NovelToon NovelToon

Ternoda Di Malam Pengantin

Ternoda di Malam Pertama

Ini spin off TAK SANGGUP BERBAGI. Pembaca baru bisa baca novel itu dulu supaya dapet feelnya. Cuma sedikit, hanya 76 bab. Tapi kalau engga, gpp. Masih tetep nyaman dibaca kok😘

Dukung dengan tap ❤ & like yah...😚

TERNODA DI MALAM PENGANTIN

“Mbak, ada orang mau ketemu Mbak katanya penting,” ucap adiknya ketika dia sedang melakukan makan malam dengan keluarga. Acara pernikahannya baru saja selesai, dan dia baru saja sempat menelan satu-dua suapan.

“Siapa?” tanya Dara dengan sedikit berbisik karena tidak mau mengganggu kenyamanan keluarga yang sedang serius berbicara.

Razka mengedikkan bahu. “Tapi orangnya di situ!” tunjuk nya ke arah pintu. Namun sayang, sosok itu tak tampak di mata Dara.

“Mana orangnya?”

“Tadi ada di situ, Mbak. Razka tidak bohong. Ini suratnya.” Razka menyerahkan surat pada kakak perempuannya. Di sana tertulis, ‘Temui aku sebentar, di depan gedung. Ini penting.’

“Siapa sih?” gumamnya setelah membaca tulisan tersebut.

“Makanya kalau Mbak penasaran ditemui dulu orangnya.”

“Ya sudah,” jawab Dara akhirnya. Setelah berpamitan kepada lelaki yang beberapa menit lalu menjadi suaminya, dia pun gegas keluar dari sana untuk menemui pria misterius itu.

Namun setelah keluar dan mencari-cari, Dara tidak kunjung menemukan orang yang dimaksud di dalam kertas ini.

“Razka pasti membohongiku. Dasar bocah,” gumamnya kesal karena Razka memang sering jahil mengerjainya.

Namun pada saat ia berbalik badan, seseorang membekapnya, membuatnya tidak sadarkan diri dan memasukkannya ke dalam mobil. Pria misterius itu juga berpakaian layaknya seorang pengantin—agar orang lain tak curiga saat dia membawanya ke dalam kamar Hotel yang dipesannya beberapa saat lalu.

Menurunkan Dara ke atas ranjang, pria itu langsung menanggalkan pakaiannya sendiri dan juga pakaian pengantin wanita yang ia culik.

Dengan tatapan mendamba, dia memulai memuja seluruh inci tubuh Dara dengan perasaan nelangsa. Sepenuh hatinya sadar bahwa ini adalah sebuah kesalahan, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ada sebuah permasalahan yang tidak bisa ia selesaikan dengan cara yang lurus.

Maka dengan segera, dia melakukan hal yang paling hina, yaitu menodai kesucian sang gadis. Pelan namun pasti. Dia telah menghancurkan kehormatan yang mati-matian Dara jaga untuk suaminya.

Mata dingin namun sedikit sayu itu terpejam merasakan kepuasan dengan wanita pertamanya. Bukan hanya sekali, dia melakukannya berulang-ulang sebelum akhirnya ia mengakhiri perbuatan bejatnya—dan mengembalikan pakaiannya seperti semula.

“Maafkan aku, Dara. Maafkan aku,” bisiknya kemudian mencium keningnya dalam dan penuh perasaan. “Kita akan bertemu lagi suatu saat nanti dengan keadaan berbeda.”

***

Semua keluarga panik mencari Dara tak terkecuali—apalagi Candra; suaminya.

Perempuan yang baru ia nikahi itu tiba-tiba menghilang entah ke mana. Ada dugaan jika wanita ini diculik karena Razka menjelaskan kepada keluarga bahwa memang sempat ada lelaki yang mencarinya. Namun anak remaja yang masih berusia lima belas tahun itu menggeleng saat ditanyai mengenai ciri-ciri seorang lelaki yang ditemuinya beberapa saat lalu.

“Aku tidak tahu, Mas. Aku tidak menghafalkan mukanya. Tetapi dia pakai pakaian bagus seperti orang kaya,” jawab Razka polos.

“Terus tingginya seberapa? Adek pernah lihat atau tidak sebelumnya? Sama siapa dia datang menemuimu?” tanya Ibu Ratna, ibu dari anak ini.

