NovelToon NovelToon

Heavanna

01. SEBUAH FAKTA

"Dari awal juga nggak ada yang namanya kita, yang ada cuma gue sama dia. Dan lo itu cuma pengganggu di sini!"

Zianna Azkia Zielinski terpaku di bawah guyuran hujan. Matanya membelalak dengan sempurna, tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan perempuan cantik yang sedang menggandeng mesra cowok di hadapannya. Cowok yang sudah dua minggu ini menyandang status sebagai pacar Zia. Matanya yang bulat itu mulai tergenang. Bukan hanya karena air hujan yang membasahi tubuhnya, tapi juga karena air mata yang keluar tanpa seizin darinya.

Gadis berseragam sekolah dengan beberapa bagian tubuh yang terluka itu, menatap keduanya bergantian. Mencari sekelebat kebohongan yang barangkali muncul di wajah dua orang itu. Namun ternyata nihil, yang ada hanyalah tatapan penuh ejekan yang terlihat di wajah mereka. Tatapan penuh kejujuran yang menggambarkan begitu miris hidupnya saat ini.

Seperti tersambar petir di siang bolong, Zia hanya mampu menggelengkan kepala menepis luka di hatinya. Bibirnya bergetar, tidak hanya karena terpaan dingin air hujan, tapi juga karena rasa sakit di hati yang menghimpit rongga dadanya. Sakit! Gadis yang dulu menatap dirinya dengan penuh persahabatan, kini berubah seratus delapan puluh derajat. Penuh kebencian dan penuh ejekan.

"Jadi karena ini, lo nggak peduli sama gue yang hampir ketabrak mobil?" Tangan Zia mengepal, menatap cowok itu dengan penuh kecewa. Hati kecilnya masih berharap kalau semua ini hanyalah mimpi belaka.

Cowok bernama Danis Wijaya itu, hanya menatap dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kata apa. Zia terkekeh miris, menyadari tidak ada niatan sama sekali bibir cowok itu untuk menjawab.

Tidak pernah ia sangka sebelumnya, dalam waktu sekejap bisa membuatnya kehilangan dua orang yang cukup berarti dalam hidupnya. Sahabat karib dan cowok yang menjadi cinta pertamanya sejak dua tahun terakhir.

"Brengsek!" Satu kata itu keluar dengan mulus dari bibir Zia yang sejak dulu tidak pernah mengatakan kata kasar, meski semarah apapun dirinya.

Danis yang mendengarnya pun sontak terkejut, karena ini adalah kali pertama dirinya mendengar kalimat kasar dari bibir mungil Zia. Kobaran amarah terlihat membara di mata hazel itu. Mata yang biasanya memancarkan tatapan lembut untuknya dan untuk semua orang. Sebongkah rasa sesal kini menyeruak masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam, setelah menyia-nyiakan gadis cantik berhati lembut itu.

"Maaf Zi, aku nggak bermaksud—"

"NGGAK BERMAKSUD APA? LO SELINGKUH DI BELAKANG GUE, DAN LEBIH PARAHNYA LAGI, DENGAN SAHABAT GUE! OTAK LO DI MANA?"

Zia geram, menatap keduanya tidak percaya. Bahkan untuk bernafas saja rasanya begitu sulit, tapi mengapa kedua orang di hadapannya tetap memasang wajah tanpa berdosa sama sekali.

Terdengar gelak tawa penuh ejekan gadis cantik di samping Danis. Rexie Hasian, gadis bertubuh ideal dan berambut hitam pekat yang panjangnya hanya sebatas bahu. Awalnya memang terkejut mendengar ucapan kasar Zia, tapi sekarang itu tidak berarti apapun dalam kehidupannya.

Setelah satu minggu ini ia memperjuangkan persahabatan dan hubungan rahasianya dengan Danis agar tidak ketahuan, sudah dipastikan kali ini akan kehilangan salah satu di antaranya.

