NovelToon NovelToon

Cinta Yang Hilang

Episode 1 Masa Kecil di Jakarta

Seketika itu pun terdengar suara letusan senjata yang membuat kepanikan para tamu undangan dan mereka pun berhamburan keluar dari lokasi pernikahan Jovan dan Marissa.

Polisi menyamar dan para pengawal pun segera meringkus pria yang tersenyum sinis dan tertawa bagaikan orang tak waras.

Sementara itu di panggung pelaminan, Jovan terkapar dengan darah segar mengalir dari punggungnya, yang ia gunakan sebagai perisai untuk melindungi Marissa dan Mario.

Marissa pun berteriak histeris ketakutan, air matanya pun mengalir deras melihat Jovan yang baru saja menjadi suaminya tergolek tak berdaya di depannya.

Kedua orang tua Jovan pun tak kalah panik, mereka segera memeriksa keadaan putranya dan menantunya.

Mario, ayah Marissa berteriak meminta bantuan ambulan. Sambil menghampiri putrinya dan kemudian memeluknya erat.

Tubuh Marissa bergoncang hebat karena tangisnya.

Jovan merasa semua berjalan dengan lambat, semua tampak dalam gerakan yang sangat lambat, ia pun tersenyum melihatnya kemudian ia pun menutup matanya.

Bayangan kehidupannya sedari kecil pun muncul dihadapannya.

"Jooo!! jangan lupa jemput Icha," teriak Jovanka dari ruang makan.

Jovan yang sedang menalikan sepatu sekolahnya pun menjawab dengan malas.

"Iya, Bun."

Sang bunda yang memahami putra bungsunya ini pun menghampiri.

"Tante Riska masih sakit, jadi belum bisa antar jemput Icha. Kamu kan tahu sendiri, mereka cuma tinggal berdua. Tolong ya, Sayang."

"Iya Bun, aku tahu kok. Aku berangkat sekarang ya Bun, assalamu'alaikum," ucap Jovan sambil mencium tangan Jovanka sebagai rutinitasnya sebelum berangkat ke sekolah.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati, jangan ngebut!!" ucap Jovanka mengingatkan.

"Iya, Bun," jawab Jovan sambil melambaikan tangannya dan segera mengayuh sepedanya menuju rumah Marissa yang terletak di samping depan rumahnya.

Marissa adalah anak tunggal dari Riska. Riska sendiri adalah ibu tunggal untuk putri semata wayangnya, yang dikarenakan pengkhianatan suaminya dan kemudian menceraikannya di saat Marissa berusia 4 tahun.

Semenjak saat itu, Riska menopang kehidupannya dan buah hatinya dengan menerima pesanan makanan dan jahitan.

Marissa yang telah melihat Jovan, pun segera berpamitan.

"Bu, Icha berangkat yaa, Bang Jovan sudah di depan."

"Iya, hati-hati. Jangan lupa bilang terima kasih yaa," jawab Riska sambil mengantarkan putri tunggalnya hingga teras rumahnya.

"Iya Bu. Assalamu'alaikum," jawab Marissa.

"Wa'alaikumsalam. Makasih ya Jo, tante titip Icha," teriak ibu Marissa dari teras rumahnya.

"Iya Tante, ga papa, kan sekalian jalan. Jovan berangkat, Te, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah Marissa menaiki sepeda, Jovan mulai mengayuh sepedanya menuju sekolahnya yang berjarak hampir 2 km.

"Cha, pegangan yang bener dong, Abang ga mau tanggung jawab lho kalau kamu jatuh," ucap Jovan yang hafal betul akan Marissa yang selalu berpegangan pada jok sepedanya.

"Aku sudah pegangan kok, Bang," jawab Marissa.

"Pegangan baju Abang deh, Abang juga jadi lebih ngeh kalau kamu masih duduk di belakang," ucap Jovan lagi.

"Ih Abang, emangnya aku mau pindah kemana?? udah ah aku pegangan sadel aja," jawab Marissa.

Jovan pun tak mendebat ucapan Marissa lebih lanjut, karena hanya akan membuat Marissa lebih kesal, ia pun melanjutkan kayuhannya menuju SD Mutiara Insani yang berjarak sekitar 2 km dari rumah mereka.

Sesampainya di sekolah, mereka segera menuju kelas masing-masing.

Jovan merupakan siswa kelas 6, yang sebentar lagi akan menjalani ujian nasional.

Sedangkan Marissa adalah adik kelasnya, yang masih duduk di kelas 2.

Persiapan menuju UN membuat Jovan lebih serius belajar, ketimbang biasanya. Jovan memang dikenal sebagai siswa yang cerdas, tetapi ia hanya belajar jika ujian atau ulangan.

"Jo!! lo berangkat sama Icha lagi??," tanya Arman teman sekelasnya.

"Iya, emangnya kenapa??" jawab Jovan yang juga balik bertanya.

"Tumben sudah sepekan, berangkat bareng terus, biasanya cuma sehari dua hari," jawab Arman.

"Ibunya masih sakit, yaa mau ga mau gue di suruh jemput Icha, jadi yaa berangkat bareng deh," ucap Jovan.

"Nasib tetangga yaa. Hati-hati naksir!!" goda Arman.

"Yeee ngapain naksir sama anak kecil !!" ucap Jovan setengah kesal.

"Yaa siapa tahu. Eh iya, pekan depan kan kita sudah ujian, lo sudah siap ??" tanya Arman.

"In syaa Allah, eh sudah mau bel, yuk buruan," ucap Jovan.

Jovan dan Arman pun segera memasuki kelasnya. Tak lama bel tanda masuk berbunyi, aktifitas belajar di sekolah pun di mulai seperti biasa.

Bulan-bulan berlalu, Jovan mulai menghadapi ujian akhir sekolahnya.

Selesai ujian, Jovan memilih bersantai di rumahnya sambil membaca komik kesukaannya.

"Van, tolong kamu antar kain ini ke ibunya Icha," panggilan sang bunda membuatnya meletakkan komik yang sedang dibacanya.

"Kain untuk apa Bun??" tanya Jovan.

"Seragam untuk nikahannya mbak Tanti nanti," jawab Jovanka.

"Hah?? mbak Tanti mau nikah?? sama siapa??" tanya Jovan.

"Sudah, kamu anterin aja, ga usah pakai banyak tanya, ibu juga ga tahu siapa calonnya," jawab Jovanka.

Jovan yang merasa sedikit terganggu karena harus meninggalkan komik kesukaannya pun berjalan dengan malas ke rumah Marissa yang berada di depan rumahnya yang hanya dipisahkan oleh jalan komplek.

