Suara tangisan bayi mewarnai sebuah ruagan yang di domiasi dengan warna putih, beberapa manusia berjubah mengeliligi seorang wanita degan nafas lega. Wanita itu penuh peluh di area wajahnya, bulir bulir sebesar biji jagung kampug memenuhi pelipisnya.
Sementara seorag laki laki tengah menahan haruhya, terus megecup dan megusap lembut keringat wanita yang tengah berbaring di ranjang pesakitan. Matahari terbit pagi itu seolah menyambut bayi tersebut, jam seolah manjadi pengantar dan saksi bisu tentang hitungan setiap detik perjuangan melahirkan dengan mengorbankan segalanya. Jam dinding seolah menjadi sebuah komedi putar yang lambat untuk mereka, kelamnya malam seolah menelan cerahnya bulan, menemani hati yang berdebar menanti kehadiran sesosok manusia tanpa sehelai benang, sesuci air hujan yang belum pernah tersentuh, seputih kertas kosong yang baru keluar dari tempat percetakan. Hari itu semua orang penuh rasa haruh tengah menanti kehadiranya, menuggu dengan segenap penuh harap.
Suara adzan berkumandan beriringan dengan suara tagisan bayi laki laki, menandakan kehidupan baru telah hadir di muka bumi ini. Suars itu terdegar hingga keuar dari ruagan tersebut, semua orang menangis meyambut kehadiran bayi tersebut. Tangis bahagia terus terdegar menandakan penantian dan harapan besar untuk bayi tersebut.
“Atlas Alfatih Lyansi,” ujar laki laki yang tengah mengecup dan membawa bayi tersebut ke dalam pangkuan seorag waita yang menangis haru. “Terimakasih, you are the best.”
“Hm... dia sangat tampa seperti mu,” puji wanita itu.
“Dan kuat seprti mu,” balasnya mengecup bibir istrinya. “Seorang pemimpin, pemenang, dan pembuka. Aku berharap Atlas mampu memimpin adik adiknya kelak.”
Seorang dokter datang menghampiri mereka, sedikit membubarkan kemesraan yang terbangun. Dengan tersenyum cerah dokter tersebut datang dan menegur mereka. “Maaf permisi saya harus memindahkan pasien dan bayinya, silahkan selesaikan administrasinya dahulu.”
“Baik dok,” laki laki itu segera keluar. Semua orang memandang takjub ke arah pintu yang terbuka dengan perlahan, dengan menampakkan seorang laki laki yang keluar dengan wajah yang berseri seri, dengan rambut yang telah berantakan, tangan yang memerah karena bekas cakaran, namun wajah yang tersenyum bahagia menggamabrkan bahwa apa yang ia rasakan kini telah menutupi perihnya cakaran sang istri.
“Bagaimana Brayen? Sehat? Laki laki atau perempuan?” Chandra mendekati brayen dengan wajah penasaran, sang istri tengah menggendong anak mereka juga sedang terlelap.
“Laki laki, Atlas Alfatih Lyansi,” ujar Brayen dengan bercucuran air mata. Buncahan kebahagiaan tak mampu ia tahan, kebahagiaan tak mampu ia ungkapkan dunia seolah semakin berwara. Matahari pagi seolah bersinar lebih terang, dan mendung seakan tak akan pernah menghampiri mereka. Brayen merogoh dompetnya dan menyerahkan sebuah ktp dan kartu kredit miliknya. “Tolong urus administrasinya, aku ingin menyusul istri ku.” Chandra menepuk bahu Brayen tersenyum ke arah laki laki tersebut.
.........
Atlas Afatih Lyansi kini benar benar menjadi sebuah kembanggan, dan menjadi seorang pemimpin yang seperti keluarganya harapkan. Tiga puluh lima tahun telah berlalu, laki laki tampan itu telah menjadi sorang pemimpin perusahaan, menduduki perusahaan ayahnya, Brayen. Denagan memimpin dua adikya Tate Nu’man Lyansi, dan Bilqis Aimara Amira Lyansi. Sesuai dengan namanya laki laki yang akrab di panggil Atlas menjadi pemimpin dan seorang
pembuka yang hampir di bilang sempurna. Laki laki itu di ibaratkan sebuah bangunan Piramida Agung Giza, yang berdiri kokoh di tengah gurun pasir, dengan desai arsitektur yang sangat luar biasa. Dengan perkiraan sebuah piramida butuh jutaan balok yang masing-masing beratnya mencapai dua hingga lima puluh ton, sedangkan satu piramida butuh kurang lebih dua juta tiga ratus ribu (2.300.000) balok hanya untuk membangunnya.
Kompleks piramida Giza yang megah mempunyai tiga piramida besar, tiga piramida kecil, dan patung Sphinx, yang menjad lambang kerajaan mesir kuno tersebut, degan tubuh berbentuk seperti singa sementara wajahnya seperti mausia yang merupakan makhluk mitologi mesir. Sphinx merupakan gambar penting dalam seni dan legenda Mesir juga Yunani. Kata sphinx sendiri diturunkan oleh para ahli tata bahasa Yunani dari kata kerja Sphingein. Sphingein memiliki makna ‘Untuk Mengikat atau Memeras’. Namun dalam etimoliginya Sphinx tidak berhubungan dengan legenda. Ketiganya bernama Piramida Khufu, Khafre, dan Menkaure dengan letak yang hampir berdekatan. Tiga piramida kecil itu termasuk dalam piramida Menkaure, ketiganya dibangun pada masa yang berbeda. Yang tertua sekaligus terbesar, Khufu dibangun pada 2589 hingga 2566 SM. Artinya, bangunan tersebut sudah berdiri sekitar 4.500 tahun lalu oleh raja-raja Firaun. Para ahli hanya mampu memperkirakan, bahwa kemampuan arsitek modern pun tak bisa menyamai kehebatan bangunan piramida ini, dengan tinggi sekitar empat ratus delapan pulu satu kaki, piramida terbesar ini menghabiskan dua koma tiga juta batu balok dengan berat sekitar dua koma lima hingga lima puluh ton per batu. Piramida piramida itu berfungsi sebagai makam raja dan keluarga serta penyimpanan harta yang digunakan saat memerintah seperti perhiasan, mahkota hingga mumi kucing.
Para raja berkeinginan agar mereka tetap bisa memerintah bahkan di kehidupan setelah kematian, hingga saat ini, para sejarahwan dan arkeolog masih berusaha menguak misteri pembangunan piramida piramida itu. Tim peneliti Inggris-Mesir pada tahun 2018 mengungkapkan, batu-batubdiangkut menggunakan kereta luncur dengan sudut kemiringan yang curam, bahkan itu hanya sebuah perkiraan, dengan bangunan setinggi, semegah dan serumit itu mungkin saja membutuhkanbwaktu yang sangat lama.
Semtara Tate Nu’man Lyansi, yang berarti sebuah kebahagiaan dan keceriaan. Juga tumbuh sesuai degan mananya, laki laki yang akrab di panggil Tate tersebut sangat ceria, bahkan suasana akan akanbkehadirannya. Keceriaanya terkadang mengingatakan sebuah kota yang amat indah dan terkesa ceria. Kota pelangi yang terletak di Colombia. Kota Pelangi ini bernama Kota Guatapé. Kota kecil ini berada jauh dari ibukota negara Medellin. Salah satu alasan kota ini dinamakan Kota Pelangi karena seisi kota memiliki warna warni cerah bak sebuah pelangi. Hampir semua bangunan di kota ini dicat dengan warna cerah dan ceria. Asal mula kota Pelangi ini bermula dari sebuah keluarga yang melukis cat dinding rumahnya dengan cara yang berbeda. Inspirasi keluarga itulah yang membuat seisi kota mengikutinya.
Banyak sudut kota yang menyajikan pemandangan indah dan menggoda, hingga setiap sudut dan setiap rumah memiliki pola dan warna yang berbeda-beda. Sehingga orang orang akan dibuat bersemangat untuk menjelajahi kota tersebut rengan rasa penasaran. Bahkan para turis tak jarang mmemilih untuk berjalan kaki.
Salah satu yang juga sangat menarik adalah keberadaan sebuah batu yang berada di atas bukit. Dari batu tersebut para turis dapat meyaksikan pemandangan dengan sudut 360 derajat. Dengan jarak yang cukup jauh dari ibu negara, Colombia menyebunyikan sebuah syurga kecil dibalik kota kecil tersebut.