"Akhirnya keluar juga sifat asli lo! Pura-pura baik cuma buat menarik perhatian Kak Danis. Tapi sorry, Kak Danis lebih suka gue daripada cewek sok baik kayak lo!" Rexie menunjuk wajah Zia, dengan tatapan penuh kebencian. Entah kesalahan apa yang telah dibuat Zia, sehingga membuatnya begitu benci.

"Sahabat?" Rexie terkekeh ringan. "Sejak kapan lo anggap gue sebagai sahabat lo?" Tatapan Rexie mendadak berubah. Guratan kekecewaan terselip di antara kemarahan yang tampak di permukaan wajahnya.

Zia menepis tangan yang masih menunjuk tepat di depan wajahnya dengan kasar, lalu tergelak miris mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu. Ah tidak! Mungkin sekarang mereka bukanlah sepasang sahabat lagi, melainkan mantan sahabat.

"Dari semua sampah yang keluar dari mulut lo!" Zia menunjukkan wajah Rexie dengan penuh kegeraman, "Inilah yang paling menganggu!"

Kekecewaan yang mendalam mendorong Zia agar tidak menjadi gadis yang lemah. Jika tidak punya rasa kasihan, mungkin Zia sudah meremas kedua orang itu hingga menjadi serpihan debu di jalanan.

"Thanks! Dengan ini gue tahu! Lo dan lo," Zia menunjuk wajah Rexie lalu beralih menunjuk Danis, "itu cuma sampah yang harusnya gue buang sebelum jadi penyakit!"

Tidak tahan berlama-lama menahan sesak, Zia melenggang pergi meninggalkan jalanan sepi itu dengan hati yang terluka. Di bawah guyuran hujan, ia kembali meneteskan air mata penuh kekecewaan. Rasa sakit di kening, siku dan tangannya yang berdarah bahkan tidak ada apa-apanya, dibanding rasa sakit di hatinya.

"ZIA!" Danis hendak mengejar, ada sedikit rasa khawatir di hatinya ketika menyadari keadaan gadis itu. Namun terhenti saat sebuah tangan menahan pergerakannya, tangan cewek yang memang sudah menjadi pacar rahasianya selama satu minggu ini.

"Lo lebih milih dia daripada gue?" Pertanyaan dari Rexie membuat Danis terpaku di tempat, tidak tahu yang mana dari dua cewek itu yang sebenarnya disuka olehnya. Danis tidak ingin Zia pergi, tapi di sisi lain juga tidak ingin membuat Rexie marah.

Setelah lama menyusuri jalanan di bawah guyuran hujan, Zia yang tidak tahu akan ke mana memutuskan pergi ke hotel ternama milik perusahaan Daddy-nya. Zia tidak ingin pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup dan berantakan, karena itu hanya akan membuat seluruh penghuni rumah khawatir dengan keadaannya. Kehebohan pasti akan terjadi di rumah besar milik keluarganya, jika ia pulang dalam keadaan terluka fisik sekaligus batin.

Banyak pasang mata yang menatap aneh dirinya saat memesan kamar hotel, termasuk resepsionis di hadapannya kini. Mereka seolah ragu dengan Zia yang berpenampilan awut-awutan. Bahkan beberapa kali resepsionis di hadapannya itu berbisik satu sama lain. Zia yang tidak ingin berlama-lama mendapatkan cibiran para penghuni hotel, langsung mengeluarkan kartu as yang membuat semua orang kicep.

"Black card!" Kedua resepsionis itu terkejut bukan main, ketika melihat kartu yang Zia ambil dari tas sling bagnya.

Seolah habis terkena jumpscare, semua orang terdiam dengan mata membulat sempurna. Terdistraksi oleh kartu yang tidak sembarangan bisa dimiliki setiap orang, kecuali orang itu berada di kalangan atas. Resepsionis dengan cekatan menuruti permintaan Zia yang hendak memesan satu kamar hanya untuk semalam. Sementara orang-orang yang sempat mencibir tadi memilih pergi dengan rasa malunya, sebelum semakin bertambah malu lagi.

