NovelToon NovelToon

RUMI: Cinta Sang Pria Lumpuh

TAK BERGUNA

Tubuhnya terbanting dengan keras pada posisi tengkurap, sebelum sebuah benda tumpul dihantamkan dengan keras ke kepalanya bagian belakang. Rasa nyeri seketika menjalari kepala serta tengkuknya. Namun ia masih bisa merasakan dengan sangat jelas, saat tubuhnya dibalik dengan paksa,lalu benda tumpul tadi ganti menghantam kakinya berulang-ulang.

Rumi bahkan tak lagi bisa merasakan kakinya saat sepatu kulit bersol keras tersebut menginjak lututnya dengan sangat kuat.

"Seharusnya kau menyingkirkan Ethan dan bukan malah mendukung hubungannya dengan Ruby."

"Ruby hanya boleh menjadi milikku dan kau Seharusnya mendukungku! Bukankah aku sudah pernah memintanya secara baik-baik kepadamu?"

"Tapi kau malah tak mendukungku dan memberikan Ruby pada Ethan!" Tekanan di kedua lutut Rumi semakin keras hingga meremukkan tempurung lutut pria itu.

"Sekarang,terimalah akibatnya!"

Bugh! Bugh!

Dua pukulan keras yang mendarat di kepala Rumi, seketika membuat dunia Rumi menjadi gelap. Semua memori hidupnya juga seolah ikut melayang pergi dan kini yang Rumi rasakan hanyalah sebuah kegelapan.

Kegelapan tanpa secercah harapan.

Hampa!

Asing!

Aku siapa?

"Rumi!" Suara lembut itu membuat Rumi membuka matanya. Rumi bahkan baru menyadari tubuhnya yang sudah bermandikan peluh. Kedya netranya kembali menatap pada wajah manis yang pipinya akan terlihat berlubang dua-duanya saat ia tersenyum.

Rumi baru melihatnya beberapa kali karena ini memang hari ketiga gadis ini bekerja sebagai perawatnya.

"Namanya Vivian."

"Dia sedang butuh biaya yang tidak sedikit untuk membiayai pengobatan keponakannya."

"Tolong bantu dia, Rumi!"

Permintaan Ruby tempo hari atau lebih tepatnya paksaan dari Ruby membuat Rumi terpaksa menerima gadis pendek ini sebagai perawatnya. Meskipun sebenarnya Rumi tidak mau lagi punya perawat setelah tujuh tahun dirinya hanya bisa duduk di atas kursi roda dan menjadi orang tak berguna yang masih hidup hingga detik ini.

Rumi bahkan tak tahu alasan kenapa dirinya tetap hidup sebagai pria lumpuh tak berguna seperti ini. Rumi saja tidak ingat pada sekumpulan orang asing yang mengaku sebagai keluarganya selama tujuh tahun terakhir.

Dan namanya sendiri!

Rumi bahkan baru tahu namanya adalah Rumi setelah wanita paruh baya yang hingga detik ini ia panggil Mami itu memberitahunya. Lalu ada juga pria paruh baya yang selalu menatap sendu ke arahnya itu yang hingga kini Rumi panggil Papi.

Lalu Ruby, Kak Alsya, Sunny, dan terakhir si pria menyebalkan yang jarang pulang bernama Ericko itu. Kata Ruby, Ericko adalah suami Kak Alsya yang itu artinya adalah abang ipar Rumi.

Ah, siapa peduli!

Rumi tetap tak ingat memori apapun tentang mereka semua sampai tujuh tahun berlalu.

"Rumi!" Tegur Vivian sekali lagi.

"Aku butuh ke toilet," ucap Rumi yang langsung membuat ekspresi wajah Vivian berubah lucu. Sudah sejak tiga hari lalu, setiap kali Rumi minta bantuan Vivian untuk ke toilet atau mandi, wajah gadis ini akan langsung berubah lucu. Membuat bibir Rumi berkedut karena harus menahan tawa.

Vivian menyiapkan kursi roda Rumi, dan segera memindahkan tubuh besar Rumi dengan cekatan. Rumi akui, meskipun tubuh Vivian lebih kecil darinya, namun cara Vivian membantunya berpindah ke atas kursi roda benar-benar mantap dan sepertinya memang sudah pengalaman sekali.