Sementara itu Bilqis Aimara Amira Lyansi yang saat ini baru genap berusia dua puluh dua tahun, juga tumbuh sesuai degan namanya ratu yang cantik, cantik tersayang, cantik abadi. Ia hidup seperti seorang tuan putri dari kerajaan keurga mereka. Sebagai anak bungsu dan putri satu satu nya tentu sangat di sayagi oleh keluarga, namun kecintaannya dalam bidang traveling membuat sang ayah membangun sebuah perusahaan yang menyediakan jasa dan kemudahan bagi para traveler seperti putri mereka.
Untuk sebuah kecantikan Bilqis atau yang biasa di panggil Iqis ini jangan di tanyakan lagi keindahannya bak tergambar oleh kota biru, Chefchaouen, sebuah kota kecil yang berpenduduk kurang dari seratus ribu jiwa ini terletak di timur laut Maroko atau sekitar dua ratus lima puluh km sebelah timur laut ibu kota Rabat, Maroko. Kota yang berada di selah-selah Pegunungan Rif ini termasuk salah satu kota wisata favorit bagi para pelancong. Penduduknya yang fanatik dengan warna biru menjadikan kota ini terkenal dengan sebutan kota biru. Bagi penggemar arsitektur,jangan lewatkan keindahan bangunan berwarna biru yang terinspirasi dari budaya Yahudi dan tata ruang yang indah dengan latar dramatis pegunungan Rifnya. Hal ini bisa dilihat dari warna arsistek bangunan rumahnya baik luar maupun dalam serta ruas jalan di kota ini tak lepas dari warna biru.
Kota menawan di Maroko yang terletak di Pegunungan Rif ini awalnya dibangun sebagai benteng di abad ke lima belas. Dengan nyaman dan tenang para wisatawan bisa menikmati keindahan alam kota ini dari atas pegunungan, nuasa biru muda dan putih yang muncul dari warna khas perumahan kota ini membuat Chefchaouen terlihat sangat cantik dan menakjubkan. Udaranya yang segar dengan diiringi suara gemercik air yang mengalir dari sungai dan bebatuan yang menghiasi bibir sungai menambah kesempurnaan alam di Afrika Utara ini. Belum lagi dengan keramahan para penduduknya yang senantiasa suka membantu menjadikan para wisatawan lebih nyaman dan ingin tinggal lebih lama lagi.
Ketiga kakak beraik ini cendrung kompak, namun juga cendrung mengocok perut. Guyonan mereka seperti sebuah milk shake traisional, yang di buat dengan kocokan langsung dari tangan. Manis namun harus di kocok terlebih dahulu dengan candaan ringan agar terbaur menjadi satu. Seperti saat ini mereka tengah berkumpul di ruang keluarga, Brayen telah berhenti dan pensiun sebagai seorang ceo. Digantikan oleh kedua anak laki lakinya Atlas dan Tate. Hanya Bilqislah yang masih kuliah hingga saat ini, bahakan kini wanita yang biasa di panggil Iqis tersebut telah memasuki tugas akhir.
“Pih, aku dengar semalam kalau Iqis nelfon cowok bilang sayang,” tiba tiba otak jahil Tate keluar, dan mulai menggoda adik dan papanya, yang menurutnya sangat menyenangkan untuk di jahii.
Bagaimana tidak papanya sangat menentang jika anaknya berpacaran, papanya tak ingin anak anaknya melewati sebuah pergaulan yang tidak baik, seperti pergaulan bebas. Bahkan hanya untuk pertemanan saja Brayen sangat menjaga mereka. Takut apa yang terjadi padanya dan sahabat terulang.
Karena itu hingga saat ini baik Atlas, Tate, maupun Bilqis belum pernah berpacaran. Mereka hanya menjalin pertemanan dekat jika tertarik, namun tak sampai menjalin hubungan hingga bisa di sebut kekasih.
Brayen mengerutkan keningnya memandang ke arah Bilqis, putri tunggalnya, anak bungsunya, dan anak yang paling ia jaga. Bilqis juga tak kalah mengerutkan keningny menatap tajam ke arah Tate yang memasang tampang polos, sepolos kertas kosong, yang belum pernah di coret, atau di beri tulisan.
"Jangan fitnah ya kak," kesal Bilqis melihat wajah sok polos kakaknya. Dia tertidur kemarin, dan itu adalah faktanya. Kamarnya tak pernah ia kunci, para asisten rumah tangga akan kembali di sore hari. Bahkan ponsel saja seluruh keluarganya tahu semua.
"Apa?" Tate semakin memasang wajah polos nan sucinya, seperti bayi yang baru keluar dari perut.
"Iqis kak Tate ngomong bener atau salah?" Brayen memandang tajam ke arah Bilqis.
"Ih... engga pih orang Iqis tidur cepat kok," ujar Bilqis merengek, kemudian memandang tajam ke arah Tate.
Mendengar suara rengekan dari adik bungsunya Atlas menyingkirkan tab dari tangannya, si gila kerja ini tertarik dengan pembicaraan yang berhasil membuat adiknya merengek. Atlas mengerutkan keningnya mandang ketiga manusia yang tak pernah akur, terlebih Tate dan sang papi, Brayen.
"Ih bohong pih, orang dia bilang ok beb, besok aku juga ke kampus kita ketemuan di sana," ujar Tate dengan suara yang sengaja ia buat buat seperti Bilqis yang tengah bertelfonan, demi melancarkan lakonan dalam memancing emosi Bilqis dan juga Brayen.
"Ih ga ada ya... Iqis langsung tidur, coba tanya sama mami deh, ya kan mi," ujar Bilqis meminta bantuan kepada maminya, yang sejak tadi terus memperhatikan wajah Tate.
"Kamu jangan suka jahilin adik kamu ya Tate," ujar Juwita mulai mampu membaca kejahilan anaknya kali ini. Biar bagaimana pun dirinya tetap seorang pensiunan dokter jiwa, yang mampu membaca gerak mata seseorang.
"Ih engga mi, jujur deh malam kemarin nya lagi kamu telfonan kan?" Tate tetap mempertahankan sikap jahilnya. Lengkungan tipis di bibirnya berhasil di tangkap oleh Atlas, diam diam Atlas meletakkan sebuah remote control AC di samping papinya.
"Iya tapi itu sama Hanan," ujar Bilqis cemberut, mulai sadar tengah di goda oleh kakaknya. "Kan ada papi sama mami di kamar kemaren."
"Tate..." Brayen menggeram melihat tingkah anaknya.
"Ampun pi... aku kan ga tau kalau ada papi, ga tau juga kalau itu Hanan," Tate membela diri. "Sorry bro..."
"Te... papi ini papi mu loh, bra bro bra bro..." kesal Brayen semakin kesal di buatnya.
"Ampun ampun..." Tate memegangi kepalanya, kala papinya mengambil sebuah remote yang diam diam di letakkan olah Atlas. Atlas melengkungkan bibirnya melihat hal tersebut. Sebenarnya dirinya juga suka melihat papinya marah marah kepada Tate.
"Kamu ini kenapa sih jahil banget sama adik kamu, kasihan dia," Brayen menggeram kesal kepada anak keduanya.
"Kan ngetes aja Pi, entah emang iya kan..." Tate terkekeh ketika mengatakannya. Tate segera memeluk adiknya Bilqis. "Maaf ya adik ku tercinta, tuh papi sayang banget sama kamu."
"Sayang lah, anak kesayangannya," ujar Bilqis sombong kearah Tate.
"Iya, soalnya kamu itu anak pungut, makanya papi sayang banget. Takut pas kamu tahu kebenarannya kamu sedih, jadi papi ngasih yang terbaik," ujar Tate membuat Bilqis cemberut.
"Bohong kan Pi," ujar Bilqis meminta bantuan kepada papinya.
"Kamu ini kenapa sih Tate jangan di jahili terus adiknya. Coba lihat papi, muka kamu mirip papi kan?" ujar Brayen membuat Juwita menggeleng, memang di akui Brayen sangat menyayangi Bilqis, meski kasihnya kepada anak anak yang lain tak lah kurang, pasalnya Bilqis memang anak perempuan satu satunya.
"Ih papi ga mau ngaku, coba lihat papi mi. Pi orang bohong masuk neraka," ujar Tate tersenyum ke arah Bilqis dan Brayen.
"Tate..." Brayen semakin kesal di buatnya. "Sayang coba lihat anak kamu," Brayen memandang ke arah Juwita, pandangannya tampak putus asa dengan kejahilan putra bungsunya, atau anak keduanya. Sementara anak bungsunya sudah berkaca kaca, dengan segala kepolosannya.