Zia masuk ke dalam lift menuju lantai kamarnya, setelah mendapatkan kunci akses dari resepsionis tanpa mau di antar oleh siapapun. Mau bagaimanapun juga, Zia sudah cukup tahu tata letak hotel ternama milik perusahaan Daddy-nya itu. Saat pintu lift terbuka, Zia berjalan menuju unit 431 dengan pikiran yang tidak karuan. Bayang-bayang kejadian menyakitkan tadi masih berseliweran di pikirannya, dan itu membuat Zia tidak bisa fokus.

Sampai di depan kamar yang dituju, Zia menempelkan kartu akses yang diberikan resepsionis tadi tanpa melihat angka yang tertera di atas. Tidak terdengar suara kunci pintu terbuka atau suara apapun. Namun Zia tidak merasa curiga, dan tetap masuk tanpa menyadari bahwa pintu tadi memang tidak tertutup dengan sempurna.

Dengan langkah gontai, Zia menuju ranjang berwarna putih yang tertata rapi tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menghela nafas panjang, lalu merebahkan diri dengan kaki yang masih menapak di lantai. Tidak peduli dengan tubuhnya yang masih basah, pandangannya menatap kosong langit-langit kamar berwarna putih itu.

"Why?" lirih Zia, dengan air mata yang kembali menetes.

Memori persahabatannya dengan Rexie dulu kembali berputar di kepalanya, ditambah kenangan pertemuan pertama dirinya dengan sosok laki-laki baik hati bernama Danis. Zia kecewa, tidak di sangka sahabat karib dan pacarnya menyembunyikan rahasia besar di belakangnya.

Meski hanya dalam satu minggu, tapi itu sangat menyakitkan untuknya yang sudah mencintai Danis selama sekitar dua tahun. Rexie mengetahuinya sejak dulu, tapi kenapa dengan tega ia bisa melakukan hal itu.

Sayup-sayup terdengar suara pintu terbuka. Zia yang sedang tiduran mulai terjaga dari lamunannya. Tubuhnya beranjak duduk dengan pandangan yang mengarah pada pintu kamar yang ternyata masih tertutup. Zia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa aneh karena tidak ada siapapun yang membuka pintu kamarnya.

Gebrakan keras memenuhi seantero kamar, disusul percikan air yang mengalir melalui keran. Zia menoleh ke arah sumber suara, pintu kamar mandi baru saja tertutup dengan suara yang cukup keras.

Seketika Zia terkejut melihat apa yang ada di hadapannya, matanya membulat sempurna dengan bulu kuduk yang mulai berdiri. Seluruh tubuhnya mendadak kaku, dengan mata membulat yang bahkan tidak bisa diajak berkedip sama sekali.

"AAAAAA... PAIT PAIT PAIT, HANTU!"

**********

Selamat datang di karya receh Author! 🤗

Jangan lupa Like, Favorit dan Komen ya pren! Feedback dari kalian sangat berarti bagi kami para Author agar lebih bersemangat lagi dalam berkarya. Like, Favorit dan Komen itu gratis lho! (Jangan ada yang bilang bayar pake kuota, karena Author update bab pun pake kuota)😅

...Sampai bertemu di cerita Heavanna selanjutnya 👋🏻...

Zianna Azkia Zielinski

Jika tidak suka, abaikan saja visualnya. Silahkan bayangkan saja sesuka hati kalian. ☺️

02. PENCURI KECIL

"AAAAAA... PAIT PAIT PAIT, HANTU!"

Zia memejamkan mata, dengan kedua tangan bergerak mengusir mahluk halus yang berada tidak jauh dari tempatnya berada. Sesosok hantu bertelanjang dada, dengan hanya memakai celana panjang berwarna hitam. Makhluk halus paling tampan yang pernah Zia lihat. Bertubuh tinggi atletis dengan perut membentuk kotak-kotak layaknya roti sobek. Tapi mau bagaimanapun, dia tetaplah makhluk halus yang harus segera Zia usir dari pikirannya.

