NovelToon NovelToon

Jantung Hatiku

Bab 1. Rumah Masa Kecil

Di salah satu airport di Jakarta. terlihat sebuah pesawat mendarat dengan sempurna. Para penumpang dengan tertib keluar dari pesawat itu satu-persatu.

"Apakah kamu senang honey?" ucap Jack sambil merangkul Hasanah Istrinya.

"Sangat senang. Aku udah gak sabar lagi", jawab Hasa begitu senang.

" Dad, Umi, don't forget me! Aku masih bagian dari keluarga ini kan?" celetuk Doni dari belakang sambil mendorong stroller.

Kedua pasangan itu pun menoleh kebelakang, membuka tangan mereka membiarkan Doni masuk kepelukan mereka.

Doni yang berumur tujuh belas tahun masih sangat manja kepada orang tuanya. Betapa tidak, orang tuanya selalu mendukung dan menyemangatinya. Itulah bentuk kasih sayang yang di rasakan Doni.

Setelah beberapa jam di perjalanan, sampailah mereka di sebuah rumah yang besar. Rumah yang sudah di tinggal pemiliknya selama sepuluh tahun yang lalu. Namun, rumah itu terlihat sama saat Hasa masih tinggal di sana.

Terlintas beberapa memori mengenang dirinya yang begitu bahagia bersama kedua orang tuanya. Mereka pun masuk, setelah penjaga rumah memberikan kunci kepada mereka.

Saat memasuki gerbang Hasa melihat dirinya berlari-lari dikejar oleh ayahnya. Hasa kecil berlari kearah mama nya dan memeluknya.

Jack merangkuk istrinya menguatkannya. Tibalah mereka di depan pintu utama. Hasa membuka pintu itu.

"Semua sama seperti dulu", ucap Hasanah meneteskan air mata.

" Mi, pasti mi kangen banget ya sama oma opah?" kata Doni sambil memeluk uminya.

"Iya sayang", jawab Hasa sambil mengecup kening Doni dari samping.

Hasa berjalan masuk, menelusuri benda-benda perabotan di sana. Hasa menyetuhnya sambil berjalan. Masih terasa hangat di hatinya. Kenangan indah itu tidak mungkin terlupa. Ia melihat foto kecil dan mengambilnya. Foto ia masih kecil bersama ayah dan mamanya.

Lalu ia menelusuri anak tangga. Naik keatas dan berhenti di hadapan sebuah pintu kamar. Sambil menarik napas ia membuka pintu itu perlahan. Yah, semua terlihat masih sama seperti dulu, pikirnya.

Air matanya menetes lagi. Rindu, sangat rindu itu yang di rasakan Hasa. Namun ia hanya bisa menatap foto Ayah dan Mamanya.

Ia berjalan menuju lemari pakaian lalu ia buka perlahan. Menyentuh baju demi baju. Memeluknya dan aromanya masih sama. Oh Ayah, mama aku rindu sekali, ucapnya di hati.

Lalu ia mengambil sebuah kotak peninggalan kedua orang tuanya yang ada di lemari tersebut. Ia melihat ada baju mungil kepunyaannya dulu. Oh, baju kesayanganku, ucapnya di hati. Ia melihat lagi beberapa gambar yang pernah ia buat untuk orang tuanya. Di situ juga tertulis "Mama dan Ayah terhebat ku, I love you". Hasa memeluk kuat kertas tersebut. Lalu ia melihat sebuah buku tua di tumpukan paling bawah. Ia ambil dan buka buku tersebut.

Di halaman pertama dan di baris pertama tertulis " Aku kira Allah akan mencabut nyawaku di usia mudaku. Tapi, setelah aku mendapatkan donor jantung semuanya berubah. Aneh, ini sangat aneh. Hatiku yang biasanya hampa terisi dengan kehangatan cinta. Khayalanku yang putus asa walaupun aku mendapatkan donor jantung tapi, Allah malah memberiku umur panjang dan hidup bersama wanita yang sangat aku cintai".

"Honey! Makan malam udah siap!" Jack memanggil dari bawah.

"Iya, aku datang!" sahut Hasa.

Ia lalu menutup buku itu. Ia masih penasaran dengan isi dari buku tersebut. sangat jelas itu adalah tulisan Ayahnya. Ia pun membawa buku tersebut dan menemui suami dan anaknya untuk makan malam.

