Seorang wanita tiba di sebuah Rumah Sakit di Jakarta, membawa Putri satu satu nya yang mengidap penyakit langka, hingga dia akhirnya harus di rujuk ke Rumah Sakit yang peralatan nya lebih modern.
Nama wanita itu adalah Iren,mata nya berkaca-kaca, tapi sebisa mungkin tersenyum agar terlihat kuat demi putri satu-satu nya yang sangat dia sayangi.
Putri, umurnya baru 10 tahun, sekarang dia terbaring lemah di Unit Gawat Darurat. tiga Dokter terlihat sedang memeriksa keadaan Putri, hingga satu Dokter berkata kepada salah satu perawat yang sedang mendampingi'nya.
"Suster Ina, nanti tolong ibu dari pasien ini suruh datang ke ruangan saya, ada yang harus di bicarakan,'' pinta salah satu Dokter.
''Baik, Dok.'' Jawab suster Ina.
Lalu suster Ina pun memanggil Iren dan menunjukan jalan ke ruangan Dokter yang tadi menangani Putri.
Tok Tok Tok
Suster pun mengetuk pintu.
"Dok, orang tua pasien ada di sini." Ucap suster kepada Dokter yang berada di ruangan tersebut.
"Oh, iya suruh masuk.'' Jawab Dokter.
Iren masuk ke ruangan dan duduk di kursi yang berada tepat di depan Dokter tersebut tanpa memperhatikan wajah sang Dokter yang tertunduk membaca hasil catatan medis dari Putri.
Iren pun memulai percakapan.
"Saya orang tua dari pasien yang bernama Putri, Dok." Ucap iren.
Dokter pun akhirnya menoleh dan menatap wajah Iren yang merupakan orang tua dari pasien yang tadi dia tangani.
Dokter tersebut pun terlihat terkejut dan tidak menyangka, menatap dengan rasa tidak percaya tenang siapa yang saat ini sedang berada di hadapan nya.
"Iren...'' Gumam nya pelan.
Begitupun sebalik nya, Iren pun tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Doni laki-laki yang pernah di cintai nya 10 tahun yang lalu, namun dia tiba-tiba menghilang entah kemana saat dia sedang mengandung anaknya.
Lutut Iren tiba-tiba saja terasa lemas, tangan nya bergetar dengan keringat yang bercucuran pikirannya pun seketika melayang seolah mengingat kembali kejadian 10 tahun yang lalu, jantung nya pun terasa berdetak dengan kencang, dan bibirnya tiba-tiba membisu seketika.
"Kamu, Iren...?" Tanya Dokter Doni.
"Maaf dok, saya kemari mau menanyakan keadaan anak saya Putri.'' Jawab Iren tanpa menjawab pertanyaan Dokter Doni.
"Oh ia.'' Jawab Dokter Doni dengan nada suara yang sedikit terbata-bata.
"Pasien putri mengidap penyakit langka, tapi insya Allah saya selaku Dokter yang menangani putri akan berusaha sebaik dan sebisa mungkin untuk kesembuhan ananda putri.'' Dokter Doni mejelaskan.
Mata nya tak berhenti menatap wanita yang berada di hadapan nya.
"Kira kira biaya nya berapa, Dok?'' Tanya iren.
"Untuk saat ini pokus saja dulu pada proses penyembuhan, untuk biaya bisa di bicarakan nanti.'' Jawab nya lagi.
"Baik, Dokter,'' jawab Iren datar.
"Saya akan menyuruh perawat untuk memindahkan putri ke ruangan rawat inap.''
Iren hanya terdiam sembari menunduk, seolah ada rasa sakit yg menyusup ke dalam hatinya, sakit karena harus melihat anaknya terbaring, dan sakit karena harus menerima fakta bahwa Dokter yang akan merawat putri adalah Doni, yang tak lain adalah ayah kandung dari putri nya sendiri.
Iren kembali ke Unit Gawat Darurat dan terkejut seketika mendapati bahwa Putri nya sudah tidak ada di sana. Dengan rasa panik dia pun memanggil-manggil nama Putri.
