NovelToon NovelToon

Oh My Ex-Husband

BAB 1. MARI BERCERAI

Sebuah surat disodorkan pada wanita cantik itu. Manik mata almond itu terlihat menatap surat di depannya dan juga pria bermata tajam itu, secara bergantian. Suasana terasa mencekam mendadak. Devina tidak mengerti. Saat sebuah surat disodorkan.

"Bukalah!" titah suara bariton itu mengalun.

Haruskah? Hati Devina meragu. Kenapa perasannya mendadak tidak enak. Apa yang sebenarnya ingin sang suami berikan padanya? Mereka sudah tiga tahun menikah tanpa ikatan cinta. Baik Kaiden maupun Devina. Hanya menjalankan peran sebagai sepasang suami-istri di depan khalayak banyak. Tentu tak luput di depan kedua orang tua masing-masing.

Di belakang itu. Mereka hidup sendiri-sendiri di rumah besar ini. Kaiden yang memiliki wilayah teritorial sendiri. Yang tidak boleh dimasuki oleh Devina. Ada dinding tinggi yang menjadi pembatas bagi mereka berdua.

"Apa ini?"

"Buka saja," pungkas Kaiden.

Tangan Devina terulur menyentuh berkas. Menariknya meletakan di atas paha. Tangannya berkerja cepat. Membuka surat dengan judul yang cukup besar. Dengan lambang hukum di sisi atas.

"Cerai?" cicit Devina pelan.

Sebelum melayangkan pandangan tidak percaya. Kaiden mengangguk kecil.

"Hem! Cerai. Bukankah kita sudah cukup lama bersama. Sepertinya dengan begini orang tua kita akan merasa jika kita memang tidak cocok. Kau maupun aku. Sudah sama-sama berusaha memenuhi keinginan mereka. Sekarang, sudah saatnya kita bebas tanpa ada yang menginkat," papar suara bariton itu dengan lugas.

Devina tercekat. Cincin yang tersemat di jari manisnya melingkar apik. Sedangkan di depan sana. Hanya ada bekas cincin yang melingkar. Kapan? Sejak kapan sang suami melepaskan benda bundar itu?

"Alasan?" tanya Devina pelan.

Bodoh. Apakah ia mendadak tuli? Bukankah sudah jelas. Kaiden mengatakan mereka tidak lagi perlu bersama. Sedari awal ia sadari. Mereka menikah hanya untuk memenuhi keinginan kedua orang tua pihak masing-masing.

"Bukankah ini sudah sangat jelas? Kau dan aku. Kita tidak saling cinta. Satu alasan itu saja sudah cukup untuk meletakkan berkas itu di atas meja pengadilan!" Kaiden menyahut dengan datar.

Oh, ya. Alasan sesimpel itu. Namun rasanya hati Devina tak rela. Gadis ini mencintai Kaiden Louis. Mencintai pemuda ini diam-diam. Pemuda yang ditemuinya tiga tahun lalu. Harusnya ia bergerak cepat. Agar semua ini tidak kandas, bukan? Tapi kenapa semuanya terasa serba mendadak bagi Devina? Atau hanya dia yang tidak peka.

Jika sedari awal Kaiden memang tidak mencintai ia. Ia hanyalah istri panjangan. Devina membawa atensinya ke arah Kaiden.

"Apakah ada wanita lain yang kamu temui?" tanyanya dengan pelan.

Kedua alis mata tebal itu langsung menyatu membentuk garis sejajar. Bahkan pangkal hidungnya mengerut.

"Apakah ini sebuah pertanyaan yang harus aku jawab untukmu?" balasnya malah balik bertanya.

Devina mengumpulkan semua keberanian yang ia punya hanya untuk mengangguk cepat. Iris almond itu langsung kalah. Berpindah kembali ke arah dokumen yang terkembang di atas pahanya. Ia tidak sanggup menatap lama-lama wajah sang suami.

"Ya," cicitnya.

"Yeah ... mungkin bisa dijawab seperti itu. Aku mungkin tidak bisa mengatakan jika aku memiliki perempuan lain di sisiku. Hanya saja saat ini aku ingin memiliki perempuan itu. Untuk bisa berada di sisiku. Kamu paham bukan? Hubungan ini hanyalah pernikahan sementara. Kau dan aku cepat atau lambat. Tetap akan berpisah," jelasnya.

