Perlahan mata Vania mulai terbuka. Ia mulai mengamati ruangan yang ia tempati. Ia tidak asing dengan ruangan itu.
" Aaw.....!" Vania meringis kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya yang telah diperban.
" Ah, nona sudah bangun...!" Seorang wanita berpakaian kasual menghampiri tempat tidur Vania. Namanya adalah Meri.
" Aku ingin pulang !" Nampaknya Vania mulai tersadar dimana ia berada sekarang. Ia menarik selang infus yang tertancap di pergelangan tangannya.
" Nona, jangan! Anda belum pulih benar!"
" Aku ingin pulang....!" Teriak Vania.
Meri tidak bisa menolak keinginan Vania. Sejenak ia menelpon seseorang lalu ia segera mengemasi pakaian Vania kedalam tas.
" Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?"
" Dua hari nona!"
Vania tersenyum sinis. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dan beralih duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Meri untuknya.
Ditempat parkir, ada sebuah mobil mewah menantinya. Vania langsung masuk kedalam mobil setelah pintu mobil dibukakan oleh seorang sopir.
Mobil melaju memecah keramaian kota. Air mata Vania tanpa terasa mulai mengalir di pipinya. Vania sedikit terkejut karena pipinya terasa perih. Ia menyentuh perban di pipinya. Vania teringat bahwa wajahnya terluka.
Keping demi keping kejadian mulai terlintas di benaknya.
Flashback on
Tengah malam Vania terbangun dari tidurnya. Tangannya meraih gelas yang berada di atas nakasnya. Namun gelas itu sudah kosong. Akhirnya dengan malas ia turun dari tempat tidurnya. Mata Vania masih sulit untuk dibuka. Beberapa kali ia tersandung benda yang berada dihadapannya.
Namun netra cantiknya mulai terbuka lebar ketika ia melintasi ruang kerja ayahnya. Sayup-sayup terdengar tangis seorang wanita didalamnya. Ia mulai mendekatkan telinganya ke pintu. Suara itu semakin terdengar jelas. Tangisan itu seperti minta tolong namun sangat pelan.
Vania semakin penasaran karena suara itu. Seingatnya ayahnya sedang berada di luar kota. Tidak mungkin jika ayahnya membawa seorang wanita kedalam rumahnya. Dengan memberanikan diri Vania membuka pintu ruang kerja ayahnya.
Begitu terkejutnya ia melihat seorang wanita terkapar dilantai berlumuran darah. Dan ada seorang pria yang nampak terkejut melihat kehadiran Vania.
" Lancang sekali kau!"
Vania terkejut mendengar perkataan pria tersebut. Karena ketakutan tubuh Vania bergetar hebat.
" Sudah ku katakan jangan pernah masuk kedalam ruang kerjaku!"
" Tapi ayah....!"
" Mulai bisa membantah kamu ya...!" Pria itu menarik tangan Vania dan mendorongnya dengan kuat hingga Vania tersungkur ke lantai.
" Aaw...." Lengan Vania terkena pecahan botol kaca yang tercecer dilantai.
" Berani kau seperti ibumu...!" Pria itu langsung menjambak rambut Vania kasar.
" Ti-tidak yah! Ampun....!" Vania menangis memohon ampun pada ayahnya.
" Aku tidak pernah suka ada orang lain yang ikut campur dengan semua urusanku!"
" A-ampun yah...! Ampun....!" Vania mengatupkan kedua tangannya memohon ampun.
" Kau sama saja dengan ibumu! Murahan...!"
Merasa tidak terima dengan penghinaan yang diterima ibunya. Vania menarik kaki ayahnya hingga terjatuh. Vania bangkit sambil membawa sebuah pecahan botol dan mengacungkannya kehadapan ayahnya.
" Ayah boleh menghinaku sesuka hati ayah. Tapi jangan pernah menghina ibu!"
Ayah Vania berdiri dan tersenyum sinis. " Kau tidak tau bagaimana murahannya ibu mu dulu...! Dia berhubungan dengan banyak pria ketika sudah menjalin hubungan denganku!"
