Fene Claire Zurk, Adrian Moreno Lim, Bram Lincoln, Kevin Stuard adalah sahabat, sekaligus partner bisnis.
Gadis berdarah Amerika Fene Claire Zurk, mencintai sahabat sendiri berkebangsaan Swiss Adrian Moreno Lim, tapi menerima pinangan Pria Amerika Bram Lincoln.
Begitu banyak kisah drama dan action dicerita ini,
semenjak menjalani bisnis, semua rahasia keluarga terbuka lebar di mata mereka.
Terungkapnya, Adrian bukan anak kandung Chiang Lim dan Adriana.
Fene bukan putri Mark Claire Zurk dan Marisa,
Munculnya Adik kandung Adrian Moreno Lim di media,
Michel Leonard Kind yang di asuh oleh rival bisnis Edward, Donald Leonard Kind...
Mampukah Aliandra Kind meluluhkan hati Adrian?
"oooogh, hati anak mana yang tidak kecewa! mendengar orang tua ternyata telah berselingkuh sejak lama." hikz!
Semua, akan author ceritakan dikisah ini, mungkin ada sedikit kata-kata kasar, dan sengaja tidak menggunakan kata kiasan.
Hampa....
Fene menghabiskan waktu hanya untuk membesarkan Brian Lincoln, putra semata wayangnya saat bersama Bram.
Tok... tok... tok...
Terdengar suara Irene dari balik pintu.
"Fen... sweety... time for lunch." panggilan lembut Irene menghalau segala kegundahan hatinya.
"Ya mi... i'm comming."
Fene membuka pintu kamar, berlalu keruang makan.
"Haiii boy." senyum Fene terlihat sumringah saat Brian sudah ada dihadapannya.
"Momi." pelukan hangat Brian, menguatkan seluruh persendian Fene, termasuk hati.
"Kamu sudah pulang? siapa yang jemput?" tanya Fene kaget.
"Aunty." jawab Brian singkat.
Fene menaikkan alisnya, mencari aunty siapa yang dimaksud Brian.
"Listen Brian, who's picking you up from school?"
Fene menangkup wajah putranya yang sangat menggemaskan.
"Aunty Jasmine and uncle Adrian, momi."
Jari mungil Brian menunjuk kearah taman, disana ada Adrian, Jasmine, Irene dan Hanz.
'Sedang apa mereka disini? kenapa tidak memberi tahu ku!" geram Fene menghampiri orang tua dan sahabatnya.
"Momi, wait... i'm coming."
Lari-lari kecil Brian membuka tangan Fene segera menggendong putranya.
Fene mendekati keluarganya.
"Haiii... kapan kalian datang? kenapa tidak ada yang memberi tahuku!" wajah kesal Fene, terlihat jelas dari rautnya.
"Kami sampai kemaren mba." senyum Jasmine, sesekali menggoda Brian dalam gendongan Fene.
"Haiii sweety, how are you?"
Adrian memeluk Fene,
begitu juga Jasmine memeluk Fene erat.
"Ok, you never call me again." kesal Fene berbisik ditelinga Adrian.
Adrian terkekeh, mendengar omelan sahabat lamanya.
Fene menggeram kesal bercampur bahagia, melihat sahabatnya hadir dikediaman orang tua kandungnya.
"Shall we eat now?" tanya Irene mengambil Brian dari gendongan Fene.
Memberikan Brian pada babysitter.
Babysitter membawa Brian masuk, membersihkan diri, mengganti baju sekolah, mencuci tangan dan kaki.
"Bagaimana perkembangan perusahaan kita Jasmine?"
Fene menatap Jasmine, masih cantik, anggun dan sopan.
"Baik mba, mba kapan pulang? saya kangen banget." bisik Jasmine, menggandeng manja di lengan Fene.
"Hmmmm... saya rasa, tidak ingin kembali." senyum tipis Fene memancarkan kesedihan yang dalam.
"Kasihan bebeb mba, nggak seperti dulu."
Jasmine melepas gandengan tangannya dari lengan Fene.
Membuka kursi, kemudian duduk dikursi makan, sementara Irene dibantu asisten keluarganya mempersiapkan makan siang mereka.
"Why?" kejut Fene penasaran.
"Selalu mengingat mba, pak Kevin, dan hmmm..."
Jasmine tidak melanjutkan ucapannya, dia hanya kembali memeluk Fene.
"Mba... aku sayang banget sama mba, aku rela melakukan apapun demi mba, asal mba...hmmm." tangis Jasmine pecah di pelukan Fene.