"Ah, kau jatuh cinta padanya?"

"Ya."

Kepala Davina langsung menunduk. Pria ini jatuh cinta pada perempuan itu. Hatinya berdenyut pedih.

"Seperti apa perempuan itu?"

"Memangnya kenapa? Kenapa kau mau tahu?"

"Aku hanya penasaran. Bagaimana perempuan yang bisa mencairkan hatimu yang dingin itu."

Kaiden kembali mengerutkan pangkal hidungnya mendengar penuturan Devina. Gadis ini bukan perempuan buruk. Devina adalah pribadi tertutup. Selama mereka menikah. Hanya beberapa kali tegur sapa. Mungkin dikarenakan ia juga. Kaiden bukan pria yang ramah. Sulit untuk didekati oleh perempuan manapun. Termasuk perempuan di depannya saat ini.

Sampai. Perempuan itu datang. Kaiden merasa tercuri. Manik mata abu-abu memukau, senyum bersahaja. Dan rasa percaya diri yang membuat Kaiden merasa berdebar. Kaiden jatuh cinta.

"Dia perempuan yang memukau. Semua hal yang ada pada dirinya benar-benar membuat aku merasa asing," jawab Kaiden dengan penuh perasaan bahagia.

Bahkan di kedua iris mata tajam itu terlihat berbinar-binar. Saat menjelaskan betapa terpesonanya Kaiden pada wanita tersebut. Devina iri. Sungguh.

"Sebegitu hebatnya dia?"

"Hem! Sangat!" sahut Kaiden terdengar memuja.

Bibir bawah digigit pelan."Lalu bagaimana dengan aku?" tanya Devina serak.

"Eh?"

"Aku. Bagaimana dengan aku? Apakah aku tidak bisa seperti dia?" tanya Devina pelan.

"Hei! Apa yang kau maksud?" tanya Kaiden dengan ekspresi tidak mengerti.

Devina membawa tatapan matanya ke arah Kaiden. Mengunci iris mata hitam legam tajam itu.

"Apakah selama ini aku tidak terlihat memukau di matamu?" tanya Devina terdengar tidak tahu malu memang.

Devina rela menelan ego dan rasa malunya untuk mempertanyakan perasaan Kaiden.

Kaiden mengerutkan dahinya."Apa yang kau maksud, Devina?" tanya Kaiden.

Baru pertama kalinya Kaiden memangil namanya. Devina mengontrol nada yang akan keluar dari pita suaranya.

"Selama ini aku juga berusaha untuk bisa merebut hatimu. Aku berjalan pelan-pelan. Mendekati kamu, Kaiden. Tapi kamu terus dingin padaku. Ini rasanya tidak adil," balas Devina serak.

"Kau——"

"Aku jatuh cinta padamu. Jatuh cinta saat kau mengulurkan tanganmu dua tahun lalu. Aku berusaha keras untuk kamu. Agar kamu melihat ke arahku. Tapi ternyata, dia yang tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan hatimu. Dengan begitu mudahnya merebutmu." Devina memotong perkataan Kaiden.

Kaiden terperangah. Perempuan ini mencintai dirinya? Kapan? Sialan. Meskipun perempuan ini memiliki perasaan terhadapnya. Namun hatinya bukan untuk Devina Deborah. Perasaan Kaiden Louis hanya untuk Arumi Kasandra. Perempuan berdarah campuran Russia-Indonesia itu.

"Kau bercanda?" sahut Kaiden tidak percaya.

Davina mengeleng tegas."Tidak. Aku tidak pernah becanda pada perasan hatiku."

Kaiden diam beberapa saat. Perasannya benar-benar untuk dokter cantik itu. Tidak ada getaran untuk gadis ini. Meskipun Kaiden tahu betul. Devina adalah perempuan baik. Selama mereka menikah. Tidak ada hal buruk yang dilakukan oleh Devina. Gadis ini selalu bertingkah seperti biasanya. Hanya saja mungkin Devina sedikit tertutup. Karena pribadi introvernya.

"Aku tidak bisa mencintaimu!" tegas Kaiden begitu saja.

Kedua pupil mata Devina bergetar. Hatinya mengiba mendengar jawaban Kaiden.