" Bohong....! Ayah pasti bohong...!" Vania mundur perlahan karena ayahnya terus mendekatinya. Semakin lama semakin dekat hingga Vania terpojok.
" Serahkan pecahan kaca itu!"
" Tidak...!"
Ayah Vania memaksa Vania untuk menyerahkan pecahan botol yang ia genggam. Namun Vania bersikeras mempertahankan pecahan itu hingga tanpa sengaja pecahan itu menggores wajahnya.
" Aah....."
Dengan sigap ayahnya langsung merebut pecahan botol itu dan membuangnya. Darah mengalir begitu banyak hingga membuat Vania tidak sadarkan diri.
Melihat Vania tergeletak dilantai, Ayah Vania ketakutan. Lalu membawa Vania ke rumah sakit.
Flashback off
" Silahkan nona...!" Seorang sopir membukakan pintu mobil Vania.
Vania tersadar dari lamunannya. Ia segera mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Vania keluar dari mobilnya dibantu seorang wanita.
Ketika melintasi halaman mansionnya, matanya tertuju pada sebuah mobil sport keluaran terbaru terparkir di garasi mansion.
" Tunggu, mobil siapa itu?"
" Mobil nona hadiah dari tuan besar"
Vania hanya tersenyum sinis. Matanya mulai berkaca-kaca dan ia masuk kedalam mansionnya. Vania berhenti tepat didepan ruang kerja ayahnya. Ia menoleh menatap pintu yang terasa menakutkan untuknya.
" Tuan besar sedang melakukan perjalanan bisnis keluar negeri nona" Kata meri sambil berjalan mendekati Vania.
" Lalu bagaimana keadaan wanita yang tergeletak bersimbah darah di ruangan ayah?"
" Kami sudah membawa wanita itu dirumah sakit. Sekarang keadaannya berangsur-angsur membaik"
" Kenapa ayah menyiksanya?"
Wanita itu melirik ada anak buah Ayah Vania naik kelantai atas mengikuti Vania.
" Ayo nona, anda harus banyak beristirahat" Wanita itu memeluk tubuh Vania agar segera masuk kedalam kamarnya. Vania tau akan gelagat wanita itu dan ia hanya bisa menurut.
Setelah masuk kedalam kamarnya, Vania memilih duduk di pinggir ranjang.
" Tunggu meri, jawab aku! Kenapa ayah menyiksa wanita itu?"
Meri mendekatkan wajahnya ke telinga Vania.
" Semua karena penghianatan!" bisik Meri.
" Nona ingin aku buatkan sesuatu?"
" Aku ingin mandi...!"
" Nona, dokter tidak mengizinkan luka nona terkena air untuk sementara waktu"
" Kenapa?"
" Mungkin itu karena akan membuat luka anda terasa perih dan membuatnya lama untuk kering".
" Aku tidak perduli, aku ingin mandi!"
" Nona...!"
" Kenapa harus mencemaskan ku? Sebentar lagi ayah pasti akan mengirim ku ke USA untuk operasi plastik"
" Baiklah nona, saya akan menyiapkan air hangat untuk anda"
Meri pergi ke kamar mandi Vania yang cukup luas. Kamar mandi yang dilengkapi peralatan mandi canggih. Seperti toilet yang akan menyiram dan mengguyur otomatis. Kran air yang akan menyala otomatis. Bahkan bath up yang airnya menghangat otomatis ketika airnya mulai dingin.
Meri memberikan aroma terapi pada air bath up. Lalu ia segera undur diri. Vania segera masuk ke dalam kamar mandi. Ia melepas baju yang ia kenakan helai demi helai. Ia juga melepas perban yang melekat pada lengan juga pipinya.
Vania menatap tubuhnya yang polos pada cermin. Wajahnya berubah sedih.
" Ini kesekian kalinya ayah menyakitiku. Apakah aku tidak pantas untuk bahagia seperti mereka?" Vania melangkahkan kakinya memasuki bath up. Ia memejamkan matanya. Rasa perih dan ngilu menjalar di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin perih dan memyesakkan dada.