"Bantu aku mandi sekalian," titah Rumi setelah Vivian menutup pintu kamar mandi.

"Sekarang?" Tanya Vivian ragu.

"Tahun depan!" Jawab Rumi ketus yang langsung membuat Vivian menahan tawa.

"Apa yang lucu?" Tanya Rumi seraya mendelik ke arah Vivian.

"Tidak ada! Aku akan mengambil handuk dulu," izin Vivian yang hendak keluar dari dalam kamar mandi.

"Kau amnesia?" Rumi mengendikkan dagunya ke arah tumpukan handuk di sudut kamar mandi.

"Eh!" Vivian menepuk keningnya sendiri.

Gadis itu tak jadi keluar dan lanjut menurunkan celana Rumi, lalu membantu pria itu menunaikan panggilan alam.

Yang ajaib dari semuanya adalah Vivian yang selalu melakukannya dengan mata terpejam. Sepertinya perawat Rumi ini memang punya ilmu mata batin tingkat dewa.

.

.

.

Happy New Year.

Yuk yang nungguin cerita Rumi merapat. Alur maju mundur seperti biasa (udah pada hafal kayaknya 🤭)

Mungkin ada reader baru nyasar (ngarepdotcom)

Rumi ini saudara kembar Ruby, anak dari Juna dan Lily di karya saya "Menikahi Pembunuh Istriku"

Cerita Ruby juga ada sendiri di "Penantian Ruby" Sudah tamat 57 episode.

Terima kasih yang masih setia mengikuti karya receh othor.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

SIAPA VIVIAN?

Rumi duduk di atas kursi rodanya dan menghadap ke jendela kamar seperti biasa. Rumi memang suka merenung sendiri seperti ini saat ia sedang tak ada pekerjaan. Tidak tahu apa yang sebenarnya sedang Rumi pikirkan atau Rumi coba ingat-ingat.

Ceklek!

Suara pintu kamar yang dibuka dari liar tak mengalihkan tatapan Rumi dari jendela kamar. Satu-satunya asisten rumah tangga di rumah ini memang akan langsung membuka pintu kamar Rumi tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Rumi yang memintanya, karena Rumi merasa malas mengucapkan kata 'masuk' saat ada yang mengetuk pintu kamar. Menurut Rumi itu hanya buang-buang tenaga.

"Rumi!" Itu suara Ruby dan bukan asisten rumah tangga.

Oh, rupanya saudara kembar tapi beda kelamin Rumi itu yang masuk ke kamar. Tadi Ruby pamit menjemput perawat baru Rumi, tapinkenapa cepat sekali kembali? Dimana memangnya Ruby menjemput? Depan rumah?

"Apa?" Jawab Rumi tanpa memutar kursi rodanya.

"Aku ingin memperkenalkan perawat barumu, Vivian," ujar Ruby yang akhirnya mau tak mau membuat Rumi terpaksa memutar kursi rodanya. Rumi tak biasanya penasaran dengan sosok perawat barunya. Tapi mendengar Ruby menyebut nama Vivian, Rumi mendadak jadi penasaran.

Siapa memangnya Vivian?

Apa Rumi pernah kenal dengan seorang gadis bernama Vivian?

"Vivian, ini Rumi," ucap Ruby memperkenalkan Rumi pada Vivian. Bisa Rumi lihat,Vivian yang langsung tersenrak kaget dan mundur satu langkah saat melihat wajah Rumi.

"Rumi," gumam Vivian pelan.

"Ya, itu namaku," jawab Rumi menatap penuh selidik pada Vivian. Tapi Rumi sama sekali tak kenal dengan gadis ini.

"Kau-"

"Lumpuh?" Gumam Vivian lagi terbata.

"Ya. Apa masih kurang jelas?" Jawab Rumi ketus setelah mendengar gumaman Vivian.

"Kau sudah pernah mengenal Rumi sebelumnya, Vi? Karena Rumi kehilangan ingatannya selama tujuh tahun ini dan dia masih belum menemukan ingatannya hingga detik ini," terang Ruby yang langsung membuat Vivian melebarkan kedua bola matanya. Namun sesaat kemudian Vivian menggeleng dan menjawab pertanyaan Ruby dengan sedikit terbata.