“Ih, aku tidak tahu! Kenapa masih tanya-tanya juga!” sentak Razka akhirnya merasa kesal, sebab beberapa orang di sana memaksanya untuk membuka mulut. “Aku tidak hafal mukanya! Jangan paksa aku!” ucap Razka lagi merasa kesal.

“Bagaimana ini, Chan?” tanya Ayah Hilman kepada sang menantu.

“Sebaiknya kita tunggu dulu saja sampai nanti. Siapa tahu Dara memang sengaja sedang pergi sebentar,” jawab Chandra meraba-raba kemungkinan yang dirinya sendiri pun tidak tahu kepastiannya.

Ratna kurang setuju dengan pendapat menantunya barusan, “Tapi masalahnya ponselnya di tinggal. Bagaimana cara kita menghubunginya?”

“Bu, jangan panik. Tenangkan diri dulu, tenang.” Hilman menenangkan istrinya yang terlihat semakin tak karu-karuan.

Chandra segera menghubungi orang-orang yang bisa ia mintai tolong untuk mencari ke mana istrinya pergi. Bahkan ia juga sempat keluar untuk menanyakan beberapa orang yang ditemuinya. Seharusnya tidak sulit mereka mengenali Dara yang masih mengenakan kebaya pengantin. Tetapi nyatanya, tidak ada satu pun yang melihat ciri-ciri yang Chandra sebutkan itu.

Sementara di tempat lain, Dara sedang mengerjap-ngerjapkan matanya di tempat yang semula ia duduk bersama keluarganya. Kepalanya terasa berdenyut dan berputar-putar. Dalam keadaan linglung, Dara melihat ke sekeliling. Namun suasana sudah berubah menjadi sepi. Sangat berbeda seperti yang terakhir kali dia lihat. “Ibu, Ayah, Chandra, Razka, ke mana?”

Tak lama kemudian, Dara mendapati seorang pramusaji yang sedang wara-wiri membereskan meja. Ya, hanya ada satu dua orang saja yang tersisa. “Mas, keluarga saya mana?”

Orang itu menghentikan kegiatannya sejenak. “Wah tidak tahu, Kak. Mungkin sudah pada keluar. Ini kan sudah malam sekali, Kak.”

“Ya ampun, kenapa saya ditinggal?” gumamnya tak habis pikir. “Saya tadi tidur di tempat ini?”

“Iya, Kak. Tapi saya tidak berani membangunkannya.”

“Baik, terima kasih.”

“Kembali kasih, Kak. Kalau begitu saya permisi.” Usai berkata demikian, pramusaji itu meninggalkannya. Dara juga berniat seperti itu—meninggalkan tempat ini untuk mencari keluarganya.

Namun pada saat Dara akan beranjak berdiri, ia mendesis merasakan tak nyaman di area kewa nitaannya sehingga wanita itu terhuyung dan terjerembab ke lantai. Bukan hanya daerah V itu saja yang sakit. Namun juga bagian-bagian sensitifnya yang lainnya.

“Ya Allah, aku ini kenapa? Kenapa seluruh tubuhku sakit?” Dara menangis tersedu. “Apa yang terjadi denganku?”

Tepat pada saat itu, Candra mendapatinya dan memekik. “Dara!”

Dara semakin tersedu melihat suaminya datang dalam keadaan panik. Apa yang akan ia jelaskan padanya nanti?

“Hei, are you ok?” Chandra membantunya untuk berdiri. Mengira bahwa Dara menangis karenanya.

“Tenanglah. Maaf aku bukan bermaksud meninggalkanmu. Aku justru mencarimu tadi. Kamu menghilang selama tiga jam dan membuat kami semua khawatir.”

‘Aku bukan menangis karena kamu tinggalkan sendiri. Tapi memang ada orang lain yang menyakitiku ....’

“Kamu lemas? Aku gendong ya?”

Dara masih terdiam. Dia terlalu bingung dari mana cara ia menjelaskan kepada suaminya bahwa dia sudah ternoda di malam pertama mereka.

“Dara!” seru ibu Ratna disusul oleh anggota keluarganya yang lain. Melihatnya dengan tatapan menilai. Apa yang sebenarnya terjadi kepada Dara?