Tok,tok,tok!
" Siapa?"
" Aku...! Keluarlah...!" Terdengar suara seorang laki-laki dibalik pintu kamar mandinya.
Vania segera memakai handuk kimono. Ia keluar dengan wajah sembab.
Pria itu terkejut melihat kondisi Vania sekarang.
" Sayang....! Apa yang terjadi padamu?" Pria itu mencoba memeluk Vania namun segera ia tepis.
" Aku tidak apa-apa kak, aku sudah terbiasa...."
" Wajahmu? Kenapa bisa begini?"
Vania tidak menjawab, ia mengambil segelas jus yang sudah disediakan diatas nakas.
" Vania, kenapa kamu selalu..." Ucapan pria itu terputus. Ia mengusap wajahnya kasar.
" Kalau kakak jadi aku, apakah kakak akan diam melihatku tergeletak dilantai bersimbah darah?" Vania menatap mata pria itu tajam.
" Tentu tidak...!"
" Lalu? Apakah kakak rela dipukuli ayah demi menyelamatkan ku?"
" Vania....come on, ini masalah yang berbeda!"
" Jadi, kalau wanita itu bukan aku...kakak akan diam saja?"
Pria itu diam seribu bahasa. Ia hanya bisa tertunduk lesu.
" Menyedihkan....!"
🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Terimakasih yang sudah mampir di karya aku.... enjooyyy😘😘😘😘
" Selamat pagi nona...!"
Vania mulai menyipitkan matanya mencoba untuk mengumpulkan kesadaran. Sedangkan meri mulai menyibakkan gorden jendela kamar Vania. Perlahan sinar mentari memancarkan kehangatan menembus kulit Vania. Vania mulai membuka matanya dan melihat jam di dinding.
" Nona, jadwal anda pagi ini adalah melakukan perjalanan ke luar negeri"
" Operasi lagi?"
" Iya nona...!"
Meri menyiapkan baju ganti yang harus Vania bawa. Sedangkan Vania masih berbaring malas diatas kasurnya. Ia berharap tidak melakukan operasi plastik kembali. Sudah ke sekian kalinya ia melakukan itu. Setiap ayahnya melukai wajahnya ia harus pergi untuk operasi plastik. Ayah Vania adalah pria pekerja keras. Ia begitu terobsesi dengan kesempurnaan. Apapun yang berada disekelilingnya harus sempurna. Namun, dibalik sifat itu ayah Vania sangat kasar. Ia tidak segan memukul Vania jika Vania melakukan kesalahan.
Ibu Vania sudah lama meninggal sejak ia berumur 2tahun. Sejak itu Vania diasuh oleh pembantu rumah tangga. Ayahnya, Tomy Adi Putra sibuk bekerja dan melakukan perjalanan bisnis. Vania memiliki kakak laki-laki bernama Rafael Adi Putra. Sejak kecil kakaknya selalu dituntut untuk belajar dan belajar. Karena ia akan meneruskan perusahaan yang dikelola Tomy.
Pukul 8 Pagi Vania sudah berada di bandara. Ia Bersiap melakukan perjalanan ke Miami USA. Disana merupakan rumah sakit dengan tenaga kerja terbaik di bidang operasi plastik. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki akses untuk melakukan operasi plastik disana.
Bruuk...
" Aah....!" Vania tiba-tiba menabrak seseorang hingga ia hampir terjatuh. Namun sebuah tangan kekar berhasil menangkap tubuhnya.
" Are you okay baby?"
Vania tidak menjawab, ia terpana dengan keindahan mata sang pria yang menabraknya. Matanya biru begitu indah dan menghipnotis siapapun yang melihatnya.
" Eh, i'm okay!" Vania segera melepaskan diri dari pelukan pria tidak dikenal itu.
" Nona....! Maafkan aku telah meninggalkan mu. Apa anda baik-baik saja?" Meri tiba-tiba datang menghampiri Vania.