Sampai di depan rumahnya, Jovan segera memasuki pekarangan rumah Marissa, karena pintu pagarnya memang sering tidak dikunci ketika siang hari.

"Assalamu'alaikum," sapa Jovan sambil mengetuk pintu rumah Marissa.

Riska, ibu dari Marissa yang sedang di dapur pun segera menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.

"Wa'alaikumsalam, eee Jovan, masuk," ucap Riska.

"Ga Te, aku cuma ngasih ini aja kok," tolak Jovan sambil menyerahkan 2 lembar bahan kain.

"Yakin ga mau masuk dulu?? padahal tante lagi manggang brownis lho," ucap Riska.

Dengan cepat, Jovan segera masuk menuju ruang makan, karena menurut Jovanka dan Riska hanya tamu yang duduk di ruang tamu ketika bertamu.

Riska pun tertawa kecil melihat tingkah laku Jovan.

"Tunggu ya Jo," ucap Riska sambil berjalan menuju dapur.

"Chaaa, temenin Bang Jo di ruang makan gih!! sekalian aja tanya, katanya ada PR matematika, minta tolong Bang Jo ajarin aja !!" teriak Riska dari dapur.

Jovan pun tertawa kecil mendengar ucapan Riska.

Marissa yang sedang mengerjakan PRnya di dalam kamarnya pun mengintip dari pintu kamarnya yang tidak di tutup.

"Napa Cha, mana PRnya??" tanya Jovan yang melihat sebagian kepala Marissa muncul dari pintu kamarnya.

"Tunggu, Bang," jawab Marissa yang segera mengambil buku matematikanya dan membawanya ke meja makan.

"Nih Bang, tolong ajarin!! Aku ga ngerti caranya."

Jovan mengambil buku matematika Marissa dan mulai membacanya.

"Oooo pecahan.Cha, Abang langsung ngerjain soalnya yaa, nanti sekalian Abang jelasin caranya," ucap Jovan.

"Oke!!" jawab Marissa dengan mata berbinar.

Jovan kemudian mengerjakan soal matematika Marissa sambil menerangkan caranya.

Setelah itu,

"Nah, sudah ngerti belum??" tanya Jovan.

"Hmmm sudah sih," jawab Marissa.

"Yuk, kamu kerjain PRnya yang ini, Abang tungguin sampai selesai," ucap Jovan.

Sembari Marissa mengerjakan PR sekolahnya, Jovan memperhatikan Marissa.

"Tulisannya semakin rapi aja nih bocah," gumam Jovan dalam hati.

Riska kemudian datang membawakan beberapa potong brownies yang baru matang dan minuman untuk Jovan.

"Dimakan dulu Jo," ucap Riska.

"Makasih Te, Jo makan yaa," jawab Jovan.

Jovan paling menyukai brownies buatan Riska karena rasanya yang pas menurutnya. Bahkan ia pernah menghabiskan setengah loyang sendiri, namun ia pun berhenti memakannya lagi karena ditegur oleh Jovanka, tetapi Riska yang sudah menganggap Jovan sebagai putranya sendiri itu, tak pernah keberatan jika Jovan menghabiskan seluruhnya.

Dengan lahap Jovan pun menikmati brownies buatan Riska.

"Habiskan saja, masih banyak kok di belakang. Nanti tante bawain juga buat di rumah," ucap Riska.

"Makasih Te, jadi keenakan nih," jawab Jovan yang masih menikmati brownies kesukaannya.

Sementara itu, Marissa masih berkutat dengan PR matematikanya.

Jovan yang masih menikmati brownies buatan Riska, tetap memperhatikan Marissa mengerjakan PRnya.

Lalu,

"Eeee salah nih, coba di cek lagi angkanya," tegur Jovan ketika melihat Marissa salah mengerjakan soalnya.

"Bukannya bener Bang, kan ini..... ooo iya deng, salah. Hihihi makasih Bang," ucap Marissa.

"Yang teliti ngerjainnya," ucap Jovan mengingatkan.

Beberapa saat kemudian, ketika Marissa telah selesai mengerjakan tugas sekolahnya, ia mendapati browniesnya tinggal satu potong.

Timbul niat iseng Jovan untuk mengganggu Marissa, dengan cepat ia memasukkan potongan terakhir ke dalam mulutnya dan sesuai dengan perkiraannya Marissa marah sambil memukulinya.

"Abang jahat!!! iseng!!! aku kan mauuuu!!! Abaaaaang!!!!" teriak Marissa sambil terus memukuli lengan Jovan.

Bukannya kesakitan, Jovan malah tertawa geli melihat ekspresi kesal Marissa.

Riska pun menghampiri keduanya setelah mendengar keributan kecil di ruang makan.

"Ada apa sih, Cha??? browniesnya masih banyak, dibelakang juga masih ada kok. Sudah, Bang Jovan jangan dipukulin terus, kasian nanti memar lho," tegur Riska kepada putrinya.

"Biarin!!!" jawab Marissa yang masih kesal.

"Eh, Jo pulang dulu ya, Te. Makasih browniesnya Te!!" pamit Jovan.

"Iya, makasih juga sudah bantuin Icha ngerjain PRnya," ucap Riska.

"Sama-sama Te," ucap Jovan.

Jovan pun tak lupa untuk berpamitan kepada 'adik' kecilnya.

"Aduuuh adik manis ini ngambek karena brownies, maafin yaaa. Sekarang, Abang pulang yaa, besok-besok kalau ada PR lagi, langsung ke rumah aja, cari para Abang yang bisa ngebantuin, Icha jadinya bebas bisa pilih, mau sama Bang Jordan, Bang Josie, atau yang iniiii!! ya ya ya. Ish cemberut muluk niii, yowes Abang pulang dulu yaa," ucap Jovan sambil mengacak-acak rambut Marissa juga mencubit pipinya.

Kemudian ia pun segera berlari menuju rumahnya untuk menghindari amukan Marissa.

Marissa yang semakin kesal segera berlari mengejar Jovan sambil berteriak.

"Abaaaang !!!!" teriak Marissa.

Jovan tertawa sambil terus berlari menuju kamarnya.

Sedangkan langkah Marissa terhenti di teras rumahnya, ia pun kembali masuk ke dalam kamarnya dengan rasa kesal.

Jovanka pun menghampiri putranya masih tertawa di dalam kamarnya.

"Kamu ngapain lari-lari pakai ketawa-ketawa gitu?? pasti habis ngerjain Icha lagi yaa??" tanya Jovanka.