Lalu salah seorang perawat memberi tahu bahwa Putri sudah d pindahkan ke ruangan rawat inap di lantai 2, kamar 107.
Iren bergegas ke kamar 107
Dengan mata berkaca-kaca dan tangan yang terlihat gemetar akhirnya dia sampai di kamar 107.
Dirinya pun membuka pintu kamar, dan di buat terkejut seketika saat melihat ternyata kamar 107 adalah kamar super VIP yang mewah dengan isinya yang lengkap layaknya di kamar hotel.
"Dari mana aku dapat uang buat bayar kamar inap seperti ini?''
Gumamnya dalam hati.
Dia melihat putri nya terbaring dengan infus yang menempel di tangan nya, dan membuat lamunan nya buyar seketika.
"Putri...." Iren bergumam pelan.
"Putri anak ku,'' dengan langkah gontai dia berjalan menghampiri dan memeluk tubuh putri.
Putri pun membuka mata dan melihat ibu nya, dia lega akhirnya bisa melihat ibu nya kembali setelah Berjam jam di ruang Unit Gawat Darurat.
"Ibu... Jangan nangis, aku tidak apa-apa ko. Ibu nggak boleh sedih, ya,'' ucap Putri dengan tersenyum.
Iren pun ikut tersenyum, dia tak menyangka bahwa anak nya akan sekuat itu. Putri masih memikirkan ibu nya saat dirinya sendiri sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Iya sayang, ibu hanya senang akhirnya bisa bertemu lagi sama kamu, tadi di Unit Gawat Darurat ibu gak bisa menemani kamu sayang.''
"Dokter nya baik-baik kok Bu. Dokter bilang putri pasti sembuh kok, jadi ibu jangan nangis lagi ya." Putri menatap sang ibu.
Iren pun hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu pintu kamar pun d ketuk, Dokter Doni masuk berjalan menghampiri sambil tersenyum kepada Putri.
"Halo Putri..." Sapa Dokter Doni.
"Halo juga om Dokter ganteng". Jawab Putri sambil tersenyum.
"Om dokter kenalin ini ibu aku.'' Ucap Putri sesaat setelah Dokter berdiri di samping ibunya.
"Oh, ia tadi kami sudah bertemu.'' Jawab Dokter Doni sambil melirik Iren, sementara itu iren hanya diam mematung.
"Gimana keadaan kamu? Ada yang sakit tidak?''
"Enggak ko, Dokter. Hanya kaki aja rasanya pegal-pegal. Tangan aku juga rasa nya lemas banget," Jawab Putri.
"Tidak apa-apa sayang, nanti kalau kamu sudah minum obat. Pegal nya pasti hilang.'' Ucap Dokter doni.
"Iya baik, Dokter.'' Jawab Putri sembari tersenyum lebar.
"Putri sayang, ibu mau bicara dulu sebentar sama om Dokter, ya. Nanti ibu balik lagi,'' lirih Iren sembari mengelus rambut panjang Putri.
"Iya, Bu." Jawab Putri.
Iren pun melangkah keluar dengan di ikuti oleh Dokter Doni.
"Maksud kamu apa memasukan putri ke ruangan VIP? Dari mana saya bisa bayar uang sewa kamarnya?" ucap Iren dengan sedikit marah.
"Saya gak bermaksud apa-apa, Iren. Saya hanya ingin memberikan pelayanan yang terbaik untuk kamu dan anak kamu,'' Dokter Doni menjelas kan.
"Saya gak mau dikasihani sama kamu..." Jawab Iren ketus.
"Oke saya mengerti, tapi pikirkan, ini untuk kesehatan putri, dia butuh ruangan yang nyaman untuk proses penyembuhan nya, sebagai seorang ibu sebaik nya kamu tidak egois, hanya karena apa yang telah terjadi di masa lalu kita, sampai-sampai kamu menolak bantuan dari saya.'' Jawab Dokter Doni lagi.
''Apa kamu bilang, hanya masa lalu?" Jawab Iren dengan mata berkaca-kaca.
"Oke, kalau kamu menganggap nya seperti itu, apa kamu tau apa yang terjadi sama aku, hah...?'' Tambah nya lagi sambil menahan air mata.