"Tidak-"

"Aku tidak mengenal Rumi sebelumnya," jawab Vivian yang masih menatap lekat wajah Rumi.

"Baiklah aku hanya bertanya," ujar Ruby seraya mengulas senyum.

"Dia sedikit ketus dan pemarah, jadi aku harap kau bisa sabar menghadapinya."

"Tak perlu dimasukkan ke dalam hati apapun ucapan ketusnya padamu," pesan Ruby seraya berbisik pada Vivian.

"Iya, aku mengerti," jawab Vivian mengangguk-anggukkan kepalamya berulang kali.

"Bisakah kau membicarakanku saat aku tak sedang berada di depanmu, Ruby!" Gertak Rumi seraya berdecak.

"Aku hanya memberi tahu Vivian tentang beberapa gal yang perlu Vivi ketahui," kilah Ruby mencari alasan.

Rumi menjalankan kursi rodanya mendekat ke arah Ruby dan Vivian yang tingginya hanya sepundak Ruby. Tak seperti gadis kebanyakan yang memiliki kulit putih, Vivian memang memiliki kulit yang cenderung gelap. Namun paras gadis itu terlihat manis dengan lubang sempurna di kedua pipinya saat ia sedang tersenyum.

"Jadi ini?" Rumi menatap dengan remeh pada Vivian yang masih menatap Rumi dengan lekat.

"Ya, namanya Vivian," jawab Ruby sedikit menjelaskan.

"Panggilannya Vian?" Tanya Rumi lagi.

"Vivi!" Sahut Vivian cepat mengoreksi.

"Terlalu pasaran. Kenapa bukan Vian saja?" Tanya Rumi memaksa.

"Panggil saja Vivi, Mi! Lebih feminim!" Sergah Ruby mendelik ke arah Rumi.

"Aku maunya memanggil dia Vian saja! Kenapa jadi kau yang mengatur-atur? Siapa memang yang akan membayarnya? Kau atau aku?" Cecar Rumi yang sudah balik mendelik pada Ruby.

"Baiklah, terserah!" Decak Ruby dengan nada kesal.

"Bisa kita ke rumah sakit sekarang? Aku ingin bertemu Ethan secepatnya," Tanya Rumi selanjutnya pada Ruby.

"Kau tidak ingin mewawancarai Vivian dulu?" Ruby balik bertanya pada Rumi.

"Bukanlah kau sudah mewawancarainya mewakili diriku?" Tanya Rumi lagi yang terdengar semakin mengesalkan.

"Iya, baiklah! Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" Ujar Ruby akhirnya memilih untuk mengalah. Ruby berjalan ke belakang kursi roda Rumi dan bersiap untuk mendorongnya.

"Kau sedang apa? Kenapa tak menyuruh perawat baru itu yang mendorong kursi rodaku? Apa dia mau makan gaji buta?" Cerocos Rumi lagi yang langsung membuat Vivian buru-buru menggantikan Ruby untuk mendorong kursi roda Rumi.

"Dorong yang benar dan jangan sampai membuatku terjungkal!" Ujar Rumi memperingatkan Vivian.

"Iya, Pak!" Jawab Vivian patuh.

"Apa katamu barusan?" Rumi menarik rem di kursi rodanya hingga membuat Vivian kaget.

"Apa?" Vivian balik bertanya bingung.

"Kau tadi memanggilku apa?" Tanya Rumi seraya memitar kepalanya dan menatap penuh selidik pada Vivian.

"Pak. Ada yang salah? Atau haruskah saya memanggil tuan muda?" Vivian balik bertanya bingung.

"Panggil Rumi! R-U-M-I! Rumi!" Rumi berucao tegas sambil mengeja huruf di namanya sendiri.

"Tidak usah pakai embel-embel Pak atau yang lainnya!" Ucap Rumi tegas pada Vivian.

"Kau mengerti?" Tanya Rumi memastikan.

"Iya, Pak-"

"Eh!" Vivian menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Iya, Rumi," ulang Vivian yang langsung membuat Rumi memutar bila mata.