Bab 2. Wasiat

Malam harinya ketika semua sudah terlelap dalam tidur, Hasa terbangun. Ia mengambil buku yang sangat ia ingin tahu kelanjutannya. Ia pun kembali membaca buku tersebut

Flashback **

Di salah satu Rumah sakit Jakarta. Para perawat berlari sambil mendorong bangsal menuju ambulan yang baru datang. Suasana begitu riuh. Ada korban kecelakaan dengan pendarahan di bagian kepalanya. Mereka terlihat terburu-buru menuju ruang Operasi untuk memberikan pertolongan kepada pria korban kecelakaan tersebut.

Beberapa saat pria itu tersadar di perjalanannya menuju ruang Operasi. Ia melihat samar-samar seorang pria dan seorang wanita paruh baya yang sedang berbicara dengan dokter. Walaupun pandangannya kabur tapi, sekilas ia mendengar pembicaraan mereka.

"Maaf bu, kami sudah berusaha. Tapi, sampai saat ini kami belum bisa mendapatkan donor jantung untuk anak ibu", ucap dokter tersebut. " Saya juga takut kalau anak ibu tidak bisa bertahan lama."

Wanita itu begitu sedih. Tangisnya pecah. Setelah itu pria korban kecelakaan itu langsung tidak sadarkan diri lagi. Ia pun telah masuk di ruang Operasi. Di sana para dokter sedang berusaha keras menolong pria itu. Terlihat ketegangan dan keseriusan.

Setengah jam berlalu tampak seorang wanita berlari sekuat tenaganya dengan air mata yang telah membasahi wajahnya. Langkahnya terhenti di saat berhadapan dengan pintu ruangan Operasi.

Ia lalu berjongkok, menutup wajahnya yang sedang menangisi seseorang yang berada di sana. Bibirnya tidak pernah berhenti melantunkan doa-doa.

Sudah satu setengah jam ia menunggu dan menangis. Klek. Pintu terbuka. Seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Dinda yang sudah lama menunggu pun langsung menghampiri dokter itu.

"Dokter bagaimana keadaan suami saya?" ucap Dinda tersedu-sedu.

"Kami sudah berusaha semampu kami bu, ada keretakan di tulang tengkorak pasien. Operasi sudah selesai dan kami akan memindahkan pasien ke ruang pemulihan", jawab dokter tersebut dan langsung bergegas pergi.

Penjelasan dokter itu sangat tidak memuaskan hati Dinda. Pikirannya begitu kacau tentang hal terburuk yang akan terjadi.

Dimas, suami Dinda sekaligus korban kecelakaan telah di pindahkan ke ruang sebelah ruang Operasi yaitu ruang pemulihan.

Setelah selesai sholat maghrib ia kembali ke tempat dimana ia menunggu Dimas. Tidak lama seorang dokter memanggil dirinya untuk masuk ke ruang pemulihan karena Dimas telah sadar dan ingin berbicara dengan Dinda.

Ada sedikit kelegaan dihatinya. Ia pun segera menemui Dimas.

"Mas", Dinda duduk di samping bangsal sambil menangis. " Kenapa kamu bisa kaya gini? Hiks".

"A... ku nggak apa apa kok. Cuma sakit sedikit", ucap Dimas pelan dan lambat.

Dinda tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu betul suaminya ini selalu menutupi rasa sakitnya sangking tidak mau istrinya merasa cemas. Dinda hanya bisa menangis dan menangis.

" Yang, aku punya satu permintaan", ucap Dimas pelan.

"Apa?" jawab Dinda serak.

"Jika nanti, aku telah tiada.... ", ucapan Dimas terhenti karena Dinda menutup mulutnya.

" No, jangan katakan. Aku gak bisa mendengarnya", ucap Dinda panik.

Dimas lalu tersenyum sambil menggenggam tangan yang menutup mulutnya.

"Dengar Yang, apapun yang terjadi kamu harus ikhlas. Karena ini sudah takdir Allah. Sesedih dan sesakit apapun hati kamu, tolong kamu harus ikhlas. Jangan menyalahkan siapapun dan apapun. Mungkin, ada hikmah lain. Atau mungkin ini adalah rencana Allah untuk membantu orang lain", jelas Dimas pelan.

