“Topeng terbaik
dari sebuah kehidupan adalah bertindak dalam diam…
Dimana dimata dunia tidak semua orang melihat dari apa
yang bisa kita
lihat, dimana orang-orang
didunia menilai dari apa yang mungkin mereka dengar, bukan
apa yang sebenarnya terjadi…Untuk hal itu…”
“ ....Aku pun berjanji. Hidupku ini hanyalah milikmu selamanya. Cintaku hanyalah kamu. Percayaku ada pada keyakinan mu dan jiwa ini akan selalu menunggu sampai kau kembali terbangun dari tidur panjang mu untuk tetap menerima hadirku dalam kehidupanmu... ” sosok pria berjubah hitam berdiri diam didepan bongkahan Kristal es berwarna merah semerah darah. Dengan mengandeng tangan seorang gadis kecil, pria berjubah itu beranjak dari tempatnya berdiri kini.
Sesekali sang pria melihat kearah belakang, tepat kearah bongkahan Kristal es merah berwarna merah darah tersebut. Terbayang kembali sosok gadis belia yang baru beberapa waktu lalu menjanjikan hidup bersama selamanya. Matanya meyakini betul sosok yang terkurung didalam Kristal es tersebut adalah sosok yang gadis yang sama dengan gadis belia yang telah menjanjikan hidup bersama selamanya. Hanya saja sosok gadis dalam bongkahan Kristal es itu kini sama mungilnya seperti sosok gadis yang tengah menggandeng tangannya kini. Balutan gaun hitam yang dikenakan gadis mungil dalam bongkahan Kristal es itu sama dengan sosok gadis kecil yang tengah menggandeng tangannya, membuat kedua gadis kecil yang ia lihat dihadapannya seakan bayangan cermin. Benar-benar mirip dan tidak bisa dibedakan yang manakah yang sebenarnya sedang ia pandangi.
Sang pria menarik lembut tangan gadis yang bersamanya. Dia membalikan badan dan bersiap untuk menjauhkan diri dari bayang yang kini mengusik pemikirannya.
“ Kita akan kemana? ” tanya gadis kecil yang tengah menggandeng tangan sang pria. “Apakah kita akan pergi jauh? Apakah kita akan meninggalkannya sendiri disini? ” sang gadis kecil berbalik melihat kearah Kristal es merah semerah darah yang baru saja ia tinggalkan.
Melihat ada kehidupan lain dalam bongkahan Kristal es tersebut dari kejauhan, gadis kecil itu kembali menghampiri Kristal es yang ada dibelakangnya. Menatap sosok gadis kecil lain dalam Kristal es itu, dia tersenyum kecil. Diletakkannya tangan mungil itu pada bayangan telapak tangan gadis kecil dalam bongkahan Kristal es itu. Matanya terpejam. Sembari tersenyum merasakan adanya kehidupan dari dalam Kristal es dihadapannya, sang gadis kecil dikejutkan oleh tepukan pria yang membawanya ketempat ia berdiri kini.
“Kita harus pergi sekarang? ”
“Ngg..” gadis kecil itu mengangguk pelan. Kembali menggandeng tangan sang pria, dia bersenandung ria.
Dalam lesatan ditengah malam yang berkabut, si pria menggendong gadis kecil yang bersamanya. Sesekali ia kembali menengok kearah belakangnya. Dimana semuanya menjadi semakin jauh, mengecil dan perlahan menghilang dari pandangan.
“ Kita akan kemana? Apa kakak akan ikut dengan kita? ”
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari gadis kecil yang digendongnya, si pria menghentikan lajunya ditepian
sebuah jalan penghubung antar kota. Ditepi jembatan kecil pembatas jalan, si pria berdiri dan sesekali lampu mobil memberi cahaya pada sosoknya yang berdiam diri.
“ Kita akan menunggu kakakmu terbangun dari tidurnya.” Jawabnya dengan tetap menggendong gadis kecil tersebut. “ Dan sampai saat itu tiba, akulah yang akan menjadi pengganti kakakmu. ”
“ Berapa lama? ”
“ Mungkin butuh waktu yang tidak sebentar….” jawab sang pria menerawang.
Sang gadis kecil hanya menatap penuh makna.
“ Kita akan selalu mengunjungi kakak, bukan? ”
“ Ya!" Jawabnya. "Setiap satu dekade, kita akan kembali kesini. Melihat apakah kakakmu sudah terjaga dari tidurnya atau belum? ” si pria tersenyum menghibur anak perempuan kecil yang mungkin dari tubuh mungilnya, usianya terlihat seperti anak berusia lima tahun, tapi hidupnya sudah berjalan hampir seratus tahun lamanya. “ Untuk sementara waktu kita harus menjauhi tempat ini. Hanya untuk memastikan kalau kita bisa kembali lagi kesini.”