Cowok yang sedang memakai bajunya itu terkejut mendengar pekikan seorang perempuan, hingga dengan cepat memakai kemeja putihnya, lalu melihat ke sumber suara. Terlihat seorang perempuan tengah menelungkup di atas ranjang, dengan mulut yang masih berteriak tidak jelas. Cowok itu jadi bingung sendiri dengan keadaan, mengapa bisa ada perempuan di dalam kamarnya.

"Berisik!" Cowok itu berjalan cepat, lalu menarik Zia yang sedang menelungkup di atas ranjang. Hingga gadis itu merasa seperti terbang dan mendarat di lantai dengan sangat apik.

"Akh ssshhh pantat gue!" Zia mengelus bokongnya yang baru saja mencium lantai berwarna putih itu. Tubuh yang awalnya sudah terasa nyeri, kini semakin bertambah nyeri saja.

"Lo bisa bahasa Indonesia?" Cowok itu menaikan satu alisnya heran, karena seingatnya saat ini sedang berada di Jerman, bukan di Indonesia. "SIAPA LO! NGAPAIN DI KAMAR GUE?"

Cowok itu membentak sambil menatap dengan tajam cewek aneh di hadapannya. Baju yang di pakainya sangat basah dan terlihat sangat berantakan. Terdapat beberapa luka yang masih baru di tubuh cewek itu, meski sisa darahnya sudah sedikit mengering. Rambutnya begitu kotor seperti tidak keramas selama satu tahun, wajahnya begitu pucat serta bibir yang sedikit membiru.

Zia mendongak terkejut, menatap cowok yang sempat dikira makhluk halus olehnya tadi, yang ternyata adalah manusia. Beberapa kali matanya mengerjap memastikan, bibirnya yang sedikit membiru membentuk huruf 'o' kecil. Barangkali cowok itu akan menghilangkan sekejap dalam beberapa detik ke depan, namun ternyata nihil. Yang ada cowok itu malah semakin menatap tajam dirinya.

"Gue tanya sekali lagi, lo siapa? Ngapain di kamar gue?" Cowok itu bertanya sembari mendekat, memastikan kembali seperti apa wajah cewek aneh itu.

"Gu-gue...," Zia yang bingung harus mengatakan apa langsung menatap kembali cowok itu, "harusnya gue yang nanya, siapa lo? Ngapain di kamar gue?"

Pertanyaan tersebut sontak membuat cowok itu memicingkan mata, berbagai prasangka tentang cewek itu kini saling berseteru di dalam pikirannya. Mungkin saja cewek itu menyelinap masuk hanya untuk mendekati dirinya, seperti para perempuan yang ditemuinya selama ini. Namun secercah keraguan mulai muncul, ketika menyadari cewek berwajah pucat yang ada di hadapannya kini belum pernah sekalipun ia temui sebelumnya.

"Kamar lo?" Cowok itu menatap aneh, "Cewek gila, ini kamar gue!" ucapnya.

Zia menatap dengan wajah terkejut, menyadari bahwa sepertinya ia telah salah memasuki kamar. Sebuah kejujuran yang terlihat jelas di wajah cowok itu membuat Zia kebingungan sendiri. Ah kegalauan ini membuatnya tidak bisa fokus hingga salah memasuki kamar. Zia mulai mengambil ancang-ancang dalam diam, sepertinya kabur adalah cara yang cukup efektif agar terlepas dari cowok itu.

"Mau ke mana lo?" Melihatnya yang hendak kabur, cowok itu memegang kerah belakang baju Zia yang masih basah. Dan dalam sekejap gadis itu sudah berdiri dengan kerah yang masih pegang, layaknya seekor kucing yang dipegangi bagian tengkuknya. "Lo mau nyuri kan, ngaku nggak lo?" tuduhnya.

"Lepasin! Gue nggak nyuri!" Zia memberontak minta dilepaskan, namun tidak semudah itu laki-laki berambut hitam itu mau melepaskannya.

"Halah alasan, terus ngapain lo masuk ke kamar gue?" tanya cowok itu sedikit mendesak.