"Apa maksud kamu mas, rencana Allah membantu orang lain?", tanya Dinda bingung.

" Yang, aku ingin mendonorkan jantungku untuk seorang pasien yang ada di rumah sakit ini", jawab Dimas.

"Apa? Kamu sadar apa yang kamu katakan mas?"

"Yang, please. Aku mohon kamu harus setuju. Mudah-mudahan ini menjadi amal jariyah untukku".

" Kamu ngomong apa sih mas...? Kamu tuh harus kuat... "

Belum lagi ucapan Dinda selesai, tubuh Dimas bereaksi. Tangan kanannya meremas dadanya dan tangan kirinya memegang kepalanya. Terlihat seperti sesak napas.

"Mas.... mas.. kamu kenapa? Suster , ini suami saya kenapa?" Dinda panik.

Seorang suster yang sedari tadi berjaga di ruang pemulihan langsung melihat kondisi Dimas lalu bergegas memanggil dokter.

"Yang, haaaahh a.. ku min... ta... maaf. Ji... ka selama ki.. ta bersama a.. ku berbuat sa... lah padamu" ucap Dimas terbata-bata.

"Maaf bu saya mau periksa pasien dulu", ucap seorang dokter yang baru datang.

" Maaf, ibu boleh keluar ruangan", seorang suster menarik tangan Dinda.

Dinda tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menangis dan terus menangis. Melihat keadaan suaminya dari kaca pintu. Beberapa saat kemudian, Dinda melihat gerakan bibir sang suami mengucap dua kalimat syahadat dan langsung menutup matanya.

Dinda memejamkan matanya, menangis bersandar dengan dinding. Ia tahu suaminya sudah pergi. Hatinya begitu sakit pikirannya berkecamuk. Ia masih tidak percaya. Usia pernikahannya yang baru setahun 3 bulan harus usai. Lelaki yang di cintainya, yang menjadi tempat keluh kesahnya, lelaki yang telah merubahnya menjadi wanita yang lebih baik, lelaki yang sabar dan lembut tutur katanya pergi meninggalkannya. Ingin rasanya ia ikut bersama suaminya. Jika ia rindu, kemana ia harus mencari suaminya. Pikiran-pikiran itu terus berputar-putar di kepalanya.

"Maaf bu, suami ibu sudah meninggal. Kami sudah berusaha tapi, Allah lah yang menentukan", ucap dokter yang keluar dari ruang pemulihan itu.

Dinda terduduk lemas di lantai, menangis tersedu-sedu.

Di ruang lain, seorang wanita melihat Dinda yang menangis. Ia lalu memanggil dokter yang sedang melintas.

"Maaf dok, mbak yang di sana kenapa ya?"

"Suaminya korban kecelakaan dan baru saja meninggal. Maaf bu, saya permisi dulu".

Tiba-tiba terlintas begitu saja tentang donor jantung untuk anaknya yang juga tengah sekarat. Ia kembali masuk keruangan dan memanggil suaminya untuk berbicara di luar.

Wanita itupun membicarakan tentang donor jantung untuk anaknya dan membicarakan pria yang baru saja meninggal di rumah sakit itu.

"Tapi ma, bagaimana cara bilangnya? Sedangkan mbak itu lagi sedih dan berduka", ucap Bahar suami wanita itu.

" Nah, itu dia pa, mama juga berpikir begitu. Tapi, kalau tidak segera entar kesempatan kita hilang".

"Papa, benar-benar gak tega ma".

" Pa, itu Dokter Ridwan. Gimana kalau kita minta bantuan beliau".

Keduanya pun langsung mendekati Dokter Ridwan dan mengatakan keinginan mereka. Dokter itu mengerti dan akan mencoba menolong mereka.

Dokter Ridwan pun berjalan menuju Dinda yang sedang menangis. Dari kejauhan Bahar dan istrinya harap-harap cemas. Berharap Wanita itu tidak sakit hati karena telah mengganggunya.

Dengan pelan dan kata-kata yang jelas Dokter Ridwan menyampaikan keinginan orang tua pasiennya.

Berat, teramat berat bagi Dinda sebenarnya. Namun, itu adalah permintaan terakhir suaminya yang mana harus ia laksanakan dengan ikhlas.