Sang gadis kecil mengangguk riang. “ Kakak pasti akan terjaga dari tidur panjangnya.”
Si pria tersenyum. Menguatkan pegangannya pada gadis kecil yang di gendongnya, ia kembali melesat pergi dari tempatnya berdiri. Melesat sejauh mungkin untuk bisa menemukan misteri terkuncinya sosok gadis mungil satunya pada bongkahan kristal merah sepekat warna darah.
Dalam benaknya ada banyak kemungkinan yang dimana dari semua kemungkinan, dia tidak bisa menemukan hal yang pasti telah terjadi. Bahkan untuk setiap dekade yang ia lewati, jawaban yang ia cari tetap menjadi misteri baginya.
Dimana sosok dalam bongkahan kristal es itu tidak menunjukan tanda-tanda kebangkitan dan lainnya.
"Kakak masih belum bangun?"
"Ya" jawabnya. "Kita akan menunggu waktu yang lebih lama lagi untuk bisa langsung bersentuhan dengannya.
"Masih harus menunggu lagi?!"
"Ya!"
Kedua sosok dalam kegelapan malam itu melesat dengan cepat dan menghilang dari pandangan orang tua yang menjadi penjaga bongkahan kristal es merah sepekat darah yang bagi bapak tua itu hanya terlihat sebagai batu tua bertuan yang menjadi titik awal berdirinya kota tempatnya tinggal.
"Sudah ke 8 kalinya...." gumam sang bapak tua menaikan kembali kacamatanya yang sedikit turun ke ujung hidungnya.
Malam itu, malam kembali menunjukan kegelapan nya yang diterangi sayup-sayup cahaya bulan. Sinar itu menyinari semua sudut tempat terutama bongkahan kristal es berwarna merah sepekat warna darah.
***
620
tahun berlalu.
Hutan pinus dikala senja. Kabut yang menutupi setiap jalan setapak yang seharusnya ku lewati untuk kembali pulang. Cahaya jingga yang menembus sela-sela pohon, seakan menuntun langkah ini untuk terus
meraihnya. Setiap sekelebat tanaman merambat yang ku lewati seketika berubah menjadi hamparan mawar putih
yang menawan. Dalam takjubnya dengan hamparan mawar putih itu, langkah ini meragu untuk terus berjalan kehadapan. Sesosok bayangan berdiri tepat diujung sana. Tubuhnya yang membelakangi cahaya senja membuatku sedikit merinding ketakutan. Kedua tangan itu seakan meminta untuk aku mendekat padanya.
Rasa apa ini? Rasa yang sangat kuat. Perasaan seperti ini? Kenapa aku merasa begitu dekat dengan sosok yang kini berdiri jauh diujung sana? Siapa sosoknya?Aku merasa sosoknya seperti hidup didalam diriku.
Debaran ini semakin membawa langkahku untuk mendekat pada sosok itu. Ku perhatikan setiap langkah yang kuambil. Hamparan mawar putih berduri tiba-tiba menggores jari dan membuatku merasakan perih seketika. Dan, dari satu tetes darah yang jatuh diatas kelopak bunga dibawah tanganku, merubah seluruh hamparan bunga mawar putih itu menjadi berwarna merah sepekat warna darah.
Cengkraman rasa takut menyerang seketika dari semua arah mata angin. Dan sosok misterius itupun menghilang di kegelapan yang perlahan menunjukan dirinya setelah senja datang. Aku gemetar. Aku menggigil. Aku ketakutan. Sendiri ditengah hutan yang kini tengah gelap. Aku terjaga dalam kekakuan.
“ Ralin!! ” panggilan suara itu menyadarkan sosokku yang masih membeku ketakutan.
Ibu. Itu suara ibu. Batinku.
Segera aku sadar dari ketakutan ku. Berlari entah kearah mana. Begitu aku menemukan ujung dari hutan pinus
dan hamparan mawar yang berubah menjadi merah sepekat warna darah ini, aku terperosok jatuh.
“ Oouch! ” pekik Ralin begitu menyadari kalau dirinya baru saja terjatuh dari atas tempat tidurnya. Dia melihat sekeliling. Dengan setengah sadar dia meyakini kalau dia tengah berada didalam kamarnya sendiri. Dimana saat ini dia tengah terduduk disamping kasurnya karena terjatuh tadi.
Ya. Ini kamarku. Barusan cuma mimpi. Semua hal yang gue alami tadi itu cuma mimpi. Mimpi yang benar-benar aneh. Tapi juga seperti nyata.
Ralin melihat lagi sekelilingnya. Meyakinkan diri kalau apa yang barusan dialaminya hanyalah sebuah bunga tidur saja.