Iren pun pergi meninggalkan Dokter Doni yang berdiri mematung mencerna perkataan Iren yang baru saja dia dengar.
Akhirnya Dokter Doni pergi seraya termenung.
'Sebenarnya apa yang terjadi dengan kita 10 tahun lalu, hingga kamu sangat membenci aku iren?'
Gumam nya dalam hati.
'Bahkan sampai saat ini rasa itu masih ada di hati aku.'
Gumamnya lagi sambil menahan kesedihan di dalam hati nya.
Ya... Dokter Doni memang tidak tahu bahwa Putri adalah darah daging nya, dia juga tidak tahu kalau Iren hamil 10 tahun yang lalu saat masih menjadi kekasihnya. Semuanya menyimpan tanda tanya di hati Dokter Doni, banyak rahasia yang tidak dia ketahui selama ini. dan sang Dokter hanya bisa menyimpan
semua pertanyaan itu di dalam hati nya.
...*************...
10 TAHUN LALU...
Iren diam membisu di kamar mandi, melihat 2 garis merah berada di depan matanya, hatinya terasa kalut, dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang ada difikiran Iren adalah 'Doni ...' kekasihnya.
Iren mengambil tas dan keluar dari dalam kamar mandi dengan hati dan perasaan pilu, di dalam hati nya terus memanggil nama Doni, laki-laki yang telah menghamili dirinya. Iren pun berdiri di tepi jalan lalu saat dirinya hendak memanggil taxi tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di depannya
"Bayu?'' Gumam Iren menatap ke arah motor yang saat ini berdiri tepat di depan tubuhnya.
"Hai ... mau kemana?" Tanya Bayu membuka kaca helm yang dipakainya.
"Kebetulan lo lewat, ayo antar gue ke rumah Doni " Pinta Iren.
"Ya udah buru naik." Jawab Bayu.
Tanpa berpikir panjang Iren pun segera naik dan duduk di jok belakang motor temannya yang juga sahabat dari kekasihnya. Motor melaju dengan kecepatan tinggi, memecah jalanan yang memang tidak terlalu ramai pengendara, sementara Iren hanya diam membisu sambil memikirkan apa yang akan dia katakan kepada Doni.
Akhirnya mereka sampai di depan rumah Doni, rumah mewah dan besar dengan pagar megah menjulang, dan satu pos satpam di depannya. Keluarga Doni memang berasal dari keluarga berada, orang tuanya pengusaha batu bara dan Doni adalah satu-satunya anak yang mereka punya.
"Pak bisa ketemu sama Doni." Tanya Bayu kepada Bapak satpam yang duduk sambil memegang handphone.
"Eh nak Bayu, kebetulan den Doni nya tidak ada." Jawab Bapak satpam.
Iren terkejut dan langsung menghampiri Bapak satpam tersebut dengan wajah pucat pasi dan perasaan hancur pastinya.
"Pak tolong pak ... Tolong bilangin sama Doni, Iren mau ketemu, please ini penting banget." Ucap Iren dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf neng tapi den Doni memang tidak ada, tadi pagi sudah berangkat ke Singapura untuk kuliah di sana ..." Jawab Bapak satpam menatap wajah Iren dengan tatapan penuh tanda y.
"Apaaa?" Tanya Iren merasa tidak percaya.
"Ga mungkin pak? bapak pasti bercanda 'kan?" Tanya Iren dengan perasaan tidak percaya, air matanya nampak bergulir begitu saja membasahi wajah cantiknya.
Bayu yang tidak tahu dan sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi dan kejadian yang menimpa Iren hanya bisa menenangkan sahabatnya tersebut.
"Tenang Iren, ada apa sebenarnya? kenapa kamu kayak gini?" Tanya Bayu seraya mengusap lembut pergelangan tangan sahabatnya tersebut.