"Lo udah bikin kamar gue banjir kayak gini, terus dengan seenak jidat lo mau pergi gitu aja. Enak banget ya lo!" Cowok itu menunjuk lantai yang basah karena tetesan air yang ada di baju Zia, beralih menunjuk ranjang yang terdapat rembesan air hingga membuatnya terlihat sedikit kucel.

"Gue nggak sengaja, gue pikir ini kamar yang gue pesan tadi." Zia buru buru merogoh ke dalam tasnya, mencari benda kotak pipih berwarna hitam yang menjadi aksesnya masuk ke dalam kamar tadi.

"Terus lo pikir gue bakal percaya?" Cowok itu segera menghentikan tangan Zia, berbagai kecurigaan mulai berdatangan membuatnya harus lebih waspada. Bisa saja cewek yang tidak dikenalnya itu datang untuk melukai dirinya, dan di dalam tas itu tersimpan benda berbahaya.

"Gu-gue nggak bohong!" Zia menjawab dengan air muka yang memperlihatkan ketakutan, terbesit di pikirannya tentang semua yang tidak tidak mengenai cowok itu. Karena bisa saja cowok itu hendak berniat jahat padanya karena kesalahpahaman ini.

Terdengar dering benda pipih di dalam jaket hitam yang teronggok di lantai, di samping meja tepat di depan mereka berdua. Nada dering yang sangat standar tanpa embel-embel apa-apa. Cowok itu mengambil ponselnya, lalu dengan cepat mengangkat panggilan telepon tersebut tanpa mau melepaskan Zia sedikitpun.

"Halo Pah!" Cowok itu terdiam beberapa saat, mendengarkan apa yang dikatakan seseorang di seberang telepon. Sebelum akhirnya mengatakan, "Oke!" Ia memutuskan panggilan lalu memasukan ponsel ke dalam saku celananya, dan kembali menatap pada Zia.

"Apa?" tanya Zia yang bingung melihat tatapan aneh itu.

"Ikut gue! Lo harus tanggung jawab sama perbuatan lo!" Cowok itu menyeret Zia keluar dari kamar hotel, tanpa memedulikan berontakkan darinya.

*********

"Lo mau bawa gue ke mana?"

Zia terus berjalan mengikuti laki-laki yang masih memegangi kerah bajunya, dengan beberapa kali berontakkan. Entah akan dibawa ke mana dirinya saat ini, Zia hanya perlu sedikit waspada. Barang kali laki-laki yang sejak tadi hanya diam saja itu hendak berniat jahat padanya. Sampai pada akhirnya, langkahnya berhenti di restoran yang disediakan hotel untuk para pelanggannya.

Mata Zia membelalak setengah terkejut, tubuhnya seketika mematung di hadapan dua pria paruh baya yang sedang duduk di depannya. Salah satu pria yang memasang wajah datar kala melihat dirinya itu adalah seseorang yang sedang ingin dihindarinya saat ini, siapa lagi kalau bukan Daddy-nya. Pengusaha ternama Zion Leonard Zielinski. Keadaan dirinya sedang sangat berantakan, pasti setelah ini Daddy Zion akan mencecar dirinya dengan berbagai pertanyaan.

"Darimana saja kamu? Kenapa lama sekali?" Austin Galvander, pria yang duduk di hadapan Zion bertanya pada putranya yang datang bersama seorang gadis yang terkesan sangat... aneh.

"Siapa gadis ini, Heaven?" Austin bertanya dengan nada aneh, pasalnya anak semata wayangnya ini jarang sekali terlihat bersama seorang perempuan.

"Pencuri!"

Ucapan laki-laki bernama Heaven itu berhasil membuat Zion terkejut, mana mungkin gadis kumal yang tidak lain adalah putrinya itu seorang pencuri. Zion yang notabenenya orang paling kaya sangat tidak terima mendengar ucapannya. Jika tidak sedang merahasiakan identitas putrinya, mungkin sekarang Zion sudah membela mati-matian Zia yang sedang di tuduh sembarangan oleh putra rekan bisnisnya itu.

"Bukan, saya bukan pencuri!" ujar Zia membela diri dengan mata membulat serta dahi mengernyit.