"Sedikit saja tidak ada?" tanya Devina kembali.

"Ya, tidak ada."

Devina menarik nafas perlahan sebelum menghembuskan perlahan pula.

"Mari kita bicara hal ini nanti saja!" Devina berdiri dari posisi duduknya.

Ia membungkuk meletakkan kembali dokumen surat itu di atas meja. Sebelum kembali berdiri tegak

"Kapan?" tanya Kaiden cepat.

"Aku. Aku butuh waktu untuk berpikir. Setidaknya, saat ini kau sudah tahu perasaanku untukmu. Dan perasanmu untuk aku. Bisakah kamu memberikan aku sedikit waktu, Kaiden?" pinta Devina semakin serak.

Pita suaranya jauh ke dalam. Kedua matanya terlihat panas. Ia kalah. Devina akui. Ia kalah. Tidak ada jawaban dari Kaiden. Air matanya runtuh. Devina melangkah cepat menuju tangga.

Kaiden menghela nafas. Cobaan apa lagi ini. Dirinya benar-benar tidak bisa mencintai gadis itu. Karena perasaannya benar-benar bukan untuk Devina. Tapi untuk Arumi.

...Bersambung.......

Mohon dukungannya kakak-kakak.🙏🏻☺️ Kisah ini roman-sad.🙃sipakan hati....

Terakhir, Follow IG Official aku "Dhanvi Hrieya" aku tunggu.

BAB 2. DINNER

Iris hitam kelam itu tampak mengedar. Sesekali ia terlihat membenahi penampilan yang sudah sangat sempurna. Kaiden merasa nervous. Ini kali pertama ia merasa salah tingkah. Gedung pencakar langit yang menjadi saksi pertemuan mereka kembali. Suara denting piano slow menemani pada pengunjung restoran mahal itu.

TUK!

TUK!

Bunyi sepatu high heels terdengar samar. Rambut coklat terang bergelombang tebal itu ditata dengan begitu rapi. Gaun hitam selutut. Wanita itu terlihat sangat cantik dan memukau. Tanpa harus memakai lensa mata. Manik mata Arumi sudah terlihat begitu indah.

Kaiden sontak berdiri dari posisi duduknya, kala Arumi berhenti tepat di samping meja kedua tungkai kaki Kaiden terlihat bergerak menarik kursi untuk sang wanita. Arumi terkekeh rendah. Kala mendapatkan perlakuan manis dari pemuda ini. Pasien kaku ini. Entah apa yang terjadi.

Arumi mendapatkan perlakuan spesial dari Kaiden. Ia duduk di bangku yang sudah Kaiden tarik. Kaiden terlihat memutari meja mereka. Duduk di bangku semula.

"Maaf, aku datang telat, Tuan Kaiden!" ujar Arumi berbasa-basi.

Dokter cantik ini memiliki jadwal kerja sedikit merepotkan baginya. Bukan lantaran ada banyak pasien yang berobat sakit gigi. Atau untuk kontrol gigi mereka. Langkah kakinya seiring kali terhambat oleh kedatangan rekan kerjanya. Bukannya Arumi ingin sombong. Ada banyak pria yang mengincar dirinya.

"Tidak masalah. Aku juga baru datang," bohong Kaiden dengan nada rendah.

Pemuda ini sudah sampai satu jam sebelum jam yang dijanjikan. Hanya untuk bisa bertemu kembali dengan Arumi. Wanita cantik ini. Arumi tersenyum anggun mendengar jawaban dari Kaiden. Ada rasa penasaran yang cukup menggelitik rasa ingin tahu wanita ini.

Oke, Arumi tidak munafik. Saat pemuda ini masuk ke dalam ruangan kerjanya. Ia mengeluhkan sakit gigi. Dibalik masker. Arumi tersenyum kecil. Ia terpesona dengan wajah Kaiden Louis. Pria kaya raya, yang sering wara-wiri di tabloid harian. Dengan prestasi dan masalah keharmonisan rumah tangga. Yang mana tidak ada gosip miring tentang rumah tangga mereka.

Cukup aneh. Kenapa pria yang sudah beristri malah meminta  nomor ponselnya. Walaupun begitu, Arumi akui. Jika perempuan satu ini memiliki rasa penasaran yang tinggi. Terutama pada sebuah hubungan yang menantang. Seperti saat ini.