“ Ya, Tuhan, anak ini! ” sambut sosok seorang ibu dari balik pintu. Sang ibu baru membuka sedikit pintu itu dan mendapati anak perempuannya bangun dengan posisi yang tidak biasa. “ Terjatuh lagi dari tempat tidur, dek? ” sang ibu masuk kedalam kamar dan membuka gorden yang berada tepat di arah timur tempat tidur putrinya.
Jendela itu berukuran cukup besar untuk ruangan dengan ukuran 3x4m yang menjadi kamar dari sang gadis. Dengan berhiaskan kain putih tipis berlapis ungu muda sebagai gordennya, membuat kamar itu terlihat sangat lembut dengan perpaduan cat dinding berwarna pastel. Di satu sudut kanan jendela itu menghadap ke sisi kirinya, terdapat sebuah almari dengan nuansa warna peach yang membuatnya terlihat menyatu dengan warna tembok dibelakangnya. Disisi yang berlawanan terdapat satu meja belajar kayu jati berwarna coklat tua dengan motif kuno tapi tidak mengurangi sedikitpun kemewahan yang ditawarkannya. Sementara berhadapan dengan jendela kamar itu terdapat satu bed single dengan nuansa purple dan disamping bed single itu terdapat satu meja rias kecil dengan cermin berukuran 60x90 cm yang berhiaskan bingkai berbagai foto koleksi dari sang gadis.
Cahaya yang masuk dari celah gorden yang dibuka sang ibu nampak sangat menyilaukan mata dan membuat Ralin sejenak kembali memejamkan matanya. Bayangan mimpi itu melintas lagi dalam benaknya. Hutan pinus, cahaya senja, hamparan mawar putih, dan sosok misterius yang seakan memintanya untuk datang. Ralin tertegun begitu membuka matanya. Ada perasaan yang tiba-tiba mengusik hati dan pikirannya. Rasa yang tidak pernah bisa ia mengerti kemunculannya.
Ditengah-tengah lamunan yang ada, sang ibu mulai mengoceh lagi dengan kebiasaan Ralin selama liburan pra sekolahnya. Belakangan sang ibu selalu melihat Ralin menghabiskan waktunya dengan menonton film ataupun drama korea selama liburan sekolahnya. Walau kadang Ralin juga menyempatkan diri mengurus untuk surat-surat
masuk SMA-nya, kebanyakan isi laptop sang anak adalah berbagai macam drama-drama korea yang ditontonnya hampir sepanjang malam. Dan menurut sang ibu, harusnya Ralin mengingat akan satu hal penting hari ini.
“ Mimpi ketemu siapa lagi sih dek? ” ujar sang ibu yang menaruh seragam SMA sang putri diatas ranjang sang anak. “ Cowok-cowok pecicilan yang ada di laptopmu itu. ”
“Bukan bu.. Ralin bermimpi hal yang aneh tadi. ” kembali menghela nafas Ralin melanjutkan kalimatnya. “ ..dan sekarang Ralin malah merasa hilang semangat… ”
Ditatapnya sang ibu dengan mata berbinar selayaknya anak kecil yang berharap mendapat begitu banyak perhatian dari orang tuanya.
“ Kamu yang aneh. Ini hari pertamamu di SMA, bukanya siap-siap, malah masih bengong aja. ” celetuk sang ibu disela-sela ocehannya.
Ralin terdiam. Dirinya memang masih terduduk bengong disamping kasur tempat ia terjatuh karena mimpinya itu. Masih dengan memeluk bantal guling dan selimut kesayangannya yang bermotif sama, Ralin terperanjat. Sempat melirik sang ibu saat berkata “Hari pertamamu di SMA”. Diliriknya jam weker yang ada diatas meja disampingnya.
“ KYAAAAAA... ” Ralin berteriak histeris.
Saking kencangnya teriakan Ralin tersebut, sampai-sampai seisi rumah menjadi gaduh seakan telah terjadi gempa. Kopi sang ayah tumpah setengah dari cangkir keramik kesayangannya yang hendak diminumnya di kursi santai teras depan. Sang kakak terluka karena tergores pisau cukurnya, dan moko, anjing kecil kesayangan Ralin, gemetar ketakutan dan memilih masuk lagi kedalam kandang yang menjadi rumahnya semenjak dipungut dan dipelihara oleh Ralin dan sang kakak.
“ Ibu, kenapa banguninnya jam segitu sih? Aku kan bisa telat. Mana ini hari pertama lagi. ” oceh Ralin sambil menikmati sarapan yang disugukan dimeja makan.
“ Makannya pelan-pelan ikh! ” ujar sang Ibu sembari mengambilkan lauk untuk sang ayah. “ Abang mu saja masih santai gitu. ” tambah sang ibu seakan tidak peduli dengan kecemasan putrinya itu.