"Asal.... asal apa Jasmine?"
Fene dibuat bingung dengan kalimat yang diucap Jasmine.
'Ada apa dengan mereka? apakah mereka akan meminta Brian padaku?" batin Fene dengan pikirannya.
"Hmmmm... biar bebeb aja nanti yang ngobrol sama mba, saya takut."
Jasmine melepas pelukannya, menyeka air mata kembali tersenyum garing dihadapan Fene.
"Aneh... oya, Kevin masih di Paris?"
Fene mengambil beberapa makanan pembuka yang sudah terhidang.
"Masih mba, kita berangkatnya beda seminggu." jelas Jasmine.
"Kamu akan berjumpa dengan daddy juga?"
Fene mengunyah sesekali menyuapkan Jasmine, sambil terus bercerita.
"Mungkin iya mba, karena sudah lama kita tidak berkumpul, pasti daddy merindukan kita."
Mata Jasmine berkaca-kaca, ingin menangis jika mengingat semua kenangan keluarga yang sangat hangat baginya.
Adrian dan Hanz menghampiri anak menantunya.
"Why don't you wait for papi dear?"
Hanz mengusap bahu Fene, sedang menikmati makannya.
"Oooh... sorry, i forget, i think papi still want to chat longer." senyum Fene menyeringai garing, yang dapat dirasakan Adrian.
"Uncle... uncel... i want to play with you," terdengar suara Brian sangat lembut ditelinga Adrian.
"Ya, we will play together after eating baby."
Adrian memangku Brian dipahanya.
"Sir, let Brian eat with me."
Babysitter segera mengambil Brian dari pangkuan Adrian.
"No need, just let Brian be with me."
Adrian menolak permintaan pengasuh.
Babysitter menyiapkan makanan Brian.
"We will eat together baby..."
Adrian mengecup kepala Brian.
'Aku menyayangimu nak, sama seperti menyayangi daddymu.' batin Adrian.
Mereka makan siang bersama, bercengkrama hangat.
Lumayan lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama.
Semenjak pertikaian keluarga besar mereka.
Sesekali Adrian menatap Fene, berharap Fene akan memahami maksud kedatangannya.
"Fen, bisakah kita mengobrol berdua?" tanya Adrian, sambil menyuapkan makanannya kemulut Brian.
"Why not." senyum Fene.
Jasmine hanya mendengar, mengerti maksud suaminya.
"Finished eating, you first play with aunt Jasmine, baby." senyum Adrian pada Brian.
"No, i just want to play with you uncle." rengek manja Brian.
"Uncle has business with your mom, after that we will play together." pujuk Adrian.
Brian tertunduk lesu, tapi Jasmine berusaha menghibur pria kecil yang ada dipangkuan suaminya.
"Auntie will tell you a fairy tale dear." rayu Jasmine pada Brian.
Brian berfikir sejenak, seperti memikirkan sesuatu,
"okay... but give me a glass of chocolate milk!" permintaan seorang anak kecil yang sangat mudah di wujudkan.
Jasmine dan Fene saling tatap, sama-sama menggelengkan kepala melihat kelakuan putra kecilnya.
"Finish your food, then you go out with auntie to buy chocolate milk, okay." sentuhan tangan Fene pada putranya, memberikan ketenangan sangat special bagi Brian.
"Oke mom."
Brian melahap makanannya hingga habis, sesekali tertawa renyah menatap wajah Adrian.
Hanz dan Irene sangat senang melihat cucu mereka, tumbuh dengan sehat dan bahagia.
Brian menjadi cucu kesayangan bagi Hanz dan Edward,
Selalu diberi hadiah-hadiah special luar biasa.
"Dri, are you going to spend Christmas with us?" tanya Hanz menatap Adrian dan Jasmine secara bergantian.
"Hmmmm....it seems so pi, after Christmas I will continue my trip to visit daddy." jelas Adrian sambil menatap Fene dan Jasmine.
"Wooow... are we going to make this year's Christmas celebration very memorable, by inviting Holi and Kevin." tampak senyum bahagia terpancar dari raut wajah Hanz dan Irene.
'Merry Christmas.'***
After lunch...
Adrian duduk bersama Fene ditaman samping halaman rumah Hanz yang sangat luas.
Terpampang jelas lapangan golf mini, kolam renang, dan ring basket sebagai hiburan Hanz menghabiskan waktu.