Bukannya menjawab, ketika mendengar pertanyaan Jovanka, ia malah tertawa semakin kencang.

"Eh kamu, anak gadis digangguin terus, nanti lama-lama naksir lho," goda Jovanka.

"Ih bunda, apaan sih. Naksir Icha?? hahaha mana mungkin, bocah pendek, aneh, kerjanya ngerengek muluk, ' Abaaaang pelan bawa sepedanya!! , Abaaang jangan dihabisin browniesnya!! , Abaaang bantuin tuh ada yang isengin aku lagi!!, Abang... Abaaaang muluuuuk!!! hadeee naksir dari Hongkong !!" ucap Jovan sedikit kesal.

"Terserah deh, tapi sering tuh kejadian, kecilnya berantem aja kerjanya, eh gedenya nikah," goda

Jovanka.

"Aaah Bunda ada-ada aja mengarang indahnya. Aku baru mau masuk SMP, sudah diomongin mau nikah," ucap Jovan sambil berbaring di tempat tidurnya.

"Sudah sore, mandi sana!! nanti jangan terlambat ke masjid," ucap Jovanka.

" Siaaaap Ndan!! " jawab Jovan lengkap dengan posisi hormat tetapi tetap sambil berbaring, yang membuat Jovanka menggelengkan kepalanya.

"Oiya Bu, ada brownies dari tante Riska," ucap Jovan sebelum masuk ke kamar mandi.

Jovanka pun segera memindahkan tempatnya dan meletakkannya kembali di meja makan.

Bulan-bulan berlalu, Jovan telah memasuki SMP yang berada di samping SDnya dulu.

Sehingga, ia masih berangkat ke sekolah bersama Marissa.

Hingga suatu waktu, dipertengahan kelas 7, Jorrian, ayah Jovan mengumpulkan anggota keluarganya selepas makan malam.

"Ayah mau buat pengumuman. Ayah dipanggil kembali ke Singapore, untuk itu kita semua akan pindah ke sana, tetapi nanti setelah ayah mendapatkan rumah dan sekolah untuk kalian semua," ucap Jorrian.

Ketiga putranya pun saling berpandangan.

"Kita semua Yah?? balik ke Singapore??" tanya Jordan, kakak pertama Jovan yang baru akan memasuki bangku kuliah di Singapura.

"Iya, Ayah ga mau kita pencar-pencar, semuanya ikut ke Singapore," ucap Jorrian lagi.

"Pekan depan Ayah berangkat, kalian nanti menyusul bersama Bunda, setelah Ayah dapat tempat tinggal dan sekolah untuk kalian," jelas Jorrian.

Ketiga bersaudara itu pun hanya terdiam tanpa kata kembali ke kamar mereka masing-masing.

Pikiran Jovan mulai berkelana, sudah lama ia ingin pindah ke negara asal ayahnya, yang hanya ia kunjungi di saat lebaran atau liburan sekolah.

Berbeda dengan kedua kakaknya yang lahir dan sempat tinggal di sana hingga Josie berusia 2 tahun, sehingga kepindahannya ini tidak terlalu spesial buat mereka atau Jordan yang baru saja di terima di Singapore Aviation Academy yang hanya tinggal menunggu jadwal masuk beberapa pekan lagi.

Jovan pun tak sabar untuk segera pindah ke Singapura dan mendatangi tempat-tempat favoritnya di saat berlibur, seperti kebun binatang, pulau Sentosa dan masih banyak lagi.

Seperti yang Jorrian katakan, pekan berikutnya Jorrian berangkat menuju Singapura.

Satu bulan kemudian, rumah Jovan telah dipenuhi dengan box-box barang yang akan dikirim ke Singapura karena Ayah Jovan telah mendapat tempat tinggal dan sekolah untuk Josie dan Jovan.

Untuk itu, mereka sekeluarga akan bertolak menuju Singapura dengan penerbangan pertama di akhir pekan, di hari Sabtu pagi.

"Hari ini kita pamitan ke tante Riska dan Icha. Bunda sudah sempat ngobrol sama tante Riska tentang kepindahan kita, yaaa tante Riska terlihat sedih. Kita bertetangga sudah cukup lama, hmmm berapa tahun yaa??" tanya Jovanka.

"10 tahunan ??" jawab Jordan.

"Hmmm iya sekitar itu," ucap Jovanka.

"Iya, kan dari Icha belum lahir," lanjut Jordan lagi.

"Aaaaah, aku bakalan kangen sama princess Icha," ucap Josie.

Jovan memandang Josie dengan tatapan penuh tanya.

"Princess?? Princess Icha??? waaa Abang demen yaa ama Icha??", goda Jovan.

Dengan santainya, Josie pun menjawabnya,

"Iya, siapa yang ga suka sama bocah semanis Icha. Lucu, nggemesin lho, manjanya bakalan bikin kangen!!"

"Memangnya kamu ga bakalan kangen sama Icha?? lihatin aja nih, sebulan setelah pindah pasti bakalan kepikiran, ga ada yang tiba-tiba ketuk pintu dengan wajah memelas minta dianterin beli buku.. " lanjut Josie.

"Beli buku, minta dibantuin bikin PR, prakarya...," potong Jordan sambil mengingat kenangan mereka bersama Marissa.

"Eh, foto-foto liburan kita bareng Icha jangan sampai hilang!!! Bu, tante Riska juga ada fotonya kan?? " tanya Jordan.

"Ada, bunda kan selalu cetak 2 kali, untuk mereka simpan," jawab Jovanka.

"Yowes, yuk kita pamit ke sana sekarang. Barang-barang buat Icha sudah disiapin kan??" tanya Jovanka.

"Sudah, Bun," jawab ketiga putranya.

Mereka pun berjalan beriringan menuju rumah Marissa.

"Assalamu'alaikum," sapa Jovanka kepada ibu Marissa yang sedang menyapu halaman rumahnya.

"Wa'alaikumsalam, eeee masuk-masuk," jawab ibu Marissa sambil membuka pintu pagarnya.

"Ada apa ini rombongan pangeran datang ke rumah upik abu??" canda Riska.

"Waaa pangeran dan upik abu, hmmm bakalan ada yang nikah nih!!" canda Josie.

"Ih memangnya Abang mau sama Icha?? " tanya Jovan.

"Maulah, sama princess mungil itu, siapa sih yang ga mau," jawab Josie santai.

"Hah?? serius Bang??" tanya Jovan.

"Tunggu saja 15 tahun lagi, lihat siapa yang bakalan jadi suaminya Icha," tantang Josie yang membuat Jordan tertawa.