Atlas yang jauh lebih dewasa hanya menggeleng, seperti Juwita yang terus menghela nafasnya kasar. "Tate, kasian adik mu," ujar Juwita menengahi akhirnya.
"Ih yang aku bilang kan benar mi," ujar Tate membela diri.
"Yang mananya benar?" Brayen menggeram kesal, tangan kanannya ia gunakan untuk memeluk anaknya, sementara tangan kirinya ia siapkan untuk menaikkan remot ke atas berancang ancang memukul kepala Tate anaknya.
"Ampun bro, ampun..." Tate semakin tergelak, pasalnya lucu melihat ekspresi sang papi.
"Tate ini pipi kamu, jangan panggil gitu. Lagian kamu itu bohong tadi," ujar Brayen semakin kesal saja.
"Ih papi suka fitnah," Tate semakin membuat papinya marah.
"Papi pukul kamu, Iqis itu anak papi ya, anak kandung," Brayen kesal sekesal kesalnya kepada anak keduanya, entah kenapa anaknya itu suka sekali membuatnya marah.
"Ih papi aku laporin ke kak Seto loh. Kdrt namanya kekerasan dalam rumah tangga," Tate semakin memancing emosi sang papi.
Bilqis mulai mengerti arah Kakak nya yang mencoba untuk membuatnya kesal kini tak lagi marah, dirinya justru mulai tertawa ketika melihat Tate hendak di pukul papinya. "Kurang ajar kamu ya, sini itu untuk anak dan perempuan, emang kamu perempuan?"
"Ih mi papi masa ngomong gitu," protes Tate terkekeh melihat amarah sang papi.
"kamunya," Brayen akhirnya mengganti remotnya menggunakan sendal rumah milik nya.
"Ih papi jahat mi, udah suka bohong, sekarang fitnah Tate lagi," ujar Tate memelaskan wajahnya ke arah Juwita.
"Tate..." Brayen kali ini benar benar kesal di buatnya. Brayan segera memukul kepala Tate, namun tak bermaksud memukul, hanya mengancang ancang. Tak tega rasanya memukul anaknya dengan benar benar memikul nya.
"Aw... kena, sakit..." Tate mengaduk kesakitan, seketika Brayen panik melepaskan sendal di tangannya dan mendekati kepala anaknya. Brayen segera mengecup puncak kepala Tate, khawatir dengan sang anak.
Juwita terkekeh melihat nya, sungguh ini benar benar keluarga yang ia impikan sejak dulu, Atlas yang notabennya memang sangat peka, segera memeluk mami nya. Aska seolah mengerti dengan apa yang dirasakan oleh mami nya.
Sungguh masa lalu Brayen memang sangat buruk, bahkan jika orang orang yang tahu tentang masa lalu Brayen maka akan menganggap Brayen remeh dalam mendidik anak anaknya. Untung saja keluarga Juwita dan juga Juwita menerima masa lalu nya, sehingga ia bisa bahagia seperti saat ini.
Brayen terus mengecup puncak kepala Tate yang terkena sendalnya tadi, Tate sedikit cekikikan membuat Brayen melepaskan pelukan di kepala Tate, Brayen mengerutkan keningnya bingung. "Cie sayang..." Brayen segera memukul lengan adiknya.
"Dasar jahil banget jadi orang, durhaka kamu mau masuk neraka?" Brayen kembali menggeram kesal, rasa kasihan kepada anaknya nya tadi menguap seketika ketika mendengar cekikikan anaknya.
"Prank..." Tate segera berlari ke arah ponselnya yang terletak di balik gorden. Ternyata pria itu tengah melakukan vlog, untuk memasukkan ke ke dalam video YouTube miliknya.
Satu lagi Tate merupakan seorang vloger yang memiliki banyak pengikut, Tate terus berlari menjauh dari papinya yang telah berdiri dengan memegang sendal milik papinya.
"Yah gaes papi ngejar, kesal dia lihat... Aduh jangan begitu syegi..." Tate mengarahkan kameranya ke arah Brayen. "Aduh hot Daddy yang sudah tidak hot cendrung gembrot lagi mencoba mengejar nih." Tate terkekeh melihat papinya melangkah mendekat. "Sorry bro bercanda bro."
"Tate! Ini papi kamu, bukan teman kamu, ga sopan ih..." Brayen benar benar melemparkan sendalnya ke arah Tate, Tate berlari menghindar sembari terkekeh, kameranya terguncang dan itu membuat nya menjadi tidak jelas, namun Tate terus mencoba mengarahkan kamera tersebut ke arah Brayen.
"Ampun Pi ampun bro," Tate kembali menggoda Brayen.
"Tate..." Brayen benar benar kesal di buat nya. "Tate balikin sendal papi sekarang," perintah Brayen menatap kesal ke arah Tate.
Tate memungut sendal papinya, yang baru saja melayang ke arahnya. "Di lempar apa gimana Pi," Tate bahkan menawarkan cara pengembalian kepada papinya.
"Cod cod Tate, cepat sini. Kamu buat papi emosi aja," Brayen semakin kesal di buatnya.
"Cod kan?" Tate segera mendekat mengantar sendal milik Brayen. "Ini pak Bray, harganya tiga juta rupiah."
"Ya Allah Tate... Mahal bener dah tiga juta, sini sendal pipi," Brayen semakin kesal di buatnya.
"Masalah harga bukan kami yang mengatur pak, kami hanya pihak kurir pak, tugas kami cuman mengantar barang. Kalau mau bertanya silahkan bertanya kepada pihak seller atau aplikasi, kami hanya mengantar bapak," ujar Tate dengan wajah tanpa merasa bersalah.
"Tate... kurang ajar bener ini anak, sayang coba lihat anak mu," ujar Brayen mengadu kepada sang istri, sang kekasih hati.
"Cie sayang, sayang kamu," ujar Tate mulai mengarahkan kameranya ke arah Juwita.
"Tate jangan gitu," Juwita hanya mengeluarkan suara tersebut, ia tahu betul bahwa Tate tak akan pernah berhenti menjahili papinya sampai hatinya benar benar puas.
"Sorry bro lo kan anak baru di sini, gue cuman mau kenalan, soalnya lo kelihatan sombong sih," ujar Tate menaik turunkan alisnya sembari terkekeh.
"Tate... ini papi kamu, bukan teman kamu..." Brayen kembali berteriak membuat Tate terkekeh.
"Iya maaf Pi maaf," ujar Tate, segera mendekat dan menyalami Brayen. Brayen menerima uluran tangan Tate, kemudian mengusapnya kepala Tate dengan lembut, mengambil sendalnya.
"Nah gini kalau jadi anak, sayang sama orang tua, hormat jangan bra bro bra bro..." ujar Brayen mengusap lembut kepala Tate.
"Iya pi... nanti Tate beliin kopi lagi deh buat papi," ujar Tate segera berlari menjauh dari papinya.
"Papi..." kini giliran Atlas yang berteriak, ketika mengetahui ternyata papinya masih suka mengonsumsi kopi.
Atlas memang sangat memperhatikan makanan dan minuman yang di konsumsi papi dan mami nya. Terlebih maminya yang memang memiliki riwayat penyakit jantung, sementara papinya yang memiliki riwayat kolesterol yang tinggi, membuat Atlas terus benar benar khawatir.
"Engga Atta, papi cuman minum dikii...iiiiiit banget," ujar Brayen menyatukan telunjuk dan ibu jarinya. "Coba tanya Iqis."
"Kok Iqis ikut sih..." Bilqis segera cemberut memandang ke arah papinya.
Atlas berdiri dan berjalan menuju dapur, sudah pasti segala jejak kopi yang ada di dalam kulkas akan berakhir di wastafel dan tong sampah.
"Tate!!!"
Dalam dentingan jam dinding yang berdenging mengikat waktu demi waktu, jam demi jam, detik demi detik, membawa setiap pengalaman berharga, dari berbagai kisah. Kisah pahit, manis, asam, asin semua terlewati demi mencari sebuah kedewasaan. Manusia mengalami setiap kisah pahit maupun manis, membawa pembelajaran, berjalan tanpa bisa di hentikan layaknya sebuah jam dinding yang tak mampu menghentikan waktu, layaknya roda ban mobil yang tak selalu berada di atas, mereka akan mengalami segalanya dalam hal bergantian.