Arumi tersenyum kecil mendengar jawaban Kaiden."Kalau begitu bisakah kita memesan makanan sekarang Tuan Kaiden?"

"Oh? Maafkan aku. Aku jadi lupa." Kaiden menjawab dengan nada tegang.

Tangannya terlihat terangkat. Melihat pria gagah itu mengangkat tangan. Salah satu pegawai restoran yang sudah standbye di sekitar mereka. Langsung saja melangkah mendekati meja Kaiden dan Arumi.

Berbanding terbalik dengan Kaiden. Devina malah tidak bernafsu untuk melakukan apapun. Gadis cantik itu hanya menatap hampa ke arah makanan yang sudah terhidang di atas meja. Sampai makanan dingin seketika.

"Devina!" panggil Sintia terdengar jelas.

Sedangkan perempuan berambut sebahu di samping Devina langsung menyentuh pundak Devina.

"Dev!" Malika menyeru.

"Ah? Eh?" Deviana bereaksi lambat.

Gadis ini tersentak dari lamunan tak berujung itu. Manik mata almond Devina langsung mengedar. Astaga! Ia lupa jika sedang makan malam dengan beberapa teman satu alumni SMA. Perkumpulan hanya untuk para perempuan saja. Ada banyak orang-orang yang melirik ke arahnya. Meja panjang yang disusun rapi dengan banyak hidangan itu hampir semuanya menatap penasaran ke arahnya.

"Ah, maaf!" seru Devina sekali lagi.

Gadis itu mengulas senyum kecil. Yang membuat suasana kembali berjalan seperti semula.

"Kau tadi ditanyain sama Mona. Tapi malah gak ada sahutan," jelas Raya.

"Eh? Iya kah? Maafkan aku, Mona. Kayaknya aku nggak fokus. Karena memikirkan desain yang sedang menumpuk di meja kerja. Kau paham bukan? Aku yang sekarang bekerja di perusahaan cabang milik Ayah mertuaku," dusta Devina dengan nada pelan.

"Pasti berat ya, bekerja di bawah perusahaan keluarga mertua," timpal Lia.

Devina sedikit mengangguk kecil. Tak lupa pula mengulas senyum manis.

"Padahal kau adalah orang yang sangat memiliki bakat yang besar. Mau diletakkan di manapun tentu saja desain baju yang kau rancang sangat terkenal," ucap Berlian.

"Tapi apa gunanya begitu. Dia tidak akan bisa mendapatkan hal lebih. Selama berada di bawah perusahaan milik mertuanya," timpal Hera.

Rara sontak menyikut perut Hera pelan. Suasana terasa mulai tidak enak kembali. Mereka semua tahu. Hubungan yang tidak terlalu baik antara Hera dan Devina. Mengingat keduanya adalah rival saat di SMA. Hera memang sedikit angkuh dan agak blak-blakan. Meskipun begitu, wanita itu bukanlah orang yang jahat.

Hera suka berterus terang. Wanita ini penuh dengan kebebasan. Sempat kesal pada Devina yang selalu saja mendapatkan tempat terbaik. Walaupun begitu, tentu saja Hera mengakui jika Devina adalah perempuan yang hebat.

"Hera! Jangan ngomong begitu. Sangat tidak mungkin untuk Devina mendirikan usaha mandiri. Apa lagi keluarga mertuanya juga merambat ke bidang desain fashion," bela Malika.

Gadis dengan lesung pipi itu tersenyum canggung. Ada beberapa yang setuju dengan perkataan Hera. Ada pula yang mengerti dengan posisi Devina.

"Hem! Yang dikatakan oleh Hera tidaklah salah. Memang tidak akan ada perkembangan jika aku berada di bawah kepemimpinan perusahaan mertuaku," sahut Devina mengakui,"hanya saja aku menginginkan apa yang aku punya bisa membatu suamiku," lanjutnya pelan.

Hera berdecak rendah."Cih! Kau dari dulu begitu naif pada banyak hal. Meskipun sudah menikah bertahun-tahun. Kau tetap saja tidak mengerti," balas Hera.