"Sip, kita lihat nanti, fair play yaa!!" ucap Jordan menjawab tantangan Josie.

"Deal !!" ucap Josie sambil menjabat tangan Jordan.

Kedua ibu hanya tertawa mendengarkan anak-anaknya bercanda.

"Didengar malaikat trus diaminin, bisa jadi beneran lhoo!!" tambah Jovan.

"Terus?? memangnya kenapa?? ga papa kan Te??" tanya Josie.

"Tante sih setuju-setuju saja punya mantu yang ganteng seperti kalian semua," ucap Riska.

"Oke deal, tunggu kita paling cepat 15 tahun lagi ya, Te, " ucap Josie.

"Hush, ngawur kamu, jangan menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa ditepati!! Ris, jangan diambil perduli yaa," ucapJovanka yang merasa tidak enak dengan percakapan putranya.

"Santai aja Mbak," jawab Riska.

Setelah mereka masuk ke dalam rumah,

"Ris, aku mau pamit yaa. Besok pagi kami berangkat dengan penerbangan pagi. Maafkan kalau selama kita bertetangga ada salah, maafkan anak-anak juga, kalau mereka berbuat salah," ucap Jovanka sambil menggenggam tangan Riska.

"Ga Mbak, keluarga Mbak sudah seperti keluarga saya. Mbak sudah seperti kakak saya sendiri. Keluarga Mbak sudah banyak membantu saya dan Icha. Icha pasti akan sangat kehilangan ketiga Abang gantengnya ini," jawab Riska penuh rasa haru.

"Oiya, Ichanya mana Te, kok ga, kelihatan??" tanya Jordan yang tidak melihat kehadiran Marissa.

"Ada kok, seharian Icha uring-uringan aja, karena Abangnya mau pindah," jawab Riska.

"Cha, sini dong Sayang. Abang semua sudah ngumpul lho, seperti lebaran aja," panggil Riska.

Marissa pun berjalan dengan malas menuju ruang keluarga.

"Sini Sayang, mana senyum manisnya buat Bunda?" ucap Jovanka.

Jovanka memang selalu menyebut dirinya bunda kepada Marissa, karena ia sudah menganggap Marissa seperti putrinya sendiri.

Terlebih lagi, Marissa adalah putri yang diidamkannya karena ia tidak memiliki seorang putri.

Marissa pun mendekati Jovanka dan memberikan pelukan hangat.

"Icha sayang, bunda sama abang pamit yaa. Maafin bunda dan abang kalau suka ngisengin Icha yaa," ucap Jovanka sambil memeluk dan membelai kepala Marissa.

Marissa tidak menjawab, ia hanya menunduk dan menggelengkan kepalanya.

"Tapi in syaa Allah, suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi. In syaa Allah tiap lebaran nanti pulang ke Jakarta," ucap Jovanka lagi.

"Bener, Bun??" tanya Icha.

"In syaa Allah, kan saudara bunda tinggalnya di Jakarta semua," jawab Jovanka.

Wajah Marissa pun terlihat sedikit lebih ceria mendengar bahwa keluarga abangnya akan tetap berkunjung ke Jakarta.

Setelah bercakap-cakap, Jovanka pun berpamitan kepada Riska.

" Yowes, Ris, aku pamit yaa. Ini ada sedikit kenang-kenangan untuk kamu dan Icha," ucap Jovanka sambil menyerahkan kenang-kenangan berupa foto-foto mereka bersama dan beberapa barang yang dapat digunakan oleh Marissa nantinya.

"Ah Mbak kok repot, aku ga nyiapin apa-apa buat Mbak," ucap Riska.

"Ga repot, kan cuma beli di toko," jawab Jovanka.

"Terima kasih, terima kasih sekali. Oiya, ini ada brownies spesial untuk Jovan dan untuk yang lain juga," ucap Riska sambil memberikan 3 kotak brownies.

"Eh kok spesial buat Jovan aja, yang lain ga spesial Te??" protes Josie.

"Spesial untuk Jovan, karena tante bikin di loyang yang besar jadi lebih banyak, biar puas makannya," jawab Riska.

"Yaaa bakalan kangen sama browniesnya tante Riska nih!!" ucap Jovan.

"Tenang, tante sudah bagi resepnya ke bunda kok," jawab Riska.

Setelah beberapa saat, Jovanka pun memeluk Riska dan Marissa bergantian.

Air mata pun mengalir, menandai perpisahan mereka.

"Pamit ya Ris, assalamu'alaikum," ucap Jovanka sambil melambaikan tangannya.

" Wa'alaikumsalam," jawab Riska dan Marissa dari depan pintu pagar rumahnya.

Awal Kisah

Jorrian Abdul Chen adalah seorang warga Singapura keturunan Cina-Melayu.

Setelah menamatkan kuliahnya, ia pergi berlibur ke Jakarta dan berkenalan dengan seorang gadis Betawi keturunan Belanda bernama Jovanka Hardy.

Keduanya pun menikah setelah 6 bulan berkenalan.

Kemudian Jorrian membawa Jovanka untuk tinggal bersamanya di Singapura.

Setahun kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Jordan Ali Chen.

Setelah Jordan berumur 3 tahun, lahirlah anak kedua mereka, yang diberi nama Josie Umar Chen.

Namanya terdengar seperti nama perempuan, karena kedua pasang suami istri itu menginginkan anak perempuan, pada kelahiran yang kedua ini.

Josie pun tumbuh seperti anak laki-laki pada umumnya, tetapi wajahnya yang cenderung manis dan kulitnya yang putih bersih membuatnya sering dikira perempuan.

Setelah 7 tahun tinggal di Singapura, Jorrian dipindahkan ke kantor cabang Jakarta.

Setahun di Jakarta, Jovanka melahirkan anak ketiganya yang kembali berjenis kelamin laki-laki, yang diberi nama Jovan Ahmad Chen.

Putra ketiga mereka ini merupakan perpaduan dari kedua kakaknya, jika Jordan lebih mirip ke ayahnya yang berkulit kuning dengan mata yang agak sipit sedangkan Josie lebih mirip ibunya yang berkulit putih kemerahan dan mata besar berwarna coklat terang maka Jovan berada diantara keduanya.

Matanya besar tetapi lipatan kelopak matanya kecil, hidungnya pun mancung layaknya orang Eropa. Kulitnya putih kemerahan dan sedikit kuning. Membuat Jovan sering mendapatkan tawaran untuk menjadi bintang iklan sedari bayi.