"Mi! Kau masih mau melanjutkan sesi wawancaramu pada Vivian, kita mau ke rumah sakit sekarang?" Seru Ruby yang sejak tadi masih menunggu perdebatan Rumi dan Vivian yang tak kunjung selesai.

"Bukan aku! Vian ini yang bawel dan lambat mendorong kursi rodaku," kilah Rumi memberikan alasan yang hanya membuat Vivian menghela nafas.

Atasan selalu benar dan perawat selalu salah. Terima saja, Vivian!

****

"Pakai handuk!" Ucap Rumi saat Vivian baru saja akan menyalakan hairdryer untuk mengeringkan rambut Rumi.

"Pakai hairdryer lebih cepat kering," Vivian memberikan alasan.

"Dan lebih cepat membuat rambutku rontok. Kau mau membuatku botak, hah?" Tanya Rumi galak.

"Baiklah! Aku akan memakai handuk," Vivian akhirnya memilih untuk mengalah dan menyimpan hairdryer di tangannya lalu ganti meraih handuk untuk mengeringkan rambut Rumi.

"Boleh aku memberikan saran?" Vivian kembali membuka obrolan sembari tangannya mengeringkan rambut Rumi.

"Saran apa? Mau menyuruhku potong rambut?" Tebak Rumi yang sepertinya sangat bisa membaca isi kepala Vivian.

Ajaib sekali!

"Kau akan terlihat sepuluh tahun lebih muda jika memangkas rapi rambutmu yang gondrong ini," ujar Vivian yang langsung membuat Rumi berdecak.

"Memangnya kau pikir umurku berapa?"

"Dua puluh enam," jawab Vivian sedikit meleset.

"Dikurangi sepuluh tahun!"

"Tujuh belas tahun," jawab Vivian meringis.

"Apa kau tidak lulus SD?" Tanya Rumi yang sudah memutar kepalanya agar bisa menatap ketus pada Vivian.

"Baiklah enam belas tahun," Vivian terkekeh dan sudah ganti meraih sisir untuk menyisir rambut Rumi.

"Lima belas tahun lebih tepatnya! Usiaku baru dua puluh lima tahun!" Ucap Rumi tegas yang lagi-lagi hanya membuat Vivian menghela nafas.

"Baiklah, Rumi lima belas tahun. Kau sudah tampan dan siap pergi bekerja sekarang," lapor Vivian seraya mematut penampilan Rumi di depan cermin.

"Pergilah siap-siap!" Titah Rumi masih sambil menatap bayangan dirinya sendiri di cermin.

"Siap-siap kemana?" Tanya Vivian bingung.

"Kau akan ikut aku ke toko mulai hari ini. Kata Ruby kau juga bisa merangkap jadi asistenku di toko." Jawab Rumi tegas.

"Eeee, iya, sih! Aku punya pengalaman sebagai admin selama setahun lebih," Vivian kembali meringis.

"Tidak usah pamer dan siap-siap sana! Sekalian bawakan sarapanku ke kamar!" Perintah Rumi galak seraya mengomel pada Vivian.

"Baiklah!" Vivian hanya mendengus dan segera keluar dari kamar Rumi untuk bersiap-siap.

.

.

.

Cetak miring flashback.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

VIVIAN

Vivian menghentikan langkahnya dan sedikit mengatur nafasnya yang terengah-engah. Kedua matanya amsih awas menatap pada teman,temannya yang sudah semakin menjauh. Vivian harus segera menyusul mereka, meskipun kaki Vivian sudah tak bisa dijabarkan lagi rasanya. Ini kalo pertama Vivian ikut naik gunung, dan mungkin terakhir kali.

Huh!

Vivian menarik nafas panjang dan kembali menjejakkan kakinya saat tiba-tiba gadis itu terperosok ke sebuah lubang yang tertutup dedaunan kering.

"Aaaarrrrgh-" pekikan Vivian tertahan saat tangannya ditahan oleh seseorang yang entah datang darimana.

"Kau sedang apa?" Itu suara seorang pemuda yang sepertinya ikut dalam rombongan Vivian tadi. Atau mungkin rombongan yang lain?

Entahlah!