Dinda pun pergi mengikuti Dokter menemui kedua orang tua itu.

Bab 3. Donor Jantung

Dinda memantapkan dirinya untuk mengikhlaskan semuanya. Benar yang di katakan Dimas, dia tidak boleh menyalahkan siapa-siapa walaupun hatinya terluka. Dan pesan terakhir Dimas adalah mendonorkan jantungnya. Bahkan dalam detik-detik terakhirnya dia masih bisa untuk membantu orang lain. Begitu mulia hatinya. Sudah semestinya Dinda bangga pernah berdampingan dengannya.

"Sepertinya Bapak dan Ibu harus mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dinda. Karena Ibu Dinda setuju untuk mendonorkan jantung almarhum suaminya dan kami akan segera memeriksa kondisi jantung tersebut. Kalau begitu saya permisi dulu", dokter Ridwan pun bergegas pergi mempersiapkan semua yang di perlukan.

" Nak, terima kasih banyak... ", Retno ibu dari pasien memeluk Dinda dengan kuat sambil menangis.

Dinda membalas pelukan itu dan ikut meneteskan air matanya. Di depannya seorang ayah ikut menangis bahagia. Walaupun belum pasti namun, ada perasaan yakin dalam hatinya.

" Nak, apakah kamu sudah memberi tahu orang tua suamimu?" tanya Barra sedikit cemas.

" Almarhum suami saya yatim piatu. Sudah tiga tahun dan saya juga tidak tau keluarga yang lainnya. Yang saya tau mereka merantau ke Jakarta", jelas Dinda sedih.

"Bagaimana dengan kamu sayang? Kamu benar-benar ikhlas?", tanya Retno menatap mata Dinda yang sembab.

" Mungkin ini jalan Allah untuk menyembuhkan anak ibu dan bapak. Dan mungkin suami saya mendengar ada yang membutuhkan donor jantung saat itu. Makanya dia, meminta saya untuk mendonorkan jantungnya untuk pasien di rumah sakit ini. Jadi, saya hanya menjalankan tugas saya untuk melakukan amanah terakhirnya. Dan demi Allah saya.. saya ikhlas.... saya permisi... ", Dinda cepat-cepat pergi dari mereka saat dia tahu rasanya ingin meledak tidak kuat menahan gejolak di hatinya yang begitu terasa sesak dan sangat sakit.

Kedua suami istri itu menatap nanar pada Dinda. Ada perasaan tidak tega.

" Bagaimana ini pa? Kita belum sempat menanyakan imbalan untuknya", Retno merasa tidak enak.

"Kita tunggu saja Ma, jika dia kembali ke sini baru kita tanya lagi. Sepertinya dia butuh waktu Ma", Barra menenangkan istrinya.

Keesokan paginya, Dokter Ridwan memberi kabar bahagia kepada orang tua pasiennya jika jantung itu cocok dengan anak mereka. Ia pun menjadwalkan operasi untuk anak mereka dan akan memeriksa kondisinya.

Sangking senangnya, mereka lupa dengan Dinda. Mereka lupa untuk menemui Dinda lagi. Mereka terus berada di ruangan menciumi tangan anak mereka.

Dinda juga sudah mendapatkan kabar tersebut dari Dokter Ridwan. Dinda mendatangi ruangan itu melihat kebahagiaan di sana. Dinda bersyukur karena di saat terakhir suaminya, dia masih bisa membahagiakan orang lain.

Dinda akan keluar dari Rumah Sakit itu untuk memakamkan suaminya. Di rumah sewanya sudah ada kedua orang tua Dinda dan beberapa tetangga yang menunggu kedatangannya.

Saat turun dari ambulan Dinda langsung memeluk sang ibunda. Mirna dan Anas langsung menenangkan Dinda.

Tidak lama kemudian, jenazah suaminya sudah siap untuk di Sholat kan. Terlihat begitu ramai sekali yang ikut menyolatkan. Mengingat Dimas adalah orang yang baik, lembut dan sering membantu tetangganya.

Setelah itu saatnya jenazah untuk dimakamkan. Dinda memilih untuk tidak ikut. Karena ia tahu, ia tidak akan kuat melihat jenazah suaminya di ke bumikan. Dinda tak henti menangis di pangkuan ibunya.

Sementara di tempat lain, Barra baru tersadar harus segera menemui Dinda.