Sang kakak melihat Ralin dengan senyum penuh kesenangan. –mati-kau-hari-ini-Lin! Kurang lebih,
itulah yang ada dipikiran sang kakak.
“ Jelas abang santai. Dia kan ketua Osis-nya. ” rengek Ralin dengan kesalnya. “ Alin jam tujuh sudah harus disekolah. Sudah harus baris juga biar nggak kena sterap si abang tuh!” Ralin semakin bertambah kesal sambil menuding sang kakak yang sedang menikmati sesuatu diseberang mejanya, entah itu makanannya atau pikiran jahilnya yang akan memberikan hukuman apa pada Ralin kalau adiknya itu sampai terlambat dihari pertamanya pagi ini.
“ Sudah, sudah. ” sang ayah menengahi. “ Ralin ikut ayah saja.” tambah sang ayah yang sudah menyelesaikan sarapannya. “ Kalau sudah selesai sarapan, ayah tunggu di mobil. Biar abang bawa motor aja kesekolah. ”
Terperanjat saking senangnya, Ralin bergegas menyusul sang ayah dengan terlebih dulu menjahili kakaknya.
***
Ralin Putri Adityapati. Sosoknya sama saja seperti gadis-gadis seusianya. Dengan rambut sepanjang siku tangan dan sedikit bergelombang dibagian bawahnya, dia selalu membiarkan rambut indah itu terurai dengan berhiaskan jepit rambut dibagian belahan kanannya. Alis dan bulu mata yang lentik alami dipadukan dengan mata yang sedikit sipit tapi below membuatnya terlihat cukup menggemaskan. Wajahnya sedikit bulat dengan hidung mancung dan bibir tipis mungilnya yang selalu berwarna merah alami membuatnya terlihat cantik dan juga imut. Termasuk gadis yang lebih sering mengikuti instingnya, pemikirannya dan percaya dengan perasaan yang dimilikinya. Umur 15 tahun jalan. Akrab dipanggil Ralin. Dan kisah ini dimulai dari hari pertamanya di SMA.
Disebuah Sekolah Menengah Atas, tempat dimana dia harusnya merasakan kehidupan SMA nya yang akan sangat menyenangkan dan mendebarkan. Sebuah sekolah menengah atas yang bernama SMA Kenanga. SMA yang menurutnya adalah SMA terbaik yang pernah ada. Bukan soal prestasi Nasionalnya atau kepopulerannya diantara sekolah-sekolah lainnya. Melainkan karena SMA Kenanga adalah sekolah yang sangat nyaman. Suasana yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Tempat belajar yang tenang dan super rindang yang pernah ada karena seimbangnya antara bangunan gedung dan lahan hijau yang tersedia. Ditambah, dibelakang sekolah terdapat hamparan bukit hijau yang membentang seakan menjadikannya benteng sekolah dari suasana kota yang ramai.
Kini Ralin tengah berjalan santai dari gerbang sekolah menuju gedung utama. Nampak mewah dan megah dengan gaya bangunan arsitektur kuno zaman Hindia-Belanda. Jalan yang ia lewatinya pun nampak begitu asri dengan pohon-pohon besar yang menjadi pembatas ruas jalan antara jalan setapak untuk pejalan kaki dan jalan beraspal untuk dilalui oleh para guru, staf atau beberapa siswa lain yang membawa kendaraannya sendiri. Jalan setapak sendiri diperuntukan bagi siswa yang berjalan kaki atau yang hanya diantarkan sampai didepan sekolah saja. Jalanan itu tersusun dari ubin putih dengan sekat rumput hijau diantara ubin putih berikutnya. Jalanan setapak itu sampai dinamai jalan papan catur oleh siswa disana karena jalanan itu memang sangat mirip seperti papan dari permainan catur.
Satu mobil tua melintas disamping jalan setapak papan catur yang sedang dilalui Ralin. Didalam mobil ada seorang pria yang merupakan salah satu guru sekolah. Itu terlihat dari penampilannya yang rapih dan tenang. Pakaiannya pun pakaian kantoran lengkap dengan jas abu dengan kemeja putih bersih tanpa dasi. Dari dalam mobil tuanya itu sang guru bersenandung parau. Mobil itu perlahan memasuki area parkiran sekolah yang mendekati bagian pojok area.
Ralin tertegun memperhatikan itu. Seakan ada sesuatu yang berbeda dari tempat yang dipandangnya kini. Tepat dipojok sana, terdapat sebuah pohon kenanga. Pohon yang bisa dibilang menjadi alasan dibalik nama sekolah SMA tersebut. Pohon Kenanga. Pohon yang dibaliknya terdapat jalan lain menuju arah perbukitan. Disepanjang perbukitan yang terbentang seperti benteng, terlihat hutan pinus yang sangat luas sampai di ujungnya. Dan tepat diujung bukit yang sekarang tengah menampakan kerinduan dibenaknya, Ralin terpaku. Bukit tersebut seakan memanggil Ralin untuk datang. Untuk sekedar hadir dan menikmati hawa sejuk yang ditawarkannya.