Iren terus menangis tiada henti, dadanya terasa sesak, hatinya pun begitu hancur mendengar bahwa kekasihnya, ayah dari bayi yang saat ini dia kandung telah pergi tanpa memberitahukan dirinya terlebih dahulu, sampai akhir nya dia terduduk lemas, kedua kakinya seolah tidak dapat lagi menopang tubuhnya, dia pun menutup kedua mata dengan telapak tangan menahan rasa getir dihatinya.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah datang dari arah luar, seorang wanita dewasa yang berada di dalamnya merasa heran siapa gerangan yang berada di depan gerbang rumahnya. Mobil pun berhenti tepat di depan pintu gerbang.
Kemudian wanita dewasa itu pun keluar dari dalam mobil. Parasnya terlihat cantik berwibawa namun terkesan jutek, matanya penuh dengan karisma, dengan tas mewah ditenteng di tangan kirinya dia menghampiri Iren dan juga Bayu.
"Siapa kalian, mengapa berada di depan pagar rumah saya?" Tanyanya berdiri tepat di depan dua remaja yang saat ini sedang dalam keadaan duduk di depan pagar.
"Tante ... Saya Bayu teman nya Doni, dan ini Iren pacarnya Doni.'' Ucap Bayu berdiri tepat di depan Nyonya tersebut yang merupakan ibunda Doni.
"Apa pacar ...? Setahu saya anak saya tidak mempunyai pacar," melirik Iren dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan mengangkat kedua alisnya.
"Tante saya mohon tante, izinkan saya bertemu dengan Doni, ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan dia, please Tante.'' Pinta Iren dengan tatapan sayu dan mengiba.
Kemudian, ibu Doni yang bernama Nyonya 'Fatma' meminta satpam untuk membukakan pintu pagar, dan mempersilahkan Bayu dan Iren untuk masuk.
Sesampainya di dalam rumah, mata Iren terbelalak melihat betapa megahnya rumah kekasihnya, dengan lampu gantung kristal yang menggantung di langit-langit juga kursi sofa mewah, serta lantai marmer yang mengkilat, tak lupa pula tangga yang menjuntai panjang menghubungkan antara lantai satu dan lantai dua rumah tersebut.
"Silahkan duduk.'' Pinta Nyonya Fatma datar.
Bayu dan Iren duduk berdampingan dengan perasaan berdebar dan jantung yang berdetak tidak beraturan sebenarnya. Apa yang akan dia katakan kepada Nyonya yang sama sekali tidak terlihat ramah itu.
Apa dia harus jujur, kalau saat ini dirinya sedang mengandung darah daging Doni? Akh ... Iren benar-benar dihadapkan pada sebuah dilema.
"Tolong Tante ... Saya harus bertemu dengan Doni.'' Ucap Iren, sedikit terisak.
"Doni tidak ada, dia udah terbang ke Singapura untuk kuliah di sana." Jawab Nyonya Fatma dengan sedikit tersenyum kecut.
"Lagi pula saya tidak percaya kamu pacar anak saya, mana mungkin anak saya jatuh cinta sama perempuan seperti kamu." Ucapnya lagi terdengar begitu menyakitkan bagi Iren.
"Tapi Tante saya sungguh pacar nya Doni, Bayu saksinya. Sebenarnya, saya HAMIL tante, saya hamil anak Doni.'' Lirih Iren tidak ingin terlalu mengulur waktu.
Nyonya Fatma pun terkejut bukan kepalang, dia membulatkan bola matanya seketika merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Kemudian tanpa berfikir panjang lagi, tiba-tiba saja Nyonya Fatma mengambil segelas air dan menyiramkannya tepat di wajah Iren membuatnya seketika merasa terkejut.
'Byur ...'
Bayu yang juga merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan oleh ibu dari sahabatnya itu berdiri dan menatap wajah Nyonya Fatma dengan perasaan kesal.
"Tante Fatma? Tante boleh tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh teman saya ini tapi, Tante tidak boleh melakukan hal ini,'' Bayu menaikan suaranya merasa geram.
"Kenapa tidak boleh? apa saya tidak boleh membela anak saya yang di tuduh menghamili wanita tidak jelas.''
"Saya jujur Tante, saya sungguh mengandung anak Doni."
Kemudian dia pun menunjukkan alat tes kehamilan yang tadi dia gunakan.