" Aku tidak apa-apa Meri"
" Bolehkah aku berkenalan dengan mu baby?" Pria itu mengulurkan tangannya seraya ingin berjabat tangan dengan Vania.
" Maaf Mr, nona saya sedang terburu-buru" Meri langsung memeluk tubuh Vania dan membawa Vania pergi meninggalkan pria itu.
" Dia cantik, sayangnya ada luka yang menutupi wajahnya" Pria itu terus menatap kepergian Vania.
🌺🌺🌺🌺🌺
2 Minggu kemudian Vania sudah kembali ke negerinya. Ia dijemput oleh anak buah ayahnya. Vania kembali dengan wajahnya yang halus mulus tanpa luka sedikitpun. Hal itu tidak membuatnya heran ataupun kagum dengan kecantikannya. Karena ia yakin suatu saat ayahnya akan menggoreskan luka diwajahnya lagi dan lagi.
" Tolong antar kan aku ke sebuah kafe didekat sini" Perintah Vania tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone nya.
" Nona, apa tidak sebaiknya anda beristirahat di mansion saja?"
" Tidak, apakah aku terlihat sakit?"
" Tidak nona! Bukan begitu maksud saya..."
" Sudah berhenti disini saja!"
" Nona...!"
" Kembalilah kalian ke mansion, kalau kalian tidak ingin dipecat!" Vania segera keluar dari mobil yang ia tumpangi.
Vania memasuki sebuah kafe yang sering ia jadikan tempat nongkrongnya bersama dua sahabatnya. Ia melihat dua sahabatnya nampak sedang memamerkan barang-barang mewah yang baru saja mereka beli.
" Hei...!"
" Heeeeiiii.... Princess, kemana aja kamu?"
" Iya, liburan ke USA nggak ngajak-ngajak kita!"
" Menurut kalian aku liburan?"
" Iya, tentu saja...!"
Vania hanya tersenyum kecut dengan anggapan ke dua sahabatnya. Ia tidak mungkin bercerita yang sesungguhnya pada kedua sahabatnya Selly dan Dewi.
" By the way....kamu nggak bawa oleh-oleh buat kita?"
" Kalian punya segalanya, buat apa oleh-oleh?" Ledek Vania.
" Tapi kan...."
" Tuh...!" Vania menunjuk tas baru selly bernilai puluhan juta. " Tuh...!" Lalu Vania menunjuk handphone Dewi bernilai 20juta an.
" Hehe..." Keduanya nyengir kuda.
" Aku bosan...!"
" Vania....seharusnya kamu bersyukur, kamu punya segalanya. Ayahmu pemilik dua perusahaan yang cukup besar di kota ini. Apapun yang kamu inginkan tinggal tunjuk. Apa lagi?"
" Iya, kamu nggak harus kerja sampingan seperti kita hanya untuk bayar kuliah dan pergi belanja"
" Tapi kalian bahagia....!" Wajah Vania langsung berubah sedih.
Dewi mengelus bahu Vania lembut. " Kami tidak sebahagia yang kamu pikirkan Nia"
" Iya...!" Selly menyandarkan kepalanya pada bahu Vania.
" Tapi kalian punya orang tua yang lengkap yang sayang banget sama kalian..."
" Iya sih, tapi kami nggak punya apa yang kamu punya"
" By the way kalian berdua kerja sampingan apa sih? Aku ikut dong!"
" Jangan....!" Selly dan dewi menjawab serempak.
" Ayolah....! Please....!" Vania mengatupkan kedua tangannya seraya memohon.
" Vania, kerjaan kami itu nggak cocok buat kamu. Apa kata ayah kamu nanti kalau tahu kamu kerja sampingan seperti kami" Selly mencoba membujuk Vania.
" Iya Vania, pekerjaan ini hanya cocok untuk kami kaum-kaum miskin" Dewi semakin mendramatisir suasana dengan memajukan bibirnya pura-pura sedih.