Matanya terpejam oleh hembusan angin sepoi-sepoi yang datang dari arah bukit. Hutan pinus, hamparan mawar putih, cahaya senja, dan sosok misterius itu. Perlahan matanya terbuka merasakan hawa kerinduan yang semakin kuat dan aneh. Ralin yang tidak menyadari langkahnya, kini sudah berdiri ditengah jalan dan menghadap kearah pohon kenanga dipojok parkiran tersebut.
Suara klakson mobil berbunyi cukup keras dibelakangnya membuat Ralin membuka matanya dengan panik. Diiringi dengan suara klakson mobil yang akhirnya membawa Ralin tersadar dari rasa aneh yang berhembus dari balik pohon Kenanga disudut area parkir itu, Ralin kembali dari ingatan akan mimpi anehnya pagi ini. Kaget dengan keberadaan dirinya kini, Ralin membalikan badan menoleh kearah belakangnya.
“ Iya! Iya!. Ini juga gue mau minggir kok. ” ujar Ralin setengah jengkel setelah untuk kesekian kalinya klakson mobil itu dibunyikan dibelakangnya. Dia menepikan dirinya dengan melangkah pelan agar mobil dibelakangnya bisa melewati jalanan itu dengan leluasa. Serta merta tatapan Ralin mengikuti arah laju mobil yang melewatinya.
Sebuah mobil Mercedes Bens berwarna hitam berhasil melewati jalan yang sempat terhalang oleh sosok Ralin yang nampak begitu mencolok ditengah lengangnya jalanan area parkir sekolah itu. Kaca mobil mulai diturunkan perlahan saat pandangan Ralin dan siswa pengendara mobil itu bertemu. Dari balik kaca mata hitam yang dipakai siswa pengendara mobil Mercedes Bens berwarna hitam itu, dapat Ralin rasakan kalau tatapan mereka memang bertemu satu sama lain.
“ Songong. ” umpat Ralin dengan suara yang sangat kecil. Wajahnya sedikit ditekuk dan bibir kecil itu membuat cemberut yang membuat Ralin terlihat begitu manis untuk siswa pengendara mobil itu.
“ Hmmff… ” dari balik kaca mobilnya, si pengendara mobil itu tiba-tiba tersenyum geli. Ada perasaan senang yang mendalam yang tiba-tiba meluap dari dalam dirinya. Bayangan gadis bergaun hitam selutut melintas dalam benaknya dan mengembalikan ingatan si pengendara mobil akan hal yang sudah lama ia nantikan.
“ Lo barusan senyum, And? ” tanggap seorang siswa yang duduk di kursi samping kemudi.
Seorang siswi dengan rambut ikal panjang yang dibiarkan terurai, kulitnya putih mulus bak gadis-gadis korea-jepang, lipstick pink tipis di bibirnya yang cukup menggoda, dan sejenak menurunkan kacamatanya, mata sipit setajam elang yang diperlihatkan dan hidung mancungnya mempertegas secantik apa siswi didalam mobil itu. Lambat laun semakin diperhatikan, sosok siswi itu sekilas terlihat bak Kristal Jung dimata Ralin. Dengan mengenakan seragam sekolah dipadukan dengan blazer berwarna cream, siswi disebelah pengendara mobil itu juga ikut melirik sejenak kearah Ralin.
Di kursi belakang juga duduk siswa lainnya. Seorang siswa berperawakan tinggi, dengan otot tangan tersembunyi dibalik seragamnya yang rapi. Gaya rambut klimis belah samping mengingatkan Ralin pada sosok Kai dari group Exo yang memang sangat cocok jika berpasangan dengan sosok Krystal Jung. Sosok siswa itu terlihat sangat cool dan elegan. Dialah satu-satunya yang terlihat normal dimata Ralin. Setidaknya karena dialah satu-satunya yang tidak memakai kacamata hitam seperti dua temannya yang lain. Siswa itu tersenyum dari balik punggung si pengendara mobil. Sudah sangat lama ia tidak melihat teman didepannya tersenyum segembira itu.
“ Akh! Nggak. ” jawab siswa tadi setengah bercanda. “ Emang gue kelihatan aneh kalau senyum? ”
“ Beda aja! ” ujar siswi disampingnya. “ Kaya bukan elo yang biasanya aja. Bener nggak, Nate? ”
“ Ya?! Seperti itulah. ” jawab siswa satunya lagi.
Lirikan siswa yang dipanggil Nate itu mengarah ketempat Ralin yang masih mematung dan menatap kearah laju mobil dengan jengkelnya. Teman si pengendara mobil itu tersenyum setelah kembali melihat gelagat teman didepannya yang bergejolak tidak biasa untuk secepatnya bisa memarkirkan mobil yang dikemudikannya.