Sore di bulan April jam terus berdenting waktu terus berlalu, tiga jam lalu adalah waktu yang amat menghancurkan hatinya, kepercayaannya. Kekasih yang amat di percaya dan disayangi ternyata mempermainkannya dengan sang sahabat. Ahmed Omer Kostak pemuda tampan nan mempesona baru saja merasakan patah hati yang amat dalam.
"Kenapa?" Ahmed mengeluh dengan hidupnya. Dua orang kepercayaannya mengkhianatinya. "Aaaaaaaaaa....."
Puncak gedung salah satu pencakar langit, terdengar teriakan putus asa dan kesedihan. Seluruh kekecewaannya keluar bersamaan dengan kemarahannya. Kekecewaannya mendominasi seandainya keduanya jujur bahwa mereka saling mencintai, maka dirinya akan mundur, tak perlu pura pura di hadapannya itu akan semakin menyakitkan.
Dering ponsel mengalikan asa keputusasaan nya. Ahmed melirik ke arah ponsel, itu adalah telfon dari mamanya, Aliya.
"Halo ma," Ahmed menghela nafas mengatur emosi ketika mengangkat telfon dari mamanya.
"Kamu di mana?" terdengar suara dari Aliya dari ujung sana.
"Masih di kantor bu," ujar pemuda itu masih memandang ke arah langit sore Jakarta yang mendung semendung hatinya.
April bukan lah waktu yang tepat untuk turun hujan, namun entah mungkin cuaca juga tengah merasakan perasaannya, atau hanya sedang mengejek dirinya yang bersedih hanya untuk urusan cinta.
"Cepat pulang, nanti malam kita ada pertemuan," ujar Aliya di ujung sana.
"Iya ma, sebentar lagi. Ini sedang siap siap," Ahmed segera menyambar tas kerjanya, kemudian berjalan gontai ke arah pintu keluar.
Ahmed bukan tak tahu maksud mamanya memaksa dirinya untuk ikut serta, ia tahu jelas. Perjodohan yang telah di atur oleh kedua keluarga mereka. Ahmed tahu kilas bahwa dirinya hendak di jodohkan dengan gadis bungsu sekaligus putri tunggal dan kesayangan keluarga Lyansi.
Ahmed menghela nafasnya, haruskah ia menerima perjodohan ini? Harus kah ia melampiaskan kekecewaannya kepada gadis lugu tersebut? Jelas di antara mereka tidak ada perasaan sama sekali. Ahmed tahu betul gadis cantik tersebut, Ahmed mengenalnya sejak gadis itu masih kecil. Ahmed menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri, itulah faktanya.
Apa mungkin ia tega menyakiti perasaan dari wanita yang kasih sayangnya setara dengan Aiyla dan mamanya. Apa ia harus belajar mencintai gadis tersebut?
Tanpa terasa ia telah sampai di pintu mobilnya, berbicara dengan diri sendiri memang terkadang melelahkan. Perdebatan antara logika dan hati nurani, pikiran dan ego sungguh sangat menguras kepala. Ahmed segera menghidupkan mesin mobilnya, ini sudah menjelang malam, lampu lampu kota mulai di hidupkan. Mobil Ahmed berjalan dengan pelan, hanya untuk mengulurkan waktu memikirkan tentang pasal perjodohan tersebut.
Tak juga mampu melerai antara perdebatan hati nurani dan egonya, Ahmed menghidupkan radio demi menemani perjalannya. Terdengar sebuah musik yang cukup enak di dengar di telinga. Namun liriknya cukup menampar hati Ahmed, sekaligus memberikan dirinya sebuah jawaban dari setiap keraguannya.
Kata pujangga.
Cinta itu luka yang tertunda.
Walau awalnya selalu indah.
Bila bukan jodohnya.
Siap-siap 'tuk terluka.
Lirik itu cukup menyadarkan Ahmed tentang dirinya dan sang mantan kekasih yang baru hitungan jam ia putuskan, akibat perselingkuhan.
Lebih baik bangun cinta.
Daripada jatuh cinta.
Jatuh itu sakit.
Bangun itu semangat.
Lebih baik bangun cinta.
Daripada jatuh cinta.
Meski tak mudah.
Namun cinta.
Jadi punya tujuan.
Lirik tersebut seolah memberi jawaban atas keraguannya terhadap perjodohan yang keluarga mereka atur. Namun ia juga bingung apakah wanita yang ia anggap adik sendiri tersebut mengetahui perjodohan mereka. Permasalahan jodoh ia juga membingungkan nya. Jika cinta saja bisa berpisah bagaimana dengan jika sama sama tidak mencintai?
Kata pujangga.
Bangun cinta itu tak semudah.
Tak secepat hati jatuh cinta.
Namun bila jodohnya.
Kita pasti bahagia.
Lirik selanjutnya seolah kembali memberikan sebuah keyakinan untuk dirinya tentang perjodohan tersebut. Ahmed menghela nafasnya berkali kali, hingga tanpa terasa ia sampai di rumah, hujan tampak sedikit rintik, seolah menggambarkan hatinya.
"Langit bisa kau sambar saja mantan dan sahabat ku?" Ahmed bergumam sebelum keluar dari mobilnya.
"Langit bisa kau yakinkan bahwa Iqis bukan jodohku?" kembali lagi Ahmed bergumam, namun tiba tiba terjadi kilat sambaran petir di langit. "Aaaaa.... iya iya iya jodoh jodoh jodoh, ampun... sambar mereka saja," Ahmed berlari masuk ke dalam rumah dengan terbirit-birit.
Aliya dan Chandra bingung melihat tingkah anak sulung mereka, sungguh aneh tingkahnya hari ini. "Tu kan cil, memang harus di kawinin tu anak, lama lama aneh tingkahnya. Sama petir saja dia ketakutan, kayak perawan tua," bisik Chandra menggeleng melihat anak sulungnya.
"Iya aneh, tadi aku lihat dia ngomong ke langit, cepat cepat di jodohkan lah. Pingin kawin dia kayaknya," ujar Aliya melirik ke arah Ahmed yang telah naik ke lantai atas.
"Tau... sini cil, memang harus kawin dia, kalau perlu akad dulu baru resepsi, takut kebelet kawin dia," Chandra menaikkan Aliya ke dalam pangkuannya. "Biar dia seperti kita awet terus."
"Iya adiknya sudah sold out," ujar Aliya bergelayut manja di leher suaminya.
"Ma... pa... jangan sok mesra deh..." teriak Ahmed dari lantai dua.
Sepasang tua tak tahu malu itu hanya memandang anaknya dengan sinis. "Iri? Bilang bos..." sorak keduanya ke arah anaknya yang saat ini berada di pagar lantai dua.
"Ah..." Ahmed berteriak kesal. Sudah galau di duakan kekasih dan sahabat, kini harus melihat kemesraan dari sepasang tua yang tak tahu umur. "Awas kalian ya kalau sudah menikah, ku pamerkan kemesraan kami di depan kalian."
"Cie yang ngebet kawin..." Aliya justru semakin mengejek sang anak, Chandra tersenyum sinis ke arah anaknya, sungguh pengganggu kemesraan mereka. Chandra mengecup pipi istrinya kemudian lehernya.
"Papa mama..."
Ahmed membanting pintunya, membuat Chandra dan Aliya terkekeh. "Sepertinya dia habis putus cinta cil," Chandra melanjutkan aksinya.
"Iya buktinya sudah di kirimkan tadi pagi, pasti dia galau sekarang," ujar Aliya yang memang dirinya yang mengirimkan bukti perselingkuhan kekasih anaknya. "Dari awal memang tidak setuju."
"Hm..." Chandra Hanya berdehem, memeluk pinggang Aliya dengan erat, meletakkan kepalanya di leher istrinya.
.
.
.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit, Aliya dan Chandra tengah bersiap siap untuk berangkat, namun entah kenapa Ahmed belum juga turun dari lantai dua.
"Curut kok anak mu ga turun turun sih?" Aliya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Anak mu juga cil... mungkin lagi semedi muka merah," ujar Chandra asal, memasang dasinya. "Pasangin kenapa sih cil?"
"Sini... lagian tumben dia semedi muka merah magrib?"
"Lagi pingin kali," ujar Chandra terkekeh.
Setelah mereka bersiap siap kini mereka segera keluar dari kamarnya, namun Ahmed masih saja belum kelihatan batang hidungnya.
"Cil ini toa cil, panggil si anak gadis perawan," ujar Chandra memberikan sebuah toa kepada Aliya.