" Iih....apaan sih, aku ingin suasana baru...! Aku ingin happy seperti kalian. Mungkin dengan bekerja aku bisa mengusir rasa bosan yang kurasakan"
" Aku bilang jangan....! Nanti kita bisa dipasung sama ayah kamu dan kakak kamu Vania...!" Selly menyilang kan kedua tangannya di depan dadanya.
Dewi hanya mengangguk-angguk setuju dengan perkataan Selly. Tiba-tiba ponsel Selly berdering.
" Sebentar ya, aku angkat telepon dulu...!" Selly langsung pergi menjauhi kedua sahabatnya.
Vania melihat Selly nampak bahagia bercakap-cakap dengan seseorang ditelpun. Ia merasa iri pada Selly.
" Pasti telpon dari pacarnya ya Dew...!" Vania menoleh kearah Dewi yang senyum-senyum sendiri membalas chat dari seseorang. " Aaaa......Dewi...!" Teriak manja Vania.
" Eh, sorry Nia...!" Dewi nampak salah tingkah.
" Hei...sampai mana tadi?" Selly sudah kembali duduk di samping Vania.
" Fix, aku pengen kerja sampingan seperti kalian!"
Selly dan Dewi spontan saling berpandangan. Sesekali mereka berbicara dengan bahasa isyarat yang sama sekali tidak dimengerti Vania.
" Kalian bicara apa sih...?"
" Vania, kami harus jujur padamu...!"
" Apa...?"
Dengan reflek Dewi mencubit lengan Selly.
" Aww.... Dewi! Sakit...!" Selly merenggut kesal.
" Vania, dengerin aku...! Jika kamu sudah terjun di pekerjaan ini, kamu tidak akan bisa lepas begitu saja"
" Lalu....?" Vania bersemangat mendengarkan penjelasan dari Dewi.
" Semua ada resikonya jika sampai ada orang lain yang mengetahui pekerjaan kamu"
" Apa?"
" Kamu bisa dikucilkan dan malu seumur hidup mu!"
Vania semakin penasaran dengan penjelasan Dewi.
" Trus-trus....?"
" Bantuin dong Selly....!" Dewi bingung bagaimana harus menjelaskan pekerjaan nya pada Vania.
" Kamu bisa kehilangan hal yang sangat berharga dalam diri kamu!" Imbuh Selly.
" Aku nggak ngerti maksud kalian" Vania merasa bingung dengan perkataan dua sahabatnya itu.
" Ehm.....!" Dewi membisikkan sesuatu pada telinga Vania.
" What....? Are you seriously? "
Keduanya mengangguk secara bersamaan.
" Kalian benar-benar gila...!"
🌺🌺🌺👈👈🌺🌺🌺😘
Thank you n see you... 😘😘😘
" Simpanan om-om?" Vania memijit kepalanya yang sedikit pusing.
Vania benar-benar tidak menyangka kedua sahabatnya memiliki pekerjaan sampingan diluar dugaannya. Namun ia berfikir dua kali karena Vania merasa kedua sahabatnya merasa enjoy menjalani pekerjaan tersebut.
"Apa kalian bahagia?"
" Sejauh ini kita merasa bahagia...!"
" Kita merasa diperhatikan, diperlakukan dengan baik dan disayangi"
" Bahkan semua kebutuhan pribadi kita juga selalu terpenuhi,mulai dari baju branded,tas branded,bahkan biaya kuliah kita yang menanggung mereka"
" Iya betul, selama kamu nggak ketahuan" Selly nyengir kuda.
" Kamu nyindir aku...!" Dewi sedikit sewot.
" Maksudnya gimana ya?" Vania semakin bingung.
" Hehe....do'i nya dewi sudah punya istri dan anak. Tapi dia tergila-gila dengan Dewi"
" Kok bisa?"
" Ya karena aku selalu ngasih servis yang memuaskan"
" Dih sombongnya....!" Ledek Selly.
" Apa kalian melayani mereka sampai dengan urusan ranjang?" Vania menatap kedua sahabatnya serius.
" Ya tentu...!"