Mobil Mercedes Bens hitam itu mengarah kearah parkiran pojok disamping mobil sang guru yang tadi sempat dilihat Ralin. Mobil Mercedes Bens itu bisa dibilang parkir ditempat yang tepat. Dimana ada banyak hawa horor di sekeliling parkiran itu. Tepatnya dipojok depan pohon Kenanga yang menjadi pohon mascot sekolah juga yang menjadi jalan lain menuju puncak bukit hutan pinus yang rindang itu. Seakan kalau parkiran itu memang diperuntukan bagi mobil Mercedes Bens hitam itu, hawa horor disekelilingnya sirna seketika saat satu persatu dari mereka keluar dari dalam mobil dengan cara yang sangat memukau bagi yang melihatnya. Menjadi pusat perhatian semua siswa baru, ketiga sosok senior berseragam khusus itu menjadi cukup mencolok dimata Ralin.
Seperti membawa hawa segar yang berhembus pelan, Ralin tidak melepaskan pandangannya sedikitpun dari
pemuda yang mengemudikan mobil Mercedes Bens hitam tersebut. Sosoknya nampak begitu tegas dengan wibawa tinggi yang bahkan mampu menyaingi kharisma Rassya -sang-kakak- dimata Ralin. Walau tatap mata beralis hitam dengan bulu mata selentik orang-orang keturunan arab dan senyum manis dari bibir yang nampak menggoda itu selalu terlihat childis, bahkan hal itu tidak bisa mengurangi wibawanya sedikitpun. Tubuh tidak kalah tinggi dengan temannya yang mirip Kai si member Exo. Dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dibagian depan, dia berhasil menyita hampir semua perhatian Ralin untuk sesaat.
Sempat saling menatap aneh, si pemuda memilih berpaling mengacuhkan tatapan Ralin dan mengobrol dengan satu-satunya gadis yang ikut keluar dari dalam mobil mewah berwarna hitam itu.
“ Akh! Copot jantung gue. ” pekik sang gadis saat untuk kesekian kalinya ada yang main klakson tepat dibelakangnya. Gadis bernama Ralin itu berbalik cepat dan mendelik kearah si pengemudi motor yang kini tengah mematikan nyala mesin motornya. Sosok siswa yang berseragam sama seperti ketiga siswa dalam mobil hitam itu, menyambut Ralin dengan santainya. Siswa pengendara motor sport yang menjadi hadiah dari orang tuanya karena prestasi sang pemilik dalam segala bidang. Baik dalam bidang pelajaran, olahraga, ataupun kegiatan lainnya. “ Lo mau gue mati ya, bang? ” geramnya.
“ Ya kali gue nabrak adek gue yang imut ini. ” jawab gemas sang kakak dari balik helmnya. Hawa segar menyeruak diantara kedua kakak-beradik itu.
Rassya Putra Adityapati. 17 tahun kurang lima bulan. Jabatan ketua OSIS. Tipikal cowok pendiam. Masuk golongan siswa populer nomer satu Se-SMA yang ada di kota itu. Walau kadang usil dan jahil, sikap berwibawa dan bertanggung jawab yang dimiliki menjadi nilai plus baginya. Dengan gaya rambut yang seadanya dimata Ralin, sosok Rassya, sang kakak lebih terlihat seperti pemain sinetron Indonesia, Rizky Billar. Jika tidak begitu familiar dengan wajah sang aktris, boleh search di google. Tubuh proporsional dengan tatapan mata dan senyum yang sangat meneduhkan. Kecuali saat sifat jahilnya keluar, dia berubah seperti berkelakuan seperti bocah. Sangat cocok jika dipadukan dengan siswa si pengendara mobil itu.
Hening sejenak.
Perhatian ketiga siswa didalam mobil Mercedes Bens tadi sempat teralihkan mendengar pekikan Ralin itu. Tapi hanya dia yang masih terpaku pada sosok Ralin. Pemuda pengemudi mobil berwarna hitam itu. Ditengah ocehan kakak-beradik itu, si pengendara mobil hitam menikmati setiap ekspresi yang bisa ia tangkap dari sosok yang kini tengah ia perhatikan. Hawa segar masih berhembus seakan mengitari Ralin dan Rassya, sang kakak.
Mengenali setiap gelagat dari seorang yang telah ia nantikan begitu lama, pemuda pengemudi mobil hitam itu mengangkat bahu dan mencoba kembali berbincang dipojok parkiran. Seperti tengah menunggu sesuatu untuk datang, mereka tidak langsung masuk ke halaman sekolah. Hanya berbincang dengan santai.
“ Bang...”