"Ini buktinya Tante,'' lirih Iren menyerahkan alat tersebut.
Nyonya Fatma pun menatap benda tersebut tanpa meraihnya dan memang benar, ada 2 garis merah di sana tapi, dia tetap tidak percaya bahwa anak yang di kandung Iren adalah anak dari Doni putranya.
"Pergi kamu dari sini, saya tidak percaya dengan semua yang kamu katakan.'' Bentak Nyonya Fatma membulatkan bola matanya.
Seketika Iren pun terduduk di atas lantai memohon seraya menangis tiada henti, dia tidak peduli jika harus memohon sekali pun.
"Tante, saya mohon percaya sama saya, anak ini memang anaknya Doni, saya tidak pernah melakukan nya dengan siapa pun kecuali dengan dia.''
"Lalu kenapa kamu mau melakukan nya dengan anak saya? dasar cewek murahan,'' tanya Nyonya Fatma lalu mengambil segepok uang dari dalam tas miliknya dan melemparkannya tepat di wajah Iren.
"Ini kan yang kamu cari? UANG?'' Ucap Ibu Fatma tanpa memikirkan perasaan Iren yang saat ini benar-benar merasa hancur.
Iren benar-benar terkejut dan dia sama sekali tidak menyangka akan di perlakukan seperti itu oleh Ibu dari kekasihnya sendiri.
"Saya tidak butuh uang, Tante. Yang saya butuhkan adalah Doni, saya ingin dia bertanggung jawab dan menikahi saya.''
Bayu yang tidak tega melihat Iren di rendahkan seperti itu segera membantu tubuhnya untuk berdiri.
"Cukup Iren.'' Lirih Bayu lembut.
"Bayu cepat bawa perempuan ini pergi dari rumah saya,'' teriak Nyonya Fatma penuh penekanan.
Bayu pun memapah tubuh Iren keluar dari dalam rumah mewah tersebut, langkah kakinya terlihat gontai, kedua kakinya pun serasa melayang dengan hati yang benar-benar hancur karena hidupnya terasa telah berakhir sekarang.
Dia sama sekali tidak menyangka akan di perlakukan seperti ini oleh Nyonya Fatma orang tua Doni, dan yang membuatnya merasa sakit adalah, Doni telah benar-benar pergi entah kemana, meninggalkan dirinya yang saat sedang mengandung buah hatinya.
Tanpa di sangka hujan pun seketika turun. Seolah tidak peduli dengan derasnya air hujan, dia pun terus berjalan menerobos guyuran air hujan. Bayu yang memapah tubuh Iren pun seolah pasrah baju nya ikut basah demi menemani sahabat Nya. Sesampai nya di depan pagar tempat motor Bayu berada.
"Bruuuuk..."
Iren ambruk sambil menangis sejadi jadi nya,tangis nya pecah mengalah kan suara gemericik hujan. Bayu hanya terdiam melihat sahabatnya menangis seolah ingin memberi waktu kepada Iren untuk mengeluarkan semua jeritan yang ada di dalam hati nya.
Sakit ... Perih ... Hati Iren bagai di sayat-sayat pisau tajam.
Tanpa di sadari air mata bayu pun ikut tumpah dia memeluk Iren dengan erat, Iren pun menangis sejadi jadi nya di pelukan Bayu. Bapak satpam yang melihat kejadian tersebut hanya bisa diam karena tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sesekali dia ikut mengusap air mata di pipinya karena merasa iba dengan Iren. Hujan semakin lebat,seolah ikut menemani kesedihan Iren.
...********...
Waktu menunjukan jam 8 pagi,
Iren keluar dari kamar mandi
di tatapnya putri cantiknya yang masih tertidur lelap. Jarum infus masih terpasang di tangannya yang mungil.
Iren menghela nafas, menahan sesak di dada yang ingin dia sembunyikan dari buah hatinya. Dia ingin terlihat kuat walau sebenarnya hatinya lelah, ingin terlihat tegar walau sebenarnya kakinya lemas seolah tidak kuat menahan beban yang tersimpan di pundaknya.