Vivian juga tak mengenal semua teman-teman mendakinya tadi karena semuanya ada dua belas orang dan mereka berasal dari empat SMA yang berbeda. Termasuk Vivian dan pemuda asing yang baru saja menolongnya dari lubang sialan tadi.

"Terima kasih," ucap Vivian pada pemuda asing berjaket abu-abu tersebut.

"Rombonganmu mana? Kau tidak mungkin mendaki sendirian, kan?" Tanya pemuda itu lagi.

"Mereka di depan." Vivian menunjuk ke arah rombongannya yang sudah semakin jauh.

"Aku akan menyusulnya. Lagipula, kami akan beristirahat di pos dua setelah ini." Sambung Vivian lagi sebelum meneguk air di botol minumnya. Gadis itu kembali lanjut melangkah.

Pemuda yang tadi menolong Vivian tidak bicara sepatah katapun dan hanya ikut berjalan di belakang Vivian.

"Kau mau ke pos dua juga?" Tanya Vivian yang akhirnya kembali buka suara.

"Ya." Singkat, padat, jelas dan hanya satu kata.

Baiklah, terserah!

"Kau duluan saja kalau ingin menyusul rombonganmu." Ujar Vivian lagi mempersilahkan.

"Rombonganku masih di belakang. Mereka lambat sepertimu," jawab pemuda itu lagi yang langsung membuat Vivian menghentikan langkahnya. Nafas gadis itu kembali ngos-ngosan.

"Kau bisa duluan jika menurutmu aku lambat. Aku tidak butuh kau temani! Aku punya peta dan aku tak akan tersesat!" Ucap Vivian tegas pada pemuda cuek dan menyebalkan di belakangnya tersebut.

"Yakin tak akan tersesat? Aku yakin ini kali pertama kau mendaki dan kau belum punya pengalaman. Lalu kau malah pergi bersama teman-teman yang tak setia kawan yang meninggalkanmu sendirian " Cerocos pemuda itu panjang lebar seraya menatap remeh pada Vivian.

"Kalau kau tersesat, kau akan semalaman berada di dalam hutan," lanjut pemuda itu lagi yang malah menakut-nakuti Vivian. Terang saja, hal itu langsung membuat Vivian merengut sekaligus kesal.

"Ini!" Pemuda itu tiba-tiba menyodorkan sebuah tongkat pada Vivian.

"Ini apa?" Tanya Vivian bingung.

"Tongkat untuk membantumu mendaki."

"Ayo jalan sebelum hari gelap!" Ajak pemuda asing itu seraya mengendikkan dagu dan memberikan kode pada Vivian agar berjalan di depan.

"Aku tak tahu jalannya," ujar Vivian jujur. Gadis itu sudah kembali melangkah.

"Nanti aku pandu," jaewab pemuda yang kini berjalan di belakang Vivian dan menjaga Vivian dari belakang.

"Ngomong-ngomong, aku Vivian," ucap Vivian lagi memperkenalkan dirinya sendiri.

"Dari SMA mana?" Bukannya balas menyebutkan nama, pemuda menyebalkan itu malah bertanya asal sekolah Vivian.

"SMA 8. Kau sendiri?" Vivian balik bertanya.

"SMA 5," jawabnya singkat dan padat seperti sebelumnya.

"Boleh aku tahu siapa namamu?" Vivian akhirnya tak tahan untuk tak bertanya. Gadis itu juga menoleh penasaran ke arah pemuda yang irit bicara tersebut.

"Rumi!"

****

"Vian!" Teguran Rumi menyentak lamunan Vivian tentang pertemuannya pertama kali dengan Rumi delapan tahun silam. Saat itu mereka sama-sama masih duduk di kelas sebelas namun di SMA yang berbeda. Dipertemukan secara tak sengaja saat sama-sama sedang mendaki gunung.

Lucu sekali!

"Vian! Berapa kali aku harus menegurmu?" Decak Rumi yang kembali harus membuat lamunan Vivian menjadi buyar.

"Eh, iya! Ada apa?" Tanya Vivian tergagap.

"Kita sudah sampai. Kau mau melamun sampai kapan lagi, hah? Sampai tahun depan? Atau sampai abad depan?" Cecar Rumi ketus dan pedas.