Tetapi tawaran itu selalu ditolak oleh kedua orang tuanya dengan alasan tidak ingin memperkerjakan anak-anak mereka sejak usia dini.

Dua tahun setelah Jovan lahir, mereka mendapatkan tetangga baru, yaitu sepasang pengantin baru bernama Mario dan Riska.

Setahun kemudian, kedua pasang suami istri tersebut dikaruniai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Marissa Shafiyya.

Kelahiran Marissa membuat Jovanka ikut bahagia, karena Marissa bagaikan putri yang diidamkan tetapi tidak dilahirkannya.

Untuk itu, ia sering berkunjung ke rumah Riska untuk ikut mengasuh Marissa.

Ketika usia Marissa menginjak 5 tahun, kedua orang tuanya bercerai, karena perselingkuhan ayah Marissa yang akhirnya memutuskan untuk menikahi selingkuhannya dan meninggalkan Marissa berdua dengan ibunya.

Semenjak bercerai, ayah Marissa jarang menemuinya. Pertemuan rutin tahunan saja yang ia sempatkan untuk putrinya itu, yaitu di saat Lebaran dan liburan panjang sekolah.

Untuk menyambung hidupnya, Riska, ibu Marissa memulai usaha menerima pesanan makanan dan jahitan.

Sehingga setiap ada acara RT atau RW, ibu Marissa lah yang diberikan tanggung jawab untuk menyediakan konsumsi.

Setiap hari Jum'at, ibu Marissa juga selalu sibuk dengan pesanan nasi kotak untuk jama'ah masjid.

Dengan kesibukannya, terkadang ia khawatir akan Marissa yang harus ia tinggal untuk memasak atau menjahit.

Tetapi kekhawatiran itu pun segera hilang, karena ketiga anak Jovanka yang tinggal di depan rumahnya selalu hadir untuk Marissa.

Marissa paling senang bermain dengan Josie, karena ia sangat lembut dan perhatian.

Sedangkan Jordan tidak terlalu tertarik untuk bermain dengan Marissa, ia lebih sering menemani Marissa bermain atau sekedar mendengarkan ceritanya.

Berbeda dengan Jovan, jarak usia yang tak terlalu jauh, membuatnya sering direpotkan dengan urusan Marissa.

Dari urusan sekolah hingga membantu Marissa dari gangguan anak laki-laki di sekolah mereka.

Membuat Jovan sering mengomel kepada Marissa yang sering mengganggu waktu bermainnya.

Tetapi walaupun begitu, Jovan tetap menyayangi Marissa seperti adiknya sendiri. Begitu juga dengan Marissa, yang tidak pernah kesal dengan omelan Jovan, karena ia tahu betapa Jovan sayang padanya.

Walaupun Marissa di kenal cerdas, tetapi untuk urusan berteman, dia bukan ahlinya.

Ia sangat introvert, sehingga sering diganggu oleh teman-temannya di sekolah.

Di saat itulah, Jovan selalu berusaha melindungi Marissa, walaupun Marissa tidak pernah berlari mencari perlindungan kepadanya.

Gaya Jovan memang seolah-olah tidak perduli bahkan seperti terganggu, tetapi pada kenyataannya, dia selalu memasang antena untuk mengawasi Marissa.

Walaupun Jovan sering mengomel ataupun pura-pura tidak memperhatikan Marissa, tetapi Marissa tahu, itu adalah akting Jovan. Ia selalu tahu, jika Jovan sangat perduli padanya.

Marissa lebih sering berangkat bersama Jovan ke sekolah dibandingkan diantar oleh ibunya.

Tetapi ia sering meminta Jovan untuk menurunkannya beberapa meter sebelum sampai di sekolah.

Walaupun Jovan protes, tetapi Marissa seringkali memaksa atau dia mengancam akan loncat dari sepeda.

Mau tidak mau, Jovan pun menuruti kemauan Marissa.

Saat pulang sekolah, Jovan memastikan Marissa telah dijemput ibunya. Ia akan menunggui Marissa dari kejauhan, sampai ia melihat ibunya datang menjemput, karena Marissa pulang lebih cepat 2 jam ketimbang dirinya.

Marissa baru berusia 5 tahun ketika kedua orang tuanya bercerai.

Tidak banyak yang ia ingat akan sosok ayahnya.

Ia hanya ingat, bagaimana ibunya menangis setelah beradu argumen dengan ayahnya.

Walaupun ibunya selalu menceritakan kebaikan ayahnya, agar Marissa tidak membenci ayahnya tetapi dia tetap tidak dapat mengingat kebaikan dan sosok ayahnya.

Alih-alih ia memanggil ayah Jovan dengan panggilan ayah karena ia lebih sering hadir untuk Marissa ketimbang ayah kandungnya.

Walaupun orang tuanya berpisah, Marissa tidak pernah kekurang kasih sayang karena keluarga Jovan selalu hadir untuknya dan menyayanginya.

Berlibur bersama, sudah menjadi hal yang biasa bagi keluarga Jovan dan Marissa. Berlibur ke pantai, menginap di puncak atau sekedar pergi berbelanja di

akhir pekan, Marissa selalu ikut serta seperti layaknya anak ke-4 pasangan Jorrian dan Jovanka.

Di saat liburan kenaikan kelas, seperti biasa Jorrian akan mengajak keluarganya berlibur bersama, baik di sekitar Indonesia ataupun Singapura dan Malaysia.

Kali ini, Jorrian merencanakan untuk berlibur ke Danau Toba dan daerah-daerah wisata sekitarnya di Sumatera Utara.

"Kita 5 hari di Medan, jalan-jalan ke Danau Toba, kita menginap 2 malam di sana, lalu kita ke Brastagi sebelum kembali ke Medan. Setelah itu kita lanjut ke Singapura. Kita nanti menginap di hotel, selama di Singapura terserah kalian mau main kemana," ucap Jorrian.

"Oiya, kita akan ajak Icha juga," lanjut Jorrian.

Ketiga putranya pun menyambut usul sang ayah dengan wajah yang ceria.

"Bunda sudah ngobrol sama tante Riska, katanya sih silahkan ajak Icha, biar dia merasakan liburan seperti anak-anak lain," ucap Jovanka.

"Tetapi untuk ke Singapura, dia sedikit keberatan, karena mereka berdua kan tidak punya paspor," tambah Jovanka.

"Nanti saya yang urus masalah paspor Icha dan Riska," jawab Jorrian.

"Intinya kita akan berangkat di pekan kedua di liburan sekolah, penerbangan pertama ke Medan di hari Sabtu, dari sana kita langsung menuju Danau Toba. Kalian siapkan keperluan kalian masing-masing," tambah Jorrian lagi.