Beban masa lalu yang harus terungkit dan beban masa kini yang harus rela melihat Putri kesayangan nya terbaring lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Andai bisa memilih, dia akan memilih menggantikan posisi Putrinya di ranjang rumah sakit.
Menukar kesehatannya dengan kesehatan putrinya.
Apapun akan dia lakukan demi buah hatinya. Putri pun membuka mata, melihat ibunya duduk di samping sembari menggenggam erat jemari tangan manisnya.
"Selamat pagi ibu sayang.'' Ucap Putri seraya menguap menahan kantuk.
"Selamat pagi sayang ... Gimana tidurnya nyenyak?" Jawab Iren dengan lembut mengusap tangan mungil Putrinya.
"Nyenyak Bu, serasa di hotel, kasurnya empuk.'' Jawab Putri tersenyum kecil.
"Sebentar ya, ibu ambilkan kain basah untuk mengelap badan kamu biar seger.''
"Iya Bu .." Jawab Putri.
Tak lama kemudian Iren pun kembali dengan membawa kain basah, membersihkan wajah cantik putri dengan lembut dan penuh kasih sayang, mengikat rambut Putrinya juga mengganti pakaiannya dengan yang baru.
"Wah cantiknya putri ibu." Ucap Iren tersenyum senang.
Putri membalas dengan tersenyum bahagia. Tak lama kemudian pintu pun di ketuk. Dokter Doni dengan 1 orang suster masuk untuk pemeriksaan.
"Selamat pagi putri cantik ..." Sapa Dokter Doni.
"Pagi om Dokter ganteng ..." Jawab Putri tersenyum senang.
"Gimana tidur nya sayang, nyenyak?"
Tanya Dokter Doni
"Nyenyak dokter, ruangan nya nyaman, makasih ya om dokter ganteng." Jawab putri dengan senyum manisnya.
"Sekarang kita periksa dulu ya,apa keadaan kamu sudah membaik apa belum ..." Ucap Dokter Doni.
Hampir setengah jam Putri mendapat kan perawatan. Iren Hanya duduk memperhatikan dengan wajah khawatir. Setelah itu Dokter Doni pun menghampiri Iren.
"Kondisi Putri sudah mulai membaik tapi, masih perlu d pantau, masih jangan terlalu banyak bergerak, kalau duduk masih di perbolehkan tapi, jangan terlalu lama, di sarankan berbaring lebih baik, nanti pengecekan berikut nya akan kita lihat kembali apakah kaki nya masih terasa pegal atau tidak." Dokter Doni menjelaskan.
"Baik dok ..." Jawab Iren datar.
"Kalau begitu saya permisi ..." Pamit Dokter Doni pada Iren.
Dokter Doni memang terlihat tenang, tapi sesungguhnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dirinya merasa bergejolak, ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada mantan kekasihnya tersebut.
'Apa?'
'kenapa?'
'Ada apa?'
atau hanya sekedar ingin mengatakan..
'Apa kamu baik baik saja?'
atau
'Apa kabar?'
Semua pertanyaan itu menari nari di atas kepala Dokter Doni tanpa di bisa dia tanyakan langsung kepada Iren. Dia menghela napas panjang dan kembali ke ruangannya.
Dokter doni duduk termenung di dalam ruangannya, di ambilnya sebuah dompet dari dalam laci meja. Lalu dia pun membuka dompet tersebut, dengan tatapan sayu dia menatap selembar poto Iren 10 tahun yang lalu, waktu masih bersama-sama duduk d bangku SMA.
2 Tahun menjalin hubungan bagi nya adalah kenangan yang tidak bisa dia lupakan sampai sekarang. Hingga tepat di hari kelulusan dia harus terbang ke Singapura tanpa bisa berpamitan terlebih dahulu kepada Iren.
tok tok tok
Pintu ruangan pun di ketuk
membuyarkan lamunannya. Seorang suster masuk dan mengatakan harus melakukan pemeriksaan kepada pasien. Dokter Doni pun beranjak dari duduknya dan melanjutkan tugasnya sebagai seorang Dokter.