“Alhamdulillah kalau kamu tidak apa-apa, Nduk. Kami khawatir dan mencarimu ke mana-mana. Lain kali kalau pergi itu pamitan dulu,” imbuh beliau seraya membelai lembut pipinya untuk memastikan keadaan putrinya.

“Kamu sakit, Nduk?” tanya Ayah Hilman menduga.

Chandra menyahuti, “Sepertinya begitu, Yah. Makanya Dara diam saja. Kalau begitu biar Chandra bawa ke mobil. Chandra mau bawa Dara langsung pulang ke rumah. Ayah sama Ibu mau ikut?”

Karena khawatir dengan keadaan anaknya, mereka pun mengangguk dan mengikuti ke mana menantunya pergi.

Di dalam perjalanan, Ibu Ratna kembali melayangkan pertanyaan kepada putrinya, kenapa dia bisa pergi sedemikian lamanya tanpa pamit sehingga membuat semua orang menjadi kalang kabut?

Tetapi anehnya, Dara tidak mau menggubrisnya sama sekali dan memilih untuk berpura-pura tidur.

Mereka tidak tahu, beban berat sedang menimpa perempuan ini semenjak hari pertama pernikahannya.

‘Aku sudah hancur hari ini karena sebab yang tidak aku ketahui.’

***

To Be Continued.

Menghadapi Kenyataan Terburuk

Sesampainya di rumah—lebih tepatnya rumah baru mereka berdua yang Chandra siapkan sebelum menikah, Dara langsung membersihkan diri. Dia tidak peduli siapa pun lagi karena sedang merasakan nyeri sendirian. Kabut tebal menyelimuti hatinya juga masa depan rumah tangga ini. Akankah Chandra masih mau menerimanya dalam keadaan kotor?

Menanggalkan pakaiannya, Dara kembali terisak. Dari pantulan cermin ia melihat banyaknya bekas cumbuan di sekitar dadanya, perutnya, hingga kaki bagian dalam.

“Kelakuan bejat siapa ini?”

Dara pun heran. Dalam keadaan demikian, dia berpikir, kenapa lelaki itu tidak membunuhnya saja sekalian?

Untuk apa dia dipertahankan hidup dalam keadaan kotor dan hina?

Pintu diketuk disusul dengan suara panggilan dari Chandra. “Dara ... Dara!”

“I-iya, sebentar,” jawab Dara agak tergagap. Sebab dia sedang melamun.

“Kamu tidak apa-apa? Mandinya jangan terlalu lama.”

Dara segera menyudahi kegiatannya. Dia telah siap dengan apa pun yang terjadi ke depan. Namun dia tidak akan membiarkan setan pengecut itu berkeliaran secara bebas di luar sana.

“Aku berjanji akan mencari mu! Demi Tuhan aku akan mencari mu! Aku akan menghancurkan mu lebih dari kamu menghancurkan ku!” gumam Dara seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat penuh amarah dan kebencian.

KLEK.

Dara keluar dengan sudah memakai pakaian lengkap. Dres rumahan berwarna salem dengan ukuran panjang selutut. Kebaya pernikahannya dia tanggalkan dan dimasukkannya ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Dia menandai harum parfum lain yang menempel pada kebaya itu. Kelak akan dia cari siapa pemiliknya. Dara yakin hanya orang terdekatlah yang mampu berkhianat. Ya, pasti. Tidak ada orang lain yang lebih mengenali dirinya selain orang dekat. Batinnya begitu yakin.

“Kamu berbicara dengan siapa?” tanya Chandra begitu ia membuka pintu. Ternyata pria itu menungguinya tak jauh dari kamar mandi.

“Tidak berbicara dengan siapa pun,” Dara menjawab.

Chandra mendekatinya. Pria itu sudah terlihat segar dan sudah memakai piyama tidurnya. “Aku terlalu lama menunggumu, jadi aku mandi di kamar bawah.”

Dara mengangguk. Dia merasakan tangan kekar itu merangkul pinggangnya dan membawanya ke tempat tidur. “Kita duduk di sana,” bisik nya lembut.

Dara bertambah gugup pada saat Chandra memperlakukan demikian. Apalagi saat menyingkirkan helaian rambutnya ke sela-sela telinga dan mulai mencium pipinya. Apa dia akan meminta haknya malam ini?