"Ting tong ting tong..." Aliya menirukan suara bel saat bell kereta mengumumkam keberangkatan. "Kepada seorang anak yang mendekati ke arah durhaka, karena membiarkan orang tuanya menunggu lama. Anak itu bernama Ahmed Kosta, diminta untuk segera turun ke bawah. Karena mobil akan segera berangkat ke restoran, sebelum akhirnya di jemput paksa dari sarangnya."
Hampir semua orang menahan tawa ketika mendengar pengumuman dari Aliya untuk anaknya, Ahmed. Tak lama kemudian Ahmed turun dengan pakaian rapi, tampak laki laki itu baru selesai mengancing baju kemejanya.
"Apa sih ma, orang baru selesai siap siap," protes Ahmed kesal mendengar pengumuman untuk dirinya, seolah dirinya adalah anak yang sangat tidak berbakti.
"Ayo siapa tahu kamu batal ikut kan, mood kamu tiba tiba berubah," Aliya berkata dengan santai, Chandra menaikkan bahunya. Acuh tak acuh melihat penderitaan sang anak.
"Papa kenapa sih ga belain anak sekali kali? Takut si curut ga bisa masuk di liang si kancil?" kesal Ahmed melihat papanya yang seolah tak perduli, dan selalu mendukung mamanya.
"Nah tu tahu, si curut suka kangen sama si kancil kalau sehari tak di tengok. Kamu jangan iri ya, cepat menikah sana," Chandra tak kalah santai ketika mengatakannya, yang justru semakin membuat Ahmed mendesah kesal di buatnya.
^^^Dasar pasangan me*sum awas saja aku balas pakai nama yang lebih keren, pakai mendesah yang lebih mantap, biar suara Iqis sampai ke telinga kalian... eh kok aku jadi me*sum sih? Mana mikir si Iqis lagi. Ahmed.^^^
"Ayo kenapa bengong?" Chandra meneriaki Ahmed yang masih setia berada di luar mobil. "Bawa mobil kamu."
"Cih jadi supir lagi, sabar sa..bar," ujar Ahmed menggerutu kesal.
......................
Sementara di tempat lain, keluarga Lyansi tengah bersiap siap untuk berangkat. Iqis yang telah bersiap siap kini telah turun dengan anggun.
"Ma..." Iqis turun dengan anggun, membuat Brayen tersenyum sekaligus sedih, mengingat akan perjodohan anaknya malam ini.
Juwita yang menyadari hal itu segera menyentuh lengan suaminya. "Dia akan tetap menjadi putri kita selamanya, dia tetap akan ke tempat kita, tempat ini tetap akan menjadi tempat bebas untuknya, kita hanya akan menambah anak secara instan, membantu menjaga dirinya."
"Hm, kau benar bidadari kita akan bertambah bahagia," ujar Brayen mengusap lembut kepala Juwita, Brayen mengalihkan pandangannya memandang Juwita, menyatukan kening mereka. Memejamkan mata menikmati setiap kebersamaan mereka.
Besar rasa syukur Brayen untuk setiap perjalanannya selama ini, membuatnya tak berani membentang lebih tinggi jangka kebahagiaan. Pasalnya setiap ketika seseorang merasa menginginkan lebih, atau tidak merasa puas dengan apa yang ia miliki saat ini. Maka disitu lah kehancuran dan kesedihan akan menggiringnya, mungkin saja bahagia awalnya, namun pada akhirnya semua akan berakhir pada perpisahan, dimana dirinya akan kehilangan segalanya. Maka dari itu lebih baik memiliki yang terbatas, namun berlimpah dengan kebersamaan, daripada memiliki segalanya namun kesendirian tak terbatas.
Brayen sungguh mengetahui hal itu, ia pernah merasakan segalanya. Miliki segalanya, namun tak memiliki siapa pun untuk berbagi dengannya. Dan sekarang memiliki sesuatu yang terbatas, namun ada seseorang yang selalu berada di sampingnya, mendengar setiap ceritanya, mendengar setiap keluh kesahnya, memahami setiap apa yang ia inginkan serta merawat kala mereka tengah bersedih.
Bilqis merasa sangat bahagia kala melihat kedua orangtuanya begitu akur, ia juga menginginkan rumah tangga yang seperti itu. Melewati setiap rintangan bersama, saling percaya dan memegang janji untuk satu sama lain. Itu adalah impian rumah tangga untuk setiap orang, tak terkecuali Bilqis.
"Ah... mau ikut," rengek Bilqis membuat Juwita dan Brayen menoleh ke arah Bilqis. Brayen segera melepaskan pelukannya terhadap sang istri, kemudian merentangkan tangan ke arah Bilqis.
"Dua wanita kesayangan papi..."
"Ehem... sudah ya nih sudah siap siap, nanti dandanan ku luntur, foundation ku nanti luntur," ujar Tate menghancurkan momen haru di antara mereka.
Ketiga nya menggeleng, sementara Atlas yang baru saja dari lantai atas juga sudah turun. Atlas tersenyum ke arah yang lain. Dirinya siap untuk mengemudi, menjadi supir keluarga.
Butuh waktu tiga puluh menit mereka sampai di restoran titik mereka akan berkumpul, tampak mobil kebesaran Chandra telah terparkir cantik di sana. Brayen tersenyum, di sepanjang perjalanan dirinya telah memikirkan tentang segalanya.
Mereka masuk bersama sama ke dalam restoran, masuk menuju ruang VVIP yang telah mereka boking sebelumnya. Chandra tersenyum ketika melihat calon besan nya telah masuk.
"Kalian mau mesan apa?" Chandra tersenyum ke arah mereka.
"Aku hanya ingin steak medium well," Ujar Brayen membuat mereka mengangguk. "Kami juga Om," jawab yang lainnya kompak.
"Setelah mereka selesai makan malam, kini mereka sampai di acara inti, yaitu membicarakan tentang perjodohan kedua anaknya. "Baiklah sebenarnya kami ingin kalian di jodohkan, maka dari itu kami berharap kalian mulai belajar saling mencintai." ujar Chandra mulai membuka pembicaraan nya.
Ahmed seakan sesak nafas, ini terlalu cepat untuknya, dirinya sungguh sangat gugup. Ia merasa tengah melamar seorang gadis. "Kalau Ahmed sudah setuju baiklah bagaimana dengan Iqis?" Bilqis memang tak memperhatikan nya sejak tadi.
"Iqis bagaimana?" Brayen menyenggol tangan anak perempuannya yang sejak tadi memainkan ponselnya.
"Iya pih? Maaf om Iqis lagi diskusi dengan dosen, membicarakan tentang tugas akhir, besok sudah penyerahan," ujar Bilqis merasa tidak enak.
"Sudah lah tidak apa-apa Bilqis," ujar Aliya memaklumi. Aliya sungguh sangat mengerti keadaan Bilqis dirinya juga seperti itu dulu. "Jadi bagaimana apa Bilqis setuju?"
"Iya saya setuju."
.
.
.
Hai selamat tahun baru guys... semoga hari kalian menyenangkan, terimakasih telah menjadi pembaca setia novel ku. Love you deh pokonya.
"Iya saya setuju."
Semua mata memandang ke arah Bilqis secara tiba tiba, namun mata gadis itu terus tertuju kepada layar ponselnya. Gadis itu sesekali menggaruk dagunya, karena merasa sedikit gelisah.
"Kamu benar benar menerima perjodohan ini?" Juwita terkejut bukan main anak bungsunya menerima dengan mudah.
"Iya kamu ga mau mikirin lagi? Di jodohkan dengan lelaki tua, yang entah masih perjaka atau tidak?" Tate mengerutkan keningnya, ia tahu betul bahwa adik nya dan Ahmed tak pernah akur selam ini, jiwa jahil Ahmed hampir sama seperti nya dan ini berbanding terbalik dengan adiknya yang manja dan sedikit cengeng.
"Tate..." Juwita menegur Tate yang terkadang berbicara sembarangan.
"Engga mi, kan entah... kalau kak Ahmed merasa masih ting ting ya dia tidak akan marah kan," ujar Tate tersenyum menggoda ke arah Ahmed, lelaki itu hanya berdecak kesal melihatnya. "Kalau Iqis di jamin masih ting ting, gimana tidak papi akan selalu mengikut sertakan pengawal, menjauhkan para calon pacarnya. Aduh... kasihan sekali dia."