"Eh! Eh! Sudah-sudah. Jangan bahas kehidupan Devina lagi. Bagaimana kalau kita membahas hal lain. Contohnya tentang Yayasan amal yang akan kita dirikan!" Theresia langsung menangani.

...***...

Make up natural yang melekat sudah disapu bersih. Kini wajah cantik itu terlihat bersih dari riasan. Devina melirik jam weker yang berada tepat di atas nakas. Sudah jam dua belas malam pas. Tapi kenapa deru mesin mobil sang suami masih belum terdengar. Apakah Kaiden memutus untuk pisah rumah dengan dirinya? Pria itu serius dengan pembicaraan kemarin malam? Hati Devina mendadak resah dan gelisah.

Suara berisik dari gerbang besar yang dibuka membuat Devina langsung melompat dari tempat duduk. Kedua kaki jenjang itu langsung melangkah mendekati jendela kamar. Tangannya menyibak tirai. Kedua matanya dipertajam. Memperhatikan mobil sedan hitam itu berhenti di depan pintu masuk. Sang supir pribadi yang turun dan memutari mobil. Hanya untuk membuka pintu mobil.

Hatinya yang tadinya merasa tak karuan. Langsung senang. Karena melihat wajah Kaiden. Pangkal hidung Devina mengerut. Saat melihat senyuman aneh yang tersemat di bibir Kaiden. Tidak biasanya pria itu tersenyum aneh begitu.

Devina mungkin terlihat abai. Dibalik itu. Perempuan satu ini sering kali memperhatikan Kaiden. Ia tidak akan tidur sebelum Kaiden pulang ke rumah. Hanya saja ia terlalu takut mendekati Kaiden terlebih dahulu.

"Ada yang aneh dari dirinya," gumam Devina pelan,"tapi apa, ya?" tanya pelan.

Perasan wanita sangat peka pada perubahan. Apa lagi pada perubahan orang yang ia cintai. Yang setiap inci dari wajahnya selalu mendapat perhatian. Hati Devina yang tadinya tenang. Kini bergejolak kembali.

Bersambung...

Jangan lupa simpan di perpustakaan. Dan follow juga Ig resmi author di "Dhanvi Hrieya" untuk melihat beberapa cerita baru author 🥰

BAB 3. KESEPAKATAN

Devina terlihat celingak-celinguk. Menatap keadaan rumah yang masih sepi. Kedua kaki jenjang itu kembali melangkah mendekati pintu bercat hitam tanpa ukiran apapun. Ia memutar engsel pintu kamar Kaiden. Pria itu adalah orang yang pelupa dalam mengunci pintu kamar. Atau memang tidak ingin mengunci pintu kamarnya. Karena yakin tidak ada yang berani memasuki kamar tanpa izin dari tuan dingin satu itu.

KLIK!

Pintu kamar terbuka. Devina dengan penuh kehati-hatian mendorong kecil pintu kamar. Hingga pintu terbuka. Aroma maskulin langsung menyeruak masuk ke dalam paru-paru.

Devina terlihat mengintip. Ia hapal betul dengan kebiasaan Kaiden. Tiga tahun hidup dalam satu rumah yang sama. Membuat Devina menjadi hapal. Setiap hari minggu. Sang suami akan bangun siang. Benar saja. Kaiden masih asik terlelap dibalik selimut tebalnya. Kedua kaki Devina melangkah masuk dengan pelan. Bak maling yang sedang beraksi.

Sebisa mungkin Devina untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Hingga ia sampai di samping ranjang. Ia sedikit berjongkok di samping ranjang. Tangannya bergerak. Sedikit menurunkan batas selimut tebal yang sedikit menghalangi indra penglihatannya.

Menik mata almond itu memperhatikan wajah tenang Kaiden. Yang terlihat begitu polos saat tertidur.

"Aku senang bisa melihatmu setiap pagi minggu seperti ini," gumam Devina dengan nada rendah.

Gadis ini selama dua tahun diam-diam melakukan kebiasaan seperti ini. Memperhatikan wajah bantal sang suami. Meskipun tidak bisa melakukan hal lebih. Devina ingin bisa melakukan hal lebih. Devina mengulas senyum.

TING!