Ya Tuhan ... ini benar-benar celaka.

“Ceritakan apa yang terjadi padamu tadi. Kenapa kamu pergi?” tanya Chandra dengan sangat hati-hati. “Kami mencari mu ke mana-mana. Bahkan aku sampai meminta bantuan orang lain untuk mencari mu. Beruntung tadi aku kembali ke sana. Karena aku yakin kamu masih di sekitar gedung tempat pernikahan kita.”

Dara menunduk. Tenggorokannya tercekat. Sekuat raga dia menahan air matanya agar tak jatuh ke pangkuan. “Aku ... aku bertemu teman,” jawab Dara tergagap. Dia ingin terus terang, tetapi takut Candra murka. Dia sangat takut sekali bila suami yang baru satu hari dinikahinya itu langsung menceraikannya.

“Teman siapa?” tanya Chandra lagi. “Kalau hanya bertemu teman, kenapa harus selama itu. Kau membuatku sangat khawatir.”

Lama Dara berpikir sehingga Chandra kembali berujar, “Vita?”

“I-iya, Vita,” jawab Dara terpaksa mengambinghitamkan temannya. “Soalnya, dia datang dari jauh. Besok sudah harus pulang. Jadi aku terpaksa menemuinya lebih lama,” imbuhnya lagi. Berharap kebohongan ini dapat menyelamatkannya sementara.

Namun kemudian Chandra tersenyum sehingga membuat Dara menjadi sedikit lebih lega. Karena berarti pria ini mempercayai ucapannya barusan. “Ya sudah kalau begitu. Kita langsung tidur saja malam ini. Aku tahu kamu pasti capek sampai sakit begini. Obatnya di atas meja. Kamu minum, ya.”

Dara mengangguk. Dia merasa sangat terbebani melihat ketulusan pria ini. ‘Ya Tuhan ... bagaimana jika dia mengetahui kebenarannya?’

Malam itu, Dara tidur dalam keadaan sangat rapuh. Pun pada saat keesokan harinya, hatinya senantiasa dalam keadaan rawan. Entah kepada siapa dia harus menceritakan keluh kesahnya. Keluarga bukanlah orang yang tepat karena justru akan menghancurkannya kemudian.

***

“Dara, sudah siang, buatkan suamimu itu minum. Jangan lupakan tugasmu. Kamu sudah jadi seorang istri, jadi layanilah suamimu sebaik-baiknya,” kata Ibu Ratna ketika mendapati putrinya turun ke lantai bawah.

“Iya, Bu.” Dara menuju ke dapur untuk membuatkannya teh manis hangat.

Di sana, Ibunya kembali menanyakan perihal semalam yang belum sempat mendapat jawaban. Orang tua memang biasa lebih cerewet, Dara memakluminya dan menjawabnya dengan jawaban yang sama seperti Dara katakan pada Chandra semalam.

“Mertuamu itu sampai berkali-kali menanyakanmu ke ibu. Sudah ketemu belum? Keadaannya bagaimana? Ketemu di mana? Pergi sama siapa?” bebernya menirukan gaya bicara besannya. “Ya maklumlah kan khawatir, tandanya mereka sayang sekali sama kamu, Nduk. Jadi kamu nanti hubungi beliau, ya.”

Lagi-lagi Dara mengiyakan. Dara yakin benar, dia akan membohongi banyak pihak nantinya.

“Temanmu itu masih di Hotel atau sudah pulang ke kota?”

“Setahu Dara belum, Bu.”

“Loh, katanya ketemu semalam? Tidak tanya mereka mau pulang kapan.”

“Eh, maksud Dara, kalau Vita sama Mas Yudha pulang pasti memberiku kabar dulu, Bu.”

“Oh, begitu?”

Ibu Ratna memang ibu-ibu kampung yang bisa dikatakan kurang berpengetahuan. Namun Dara heran, kenapa dalam keadaan masalah-masalah demikian, Ibunya begitu cerdik mengorek, bahkan dalam keadaan halus sekalipun.

Pada suatu kesempatan—saat semua orang sedang sibuk memasukkan barang-barang berupa furnitur dan elektronik ke dalam rumah barunya, Dara segera menghubungi Vita yang diketahuinya masih berada di Hotel. Dia meminta sedikit waktu untuk bertemu.