Ahmed memilih untuk tidak menanggapi ucapan Tate, Ahmed malas untuk berdebat saat ini, laki laki itu lebih tertarik melihat kelakuan gadis itu hanya menggeleng, Ahmed tahu jelas bahwa gadis itu sedang tak memperhatikan apa yang orang lain katakan. Gadis itu asyik dengan ponsel nya. Tampaknya gadis itu sangat kesulitan membuat jadwal untuk bertemu dengan beberapa dosen.
"Te...ri...ma...ka... sih," Bilqis mengeja kata terimakasih ketika mengakhiri pesan dari nya.
Semua orang menggeleng melihat kelakukan Bilqis yang rupanya tak sedang menjawab pertanyaan mereka. Brayen tersenyum segera mengusap kepala Bilqis, semua orang terharu melihat cara Brayen memperlakukan Bilqis.
"Tu lihat, baguskan cara dia memperlakukan putrinya? Ini tidak malah ngajak berantem, rebutan remote lah, rebutan makanan lah," ujar Aliya mencebik kesal ke arah Chandra.
Pasalnya selama ini Chandra suka sekali bertengkar dengan Aiyla, permasalah mereka sebenarnya bukan sesuatu hal yang harus di tengkar kan. Hanya permasalahan drama kesukaan yang berbeda, mereka bisa bertengkar hingga membuat kegaduhan seisi rumah, dan tentu saja Aliya yang harus memisahkan mereka.
"Itu tanda kami menyalurkan kasih sayang," ujar Chandra membela diri, tak terima dengan ucapan sang istri.
"Masih berbicara dengan dosen sayang?" Brayen memandang penasaran ke arah Bilqis.
Gadis itu menggeleng. "Ini udah selesai," ujar Bilqis segera meletakkan ponselnya. "Maaf tadi sampai mana?"
"Sampai negara api menyerang," ujar Ahmed sedikit gemas melihat tingkah gadis tersebut, yang tampak polos seolah suci dalam debu.
"Isss kakak jangan mulai ya, Iqis serius tau..." protes Bilqis kesal ke arah Ahmed, ingin rasanya gadis itu menjambak bibir tipis Ahmed agar sedikit lebih seksi.
"Makanya jangan main hp terus," ejek Ahmed membuat orang orang memandang kedua insan tersebut secara bergantian.
"Ih... Iqis itu ga mau ya ga lulus hanya karena ngomong sama kakak, kakak itu ga penting! Tau ga?" Bilqis menatap kesal ke arah Ahmed, sungguh menurutnya Ahmed sangat mengesalkan.
^^^...*Tuh, libatkan langit ciri ciri istri tidak Solehah, hobi membantah ucapan suami, bagaimana mau menjadi jodoh ku? Orang aku maunya istri ku itu Solehah, lemah lembut, penyayang. Tidak cengeng, manja dan sok imut....^^^
^^^Eh, tapi memang dia imut ya cantik lagi. Eh... apa yang kau pikirkan Ferguso? Eh ngomong ngomong siapa sih Ferguso itu*? Ahmed.^^^
"Mohon maaf laki laki tampan yang tengah duduk di hadapan mu ini lulus secara cumlaude, lulusan terbaik di universitas," ujar Ahmed sombong.
"Ih sombong, kata pak ustad Yusuf orang sombong kuburannya sempit," Bilqis mencoba menakut nakuti Ahmed, membuat semua orang menahan tawa.
"Ini nih kalau pak ustad lagi ceramah main hp, atau tidur, atau keluar sebelum ceramah selesai," Ahmed memandang remeh ke arah Bilqis. "Dimana mana orang pelit yang kuburan nya sempit."
"Idih sama aja ya kakak jelek," ujar Bilqis kesal.
"Idih beda ya, lagian orang ganteng gini siapa sih yang tidak mau?" sombong Ahmed.
"Iqis, Iqis ga mau," ujar Bilqis sengit ke arah Ahmed.
Melihat pertengkaran mereka menginginkan kisah cinta antara Chandra dan Aliya, mereka selalu bertengkar atas dasar hal yang tidak penting.
"Ehem..." Brayen berdehem mengejutkan kedua orang yang tengah bertengkar. "Sudah ya jangan bertengkar gitu."
Bilqis mencebikkan bibirnya ke arah Ahmed, sungguh Bilqis terkadang sangat kesal dengan Ahmed, setiap kali ia memiliki pendapat, jika berhadapan dengan Ahmed pasti semuanya di tentang.
"Dia tu pi, suka banget ganggu Iqis, dari dulu ngeselin pi..." adu Bilqis kepada Brayen, Brayen hanya menggeleng tak mungkin ia marah kepada Ahmed, sementara dirinya tahu tingkah Bilqis yang memang manja.
"Sudah, juta lanjutkan saja pembahasannya," ujar Brayen mengusap lembut punggung anaknya.
"Cih untung saja calon mertua mu tidak marah, jika marah, batal kawin, batal kaya si curut sama si kancil, batal ahhh" bisik Chandra membuat Ahmed pusing seketika di buatnya.
"Papa diam ya pa," geram Ahmed pusing sendiri mendengar ucapan papanya.
"Jadi bagaimana Iqis? Mau kan menerima?" Chandra beralih kepada calon menantunya, tanpa menghiraukan ucapan anaknya.
"Nerima gimana om?" Bilqis bingung sendiri di buatnya.
"Nerima jadi calon istri nya Ahmed," ujar Chandra tersenyum manis.
"Eh..." Bilqis terkejut dengan pernyataan dari Chandra, dirinya sedikit tertegun, hingga akhirnya sadar kembali. Bilqis mengalihkan pandangannya ke arah Ahmed memandang laki laki itu dengan malas. "Engga, engga mau!"
Ahmed membalas pandangan mata Bilqis, mata mereka memancarkan permusuhan yang amat nyata. "Cih..." Ahmed berdecik kesal melihat Bilqis, ingin rasanya mencubit pipi gadis yang ada di hadapannya.
Memang Bilqis terkandang menyebalkan di matanya, namun tak bisa Ahmed pungkiri dirinya memang sangat menyayangi Bilqis. Masih sangat jelas di ingatan Ahmed bagaimana dirinya sangat kesal ketika ada seorang laki laki yang mencoba menggoda Bilqis, dan mencoba menyentuh Bilqis. Ahmed bahkan memukuli laki laki itu agar menjauh dari Bilqis. Bilqis bahkan menangis dan memeluk tubuh Ahmed dari belakang. Sungguh besar kasih sayang Ahmed untuk Bilqis, layaknya seperti dirinya menyayangi Aiyla dan mamanya.
"Coba saja mungkin akan baik, kamu sudah mengenal kakak kamu lebih lama, dan itu yang terpenting," ujar Juwita mencoba membujuk Bilqis.
"Tapi mi..."
"Sayang kamu jangan begitu ya. Papi selama ini tidak minta apa apa dari kamu, tapi kali ini papi ingin kamu menerima permintaan papi kali ini," Brayen menangkup wajah anaknya, membuat Bilqis cemberut. "Papi ingin kamu ada yang menjaga sebelum papi tidak ada."
"Papi... papi jangan begitu," Bilqis dengan mata berkaca kaca memandnag papinya, gadis itu akhirnya menghamburkan pelukannya ke dalam pelukan Brayen. "Kan ada kakak."
"Iqis adik kakak, dengar kakak," akhirnya si pendiam Atlas angkat bicara. Bilqis mengintip kakaknya dari balik pelukan Brayen. "Kakak tidak selamanya dengan Iqis, kakak pasti suatu saat nanti harus menikah, harus pergi karena urusan pekerjaan, kalau Iqis menikah kan kami bisa tenang."
"Berarti kakak ga sayang Iqis?" air mata Bilqis mulai menurun di pipi.
"Sayang itu pasti, tak ada keluarga yang tak sayang adiknya, terlebih itu satu satunya adik perempuannya," akhirnya si Tate keluar mode bijaknya, mulai berbicara seolah menjadi orang yang paling bijak.
"Kakak mabuk Aibon ya?" Bilqis memandang Tate sembari tersenyum. Tampaknya otak cemerlang Bilqis sudah mencerna maksud dari keluarganya.
"Eh... orang lagi bijak, sekarang dia malah ngira Tate mabok Aibon," protes Tate, namun sebenarnya dirinya tersenyum karena melihat Bilqis tersenyum, meski dia yang terkena ejekan dari adiknya.
Ahmed diam diam tersenyum melihat wajah Bilqis yang telah tersenyum. Ahmed juga tak menyukai wajah sedih milik Bilqis, rasanya tidak rela, meski dirinya suka sekali membuat Bilqis menangis, namun dirinya tidak rela jika Bilqis menangis karena orang lain.
