diwawancarai infotainment, mungkin Kaurin cocok dengan acara baru yang berkonsep santai ini, pak."
Raja mengangguk dan melihat dokumen berisi profil calon kandidat.
"Untuk prianya?"
"Angelo yang terkenal humoris saya rasa bisa menjadi partner yang baik untuk melengkapi Kaurin. Mereka juga beberapa kali terlihat berkolaborasi di chanel mereka masing-masing. Jadi saya rasa mereka bisa lebih mendapat chemistry dibanding dua orang lainnya."
Raja tidak pernah bermain sosial media. Jadi informasi dari Rani cukup memberinya gambaran pada mereka.
"Kamu boleh keluar." pinta Raja setelah Rani menjelaskan semua jadwalnya hari ini. Juga menyerahkan beberapa dokumen yang perlu ia tanda tangani.
Melihat punggung Rani yang mulai menjauh, Raja kembali teringat saran mama untuk menikahi gadis itu.
Saran yang tak ia tanggapi dan lebih memilih pamit untuk berangkat bekerja. Menghindari pembicaraan yang membuatnya tak nyaman.
"Rani?" panggilnya sebelum gadis itu membuka pintu.
"Iya pak?"
"Setelah selesai kantor, ikut saya ke rumah. Mama ingin bertemu denganmu."
Rani hanya tersenyum dan mengangguk.
*
*
*
Yang begini Raja nggak mau.. Si gadis berisik kesayangan..
Kantor masih ramai ketika Raja dan Rani keluar dari lift yang membawa mereka turun dari lantai 44 tempat kantor Raja berada.
Shan Tower terdiri dari 45 lantai. Dengan lantai teratas sebagai kantor pimpinan tertinggi dan para stafnya. Ruang rapat khusus juga ada di lantai atas. Khusus untuk rapat direksi dan rapat-rapat penting lainnya.
Tiga stasiun televisi milik Shan grup juga bermarkas disana. Baik kantor dan studio.
Jadi tak heran, meski Raja pulang terlambat dan Shan tower masih terlihat ramai. Terutama dibagian penyiaran dan bagian berita yang tengah mengejar deadline untuk esok pagi.
Langkah Rani terhenti ketika ponsel dalam tasnya berbunyi. Membuat Raja ikut menghentikan langkah dan membalikan badan untuk melihat Rani yang berjalan dibelakangnya.
"Maaf pak, saya izin mengangkat telefon. Bapak bisa ke mobil dahulu."
Raja menatap Rani dengan sebelah alis terangkat. Merasa tidak senang ketika gadis itu menyuruh dirinya.
Setelah beberapa saat Raja hanya diam tak menuruti perintah sekretarisnya itu, ia melihat Rani menghela napas. Mungkin tahu jika perintahnya tidak akan membuahkan hasil.
"Nyebelin banget sih, kak!" gadis itu menggerutu dan menjulingkan mata padanya sebelum mengangkat panggilan yang entah dari siapa, Raja tak tahu.
Jika sudah diluar jam kantor, Rani memang akan memanggilnya kakak seperti saat pertama kali mereka bertemu. Diluar jam kantor pula sikap Rani padanya akan sangat menyebalkan dan tidak patuh.
"Ya Kal?" dari penggalan nama yang Rani sebutkan, sepertinya Raja tahu siapa yang menghubungi Rani malam-malam seperti ini.
Haikal Putra. Salah satu anak panti yang seusia dengan dirinya.
Haikal diadopsi oleh pemilik sebuah showroom. Tapi meski sudah tidak tinggal di panti, Haikal selalu rutin menemui Rani setiap akhir pekan. Membuat keduanya bisa bersahabat hingga kini.
Jangan tanya darimana Raja tahu. Tentu saja Rani akan selalu menceritakan apa saja yang di lalui gadis itu setiap hari tanpa ia minta. Bercerita sesuka hati seakan tengah menuangkan perasaannya pada lembar-lembar buku diary.
"Aku baru keluar dari kantor. Tapi mungkin akan pulang terlambat. Ibu Lintang minta aku untuk mampir. Jadi lebih baik kamu pulang saja."
Rupanya Haikal tengah berada di panti. Tumben sekali, mengingat esok bukan hari libur.
"Iya, aku kesana sama kak Raja." Rani meliriknya lagi. Kali ini lirikannya tak setajam sebelumnya. "Tenang saja.. Dia jinak sama aku."
Raja mendengus dan berbalik untuk menuju mobilnya terparkir. Menggerutu dalam hati. Memangnya kuncing, hingga Rani mengatainya jinak.
Raja bisa mendengar kekehan menyebalkan meski langkahnya sudah menjauh.
Rani dan Haikal memang perpaduan yang pas untuk mengacaukan hidupnya. Dulu ketika ia tengah dimedan perang dibangku menengah atas, Rani yang masih menggunakan seragam putih biru berlari dan meneriakkan namanya.
"KAK RAJA!"