Rumah luas bak istana, tertata clasik modern, membuat hati terasa nyaman berada disana, dengan pemandangan luar biasa indahnya.
"What are your plans for the future Fen?" tanya Adrian, menatap jauh pemandangan dihadapannya.
"Hmmmm... i just want to spend my time here, taking care of papi and mami."
Fene tersenyum, tanpa menoleh kearah Adrian.
"Sesederhana itu kah?"
Adrian menatap wajah Fene, yang semakin cantik dimatanya.
"Aku hanya ingin membesarkan Brian, Dri." jelasnya.
"Tanpa suami?"
"Mungkin."
"Oooh..."
Adrian bersimpuh dihadapan Fene,
"menikahlah dengan ku, Fen."
PLAAAK...
Tangan Fene melayang kepipi Adrian.
"Lo kenapa? selalu merusak mood gue!"
Adrian merasakan sakit dipipinya,
'shiiit... panas banget!' batin Adrian.
"Kenapa lo nampar gue seeh?" tanya Adrian kaget.
"Biar lo sadar ama ucapan lo, lo pikir kepergian Bram, dapat menggantikan dia semudah mengganti baju!" sarkas Fene.
"Lo lihat Brian, dan bini lo Jasmine, jangan ikutin nafsu bejat lo!" tegas Fene
Fene berdiri, melangkah meninggalkan Adrian,
tapi tangan Adrian cepat menahan agar Fene tidak meninggalkannya.
"Gue serius Fen."
Tatapan Adrian membuat hati Fene melunak, ada rasa penasaran atas permintaan Adrian.
"Duduklah..." mohon Adrian sangat tenang dan dewasa.
Fene menuruti semua permintaan Adrian.
Fene kembali duduk ditempat semula.
Menghela nafas dalam, menatap marah pada Adrian.
"Bicaralah, gue akan mendengar lo." sarkas Fene.
"Fen, gue masih menyayangi lo hingga sekarang, apalagi semenjak kepergian Bram.
Gue sudah membicarakan ini pada Jasmine, Fen." tatapan Adrian memohon, tanpa ada yang dia tutupi.
"Demi Brian, demi perusahaan kita, demi semua.
Gue nggak bisa membendung lagi perasaan gue terhadap lo Fen, gue serius kali ini.
Lo masih muda, masa depan Brian masih panjang." jelas Adrian,
tapi tidak untuk Fene.
Fene menahan kemarahannya, menggeram, mengepal kedua tangannya.
'Permintaan seperti apa ini? apakah pikirannya aku akan luluh seperti dulu!!' kesal Fene.
"Bisa kita mulai semua dari awal Fen?" pertanyaan Adrian sangat aneh.
"Dri, kamu mabuk?"
Fene menatap mata Adrian.
"Aku sehat sweety, sehat wa'alfiat, menyadari setiap ucapanku, dan merasakan sakitnya tamparanmu." kekeh Adrian.
"Gue nggak bercanda, Dri!!"
"apa semurah itu lo mandang gue, sahabat lo, haaaah!!!"
Fene membuang tatapannya, ada perasaan sedih menyeruak seketika didalam dadanya.
'Gue nggak suka jika sudah berhadapan dengan Adrian seperti ini, aaaaggh God." batin Fene tertunduk membendung air matanya, yang akan meluncur deras ke wajah cantiknya.
"Lo kalau nggak suka ama gue, bilang sekarang, sebelum gue berubah pikiran." jelas Adrian sedikit kesal atas sikap Fene.
Fene makin menunduk, air mata tak terbendung, dia mencurahkan tangisannya, menutup wajahnya.
"Fen... Fen... lo nangis, maafin gue, gue nggak ada maksud buat nyakitin lo.
Gue hanya meminta, bukan memaksa.
Fikirkan demi Brian yang membutuhkan seorang ayah, tidak sedikit pun gue menghina lo.
Gue cinta sama lo Fen, dari dulu hingga sekarang.
Pahami perasaan gue Fen."
Adrian bersimpuh dihadapan Fene, berusaha membelai kepala Fene.
"Gue juga nggak bisa pungkiri Dri, tapi bagaimana dengan Jasmine.
Dia udah gue anggap seperti adik gue sendiri, sama seperti Holi, kita sudah seperti keluarga,
terlalu egois buat gue untuk merebut lo dari Jasmine, yang sudah terlalu baik sama gue.
Jasmine wanita luar biasa, dia sangat menyayangi lo." serak suara Fene terdengar ditelinga Adrian.