"Jadi kamu setuju kan sayang?" Brayen kembali mencoba meyakinkan Bilqis.
"Iya tapi Iqis tetap bisa datang ke rumah papi kan?" Bilqis memandang sedih kearah papinya.
"Mana boleh, itu tidak boleh. Rumah itu sudah tidak boleh Iqis masuki, terkecuali atas izin kakak," Tate seketika mengembalikan otak jahilnya, dan langsung menggoda Bilqis.
"Papi..." Bilqis mengeluh memandang ke arah Brayen.
"Engga sayang, ga apa apa..." Brayen mengusap lembut wajah Bilqis. "Tate jangan gitu, ga ada yang begitu."
"Iya maaf, kakak cuman bercanda," ujar Tate akhirnya, mengurungkan niat untuk menggoda adiknya.
"Nah begitu..." ujar Juwita tersenyum.
"bagaimana kalau Iqis malam ini coba jalan dulu dengan Ahmed," ujar Chandra mengeluarkan ide gilanya.
"Pintar, tumben curut ku ini pintar," ujar Aliya menggoda Chandra.
"Tambahkan satu ronde ya," balas Chandra membuat Aliya terkekeh, dirinya sudah tahu akan seperti ini.
"Aku minum obat encok dulu," bisik Aliya sembari cekikikan. Entah kemana malu sepasang suami istri ini, membahas hal yang begitu intim di tengah jamuan makan malam dengan calon besan nya.
Percayalah pembicaraan kedua orang yang seharusnya menjadi pemberi wejangan ini samar samar terdengar oleh Ahmed semakin membuat Ahmed kesal.
"Setuju," seru Juwita.
"Mami..." Bilqis protes dengan maminya.
"Mulai belajar berbaikan dengan kakak ya," bujuk Juwita. Juwita tahu betul dengan tingkah laku Bilqis, anak manja mereka, anak kesayangan mereka.
"Eh... besok aja ya mi...soalnya Iqis kan harus istirahat, besok penyerahan," Bilqis tanya masih mencari cara agar menghindar dari acara jalan bersama dengan Ahmed yang kini menjadi calon suaminya.
"Engga malam ini kamu keluar bentar dengan dia, tidak sampai jam sepuluh kok, besok pagi di jemput dengan Ahmed lagi kok. Kalau Ahmed bikin kamu nangis bilang mama, nanti biar mama yang botakin," kini Aliya ikut menimpali, dan mencoba membujuk Bilqis.
"Mah kok gitu, belum jadi istri lagi tapi udah di giniin, apa kabar kalau sudah menikah," Ahmed seketika protes pasalnya dirinya seolah di pojokan oleh sangat mama, yang selalu membela Bilqis jika mereka bertengkar.
"Cie yang kebelet kawin dengan Iqis..." Tate membuka suaranya mulai menggoda Ahmed dan Bilqis yang tampak tak setuju dengan usulan jalan jalan mereka.
"Apa sih kak," kesal Bilqis, sudah di minta untuk jalan jalan dengan musuh bebuyutannya, kini mereka harus berada di dalam satu mobil.
"Cie malu malu," Tate tetaplah Tate, ketika melihat kesempatan dalam kesempitan maka dirinya akan terus menggoda adiknya Bilqis.
"Engga ya kakak," protes Bilqis tak terima dengan tudingan dari Tate.
"Masa?" Tate semakin senang menggoda Bilqis.
"Kakak..."
Acara makan malam penuh dengan drama dan keributan yang di ciptakan oleh Tate, Ahmed, Chandra dan Aliya, dengan Bilqis yang menjadi sasaran mereka untuk di goda, kini telah selesai, dan kini mereka telah bersiap untuk kembali ke kediaman masing masing. Sementara hanya Ahmed dan Bilqis yang bersiap siapa untuk pergi, demi mencoba mencari kimestri mereka.
"Ya sudah kita pulang dulu ya, kalian hati hati di jalan," ujar Juwita masuk sembari melambaikan tangannya.
"Iya mi hati hati..." ujar Juwita melambaikan tangannya.
"Ya sudah supir mama juga udah datang, mama duluan ya," Aliya dan Chandra juga telah di jemput oleh supirnya dan menyisahkan hanya mereka berdua.
"Kita ke mana?" Ahmed mulai membuka pintu untuk dirinya sendiri di susul oleh Bilqis.
"Nga tau, muter muter aja, biar dikira jalan," uajr Bilqis sekenanya, sejujurnya dirinya sangat malas untuk jalan jalan berdua dengan Ahmed yang selalu saja mengajaknya untuk bertengkar.
"Nge_mall yuk," ajak Ahmed entah kenapa hanya itu yang terpikirkan.
"Terserah, tapi beli ice cream ya," ujar Bilqis sembari memasang sabuk pengamannya.
"Terserah tapi beli ice cream," ejek Ahmed terhadap Bilqis yang tiba tiba ingin makan ice cream padahal jelas jelas tadi gadis itu tak bersemangat.
"Ya kan sekalian, masa ga makan apa apa," ujar Bilqis tanpa rasa tidak enak. Baginya meminta ini dan itu kepada Ahmed merupakan hal biasa, dulu juga dirinya telah terbiasa memeras pendapatan Ahmed, atau saat pulang sekolah dirinya seakan terbiasa dengan meminta uang.
"Iya, iya ayo," ujar Ahmed tak ingin bertengkar malam ini, memilih untuk memenuhi meinginan dari Bilqis.
Perjalanan restoran ke mall cukup jauh, mebutuhkan waktu hingga lima puluh menit. Bilqis seperti biasa terus bercerita tentang pengalaman sepekan terakhir, sementara Ahmed menjadi pendengar yang baik, sembari sesekali membantah ataupun hanya sekedar menggoda Bilqis. Hanya untuk membuat gadis itu kesal.
Ketika sampai di plang pintu masuk mall entah kenapa Ahmed tiba tiba berpikir sedikit jahil, dirinya meminta Bilqis untuk mengambil tiket parkir kepada Bilqis.
"Iqis tolong ambilin tiketnya Qis," ujar Ahmed memundurkan tubuhnya.
"Ih ada ada aja deh kak, malas ah," ujar Bilqis memandang sengit ke arah Ahmed.
"Ya ellah, cepetan gih, disuruh calon suami juga," ujar Ahmed tersenyum miring.
"Engga mau, sekali engga ya ga mau," tentang Bilqis.
Tin...
Suara mobil dari arah belakang membuat Ahmed semakin tersenyum, Bilqis mau tidak mau terpaksa menuruti keinginan Ahmed. Ketika Bilqis mencondongkan tubuhnya, dan menjulurkan tangannya keluar tiba tiba Ahmed meniup telinga Bilqis membuat gadis itu terkejut dan refleks memandang Ahmed, hingga hidung bangkir mereka bersentuhan. Untung saja tiket mereka di pegang Bilqis dengan erat, sehingga kusut.
"Jangan jahil deh kak," kesal Bilqis cemberut di hadapan Ahmed, kemudian segera memperbaiki duduknya. "Kenapa bengong, masuk sana."
Ahmed segera masuk ke dalam barisan parkiran mobil, dan mematikan mesin mobil miliknya. Ahmed segera melepas sabuk pengamannya. "Ayo turun."
"Iya bentar kak," Bilqis segera membuka pintu mobil, pasalnya tadi ia telah melepasnya saat mengambil tiket, Bilqis kembali meletakkan tiket tersebut ke dalam saku mobil pintu keluar.
"Kak kita lihat aksesoris ya," Bilqis segera bergelayut manja di lengan Ahmed, sembari mengutarakan keinginannnya.
Bilqis memang terbiasa melakukannya, meski mereka sering bertengkar. Namun mereka tergolong cukup mampu membuat orang orang salah paham, karena terkadang mereka terlihat mesra.
"Cih terserah. Ini yang bilang terserah, tapi beli ice cream lah aksesoris lah," ejek Ahmed memandang jengah ke arah Bilqis.
"Tanggung kakak, mau buat buket untuk teman, lusa sidang, sekalian aja," Bilqis cemberut ke arah Ahmed sembari menggoyang goyangkan tangannya.
"Cih... ayo..." namun Ahmed tangan Ahmed terulur untuk mencubit pelan pipi Bilqis.
"Cah cih cah cih, biasa aja kak, ga mau kita balik," ujar Bilqis kesal sendiri.