Suara ponsel di atas nakas, tepat di samping tubuh Devina berbunyi pelan. Gemuruh jantung Devina membawa ribut. Pupil mata Devina membesar. Takut-takut Kaiden terbangun dari tidur nyenyaknya. Hati kecil Devina bersyukur. Karena bunyi pesan masuk itu tidak membangunkan Kaiden.

Devina memutar sedikit kepalanya ke samping. Ia melirik benda pipih di atas meja. Penasaran. Itulah yang gadis ini rasakan. Bibir bawahnya digigit pelan. Tangannya bergerak menyentuh ponsel Kaiden. Hatinya mulai perang batin. Apakah ia boleh melihat pesan masuk itu? Atau tidak usah melakukan hal itu.

Beberapa kali menimbang-nimbang. Devina pada akhirnya dikalahkan oleh rasa keingintahuan. Jari jemarinya terlihat menarik notifikasi pesan.

Arumi ❤️

Terima kasih atas makan malamnya, semalam. Ternyata kamu adalah pria yang menyenangkan untuk berbicara banyak hal.

DEG!

Devina membeku. Darahnya berdesir keras. Arumi? Ia tidak tahu siapa perempuan ini. Selama mereka menikah. Nama ini tidak pernah satu kali pun terdengar. Baik sebagai teman apa lagi sebagai mantan pacar dari Kaiden Louis. Makan malam. Satu kata lagi yang membuat Devina merasa denyutan sakit di balik hatinya.

Pandangan mata Devina kembali dibawa ke arah wajah Kaiden. Pandangan terlihat sedih.

"Apakah karena dia? Kamu menginginkan perpisahan ini?" tanya Devina pelan.

Meskipun paham sang suami tidak akan menyahut. Lucunya, Devina merasa menjadi orang yang paling bodoh sedunia karenanya. Ponsel Kaiden kembali diletakan di atas nakas. Sebelum ia berdiri perlahan. Melangkah lebar meninggalkan kamar Kaiden.

Perasaannya kacau. Harusnya Devina tidak harus banyak tahu. Jika akan membuat perasaannya tersakiti.

...***...

"Kaiden!" seruan keras itu membuat langkah kaki Kaiden berhenti mendadak.

Ia membalikkan tubuh atletisnya. Menghadap ke arah Devina. Dahinya berlipat tipis.

Devina melangkah cepat mendekati Kaiden.

"Apa ada yang ingin kamu bicarakan?" Kaiden langsung bertanya.

Devina mengangguk kecil."Ya," sahut Devina cepat.

"Apa?"

"Kamu ingin berpisah dengan aku, bukan?" tanya Devina memastikan.

"Ya." Kaiden menjawab dengan tegas.

Devina menarik paksa kedua garis bibirnya ke atas. Meskipun terasa sulit. Namun ia terlihat tegar.

"Kalau begitu. Tolong kabulkan syarat yang aku tawarkan padamu!" ujar Devina.

Kedua hitam legam terlihat menelisik wajah Devina. Syarat? Apakah sang istri tengah bermain-main dengan dirinya.

"Syarat?" ulang Kaiden dengan nada rendah.

"Ya, syarat. Bukankah kamu menginginkan perpisahan secara baik-baik diantara kita?" sahut Davina pelan.

Tentu saja Kaiden menginginkan perpisahan baik-baik untuk mereka berdua. Agar tidak banyak terjadi huru-hara. Yang sangat tidak penting. Apa lagi sampai merugikan perusahaan miliknya.

"Kalau begitu mari kita dengarkan. Syarat apa yang kamu tawarkan padaku," sahut Kaiden pelan.

...***...

Dua cup kopi tergeletak di depan keduanya. Uap mengepul di udara. Di sinilah keduanya pada akhirnya berada. Di dalam ruangan kerja Kaiden. Pria itu terlihat menatap tajam Devina. Tatapan yang sudah biasa diterima oleh Davina.

"Sekarang. Katakan apa yang kamu inginkan!" titah Kaiden.

Devina terlihat mengedipkan kedua matanya. Jari jemari di bawah sana terlihat saling bertautan. Perempuan satu ini terlihat begitu gugup. Karena ini kali pertamanya ia duduk hanya berdua dengan Kaiden. Dalam satu ruangan yang hanya ada mereka saja. Rasanya sedikit canggung dan membuat hatinya berdebar keras. Aroma maskulin. Aroma khas Kaiden.