Vania dibuat melongo dengan kedua sahabatnya.
" Eh, sorry nih....! Aku harus pergi dulu. Do'i sudah nungguin aku di parkiran" Selly tiba-tiba berpamitan pada dua sahabatnya.
Vania memperhatikan gerak-gerik Selly. Bahkan mata Vania dan Dewi memperhatikan Selly yang bertemu dengan seorang pria di parkiran. Mereka berpelukan bahkan saling berciuman mesra.
Kafe yang dikunjungi Vania Full kaca. Sehingga siapapun pengunjung bisa memperhatikan tempat parkir bahkan pengguna jalan raya dengan leluasa.
" Gila...! Kaya pacarnya aja!" Vania geleng-geleng kepala.
" Lebih dari pacar" Bisik Dewi.
" Ayo aku antar kamu pulang...!"
" Kamu bawa mobil Dewi?"
" Tentu, mobil do'i aku....!" Dewi tersenyum bangga.
Akhirnya Dewi mengantar Vania pulang menggunakan mobil om-om simpanannya. Mobilnya cukup mewah, sedan seharga setengah milyar.
" Gila kamu Dew...!" Vania nampak takjub dengan mobik yang dikemudikan Dewi.
" Saran aku sih kamu jangan seperti kita. Kita begini karena tuntutan gaya hidup. Sedangkan kamu semuanya sudah ada. Jangan sampe kaya kita, kalo sudah kecemplung.... Susah sembuhnya!"
" Tapi kamu bahagia?"
" Iya...!"
" Tunggu aku bertanya serius padamu. Apa kamu benar-benar bahagia menjalani semua ini?" Vania sedikit memiringkan tubuhnya menghadap sahabatnya yang sedang sibuk mengemudi.
" Awalnya aku coba-coba, tiga kali aku merasa tidak nyaman dengan om-om pilihan papi. Kemudian aku bertemu mas Hendra. Dia membuatku jatuh cinta. Dia sosok ayah yang baik untuk anaknya. Dia bahkan sangat mencintai istrinya"
" Dewi...! Buka mata dan telingamu baik-baik...! Tidak ada pria yang baik jika dia tega menduakan istrinya!"
" Kamu belum pernah merasakan apa yang ku rasakan selama bersama mas Hendra"
Vania mengusap wajahnya kasar.
" Aku melihat sosok ayah di dalam diri mas Hendra"
" Tapi dia suami orang, bukan ayah biologis mu!"
" Iya aku tau, bertemu dengannya sudah merupakan anugerah dibanding mengharapkan ayah ku sendiri keluar dari bui"
" Maksud kamu?"
" Ayahku pengedar narkoba, bahkan ayahku sering menganiaya mama sewaktu mengandungku"
" Sungguh?" Vania menutup mulutnya karena terkejut mendengar cerita Dewi. " Aku fikir ayah kamu pegawai bank atau sebagainya"
" Setiap ada orang bertanya aku selalu menjawab kalau ayahku seorang pegawai bank swasta. Aku malu mempunyai ayah seperti itu...!" Dewi mengusap pipinya yang basah karena air matanya.
" Maaf Dewi....!"
" Kamu nggak perlu minta maaf padaku. Aku nggak papa...! Kalau kamu tidak mau bersahabat lagi dengan ku.... Aku tidak masalah!"
"Nggak dewi, kamu tetap sahabat baik ku...!"
Dewi menepikan mobil yang ia kemudikan. " Terimakasih Nia...! Hanya kamu satu-satunya orang yang tahu latar belakang ku yang sebenarnya" Akhirnya keduanya saling berpelukan.
" Dewi.... Mungkin kamu melihat aku begitu sempurna karena kekayaan yang aku miliki, apakah kamu tahu aku kesepian" Vania mulai menangis.
Dewi mengusap air mata Vania.
" Ayah ku tidak pernah memperdulikan ku! Ayah hanya mencintai pekerjaannya saja...!" Vania semakin menangis terisak-isak.