Keesokan harinya, Jovanka menemui Riska di rumahnya.

"Ris, ayahnya Jordan mengajak kalian berlibur bersama ke Medan dan Danau Toba lalu nanti kita lanjutkan ke Singapura, rencananya sekitar 2 pekan. Kita kembali ke Jakarta, 4 hari sebelum anak-anak masuk sekolah," ucap Jovanka.

"Kamu sama Icha ikutan yaa, kan sudah lama kalian tidak berlibur ke luar kota," lanjut Jovanka.

"Ini bukan hanya keluar kota Mbak, ini keluar pulau dan negeri. Aku sama Icha kan belum punya paspor, lagipula biayanya pasti tidak sedikit. Maaf ya Mbak, aku harus menolak," jawab Riska.

"Eh, kenapa kamu bicara masalah biaya, kalau kami sudah mengajak kalian, yaa artinya kami sudah siapkan dananya, kamu tidak akan keluar uang sedikitpun, semuanya akan kami tanggung, semua! Jadi kamu tenang saja, kamu hanya perlu siapkan KK dan akte kelahiran untuk pembuatan paspor," jawab Jovanka untuk meyakinkan Riska.

Riska pun terdiam sesaat, memikirkan ajakan Jovanka.

"Pokoknya aku tunggu jawabanmu malam ini, agar bisa segera membuat paspor dan booking tiket pesawat serta penginapannya.Tidak usah mikir macam-macam, seluruh akomodasi kami tanggung, tidak ada balasannya," ucap Jovanka mengakhiri percakapannya dengan Riska.

Berlibur Bersama

Penerbangan dari Jakarta baru saja mendarat di Bandara Polonia, Medan, Sumatra Utara.

"Jordan, cek kembali bagasi atas, jangan sampai ada yang tertinggal," ucap Jorrian sesaat sebelum turun dari pesawat.

Setelah turun, Jorrian dan ketiga putranya berbaris untuk mengantri bagasi.

Jovanka dan Riska duduk menunggu bagasi mereka, sedangkan Marissa asyik memperhatikan kesibukan bandara.

Hari itu, wajah Marissa penuh dengan senyum, matanya berbinar dan sangat bersemangat, karena ini adalah perjalanan pertamanya menaiki pesawat dan pergi ke luar pulau Jawa.

Ia asyik memperhatikan kesibukan di bandara di tengah kota Medan itu.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya semua barang bawaan mereka telah terkumpul di troli lalu Jorrian mengajak rombongannya

menuju pintu keluar kedatangan.

Terlihat seorang pria memegang tulisan 'Jorrian A. Chen' diantara para penjemput, Jorrian pun menghampirinya.

"Saya Jorrian, dari Jakarta. Apakah Anda Togar Simatupang??" tanya Jorrian.

"Iya Pak, saya Togar dari Hotel Toba. Mari Pak, saya bantu. Kendaraannya telah menunggu," jawab Togar sambil membantu membawakan barang-barang bawaan Jorrian.

Togar mengarahkan rombongan keluarga Jorrian menuju ke mobil penjemputan, sebuah minibus berwarna putih buatan Jepang.

Kemudian mereka pun segera menuju ke kendaraan yang akan membawa mereka menuju Danau Toba. Mereka bertujuh menaiki sebuah minibus yang cukup mewah, yang kembali membuat mata Marissa berbinar.

"Gimana Cha, senang??" tanya Jovanka.

Marissa pun menjawab dengan mengangguk-anggukan kepalanya tanpa suara dengan mata yang fokus pada jalanan yang mereka lewati.

"Ini pertama kalinya Icha pergi jauh, naik pesawat, naik minibus, bahkan menginap di hotel. Jadi Icha senang sekali yaa," jawab Riska untuk mewakili putrinya.

Ketiga putra Jorrian yang duduk pada baris ketiga minibus, tampak tersenyum melihat Marissa.

"Cha, nanti sampai di hotel mau ngapain??" tanya Jovanka.

"Ga tahu, memangnya disana ada apa aja??" jawab Marissa dengan balik bertanya.

"Ada tempat buat main air," jawab Jovan sekenanya yang mendapat lirikan tajam dari kedua abangnya.

"Lhoo kan, emang bener banyak air ??!!" ucap Jovan membela diri.

"Ga nanyaa!!" ucap Jordan dan Josie kompak.

Canda dan tawa pun mengisi perjalan mereka menuju Danau Toba, yang mereka tempuh dalam waktu 1,5 jam.

Marissa dengan senyumnya menikmati pemandangan hijau selama perjalanan.

Sesampainya di hotel, ketiga anak Jorrian mulai tak sabar untuk bermain.

Walaupun mereka bukan anak-anak lagi, tetapi semboyan 'boys will be boys' tetap melekat pada diri mereka bertiga.

Setelah mendapatkan kamarnya, mereka berlarian menuju bibir danau.

Tak lupa, Josie mengajak Marissa ikut serta.

"Yuk kita naik sepeda air, kan bisa berempat pakai yang besar," usul Jordan sambil menunjuk ke arah penyewaan sepeda air.

"Icha nanti duduk di samping Abang yaa, duduknya harus tenang," ucap Josie sambil menggandeng tangan Icha.

Tak lama kemudian, mereka berempat telah menaiki sepeda air bersama.

Jorrian segera menuju ke bibir danau untuk mengawasi anak-anaknya.

"Hati-hati!! Di pinggir aja!!" teriak Jorrian yang dijawab dengan teriakan oleh ketiga putranya.

"Iya Yaaaah!!" jawab kompak 3 Jo bersaudara.

Jordan dan Jovan duduk berdampingan di depan sedangkan Josie duduk di belakang bersama Marissa.

"Bang, kaki Icha ga nyampe," ucap Marissa.

"Ga papa, Abang yang ngayuh, Icha diam aja ga usah ngayuh," jawab Josie lembut.

"Bang, bawa kameranya ga??" tanya Jovan kepada Jordan.

"Bawa nih, di tas," tunjuk Jordan pada tas sling packnya.

"Foto-foto lah Bang," pinta Jovan.

Jordan pun mengambil kamera sakunya dan mengambil gambar pemandangan sekitarnya dan tentu saja ketiga adiknya tak lupa ia abadikan dalam kameranya.

Setelah hampir 30 menit mengayuh, mereka memutuskan kembali.

"Udahan yuk, pegel Bang," keluh Jovan.