Dara meminta izin saat sudah berada di luar lantaran khawatir Chandra akan melarangnya atau membuatkannya pilihan. Dia tidak ingin tawar menawar untuk persoalan ini. Toh dia hanya keluar untuk menemui sahabatnya, bukan untuk berselingkuh dengan lelaki lain.

Sesampainya di Hotel yang Vita tempati, Dara langsung mencari tempat duduk.

Tidak sulit mencari Vita yang selalu lebih menonjol di antara orang lain. Sosok ibu muda cantik itu sedang mendekat ke arahnya dengan segala kerepotannya membawa anak kembar berusia tiga tahunan.

“Dar?” sapa Vita lebih dulu.

“Tante!” panggil anak perempuan yang bernama Mauza. Sedangkan anak laki-lakinya bernama Umar.

“Ta, apa kita bisa bicara berdua saja? Pembicaraan kita tidak patut di dengar oleh anak kecil seperti mereka,” ucap Dara yang sebenarnya cukup berat menyampaikan hal ini.

“Sepenting itukah, Dar?”

“Ya, ini sangat sensitif. Maaf aku pikir kamu akan turun sendiri tadi.”

“Ok, fine Dar. Tidak apa-apa. Sebentar aku telepon Mas Yudha dulu, ya.”

Tak berapa lama telepon tersambung. “Mas, aku lagi sama Dara. Aku mau bicara penting sama dia, cuma berdua. Tolong jagain Mauza sama Umar dulu, ya. Ya, aku tutup teleponnya ya, Mas.”

“Maaf aku mengganggu waktumu ya, Ta,” ucap Dara begitu teleponnya ditutup.

“Tidak apa-apa, Dar. Santai saja. Nanti Mas Yudha jemput mereka, kok.”

Dara mengangguk. Sebentar kemudian, suami Vita keluar dari dalam lift dengan percaya diri walau masih mengenakan piyama tidurnya di siang bolong seperti ini.

Yudha sempat menyapa Dara sesaat sebelum akhirnya dia membawa kedua anaknya ke atas dan meninggalkan mereka berdua.

“Mukamu tegang sekali, Dar. Tenangkan dirimu dulu,” ucap Vita menggenggam tangannya. Dia yakin sahabatnya ini sedang dalam masalah yang besar. Terlihat dari sorot matanya yang ketakutan dan kebingungan.

“Sekarang kamu ceritakan pelan-pelan, ya. Percayakan semuanya denganku.”

Dara menunduk. Beberapa tetes air mata baru saja jatuh dari pelupuknya, kemudian berujar dengan lirih, “Aku diperkosa semalam, Ta. Bukan Mas Chandra, tapi orang lain.”

“Hah?” Vita terkejut. Spontan dia melepaskan genggaman tangannya dan berdiri untuk segera merengkuh tubuh temannya tersebut.

***

TO BE CONTINUED

Mencurigai Wangi Parfumnya

“Aku diculik semalam,” sambung Dara lagi di sela isak. “Aku sudah hancur, Ta. Kehormatan aku direnggut paksa oleh binatang. Ya, aku yakin dia binatang karena dia tidak punya otak.”

Vita mengusap-usap punggungnya dan mengulurkan beberapa lembaran tisu. Dia sangat terenyuh sekali melihat sahabatnya yang sedemikian menderita oleh sebab yang tidak dirinya ketahui.

“Kamu ada di gedung pernikahan ‘kan Dar? Kenapa bisa sampai diculik?” tanya Vita kemudian.

Lantas Dara menceritakan awal kejadian kenapa ia bisa diculik. Mulai dari menerima sepucuk surat dari seseorang yang memintanya untuk bertemu di luar gedung, kemudian dibekap oleh orang tak dikenal hingga tak sadarkan diri. Lalu tahu-tahu sudah berada di tempat semula dengan kondisi yang mengenaskan.

“Ya Allah, Dar. Tapi bukannya ini malam pertama kalian? Lantas bagaimana suamimu mengetahui hal ini?”