Berani menatap Adrian yang ada dihadapannya.
"Jujur, semua ini gue lakukan atas permintaan Jasmine, Fen."
Adrian menggenggam kedua tangan Fene.
"Gue nggak bisa jawab Dri, butuh waktu untuk gue berfikir." ucap Fene melepas genggaman Adrian, menyeka wajahnya dari air mata.
Adrian hanya menatap dalam wajah Fene, tidak bisa menyangkal, jika perasaan dulu masih ada.
"Gue akan menunggu, setidaknya gue sudah mengungkapkan isi hati gue sama lo."
Adrian berdiri membalikkan tubuhnya,
"kenapa mesti gue, Dri? kenapa tidak wanita yang seiman dengan lo, atau wanita lebih baik dari gue." jelas Fene mengelak secara halus.
"Hmmmm..."
Adrian terdiam, menghela nafas dalam, kembali menatap Fene yang masih duduk.
"Jasmine tidak akan pernah mengizinkan gue sama wanita lain." jawab Adrian tenang menatap kedua mata Fene yang terlihat sembab.
"Ck... jangan natap gue kayak gitu, kesal gue." ejek Fene sembari tersenyum.
Ada perasaan harap,
'tapi apa aku sanggup berbagi, dan apa tanggapan keluarga ku?" batin Fene kesal.
"Gue baru pulang Umroh." jelas Adrian.
"Oooogh, kapan? pantes lo lebih tenang saat ini."
Fene terkagum pada perubahan Adrian, sedikit Religius, tidak mengurangi ketampanannya.
"4 bulan lalu." jawab Adrian.
"Bareng Jasmine?"
"Ya, kami berdua."
Fene tersenyum, seketika rasa kesal yang ada didalam hatinya hilang.
Setidaknya Adrian meminta Fene untuk menjadi istri, bukan menjadi selingkuhan.
"Apa lo siap?"
Fene bertanya, sekaligus menguji Adrian.
"Siap kemana?" tanya Adrian sedikit bingung.
"Siap menghadapi papi dan daddy!!" jawab Fene enteng.
"Gue siap berhadapan pada siapapun, demi lo." tegas Adrian,
"setidaknya, gue meminta pada lo dan keluarga lo.
Gue akan bicara pada papi.
Yaaaah... mungkin setelah Natal." senyum Adrian menatap Fene.
"Jujur, gue belum siap Dri, terlalu banyak kenangan gue sama Bram." tangis Fene terdengar lagi di telinga Adrian.
"Bram sudah tenang Fen, dan tidak akan pernah kembali."
Mata Adrian memerah, menahan air mata jika mengenang abang tiri yang mengorbankan hidupnya demi Adrian.
"Masih terbayang dimata gue, dia pergi menitipkan lo dan Brian sama gue, Fen."
Adrian menangis.
Fene termenung, mengeja ucapan Adrian.
"Menitipkan!!"
Adrian menangis kesal, mendongakkan kepala ke langit, mencoba menahan emosinya.
"Gue akan bicara pada Jasmine, secepatnya."
Fene lebih memilih meninggalkan Adrian.
'Sejujurnya aku belum sanggup, menerima takdirku seperti ini Dri.'
Fene mengusap pelan wajahnya, sepanjang langkahnya menuju kamar.
"Sweety... you oke?" tanya Irene saat berpapasan dengan Fene.
"I'm oke mam, i want to be alone mom, don't bother me first." pinta Fene kemudian berlalu menapaki anak tangga.
"Ok, if you calm down you can talk to me dear."
Irene sempat mengusap lembut punggung putrinya, sebelum Fene berlalu.***
Persahabatan...
"Semoga berjalan lancar bisnis kita Fen,"
ucap Kevin berdiri mencium, merangkul tubuh Fene yang semampai.
"Nice to meet you," tambah Kevin.
"Nice to meet you to vin."
Fene membalas pelukan Kevin berjalan beriringan membuka pintu ruangannya,
setelah kepergian Kevin,
Fene menarik nafas panjang, kembali ke kursi kemakmurannya.
Memijit pelipis mata sedikit lelah.
"Shiiit...."
Fene bangkit mengambil handphone,
menghubungi Adrian.
Nada panggil cukup lama,
tidak ada jawaban dari Adrian,
Fene menelfon berulang kali.
"Ya..."
suara tegas Adrian terdengar indah ditelinga Fene.
"Lo dimana?"
Fene meninggalkan ruangannya menuju tempat parkir.