"Yuk, Abang juga sudah capek," jawab Jordan.

Mereka berempat pun kembali ke tempat penyewaan sepeda air di bibir danau, kemudian kembali ke tempat orang tua mereka berkumpul.

Hari semakin siang, Jorrian pun memutuskan untuk kembali ke hotel.

"Sudah semakin panas, lebih baik kita istirahat di dalam, sekalian shalat dzuhur. Nanti kita kumpul lagi di restorannya untuk makan siang," ucap Jorrian sesaat sebelum mereka masuk kembali ke dalam hotel.

Riska bersama Marissa pun beristirahat di kamar mereka.

"Tadi Icha main apa aja??" tanya Riska.

"Naik sepeda air, tadi Icha duduk sama bang Josie. Sebelum main sepeda air, tadi main pasir, ayunan, ada prosotannya juga lho Bu," jawab Marissa penuh semangat.

"Icha senang ??" tanya Riska lagi.

"Icha senang sekali. Bang Josie dari tadi

yang nemenin Icha main," jawab Marissa.

"Eh Cha, ini ada roti, kamu makan dulu, pasti lapar kan??" ucap Riska.

"Iya Bu," jawab Marissa sambil memakan roti pemberian ibunya.

Mereka pun beristirahat di kamar masing-masing sebelum makan siang.

1 jam kemudian, mereka kembali berkumpul di rumah makan Toba, yang terletak di belakang hotel, dengan pemandangan kolam renang dan saung-saung di sekitarnya.

Jorrian telah memesan 1 saung untuk mereka semua.

"Yah, boleh berenang ga??" tanya Jovan.

"Nanti sore saja, selepas Ashar," jawab Jorrian.

"Cha, ikut berenang yaa," ajak Josie.

"Tapi Icha ga bawa baju renang," jawab Marissa.

"Nanti kita beli, sekarang kita makan dulu," ucap Jovanka.

"Mbak, ga usah, jadi ngerepotin," ucap Riska menolak usulan Jovanka dengan halus.

"Ga repot, kan cuma beli. Repot itu, kalau harus njahit sendiri, belum beli kainnya. Itu baru repot, " canda Jovanka yang membuat Jorrian tertawa.

"Bunda bener, Te!! kan cuma beli doang!! ga pakai guntingin bahan!!" tambah Jovan.

Sontak tawa pun semakin pecah.

"Sudah, ayo cepat makannya jangan kelamaan," ucap Jorrian mengingatkan.

"Yah, nanti beli roti buat di kamar yaa," pinta Jovan.

"Iya, nanti sebelum naik, kalian boleh jajan dulu. Icha juga sekalian," jawab Jorrian.

"Nanti Icha sama Abang aja, biar ibu istirahat," ucap Josie.

"Iya Te, selama liburan, biar kita yang jagain Icha," tambah Jordan.

"Hmmm pasukan pengaman Icha akhirnya muncul juga," canda Jovanka.

Marissa hanya celingukan tidak mengerti akan apa yang dibicarakan, sehingga membuat Jordan tertawa.

"Cha, kamu santai aja. Disini semuanya lagi ngelawak," tambah Jordan yang membuat Marissa semakin bingung.

"Sudah, Ichanya jadi tambah bingung, kasian. Ayo segera selesaikan makan siangnya, setelah itu terserah mau apa. Yang jelas, kalau bunda mau istirahat di kamar," ucap Jovanka.

Mereka pun bersegera menyelesaikan makan siang mereka dan tanpa menunggu, Jovan segera menuju ke minimarket yang terletak di lobby hotel.

"Jovan jajan duluan yaaa," ucapnya sambil berlalu.

"Memangnya dia bawa uang?? " tanya Jovanka.

"Ga, itu artinya kita harus segera menyusul!!" jawab Jorrian sambil mempercepat makan siangnya dan segera menyusul putranya ke minimarket.

"Cha mau jajan juga ga?? Nanti Abang temenin," ajak Josie.

"Ibu, Icha boleh??" tanyanya pada Riska.

"Iya, boleh," jawab Riska.

"Dah yuk, makannya diselesaikan dulu, baru jajan," ucap Jovanka.

Sesudahnya mereka pun menuju minimarket untuk membeli aneka makanan ringan dan minuman untuk di kamar.

Di dalam minimarket, Jovan sedang asyik memenuhi keranjang dengan aneka snack dan minuman, yang membuat Jorrian menggelengkan kepalanya.

"Kalau jajan, cepet banget geraknya," gumam Jorrian.

"Sudah belum??" tanya Jorrian.

"Eh Ayah, hmmm sudah," jawab Jovan sambil menyerahkan keranjang belanjaan ke ayahnya.

Jorrian pun menerimanya sembari menggelengkan kepalanya kembali.

"Eh tunggu Yah!!" ucap Jovan sambil kembali mengambil 1 keranjang dan mengisinya dengan berbagai macam makanan ringan dan minuman.

"Ini juga,Yah!!" ucap Jovan sambil menyerahkan keranjangnya.

"Kok 2 ??" tanya Jorrian.

"Yang 1 buat Icha," jawab Jovan.

"Oke," ucap Jorrian sambil membayarnya di kasir.

Setelah selesai membayar, Jovan mengambil plastik belanja yang akan ia berikan kepada Marissa.

Ketika ia hendak keluar, Josie dan Marissa baru akan masuk ke dalam minimarket.

"Cha, ini buat kamu," ucap Jovan sambil memberikan plastiknya dan tanpa menunggu ia segera berlari keluar minimarket menuju pinggir danau untuk bermain kembali.

Josie tersenyum melihat adiknya yang terlihat cuek tetapi tetap perhatian kepada Marissa.

"Cha, kamu lihat dulu isinya. Ada yang mau ditambahin lagi, ga?? kalau ada, ambil aja, nanti Abang belikan," ucap Josie.

Marissa pun memeriksa isi plastiknya, dilihatnya 2 susu kotak rasa strawberry, 1 biskuit selai strawberry, 2 kripik singkong dan 2 roti keju.

Ia pun tersenyum, Jovan memang selalu tahu apa kesukaannya.

"Sudah Bang, ga usah beli lagi," ucap Marissa.

"Oke, kalau begitu kita ke pinggir danau yuk, lihat Bang Jovan main apa," ajak Josie.

Keduanya pun menyusul Jovan ke pinggir danau. Jovan yang enerjik dan tak bisa diam, sudah sibuk dengan layang-layang yang baru dibelinya.

Ia pun berusaha untuk menerbangkannya, tetapi berulang kali jatuh kembali.