"Iya iya ayo, jangan ngambek kebiasaan deh," Ahmed segera merangkul Bilqis sehingga masuk ke dalam pelukannya.
"Ih jangan di rangkul... malu tau banyak orang," Bilqis memukul pelan lengan Ahmed.
"Cie yang ngajak berduaan," Ahmed kembali menggoda Bilqis.
"Alhamdulillah..." ujar Bilqis membuat Ahmed terkejut.
"Kenapa? Bersyukur aku ajak jalan?" Ahmed mengerutkan keningnya bingung dengan apa yang di maksudkan dengan gadis tersebut.
"Engga bersyukur aja sudah bukan cih lagi yang keluar," ejek Bilqis terkikik pelan.
"Lama lama ngelunjak ya," kini giliran leher Bilqis yang rangkul erat oleh Ahmed.
"Aish... kakak leher Iqis lama lama patah nih, dikapit mulu sudah mirip ayam ngeram," ujar Bilqis mencoba membebaskan diri.
"Iqis ayo, kita beli ice cream dulu atau pergi beli aksesoris?" Ahmed merenggangkan sedikit rangkulannya.
"Beli ice cream dulu dong," ujar Bilqis bersemangat.
"Iya ayo..." Ahmed sedikit mengacak rambut Bilqis. Ahmed tersenyum ternyata jalan berdua saja dengan Bilqis tidak semembosankan yang ia pikirkan, gadis itu juga bisa di ajak bercanda, tidak hanya merengek dan bersikap manja.
Saat ini mereka tengah mengantri ice cream, namun seseorang segera menyapa mereka berdua yang tengah asyik berbincang.
"Eh... Med..." suara wanita yang tak ingin di dengar oleh Ahmed, membuat Ahmed pura pura tak mendengar.
"Med tolong maafin aku ya, aku minta maaf, aku memang salah, kita balikan lagi ya," wanita itu mencoba meraih tangan Ahmed namun Ahmed segera menggenggam tangan Bilqis, sementara yang satunya lagi segera merangkul pinggang Bilqis.
^^^Oh... mantan... Bilqis diam diam mengangguk.^^^
"Sayang ayo udah banyak yang ngantri," Ahmed justru menarik Bilqis segera mengikuti antrian. Wanita itu mengikuti langkah Ahmed dan Bilqis.
"Med... ini pacar kamu? Kamu baru beberapa jam lalu putus dengan aku, sekarang kamu sudah manggil dia sayang?" Wanita itu memandang kecewa ke arah Ahmed seolah oleh dirinya yang menjadi korban di sini. "Oh, dasar cewek gatel ya... lo mau ngerebut Ahmed dari gue?"
"Eh apaan sih? Ingat yang terciduk selingkuh itu lo, kenapa sih masih nyalahin dia, dia ga tahu apa apa ya," Ahmed kesal sendiri mendengar seseorang meneriaki Bilqis. Ahmed memang tergolong sayang kepada Bilqis, tak terima jika seseorang meneriaki gadis tersebut, meskipun dirinya lebih sering menjahili gadis tersebut hingga Bilqis berkaca kaca.
"Cih cewek sok lugu kayak gini, paling juga jago joget dia, pura pura lugu aja," ejek wanita itu merasa tidak mendapat pembelaan dari Ahmed.
"Jangan ngomong sembarangan ya, dia bukan kaya lo, yang udah punya pacar tapi sibuk dengan sahabat pacarnya," singgung Ahmed sinis.
Sungguh Bilqis menjadi malu sendiri, pasalnya perhatian semua orang kini tertuju padanya. Bilqis memang tak tahu apa apa kini hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dirinya seolah menjadi pemeran antagonis saat ini, yang merebut kekasih orang lain.
"Kok kamu gitu sih?" wanita itu menampakkan wajah sedihnya.
"Udah kak balik aja yuk, malu nih," Bilqis berbisik ke arah Ahmed, membuat Ahmed memandang wajah Bilqis. Dapat Ahmed lihat wajah merah Bilqis karena malu.
"Emang harus di kasih pelajaran ni orang, ngomong suka asal asal," Ahmed melembutkan suaranya, agar Bilqis tenang.
Melihat kelembutan Ahmed terhadap Bilqis mereka wanita itu menjadi emosi sendiri di buatnya. "Kamu belain si ja*lang ini?"
"Eh jaga mulut lo ya, dia bukan kayak lo," ujar Ahmed semakin kesal dibuatnya.
"Kak udah dong kak," bujuk Bilqis semakin tidak enak.
"Eh cewek murahan, denger ya gue kenal dia udah lama, jangan mentang mentang lo tampang bule ya lo bisa seenaknya aja," Wanita itu memandang remeh ke arah Bilqis, memamerkan kedekatan mereka yang terpaut lama. "Lagian ya paling dia cuman mau manfaatin badan lo doang."
"Eh jaga omongan kamu ya, kamu jangan sok kenal dengan kak Ahmed. Walaupun aku sama kak Ahmed ga pernah akur, tapi aku kenal dengan dia dari kecil, dia ga mungkin gitu," akhirnya Bilqis ikut terpancing sejak tadi di bilang ja*lang dan murahan oleh wanita tersebut. "Lagian nih ya aku kasih tahu, aku itu calon istrinya kak Ahmed, paham!"
Wanita itu terkejut bukan main, mendengar pengakuan yang keluar dari bibir Bilqis. Rasanya tak percaya jika tiba tiba mantan kekasihnya itu memiliki calon istri. "Jangan asal ngomong lo ya. Beb... dia bercanda kan?"
"Lo tuli? Ayo sayang," Ahmed segera menarik tangan Bilqis untuk kembali mengikuti barisan pasalnya mereka telah berjarak.
"Agh..." wanita itu menggeram kesal. "Gue tau kalian cuman bohong biar gue ga deketin kamu lagi kan beb?"
Mendengar teriakan wanita itu membuat Bilqis melirik sejenak ke arah belakang. "Mantan kakak kenapa sih? Ngebet banget? Kayak kehilangan ATM aja," ujar Bilqis asal sebut.
Ahmed tertegun perkataan Bilqis seakan menampar dirinya, entah kenapa Ahmed berfikir perkataan dari Bilqis benar adanya, bahwa mantan kekasihnya itu hanya menjadikannya atm berjalan saja. "Ayo jalan, kita ngantri buat beli ice cream, baru beli aksesoris buat buket."
Ahmed mencubit pipi Bilqis mengalihkan salah tingkahnya. "Untung perawatan mahal, jadi ga langsung mengkerut ni muka," kesal Bilqis.
"Lagian kalau jadi istri kakak yang nanggung skincarenya kakak," ujar Ahmed sombong.
"Ngarep..."
"Ayolah sudah di depan mata," goda Ahmed membuat wanita itu mencebikkan bibirnya.
"Apaan sih kak."
"Belajar membuka hati untuk kita bisa kan? Lagian banyak orang yang bahagia jatuh cinta setelah menikah, yang penting komitmen," uajr Ahmed memandang serius ke arah Bilqis. Wanita itu tertegun, namun ia berusaha terlihat biasa biasa saja.
"Ya kali... di novel novel yang Iqis baca banyak yang balikan sama mantan nya, walau sudah menikah," Bilqis mulai mengingat kembali cerita novel yang ia baca.
"Itu novel sayang, kan beda dengan di sini," Ahmad kembali mencubit gemas hidung bangkir Bilqis.
"Kurang bisa di percaya," Bilqis mencebikkan bibirnya.
"Terserah, yang penting belajar saling membuka perasaan saja," ujar Ahmed merangkul kembali pinggang Bilqis.
"Tap..."
"Selamat datang pesan apa? Untuk couple Ada," tawar pramusaji tersebut.
"Ya itu aja," ujar Ahmed tersenyum. "Ayo ke tempat aksesoris yang kamu mau,"
"Kakak kakak jadiin Iqis pelampiasan kan?" Bilqis kembali memandang Ahmed penuh tanda tanya.
"Engga, kakak tadi sudah berpikir keras, apa salahnya menerima perjodohan kalau itu yang terbaik," Ahmed segera menyodorkan ice cream tersebut ke arah Bilqis.
"Kita buktikan aja," ujar Bilqis bukannya menerima sodoran Ahmed, justru memilih memakannya secara langsung dari tangan Ahmed. Ahmed menggeleng melihat tingkah gadis tersebut.
.
.
.
Sudah tiga ribu lebih nih kata katanya, bisa minta kembang setaman dong wkwkwkwk, kalau berbaik hati volt dengan lol.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!