" Sudah-sudah jangan nangis....! Aku jadi ikut nangis lagi...hiks,hiks,hiks...!" Dewi terbawa suasana hingga membuatnya menangis kembali.
" Kamu tahu aku kemarin ke Miami bukan liburan!"
" Lalu?" Dewi mengernyitkan dahinya kebingungan.
" Aku operasi plastik karena ayahku menggoreskan pecahan botol kaca ke wajahku.....hiks,hiks,hiks"
Dewi memeluk tubuh Vania kembali. " Kenapa ayah mu tega melakukan ini padamu Nia?"
" Aku mendengar ada isak tangis minta tolong di ruang kerja ayah, lalu aku masuk tanpa izin ayah. Aku melihat ada wanita tergeletak berlumuran darah di lantai"
" Ooh my God!" Dewi sangat terkejut mendengar cerita Vania. " Apa ayah mu pelakunya?"
Vania mengangguk sambil menangis.
" Jadi selama ini ketika kamu selalu keluar negeri bukan untuk liburan? Tapi karena ayah mu selalu melakukan ini padamu lagi dan lagi?"
Vania mengganggu sambil menangis pilu.
" Yang kuat ya Nia, kamu harus kuat menjalani ini semua. Kalau kamu butuh sesuatu kamu telpon aku ya ....!"
Vania mengangguk.
" Kalau kamu merasa tidak aman di rumah mu, kamu bisa tinggal dirumah ku. Ada ibuku dirumah....! Ibu baik banget, aku yakin kamu pasti betah...!"
" Terimakasih ya Dewi...!"
" Iya,...!" Dewi kembali mengusap air mata di wajah Vania. " Aku antar kamu pulang ya ..!" Dewi kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Maklum Dewi tidak pernah memakai mobil mewah, jadi ia takut mobilnya akan lecet dan biaya perbaikannya mahal.
Setelah mengantarkan Vania sampai ke depan mansion nya, Dewi akhirnya berpamitan pulang. Vania pun masuk kedalam mansion. Di ruang keluarga Vania melihat ayahnya yang sedang membaca koran. Vania berlari mendekati ayahnya sambil merentangkan tangannya ingin memeluk ayahnya.
Namun tangan Vania segera ditepis kasar oleh Tomy.
" Ayah masih marah dengan ku?"
" Cepat mandi dan makan malam. Aku sedang malas berbicara denganmu!" Tomy berdiri lalu melempar koran yang ia baca ke meja. " Meri,kalau Rafael sudah datang.... Suruh dia menyusul ku di ruang kerjaku!"
" Baik tuan...!"
Hancur hati Vania, ia merasa tidak dianggap sama sekali oleh ayahnya. Bukan kata maaf yang seharusnya ia terima, namun perlakuan tidak menyenangkan lah yang ia dapatkan. Tanpa terasa air mata Vania menetes begitu saja di pipi mulusnya.
" Malam....!" Rafael datang sambil menenteng jasnya menghampiri Vania yang berdiri mematung. " Hei...!" Rafael berniat memegang bahu Vania namun segera Vania tepis dan Vania pun berlari memasuki kamarnya.
" Vania kenapa Meri?"
" Nona diacuhkan tuan besar, tuan Rafael!"
" Papa selalu saja begitu...!" Rafael ingin menyusul Vania ke kamarnya. Namun tangan Rafael digenggam Meri. Rafael pun menoleh ke arah Meri.
" Tuan besar menunggu anda di ruang kerjanya"
Dengan malas akhirnya Rafael menyusul ayahnya di ruang kerjanya.
Meri tersenyum sinis, " Dasar anak manja...!"
Di kamar Vania masih terdengar isak tangis yang begitu lirih dan pilu. Vania terduduk dibalik pintu kamarnya. Ia merutuki dirinya sendiri kenapa harus dilahirkan di keluarganya. Rasanya ia ingin mengakhiri hidupnya saja.
" Bunda....aku kangen bunda...!"
🌺🌺🌺🌺🌺
Thank you n enjooyyy 😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!