“Malam ini aku masih selamat. Kita belum melakukan apa-apa karena Mas Chandra mengira aku sedang kelelahan. Tapi kalau untuk malam nanti, aku tidak tahu. Aku benar-benar bingung.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan, Dar. Apa setelah ini kamu masih mau membohonginya?”

“Aku tidak tahu. Aku ... aku takut diceraikan, Ta. Namaku pasti tercemar dan aku akan malu, apalagi keluarga.” Dara semakin tersedu dan semakin mengeratkan pelukan. Kedua wanita itu tidak peduli banyaknya orang yang berlalu lalang yang sesaat memperhatikan mereka.

“Dar, aku mau tanya,” ucap Vita ketik Dara sudah jauh lebih tenang. “Apa kamu punya musuh sebelumnya?”

Dara menggeleng. “Bukan tidak ada, tapi aku tidak tahu,” jawabnya.

“Siapa orang yang kamu curigai? Sebutkan satu-persatu biar aku bantu selidiki.” Vita menawarkan bantuan.

“Apa mertuaku atau bahkan suamiku sendiri bisa melakukan itu, Ta?”

“Kalau dalam kondisi seperti ini, tolong jangan gampang percaya dengan siapa pun selain dirimu sendiri. Berdasarkan pengalaman, orang terdekat adalah orang yang paling berpotensi. Bukan berprasangka buruk, tetapi kita sebagai manusia memang harus mawas diri. Semua bisa jadi pelaku ... dan kamu harus hati-hati,” kata Vita membuat ia mendongakkan kepalanya. Menatapnya dengan lebih serius.

Namun apakah betul mereka tega melakukan semua ini? Apa yang menjadi motifnya? Setahu Dara, mama atau papa mertuanya sangat baik. Meskipun pada awalnya mama Dwi dan adik iparnya sempat tidak menyukainya, tetapi perlahan semua keadaan itu berbalik.

Apa mereka memang menusuknya diam-diam, agar rumah tangga anaknya itu hancur perlahan?

Ah, keruh sekali pikirannya.

“Kalian masih lama ‘kan di sini?” tanya Dara karena ada perasaan tak rela jika sahabatnya itu pergi meninggalkannya lagi. Dara benar-benar sangat membutuhkan Vita sekarang ini dan ingin selalu bersamanya—karena hanya dialah sahabat satu-satunya dan terbaik yang ia miliki.

“Sebelumnya aku minta maaf, Dar. Aku tidak bisa tinggal lebih lama, nanti malam kami sudah harus pulang. Mas Yudha sama Alif banyak sekali pekerjaan. Lagi pula Rayyan harus sekolah. Aku sibuk sekali. Tetapi kapan-kapan aku ke sini lagi, kok. Aku janji.”

Meskipun keberatan, namun Dara tidak kuasa untuk menahan apa lagi melarangnya. Kehidupan mereka sudah berbeda.

“Makasih ya, Ta. Sudah mau mendengarkan ceritaku. Aku sudah jauh lebih lega daripada sebelumnya.”

“Ya, sama-sama, Dar. Terus ceritakan perkembanganmu ke depan.”

Dara mengangguk.

“Kalian hati-hati dijalan,” ucap Dara sebelum akhirnya mereka Vita pergi meninggalkannya.

Dara membayar tagihan minuman yang mereka pesan, lalu keluar dari tempat tersebut.

Tring ....

“Iya, Mas Chan?” Dara mengangkat panggilan dari suaminya sambil berjalan keluar.

“Jangan lama-lama perginya, aku kangen,” ujar suara dari seberang.

“Iya, sebentar aku mau cari taksi pulang, ya.”

“Betah sekali kamu dengannya. Aku jadi cemburu.”

“Cemburu kok sama cewek.”

“Cepat pulang.”

“Iya sebentar ....”

“Ok, aku tunggu di rumah.”

Belum sempat panggilan ditutup, tubuhnya menabrak seseorang hingga membuat ponselnya terlepas.

“Ya ampun, kamu itu kalau jalan pakai mata, dong! Lihat tuh ponsel aku jatuh. Pokoknya aku minta ganti sepuluh kali lipat, kalau tidak aku laporkan kamu ke polisi!” gerutu Dara seraya mengambil ponselnya di lantai.

“Aku akan menggantinya,” jawab orang itu. Dara sontak mendongak pada saat ia mengenali suaranya.