Josie pun menghampiri.

"Van, aku bantu terbangin!!" teriak Josie sambil berlari menghampiri Jovan.

"Makasih Bang!!! Abang pegang yang ujungnya yaa!!" ucap Jovan penuh semangat.

Keduanya pun mulai menerbangkan layangannya. Hembusan angin yang cukup kencang, menerbangkan layang-layang yang berbentuk ikan itu cukup tinggi.

Marissa bersorak kegirangan melihatnya, membuat kedua Jo bersaudara tersenyum.

Di sisi yang lain, Jordan asyik mengabadikan liburannya dengan kamera sakunya.

Ketika ia melihat kedua adiknya sedang bermain layangan, ia pun segera mengambil gambarnya. Tak ketinggalan, ia juga mengambil gambar Marissa yang tersenyum dan bersorak bahagia.

Marissa pun menyadari jika Jordan berada tidak jauh darinya.

"Iiii, Abang ngapain??!!" tanya Marissa.

"Nih, mau lihat??" jawab Jordan sambil memberikan kamera sakunya.

"Ngeliat apa Bang??" tanya Marissa.

"Lihat gambar yang ada di kotak ini, nah itu untuk melihat gambar di depannya. Kamu mau foto yang mana, kamu arahkan kameranya ke sana. Trus kalau sudah dapat gambarnya, kamu tekan tombol di atasnya, yang ini," jawab Jordan menerangkan cara menggunakan kameranya.

Marissa pun mencoba mengikuti petunjuk yang diberikan Jordan.

"Pencet aja ya Bang??" tanya Marissa.

"Iya, kalau kamu sudah nemu gambar yang mau kamu ambil," jawab Jordan.

Marissa pun mengambil gambar Jovan dan Josie yang sedang bermain layangan.

"Nanti, sepulang dari liburan kita cetak yaa," ucap Jordan lagi.

Marissa pun menganggukkan kepalanya.

Jordan yang berusia hampir 8 tahun lebih tua dari Marissa memang lebih suka menyendiri dan menyukai ketenangan.

Sedangkan Josie yang pendiam, ia menjadi cukup berisik jika sudah bermain bersama Jovan.

Kala itu Marissa yang baru berusia 8 tahun, sedangkan Jovan 11 tahun, Josie 14 tahun dan Jordan 17 tahun.

Ketiga bersaudara itu pun sering menjadi pusat perhatian dikarenakan paras ketiganya layaknya model.

Setelah cukup puas menyaksikan kedua adiknya bermain layangan, ia memilih untuk menyewa jet ski.

" Cha, ikut Abang naik jet ski yuk," ajak Jordan.

"Ga ah Bang, takut, " jawab Marissa.

"Abang bawanya pelan aja kok, yuk!! Daripada kamu sendirian, kan nanti dipakaikan jaket pelampung, in syaa Allah aman," ucap Jordan untuk menyakinkan Marissa.

Setelah berfikir sesaat, akhirnya Marissa menyetujui tawaran Jordan.

Mereka berdua pun menuju tempat penyewaan jet ski.

Tak lama, mereka berdua pun sudah berada di atas air dengan jet skinya.

Jordan mengendarai dengan perlahan, lalu sedikit demi sedikit ia menambah kecepatannya.

Marissa yang pada awalnya cukup takut, menjadi bersemangat sehingga Jordan kembali menambah kecepatannya.

Sementara itu di pinggir danau, Jovan mulai menyadari jika Marissa tidak lagi berada di sekitar mereka berdua.

"Eh, mana Icha??" gumam Jovan.

"Bang!! Icha ga kelihatan!! Kemana yaa, Abang lihat?? " tanya Jovan ke Josie.

Josie pun segera menurunkan layangannya dan mulai mencari Marissa.

"Terakhir aku lihat dia duduk di situ," tunjuk Jovan pada rerumputan tak jauh dari lokasi mereka bermain layangan.

"Kamu lihat Bang Jordan?? tadi ke sini atau ga??" tanya Josie.

"Ga tahu, Bang, aku ga merhatiin," jawab Jovan.

Keduanya pun mulai panik dan segera mencari Marissa dengan meneriakkan namanya.

Sementara itu, Jordan membawa Marissa sedikit lebih jauh, melewati kapal yang menyeberang ke pulau Samosir.

Setelah beberapa menit mencari dan tidak menemukan keberadaan Marissa, kepanikan pun mulai bertambah.

Mereka meneriakkan nama Marissa berulang-ulang, tetapi tetap tidak menemukannya.

Hingga seorang operator jet ski mendengar teriakan mereka.

"Dek!! Kamu lagi nyari anak perempuan sama Abangnya, bukan?? yang putih tinggi agak Chinesse?? " tanya operator jet ski.

"Iya Bang," jawab keduanya.

"Tadi barusan mereka nyewa jet sky, terus mereka jalan ke arah sana," jelas operator jet ski menunjukkan arah kemana Jordan pergi.

"Bang, kita sewa 1 juga," ucap Josie.

Tak lama kemudian, keduanya berboncengan dan mulai mengitari sekitar danau.

Tak lama mencari, mereka pun menemukan Jordan dan Marissa.

Josie pun menambah kecepatannya untuk mendekati Jordan.

Marissa merasa ada yang mendekati ia pun meminta Jordan untuk berhenti.

"Bang berhenti dulu, sepertinya ada yang mendekat, tuh yang jet sky biru," tunjuk Marissa.

Jordan pun mengurangi kecepatannya hingga berhenti.

"Hmmm paling tuh anak 2," gumam Jordan.

Tak lama kemudian, Josie berhasil mendekati posisi Jordan.

"Waaa, Abang curang main jet sky ga ngajak-ngajak!!" protes Jovan.

"Laaa kamu main layangan juga ga ngajak-ngajak, tuh Icha ditinggal sendiri nonton kalian berdua. Alhamdulillah ada Abang yang menyelamatkan, ya Cha!!" jawab Jordan.

"Iya Bang, tadi aku ditinggal sendirian!!" ucap Marissa menambahkan.

"Yaa, maaf. Khilaf sedikit," jawab Jovan dan Josie.

"Yowes, kita muterin sekali lagi trus udahan yuk," ajak Jordan.

"Yaa, Abang mah sudah dari tadi, laaa kita kan baru, tungguin laaa," protes Jovan.

"Ya terserah, pokoknya Abang setelah ini udahan. Yuk Cha, kita lanjut lagi!!" ucap Jordan sambil mulai melajukan jet skynya kembali.

"Ayo Bang!!" jawab Marissa semangat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!