"Mana ada pencuri yang mau ngaku!" Heaven menatap tajam gadis di sampingnya yang terlalu banyak mengelak.

"Buat apa gue nyuri, duit gue banyak!" Sombong Zia sembari melipat kedua tangannya.

"Sudah sudah, kenapa jadi ribut?" tegur Austin kemudian beralih menatap rekan bisnisnya, "Maafkan saya atas keributan ini Tuan Zion!" ucapnya.

Zion yang sedang menatap datar putrinya, kini beralih menatap rekan bisnis sekaligus sahabat yang cukup dekat dengannya sejak dulu. "Tidak masalah!" jawabnya.

Austin membuka berkas yang terletak di meja, lalu memberikan pada rekan bisnisnya. Sepintas ia mengingat sesuatu, lalu menatap pada putranya sembari menengadahkan tangan. Semalam beberapa data ia kirimkan ke ponsel milik Heaven, karena ponsel miliknya tertinggal di mansion yang berada di Indonesia.

Melihat Heaven yang memasang wajah tidak mengerti, Austin kembali membuka suaranya. "Hp kamu!"

Paham dengan yang dimaksud Papa-nya, Heaven merogoh saku di mana ia meletakkan ponsel sebelumnya. Nampak guratan kebingungan di wajah itu, setelah menyadari tangannya tidak menyentuh benda apapun di dalam saku miliknya. "Ke mana hp gue?" gumamnya.

Tanpa sadar Heaven sudah melepaskan cengkeramannya pada kerah Zia. Kedua tangannya tengah sibuk merogoh semua saku yang menempel di tubuhnya. Namun nihil, ternyata tidak ada benda apapun apapun di dalam sana kecuali uang pecahan seribu rupiah.

"Lo nyari ini?" Zia menunjukkan benda persegi panjang pipih berwarna hitam putih di tangannya, senyum penuh kelicikan terbit di bibirnya. Sebelum sampai di restoran, Zia memang sempat mengambil ponsel itu secara diam-diam. Bukan untuk mencuri, melainkan untuk menggunakannya sebagai alat agar dirinya bisa lepas dari cowok itu.

Heaven menoleh mendengar ucapan cewek di sampingnya, nampak terkejut ketika melihat ponsel miliknya sudah berada di tangan cewek aneh itu. Berbagai macam spekulasi saling berputar di pikirannya, bagaimana bisa gadis itu mengambil ponsel tanpa sepengetahuan dirinya. Sepertinya dugaan tadi memang ada benarnya, gadis itu adalah seorang pencuri kecil.

"Ambil aja!" Zia melempar ponsel hingga melambung tinggi hampir mengenai langit-langit di dalam ruangan itu, membuat tiga pria itu terkejut melihat apa yang dilakukannya. Tiga pasang mata milik para pria itu menatap ponsel yang kian melambung ke atas.

"Sial!" Heaven mundur beberapa langkah agar bisa menangkap ponselnya yang masih terbang bebas di udara, jika tidak ada yang penting di dalam ponsel itu mungkin ia akan membiarkannya jatuh. Guratan penuh kekesalan tercetak jelas di wajahnya ketika berhasil menangkap ponsel dengan selamat, namun ternyata cewek yang belum diketahui namanya itu sudah kabur entah kemana.

Awas aja lo, kalau sampai kita ketemu lagi! -gumam Heaven dalam hati sembari menatap tajam ke arah pintu keluar.

*********

Heaven Arsenio Galvander

03. SEKOLAH BARU

Seorang gadis cantik tengah menatap foto berukuran A8 di tangannya, rasa kesal, sesak, sakit, kecewa dan marah kembali terselip di benaknya. Foto dua orang perempuan dan satu orang laki-laki yang tengah tersenyum bahagia itu telah membuatnya kembali menitikkan air mata. Dirinya terlihat bahagia di dalam foto itu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakangnya.