Tidak langsung menjawab, dibukanya kaca helm itu. Sang kakak hanya menaikan alis kananya ke sang adik "Apa?"
“ Mereka itu… ” Tidak melanjutkan kalimatnya, tatapan Ralin dan pemuda pengendara mobil berwarna hitam itu kembali bertemu. Kali ini yakin, si pemuda tidak memalingkan pandangannya sedikitpun dari Ralin. Padahal memakai kaca mata hitam begitu. Batin Ralin. “ Dibolehin emang? ” gerutunya.
“ Dibolehin apaan? ” ujar Rassya yang mengikuti arah pandangan dari adiknya itu.
“ Tuh. ” Tuding Ralin dengan mengangkat dagunya kearah tiga siswa yang masih berbincang santai di pojok parkiran sekolah tempat mereka memarkirkan mobilnya.
Tidak menyahut, sang kakak langsung say “ Hai. ” ke tiga siswa itu dan dibalas dengan sambutan yang baik oleh ketiganya.
“ Naik, Lin. ” ajak sang kakak. Sedikit merasa jengkel, Ralin duduk di jok belakang Rassya, sang kakak, tanpa mengetahui kemana arah motor itu melaju.
Saat Rassya mulai menyalakan mesin motornya, perhatian Ralin teralihkan pada kelas pojok tepat diatas parkiran mobil berwarna hitam itu. Di teras pojok lantai tiga gedung sekolah itu tengah berdiri satu dari tiga siswa senior yang dilihat Ralin dengan begitu santainya. Seakan selesai memastikan sesuatu dengan memberi kode ke si pengendara mobil berwarna hitam itu, siswa senior yang mirip Kai itu tiba-tiba melompat turun dan berdiri santai disamping si pengendara mobil berwarna hitam seolah sosoknya memang berada disana sejak awal. Sangat cepat. Bahkan terlalu cepat dan tepat untuk ukuran seorang manusia dengan keahlian khusus sekalipun.
Ralin kembali memekik kaget. Merasa bahwa apa yang dilihatnya sama sekali bukan halusinasi, Ralin menutup mulutnya yang mungil itu dengan kedua tangannya. Memastikan kalau apa yang barusan dilihatnya bukanlah sebuah khayalan, Ralin menatap ngeri ke arah turunnya siswa itu. Merasakan kejanggalan dari ketiga siswa senior yang kini berada dalam jarak kurang dari satu meter dihadapannya. Ralin clingukan. Tanpa menyadari arah laju motor sang kakak, Ralin hanya terdiam kaku diatas motor yang diparkir Rassya disamping mobil berwarna hitam itu. Hawa yang semakin terasa dingin berhembus disekelilingnya dan Ralin baru menyadari bahwa dirinya sudah berada ditempat yang menurutnya cukup terasa horor dengan tiga siswa seniornya yang tiba-tiba sangat mencurigakan dibenak Ralin.
“ Hei! Kenapa bengong gitu sih? ” pemuda pengendara mobil itu tiba-tiba mencolek pipi Ralin yang masih duduk diam diatas jok belakang motor sang kakak.
Tersadar dengan colekan pipi itu, Ralin menoleh. “ Bukan apa-apa kok. ” jawab Ralin seiring terperosoknya ia dari jok belakang motor sang kakak kearah depannya.
" Nathan. Hay Celine. " sapa Rassya pada siswa dan siswi yang satu mobil dengan si pengendara mobil berwarna hitam itu.
Sang kakak baru saja akan meminta Ralin turun dari jok belakang saat adiknya itu terperosok secara tiba-tiba dari jok motor yang didudukinya. Kaget karena terperosok kearah depannya, tahu-tahu kini Ralin tengah berada dalam dekapan si pemuda yang menahan tubuhnya agar tidak semakin terperosok sampai jatuh menyentuh aspal.
" Urus dia bentar, Ndra. " Rassya melanjutkan obrolannya dengan teman yang disapanya dengan nama Nathan dan Celine itu.
Senang dengan posisinya kini bersama Ralin, si pemuda enggan melepaskan dekapan tangannya pada gadis yang tengah menatapnya dengan cukup aneh itu. Si pemuda tersenyum kembali ketika merasakan lonjakan yang amat sangat dalam pada dirinya. Sesuatu yang berbeda seakan berdesir dan melesat cepat dalam tubuhnya. Membuat si pemuda hampir melakukan sesuatu yang berada diluar kendali dirinya saat itu.
" Senang sekali bisa melihatmu.... " ujarnya mengumbar senyum menatap Ralin.
Dan bagi Ralin sendiri, senyum itu seakan terlihat seperti senyuman yang menggoda.
Mahluk yang aneh! Batin Ralin.