Tentu saja hampir semua yang ikut tawauran menoleh ke sumber suara. Termasuk ketua dari musuhnya. Membuatnya menyumpah serapah Haikal yang membawa Rani dan membiarkan saja gadis itu dalam bahaya.
"KAK RAJA DICARI IBU! IBU TELFON AKU TADI!"
Raja semakin menggeram marah dan berlari kearah gadis berisik itu. Ia juga heran kenapa mama selalu mencarinya pada Rani setiap ia pulang terlambat.
Apa mama kira ia berpacana dengan bocah ingusan itu hingga setiap pulang sekolah selalu menemuinya?
Dan sialnya Rani memang selalu tahu keberadaannya. Meski tempat yang ia jadikan medan tawuran selalu berpindah tepat.
Siapa lagi yang memberi tahu posisinya jika bukan Haikal. Karena pria itu juga bersekolah di tempat yang sama dengan dirinya. Dan sejak saat itu ia selalu tidak suka dengan Haikal.
Tok.. Tok..
Suara kaca disampingnya membuat Raja kembali dari kenangan masa lalu.
Mendapati Rani yang berdiri disana dan mengetuk, Raja lalu menurunkan kaca jendelanya.
"Aku bawa motor sendiri aja ya kak. Biar nanti pulangnya tidak merepotkan kakak."
"Memangnya siapa yang mau mengantar kamu pulang?"
Rani mencebik kesal. "Makanya aku bawa motor aja."
"Sudah malam! Nanti aku yang disalahkan mama jika terjadi sesuatu denganmu." Raja menjawab dengan memasang sabuk pengaman dan siap menyalakan mesin mobil.
"Terus nanti aku pulangnya gimana? besok juga pasti aku susah untuk berangkat kerja kalau motor ditinggal disini. Memang kakak mau antar jemput aku?"
"Aku bukan supir."
"Maka dari itu. Aku bawa motor saja. Janji tidak kalah cepat untuk sampai di rumah Ibu."
"Kamu yakin?" Raja menaikan sebelah alisnya. Ekspresi meremehkan ia berikan untuk gadis yang kini merenges dan menggaruk tengkuk yang Raja yakin tidak gatal sama sekali.
"E-engak sih. Kak Raja kan kalau bawa mobil selalu kebut-kebutan."
"Masuk! atau aku tinggal."
Rani terlihat bimbang untuk memutuskan. Membuatnya menghela napas. "Kamu takut satu mobil denganku?"
Gadis itu menggeleng dan mengibaskan kedua tangannya. "Aku cuma bingung bagaimana aku berangkat besok."
"Gaji kamu besar Rani. Cukup untuk kamu memesan ojek atau taksi online."
Cebikan dibibir gadis itu membuat Raja geram. Karena banyak terbuang di tempat parkir. Waktu yang seharusnya bisa ia gunakan untuk mengemudikan mobil agar cepat sampai di rumah dan beristirahat.
"Bulan ini kan banyak adik-adik yang ulang tahun.. Jadi aku harus berhemat." gadis itu menggerutu dan berjalan memutari mobilnya untuk sampai di bangku penumpang dan duduk disana. Disebelahnya dengan wajah tertekuk masam.
Tak menyahuti apa yang gadis itu gertukan, Raja mulai melajukan kendaraannya untuk bergabung dengan kemacetan yang malam itu masih terjadi tak jauh dari pusat perkantorannya.
Rani memang gadis yang baik. Selalu mementingkan anak-anak panti dari pada dirinya sendiri.
Sudah berapa tahun Rani menjadi sekretarisnya. Tapi kendaraan gadis itu bahkan masih motor metic hadiah dari mama saat gadis itu berulang tahun ke tujuh belas.
Seakan gaji dua digit yang setiap bulan masuk ke rekening gadis itu tidak tersisa untuk diri sendiri.
Rani menjadi salah satu sosok pekerja keras wanita yang ia kenal. Bekerja tanpa lelah meski tak menikmati hasil jeripayah sendiri.
Rani juga bukan gadis yang suka memanfaatkan kebaikan orang. Apalagi jika untuk dikasihani.
Bahkan Rani menolak uang yang mama berikan untuk biaya kehidupan sehari-hari. Rani lebih memilih bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Biaya yang orang tuanya keluarkan untuk biaya pendidikan Rani pun, dibalas dengan prestasi yang membanggakan.
Rani mau menerima beasiswa dengan catatan beasiswa prestasi. Bukan beasiswa karena orang mengasihani karena Rani tinggal di panti asuhan.
Didalam tubuh kecil yang terlihat rapuh itu, Raja dapat melihat ketegaran yang luar biasa. Kekuatan yang bahkan mungkin tidak bisa ia tandingi.
Tapi meski banyak hal yang ia kagumi secara diam-diam dari gadis itu, Raja tetap saja tidak bisa menaruh perasaannya disana. Apa lagi untuk menikahi Rani seperti yang kedua orang tuanya inginkan.
*
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!