"Iya, maaf! Kita turun sekarang?" Tanya Vivian lagi seraya membuka sabuk pengamannya.

"Minggu depan!" Jawab Rumi ketus.

"Begitu saja masih harus bertanya! Kau membuat aku boros suara dan bicara karena harus terus mengomelimu," Rumi sudah mulai bercerocos panjang kali lebar. Sedangkan Vivian sudah turun mempersiapkan kursi roda untuk Rumi cerewet dan membuka pintu mobil dimana Rumi duduk.

"Berhentilah mengomel dan marah-marah lalau begitu agar suaramu tidak cepat habis dan wajahmu tak cepat keriput," Tukas Vivian santai. Gadis itu langsung dengan cekatan memindahkan tubuh Rumi ke atas kursi roda dan menutup pintu mobil dengan kakinya.

"Kau akan membuat mobilku lecet jika menutup pintu model begitu!" Omel Rumi lagi yang hanya membuat Vivian menghela nafas.

"Baiklah, aku minta maaf dan tak akan kuulangi lagi," jawab Vivian.

"Terlambat! Sudah lecet itu," ketus Rumi seraya menjalankan kursi rodanya sendiri dan lanjut masuk ke dalam toko. Vivian mengekori kursi roda Rumi dan ikut masuk ke dalam toko. Mereka langsung menuju ke ruangan Rumi di sudut belakang, bersebelahan dengan pintu masuk gudang.

****

"Halo, Abang Sandy!" Ucap Vivian setelah teleponnya diangkat oleh sang abang di kota seberang.

Kebetulan sedang jam makan siang, dan tadi Rumi pamit keluar sebentar, jadi Vivian memutuskan untuk menelepon Abang Sandy sekalian menanyakan kondisi Kak Vita dan bayi mereka.

Satu-satunya alasan Vivian bekerja jauh sebagai perawat Rumi adalah demi membantu biaya pengobatan bayi Bang Sandy dan Kak Vita yang memang lahir prematur dan memiliki kelainan jantung. Butuh biaya yang tak sedikit untuk operasi dan perawatan keponakan Vivian tersebut.

"Halo, Vi! Bagaimana kabarmu? Betah kerja disana?"

"Iya, betah, Bang. Kak Vita bagaimana? Sudah pulang dari rumah sakit?" Tanya Vivian khawatir.

"Sudah. Hanya tinggal Cio yang masih harus menunggu hingga kondisinya stabil."

"Semoga Cio juga bisa secepatnya pulang ke rumah, Bang!" Ucap Vivian penuh harap.

"Aamiin! Mau bicara dengan Archie?"

"Abang di rumah memang? Vivian kira sedang di kantor," Vivian sedikit terkekeh.

"Pulang makan siang tadi. Belum balik."

"Archie! Mom telepon!" Terdengar suara Abang Sandy yang sedang memanggil Archie.

"Mom!" Teriak Archie dari seberang telepon yang langsung membuat Vivian menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Halo, Sayang! Sudah makan siang?" Tanya Vivian seraya tersenyum karena membayangkan wajah Archie yang sudah membuatnya rindu. Padahal baru sepekan mereka berpisah.

"Sudah, Mom! Tadi makan sama Ayah Sandy."

"Oh, begitu. Di sana baik-baik, ya! Jangan nakal!" Pesan Vivian selanjutnya pada sang putra.

"Siap, Mom!"

"Mom juga jaga kesehatan, ya! Jangan telat makan! Archie sayang Mom! Mmmuuuah!"

"Mmmuuuah!" Balas Vivian seraya mengulas senyum.

"Ayah Sandy mau balik ke kantor. Archie tutup teleponnya, ya, Mom! Bye!"

"Bye, Sayang!" Pungkas Vivian bersamaan dengan telepon yang terputus. Vivian baru saja menyimpan ponselnyq, saat pintu ruangan Rumi tiba-tiba menjeblak terbuka. Rumi masuk ke dalam ruangan dengan raut wajah ketus seakan sedang marah.

Ada apa?

Rumi marah pada siapa?

.

.

.

Maaf baru UP.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!