"Office.." telfon tertutup.
"Uuuuugh...."
kesal Fene membanting handphonenya di jok mobil saat memasuki kemudi.
Fene melajukan kecepatan,
beberapa kali menerobos lampu merah dan kemacetan kota Jakarta menuju kantor Adrian.
Sesampai dikantor Adrian,
Fene memberikan kunci kepada security agar diparkirkan di VIP.
Menekan tombol lift lantai 25,
ruangan Adrian.
Tiiiiing....
Pintu lift terbuka,
mata Fene tertuju pada secretaris Adrian, Jasmine.
"Adrian di dalam?"
Fene bertanya seraya tersenyum garing.
"Ada Mba, tapi lagi virtual," balas Jasmine.
Fene mengetuk, membuka pintu perlahan, mata mereka saling tatap.
Adrian sibuk meeting virtual dengan investor.
Fene berlalu menuju sofa ruangan Adrian, mengutak ngatik hpnya.
Mata Fene kembali menatap wajah Adrian.
Wajah pria eropa, tampan, bersih, mapan, selalu rapi.
"Nggak ada cina-cinanya,"
batin Fene menggelitik.
Adrian menutup laptopnya, beranjak mendekati Fene.
"Kevin sudah ketemu lo, Fen?"
Adrian menyuguhkan minuman kaleng yang ada dimejanya.
"Udah, ni gue lagi mikir, takut kalau otak gue terbagi sama kerjaan kita yang ada sekarang."
Fene menyandarkan tubuh langsingnya.
"Gue bantu lo kok, tenang aja."
Adrian tersenyum tangannya meremas paha Fene yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya.
"Realy?"
Fene menatap penuh harap.
"Of cours."
Adrian berdiri menuju meja kerjanya, menatap fhoto berbingkai silver.
Foto keluarga Adrian dan keluarga Fene saat masih di Jakarta.
Menghabiskan Tahun Baru bersama.
Adrian dan Fene sahabat dekat, memiliki bisnis keluarga bergerak dibidang garmen.
Perusahaan yang telah lama dikelolah mereka berdua.
Sejak usia 20 tahun, mereka focus meneruskan perusahaan keluarga, hingga berkembang pesat ke seluruh negara eropa.
Fene mendekati Adrian.
"Gue besok ke Shanghai," memeluk lengan Adrian.
"Ok... besok lo, gue antar kebandara,
Bram sudah mengurus semua?"
Adrian menatap, mengecup puncak kepala Fene.
"Sudah."
jawab Fene manja.
"Makan yuuk."
Fene menarik tangan Adrian keluar dari ruangannya menuju resto berada di lantai 4 gedung yang sama.
Tiiiiiing...
Pintu lift terbuka.
Mata Fene tertuju pada meja yang biasa,
telah diisi oleh karyawan Adrian.
"Kita disana aja yuuk."
mata Adrian tertuju diarah luar.
"Gue pengen ngerokok."
Adrian berjalan dingin menggandeng tangan Fene.
Seluruh karyawan Adrian beranggapan Fene adalah adik Adrian.
Secara, wajah mereka hampir mirip.
"Nanti malam lo nginap diapartemen gue yah?"
Fene tersenyum kearah Adrian berada dihadapannya.
"Iya, tapi gue ketemu Veni dulu yah."
Adrian menghebuskan asap rokok perlahan.
Fene mengangguk,
memesan makan siang mereka.
Tidak lupa expresso untuk Adrian.
Hidangan pembuka terhidang,
Fene melahap perlahan,
sesekali menyuapkan kemulut Adrian.
Adrian menggoda Fene akan statusnya.
"Kapan lo kenalin pacar lo ke gue?" senyum Adrian.
Fene tersedak.
"Uhuuuug.... eeeegh."
Fene mengambil air mineral, kemudian meminumnya,
menetralkan hatinya atas pertanyaan Adrian.
"What? pacar?"
Fene tertawa, tangan mulusnya menarik tisyu dihadapannya.
"Why?" mata Adrian menatap Fene.
"Gue malas mikirin pacar, gue nggak pernah jatuh cinta, dan gue nggak penah tau cinta itu apa, yang gue tau, lo selalu ada buat gue."
Fene melanjutkan makannya dengan santai.
"Bram..??" alis Adrian bertemu, mengkerutkan keningnya.
"Hmmm... I don't no, but..."
Fene tersenyum.
"But...???"
Adrian mengedipkan matanya.