"Ma, ayo kita temui Dinda sebelum terlambat", Barra menyadarkan istrinya.

" Astaghfirullah, iya Pa".

Mereka pun bergegas menuju ruang pemulihan. Karena terakhir kali mereka tau almarhum suami Dinda ada di sana. Namun, saat mereka bertanya pada suster yang menjaga di sana, suster itu menjelaskan bahwa jenazah sudah di bawa pulang.

Betapa terkejutnya mereka saat tau Dinda sudah tidak di rumah sakit itu lagi. Bagaimana cara mereka memberikan imbalan pada Dinda sekarang? Barra langsung pergi ke resepsionis untuk meminta alamat Dinda. Sedangkan Retno, tetap berjaga di ruangan anaknya.

"Permisi suster", ucap Barra sopan.

" Ya Pak, ada yang bisa dibantu?"

"Em.., begini sus, saya boleh minta alamat pasien yang bernama.... ", seketika Barra bingung karena ia tidak tau nama suami Dinda.

" Pak?", panggil suster itu.

"Eh, maaf sus saya permisi dulu", Barra hendak pergi.

" Tapi, maaf Pak. Jika tadi bapak ingin meminta alamat pasien di sini kami tidak bisa bantu Pak."

Seketika wajah Barra tampak lesu. Ia pun pergi kembali ke ruangan anaknya.

Klek.

Retno melihat orang yang baru saja masuk dangan wajah sedih.

"Gimana Pa? Ada kan alamatnya?"

"Papa gak tau nama suaminya Dinda. Lagi pula pihak rumah sakit tidak bisa memberi tahukan alamat pasien."

"Hah..., Mama juga gak tau siapa nama Suami Dinda. Oh, ya pa, tadi dokter udah cek keadaan Agra. Dan dokter bilang Agra sudah bisa di operasi besok pagi."

"Alhamdulillah. Semoga berjalan lancar semuanya ya Ma".

" Amin."

***

Malam ini terasa sangat lama bagi Dinda. Bagaimana tidak? Malam ini begitu sepi. Walaupun kedua orang tuanya bersamanya namun, tetap ada yang kurang rasanya.

Malam mendung tanpa berangin, menambah kesunyian. Malam-malam yang hangat penuh canda dan tawa sekejap telah sirna. Malam yang biasa mereka nikmati berdua kini hanya Dinda seorang. Bahkan tidak ada lagi secangkir kopi panas dan cemilan di meja ini lagi.

Dinda tidak bisa tidur karena pikirannya terus mengenang kebersamaan dirinya dan Dimas. Ia duduk di teras sendirian menatap sayu ke depan.

"Dinda, jangan melamun gitu dong", tegur mama Mirna.

"Dinda gak melamun Ma, Dinda ngantuk tapi gak bisa tidur", ucap Dinda menatap mamanya sambil memaksakan tersenyum.

Sungguh ia juga tidak ingin orang tuanya melihat kesedihannya.

" Kalau gitu di dalam aja, mama temenin ya. Ini udah tengah malam loh sayang".

"Sebentar lagi ya ma".

" Oh ya, kamu mau kan ikut mama pulang? Mama khawatir kalau kamu sendirian di sini."

Dinda mengangguk lalu memeluk mamanya. Tak bisa di bendung lagi, Dinda menangis dalam pelukan mamanya. Ia menangis sampai tersedu-sedu sungguh Dinda tidak bisa lagi menahannya.

Walaupun dunia rasanya sudah runtuh, hati telah hancur namun, tidak etis rasanya membuat orang tuanya ikut bersedih. Sebagai seorang anak, Dinda adalah anak yang selalu nurut apa kata orang tuanya. Terlebih lagi Mamanya selalu berkata lembut padanya dan papanya yang selalu menyemangatinya.

Hidupnya penuh keberuntungan dan ia selalu bersyukur. Hanya karena satu musibah dan masalah ia tidak harus melupakan membahagiakan orang-orang yang dicintainya dan mencintainya.

Hati akan rapuh jika kita rendam dengan kesedihan dan duka. Tapi, hati bisa menjadi kuat jika kita lapisi dengan Cinta. Hati yang kuat bisa menumbuhkan semangat baru dan akan sejalan dengan positif thinking.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!