"Itu," sahut Devina pelan.

Dahi Kaiden semakin berlipat dalam. Mendengar sahutan ragu dari Devina. Gadis yang sudah dia nikahi tiga tahun. Gadis ini sempat mengatakan jika ia telah jatuh cinta pada dirinya. Wanita mana yang tidak akan terpikat oleh pesona dari seorang Kaiden Louis. Saat pernikahan terjadi diantara Kaiden dan Devina.

Ada banyak wanita yang patah hati. Banyaknya pria sehebat dan setampan Kaiden. Malah menikah dengan Devina. Gadis yang tidak terlalu terkenal. Saat diusut. Mereka tidak bisa berbicara banyak. Devina Deborah adalah anak dari keturunan kaya. Apa lagi wajah yang juga cantik. Membuat mereka terpaksa bungkam. Menelan rasa tidak rela sendirian.

"Kenapa malah ragu?" tanya Kaiden dengan nada datar dan dingin.

"Aku akan setuju untuk menandatangani surat perceraian tanpa ribut. Namun sebelum itu, aku berharap kamu memberikan aku kesempatan lebih dahulu. Aku ingin merubah hatimu," jelas Devina pelan.

"Merubah hatiku?" balas Kaiden,"aku rasa tidak akan semudah itu."

"Ya, aku tahu. Tapi setidaknya aku ingin berjuang terlebih dahulu. Seandainya, aku tidak bisa merubah perasanmu. Kita akan bercerai dengan baik-baik," jawab Devina,"dengan begitu aku tidak akan memiliki penyesalan dalam hidupku," lanjut Devina pelan.

Kaiden terlihat diam beberapa saat. Seakan tengah menimbang-nimbang. Apakah harus ia berikan kesempatan untuk Devina. Memperjuangkan cinta? Hah. Rasanya sangat lucu.

"Kalau aku menolak?" sahut Kaiden.

"Aku akan membuat perceraian kita menjadi konsumsi publik."

"Hah? Kau berani?"

"Ya, aku berani."

"Kau tetap akan kalah."

Davina mengeleng."Tidak. Aku tidak akan kalah. Aku akan mengiring opini publik pada hal-hal yang akan sangat merugikan perusahaan dan keluarga besarmu!"

Kaiden keterkejutan. Bagaimana bisa Devina yang lemah lembut dan pendiam berkata seperti ini. Mengancam dirinya. Apakah ini adalah kulit asli gadis ini? Perempuan yang berbahaya.

"Kau tetap akan kalah. Saranku jangan mempermalukan dirimu!" tukas Kaiden dengan nada datar.

Devina menarik sisi bibirnya ke atas. Sebelum ia mengeluarkan ponsel yang sedari tadi di saku switer.

"Ini! Ini dan ini. Kamu tahu topik yang akan diangkat. Kaiden Louis berselingkuh dibelakang istrinya. Tajuk kedua, siapakah perempuan cantik itu. Arumi Kasandra. Dokter cantik yang menjadi selingkuhan Kaiden Louis!" Devina mengulirkan foto ke samping kanan.

Foto pertama makan malam ia dan Arumi. Foto kedua adalah biodata Arumi. Pupil mata Kaiden membesar. Devina menarik kembali ponselnya. Menyimpan ditempat semula.

"Bukankah ini sangat layak dikonsumsi publik? Jika kamu mau memberikan kesempatan untuk aku mencoba. Jika hatimu tidak berubah sekalipun. Kamu tidak akan dirugikan. Aku akan mundur teratur. Dan menghilang!" sambung Devina.

"Kau memata-mataiku?" Kaiden bertanya dengan kedua sisi rahang mengetat.

Devina tidak menjawab. Dia hanya diam. Kedua kelopak mata Kaiden tertutup perlahan. Sebelum terbuka.

"Tiga! Aku berikan waktu tiga bulan. Dalam waktu tiga bulan kau tidak bisa merubah hatiku. Kau harus menandatangani surat cerai. Dan keluar dari rumahku secepatnya!" putus Kaiden.

Devina mengangguk pelan. Ia setuju. Meskipun harus dalam waktu tiga bulan. Ia akan berusaha keras.

Bersambung.....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!