Berusaha berdiri dengan baik setelah ditolong si pemuda, tubuh Ralin masih ditopang dengan baik oleh tangan kanan si pemuda dan satu tangannya lagi tengah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Si pemuda kembali melirik dan menatap senang kearah Ralin yang merasa kurang nyaman dengan posisinya kini. Tidak suka dengan tatapan yang ditunjukan si pemuda kepadanya, Ralin dengan segera menarik diri dari tangan si pemuda yang menolongnya secara kebetulan itu.
Melihat Rassya asyik berbicara dengan dua siswa lainnya, Ralin beranjak dari tempat horor tersebut sampai pegangan tangan si pemuda di bahu Ralin menyadarkannya.
“ Jadi... ” si pemuda tiba-tiba sudah mendekatkan wajahnya pada Ralin. Diturunkannya kaca mata hitam itu sampai diujung hidung. “.. Adiknya Rassyadipati ini mau dapat hukum apa, Sya? ” bukannya menatap Rassya, tatapan si pemuda malah semakin lekat pada sosok Ralin yang seakan menantang dirinya untuk adu saling menatap.
Tidak menjawab, Rassya hanya melirik kemudian melempar senyum santainya yang entah ia tunjukan siapa. Pada adiknya ataukah teman yang kini tengah mengganggu sang adik. Nathan dan Celine yang satu mobil dengan si pemuda pun hanya mengangkat bahu kemudian mengabaikan temannya begitu saja.
" Suka-suka elo aja, Andra... "
Sempat sejenak menatap kedalam mata si pemuda, Ralin langsung menunduk. Merasakan sesuatu yang membuatnya merasa begitu dekat dengan sosok pemuda didepannya itu.
Rindu.
“ Adik manisnya Rassyadipati, ” kata si pemuda yang dipanggil Andra itu sambil menempelkan sepasang tangannya pada pipi Ralin. “ Hukuman pertamamu adalah... ” si pemuda tersenyum jahil menunggu ekspresi yang mungkin akan ditunjukan sosok Ralin pada dirinya.
Ralin perlahan mengangkat kepalanya yang sudah tertunduk. Kembali ditatapnya lekat mata pemuda yang menatapnya dengan jahil tersebut. Diam mematung menunggu si pemuda melanjutkan kalimatnya, seorang siswa baru yang seangkatan dengannya langsung menarik tangan Ralin dan mengajaknya berlari masuk kedalam barisan siswa baru dihalaman utama sekolah.
“ Selamat! ” ujar riang siswa yang membawa lari Ralin itu dengan puasnya. Terlihat sangat bertentangan dengan sosok Andra dan kakaknya yang penuh kharisma tinggi karena pembawaannya, sosok siswa yang kini berdiri dihadapan Ralin lebih menonjolkan sikap dingin dan misterius dibalik senyum riang yang ditunjukannya kini. Model rambut belah samping yang terlihat sedikit urakan ditambah mata sipit beralis hitam panjang. Hidung mancung dan lesung pipi yang samar-samar terlihat disaat dirinya tersenyum, membuat siapapun langsung tertegun dengan kharisma misterius yang dimilikinya.
“ Ralin? ” ujar Ralin mengulurkan tangan tanda perkenalan.
Siswa tadi hanya menatap. Bukan ucapan terima kasih yang ia dapat dari gadis yang ia selamatkan, melainkan jabat tangan tanda perkenalan.
“ Atlas. ” siswa itu tersenyum membalas jabat tangan Ralin.
Disisi lain, Andra, si pemuda pengendara mobil berwarna hitam itu hanya memperhatikan sang gadis dari kejauhan. Melihat Ralin berlari bersama siswa lain yang dikenalnya sebagai sosok pengacau kecil, membuat Andra merasa kecolongan dengan sosok bernama Atlas itu.
“ Gue akan membalasnya nanti. ” gumam si pengendara mobil berwarna hitam itu saat bertemu tatap dengan sosok Atlas dari kejauhan. Sosok Atlas yang kini seakan menjadi benteng bagi dirinya untuk bisa melihat sosok Ralin. Sosok yang membangkitkan rasa rindunya pada kehidupan.
Seakan melihat bayangan sosok Ralin yang berbeda dengan mengenakan dress hitam selutut yang membawa sekeranjang penuh bunga mawar putih, Andra mengikuti langkah ketiga temannya memasuki halaman utama sekolah. Berdiri dengan memperkenalkan diri masing-masing pada seluruh siswa baru yang sudah berbaris rapi dihalaman sekolah, Andra kembali tidak bisa melepas sosok Ralin dari ingatannya. Saat kedua tangannya itu menyentuh pipi sang gadis. Saat mata itu bertemu tatap. Andra tersenyum penuh makna dibalik punggung Rassya yang memperkenalkan diri dan ke tiga temannya sebagai pejabat Osis sekolah.
Hangat.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!