"Gue nggak ngerti Adrian," kesal Fene terkekeh.
"Hmmm... lo cinta ama gue?"
Adrian menggoda Fene.
"Ehm, nggaklah, gue ama lo gimana yah,? gue juga nggak ngerti."
Fene menyuapkan sendokan terakhirnya.
Adrian tersenyum menatap Fene.
"Lo normalkan?"
Fene tertawa terbahak-bahak,
"Ya iyalah, cuma belum ketemu yang pas saja Tuan Adrian Moreno Lim." senyum Fene.
"Gue?"
Adrian menunjuk dirinya.
"Lo cinta ama gue?"
Fene balik bertanya menatap Adrian.
"Hmm, eeee... ya nggak lah, gue pengen tau aja, kali aja lo naksir gue."
Adrian memberikan senyuman kudanya.
"Kita itu temen, keluarga, sahabatan, saudara, secara lo tau gue anak semata wayang pewaris tahta, siapa yang nggak tertarik ama gue."
mata Fene berkedip-kedip terkekeh.
Adrian mengusap punggung tangan, menatap sahabatnya.
Suasana malam kencan Adrian...
"Setelah kamu antar aku, kamu kemana Dri?"
tanya Veni menyandarkan kepala dibahu Adrian.
"Besok Fene mau ke Shanghai, jadi aku menginap diapartementnya." jujur Adrian.
Veni menatap Adrian.
"Kok nggak nginap ama aku aja?" cemberut Veni.
"Nggak bisa, banyak hal yang harus aku bicarakan sama Fene."
Adrian masih focus pada bahu jalan dihadapannya.
"Fene itu adik mu Dri?"
pertanyaan Veni membuat Adrian sedikit bingung.
Adrian mengambil lajur kiri, memarkirkan mobilnya disebuah cafe.
"Kita ngobrol di dalam aja."
Adrian mematikan mesin mobilnya, berlalu menyambut jemari Veni memasuki cafe merangkul mesra.
Veni terdiam mengikuti arah kaki Adrian, beribu pertanyaan ada dibenak Veni tentang Fene.
Veni kekasih Adrian.
Mereka sudah sering menghabiskan waktu bersama, jujur Veni merasa cemburu akan kedekatan Adrian dan Fene,
secara KTP, Pasport mereka memiliki tahun lahir yang sama, hanya beda hari.
Kadang Adrian menghabiskan waktu bersama Fene di Apartmen, begitu pula sebaliknya.
Adrian memeluk Veni berada disampingnya.
"Kamu jeules sama Fene?"
"Nggak... cuma khawatir, selama kita pacaran,
Fene nggak pernah deket sama cowok."
jawab Veni lembut.
Adrian mengusap punggung Veni.
"Aku sama Fene itu saudara, mami aku dan papi Fene berteman sejak kecil,
hingga mereka punya bisnis bareng kayak sekarang,
mereka pindah, bangkrut, masih tetap bersama."
Adrian menghela nafas dalam.
"Awalnya, aku berfikir mereka selingkuh, ternyata aku salah, mereka bersahabat seperti aku dan Fene."
jelas Adrian.
"Jujur aku sayang sama Fene, sebatas saudara, nggak lebih, aku dan Fene selalu bersama seperti kakak adik,
Fene nggak pernah punya pacar dari dulu hingga saat ini, aku nggak tau anak itu normal apa nggak."
Adrian tersenyum membayangkan wajah lucu Fene tadi siang.
Veni terdiam mendengar penjelasan Adrian.
"Hmm, emang ada yah pertemenan seperti itu?"
tanya Veni ragu.
"Buktinya ada, orang tua kami."
Adrian merangkul tubuh Veni.
"Kalau kamu mau, kita nginap di tempat Fene?"
Adrian meyakinkan Veni.
Veni menarik tubuhnya dari pelukan Adrian,
"nggak aaagh.... kali aja ada hal penting secara rahasia."
senyum Veni.
Adrian mencium hangat puncak kepala Veni,
"thanx yah... you are a lover who really understands me."
Veny mencium pipi Adrian, menepuk dada bidang Adrian dengan lembut.
"We go home now?"
Veni melirik Adrian.
Adrian mengangguk,
mengeluarkan beberapa lembar uang merah meletakkan di meja berlalu pergi,
merangkul pinggang Veni bercengkrama hangat menuju mobil.
Adrian mencintai Veni, peduli akan perasaannya.
Tapi dia harus focus sama bisnis barunya...***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!