Malam pun tiba Iren melihat putri nya sudah tertidur, diciumnya kening putri kesayangannya itu. Tanpa di sangka perutnya pun terasa lapar, dirinya lupa kalau seharian ini dia belum makan apa pun. Bukan tanpa alasan, Iren tidak bisa meninggalkan putrinya sendirian di kamar.
Bahkan saat ini pun meski dia merasa lapar, dirinya tak kuasa meninggalkan Putrinya walau dalam keadaan tertidur. Hingga tiba-tiba saja Dokter Doni masuk, membawa sekantong makanan.
"Iren ... kamu sudah makan?" Tanya Dokter Doni.
"Sudah kok ..." Jawab Iren berbohong tapi ternyata, perutnya sama sekali tidak bisa berbohong dan terus berbunyi seolah minta diisi oleh makanan.
Dokter Doni pun mendengar suara di perut Iren dan tersenyum.
"Gimana mau ngejagain yang sakit kalo nantinya ibunya juga ikut sakit karena tidak makan?" Ucap Dokter Doni sambil duduk dan mengeluarkan makanan yang dia bawa.
"Kantor aku dekat sini, dan aku perhatiin kamu tidak keluar kamar dari pagi, aku sengaja bawain kamu makanan supaya kamu bisa makan di kamar." Ucap Dokter Doni lagi.
Kemudian Dokter Doni mengeluarkan sekantong roti, air mineral, dan sebungkus nasi Padang, tidak lupa pula dia pun membawa cemilan-cemilan kecil yang sudah dia siapkan untuk Iren.
Iren hanya membisu menatap pria yang ada di hadapannya, rasanya ingin sekali dia memeluk dan bersandar di bahunya, berharap pria itu bisa mengurangi beban yang saat ini sedang dia tanggung.
Tapi apalah daya, hatinya sudah terlalu sakit. Rasa sakit yang sepertinya tidak akan bisa di obati oleh apapun. Dokter Doni pun balik menatap Iren hingga membuatnya merasa gugup karena mata mereka bertemu di satu titik yang sama.
"Sudah jangan melamun." Ucap Dokter Doni seraya membuka sebungkus nasi Padang tangannya pun menggenggam sebuah sendok dan memberikan kepada Iren.
"Kamu harus makan, kamu harus kuat, anggap saja bukan demi kamu tapi demi Putrimu, kalau kamu ikut sakit siapa yang akan menjaga putri kamu, kasian dia." Ucap Dokter Doni menatap lekat wajah wanita yang sebenarnya masih sangat dia cintai itu. Iren pun menerima sendok tersebut dan mulai makan makanan itu dengan begitu lahapnya.
'Aku harus makan yang banyak,aku harus sehat" (batin Iren)
''Uhuuuukkk ...''
Tiba-tiba saja tenggorokannya tersedak karena makan terlalu cepat. Dokter Doni pun segera memberikan air minum sambil berkata dan tersenyum.
''Pelan-pelan makannya, ga bakalan di minta ko ..." ucap Dokter Doni seraya tersenyum kecil.
Iren hanya tersenyum sembari meneguk air mineral yang di berikan oleh Dokter Doni.
"Kamu gak makan ...?" Tanya Iren.
"Akh ... ngeliatin kamu makan juga udah kenyang ..." canda Dokter Doni.
Iren melirik sebal sambil meneruskan makan nya.
'Rasanya seperti mimpi aku bisa melihat kamu lagi, meski dalam keadaan berbeda, tapi di hati ku kamu masih tetap sama Iren.' (batin Dokter Doni)
Akhirnya Iren pun menghabiskan satu bungkus nasi Padang tanpa sisa. Tanpa sadar ia pun bersendawa saking kenyangnya membuat Dokter Doni sedikit tersenyum lucu menatap wajah Iren.
Nasi Padang memang makanan kesukaannya dari dulu, dia tidak menyangka kalau Dokter Doni masih ingat makanan yang dia suka. Entahlah sepertinya hati Iren sedikit tersentuh dengan apa yang di lakukan mantan kekasihnya tersebut dan sedikit mengobati rasa kecewa yang pernah dia dapatkan dahulu.
...*****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!