“A-Alif?” ucapnya dengan mulut menganga. Kenapa ada dia di sini?

“Jangan dibiasakan. Kamu yang salah tapi orang lain yang kamu maki-maki,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Membantunya untuk berdiri, “Come on.”

Dara masih menganga. Menurut sudut pandangnya sendiri, bukankah dia yang sengaja menabraknya?

Dara berdiri, “Hei, kau yang menabrakku, hello!”

“Mau kuperlihatkan CCTV-nya?”

“Pasti aku yang benar.”

“Kamu yang salah, kamu sibuk menelepon tadi, jangan lupakan itu.”

“Tidak, kau yang salah!” Dara tidak mau kalah.

“I dont care,” kata Alif tidak peduli.

“Kamu memang selalu begitu, tidak peka.”

Mata Alif langsung menajam mendengar kata tidak peka. Kemudian tanpa dikehendaki tangan itu bergerak dengan sendirinya menarik tangan Dara dan mencengkeram lengannya kuat-kuat sehingga Dara tersentak. “Bukankah kau yang selama ini tidak peka?!” ujarnya dengan nada meninggi serupa orang yang hampir habis kesabaran.

“Kok jadi kamu yang marah?” tanya Dara tidak habis pikir. “Oke, oke ...” Dara menghela napasnya agar dirinya senantiasa berada dalam keadaan tenang. “Aku salah, aku minta maaf,” ucapnya mengalah untuk menghentikan persoalan ini agar tak menjadi perdebatan berkelanjutan.

Namun pada saat Alif melepaskan cekalannya, Dara kembali menggerutu, “Dasar pemarah.”

Alif seketika tersadar bahwa tindakannya ini sangatlah berlebihan. “Sorry, aku—”

“Ya, sudah, aku paham,” sela Dara berusaha untuk mengerti. “Mungkin kamu sedang dalam masalah, jadi cepat emosi,” ujarnya beranggapan.

“Permisi, aku mau pulang, kalian hati-hati kalau malam ini jadi balik ke Jakarta. Oh, ya. Salam buat Umi Ros sama Abah.”

Tapi Alif tak menanggapinya dan malah justru bertanya hal lain, “Dengan siapa kamu datang?”

“Sendiri.”

“Aku antar kamu pulang,” kata Alif yang kemudian diprotes oleh Dara.

“No, Alif! Aku bisa pulang sendiri. Aku bukan anak kecil yang suka di antar ke mana pun pergi. Jarak rumahku dekat dengan Hotel ini, jadi kau tidak perlu repot.”

Kendatipun Dara mengomel, namun perempuan itu tetap mengikutinya sampai di tempat parkir. Ini memang aneh, tetapi kenyataan itulah yang terjadi.

“Masuk,” titah Alif membuka pintu mobilnya. “Mumpung aku sedang berbaik hati padamu.”

“Tapi aku bilang tadi tidak usah, aku bisa pulang sendiri, aku bisa pesan taksi atau minta tolong ke security untuk mencarika—”

“Masuk!” tegas Alif tidak ingin dibantah, sehingga membungkam mulut cerewet yang ada di hadapannya.

Dara tidak terkejut atau kaget dengan perlakuan semacam ini karena dia sudah begitu mengenalnya—bahkan jauh sebelum dia mengenal Chandra. Pria ini memang perhatian, walau demikian cara dia menunjukkannya.

Namun ada sesuatu yang tidak nyaman ketika pintu mobil ditutup. Dia seperti tidak asing dengan harum maskulin di mobil ini yang lantas membuat Dara menjadi curiga.

“Alif, apa bau parfum ini berasal dari tubuhmu?” tanyanya tanpa basa-basi. Tatapannya menyelidik menunggu jawaban yang akan Alif katakan.

“Kenapa, kamu suka dengan aroma tubuhku?” jawab Alif menyeringai. “Katakan saja bahwa kau ingin mencium tubuhku dengan jarak lebih dekat.” Dengan tidak tahu diri, dia mendekatkan tubuhnya.

Dara memutar bola matanya malas. Belum sampai ke mana-mana pertanyaannya, tetapi dia sudah dibuat enek duluan oleh pria di sampingnya itu. “Dasar menyebalkan.”

***

To be continued.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!