Sahabat yang begitu dipercaya telah mengkhianati dirinya bersama cinta pertamanya, dan itu menoreh luka yang sangat dalam di hatinya. Gadis itu kecewa. Untuk pertama kali dirinya mengerti kata cinta, namun langsung di patahkan oleh kenyataan yang begitu menyakitkan.

Dengan kasar ia merobek foto itu hingga menjadi beberapa kepingan kecil, lalu melemparkannya asal hingga semua berjatuhan di atas ranjang berwarna biru muda itu. Gadis itu menyingkap selimut bermotif bunga yang menutupi sebagian kakinya, hingga foto itu kembali berterbangan lalu mendarat dengan apik di lantai kamarnya. Bahkan menurutnya foto penuh kenangan itu sangat tidak pantas mengotori ranjang miliknya.

Gadis itu terbaring setelah menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh, lampu kamar yang temaram seolah mendukung suasana hatinya. Hanya sebuah boneka beruang besar berwarna coklat yang kini menjadi temannya di kamar luas ber AC itu, memeluknya dengan sangat erat mencari sedikit kehangatan. Hingga suara ketukan pintu menyadarkannya dari kesepian yang yang melanda relung hati.

"ZIANNA SAYANG!"

Zia beranjak duduk saat mendengar namanya di panggil oleh seseorang yang sangat di kenalnya, tangannya bergerak mengusap sisa air mata lalu mencoba bersikap senormal mungkin. Di atas nakas ia mengambil remote kecil, lalu dengan seketika semua lampu kamar menyala dengan terang saat jempol tangannya menekan tombol power.

"Masuk aja Dad, nggak dikunci kok!" teriak Zia tanpa mau beranjak dari tempat tidurnya.

Tanpa menunggu lama pintu langsung terbuka, memperlihatkan seorang pria yang masih sangat tampan dan tegas di usianya yang sudah memasuki hampir kepala lima. Pria itu tersenyum tipis sambil mendekat ke arah putrinya, Zianna. Sedangkan Zia? dia hanya menunduk diam saat Daddy Zion duduk tepat di hadapannya.

"Dad mau bicara sama kamu!" Zia mendongak saat tangan Daddy mengelus puncak kepalanya meski hanya sesaat.

"Dad, Anna cuma pengen sekolah di sana aja, Anna janji kok Anna bakal jaga diri!" Zia menatap Daddy dengan tatapan memohon.

Sudah untuk ke empat kalinya sejak kejadian satu bulan yang lalu, Zia meminta untuk pindah sekolah ke Indonesia. Namun Daddy Zion belum juga mengizinkan dirinya untuk kembali ke negara asalnya. Zia ingin pindah sekolah dengan alasan ingin bersekolah di negara tempat kelahirannya, padahal bukan itu alasan utama yang membuatnya ingin segera pindah sekolah.

Sejenak Zion terdiam menatap lekat putrinya. "Baiklah!" Ia menjeda apa yang ingin di ucapkan, "kamu boleh sekolah di Indonesia, tapi ada syaratnya!"

Seketika Zianna menatap dengan binaran antusias, akhirnya hal yang di tunggu datang juga. "Apa syaratnya Dad? Anna mau!" Senyum lebar mengembang di bibir manisnya.

"Kamu tidak boleh menunjukkan identitas mu dan tidak boleh tinggal di mansion!" Seketika senyum lebar Zia meredup, berganti dengan kerutan di dahi tanda tidak mengerti.

"Kalau aku tidak boleh tinggal di mansion lalu aku akan tinggal di mana?" Zia tidak masalah jika harus merahasiakan identitasnya, lagi pula itulah yang selalu ia lakukan setiap hari di sekolah selama ini.

"Kamu akan tinggal bersama Paman Max, asisten Daddy di sana! Kamu masih ingat 'kan?" ujar Zion bertanya.

Zia menunjukkan senyum yang memperlihatkan sedikit giginya yang rapi, mengangguk antusias hingga menggoyangkan rambut panjang yang menutupi punggungnya. "Inget lah, berarti Anna tinggal sama Tante Viara!" ucapnya dengan senang.

"Dad juga yang akan mengurus perpindahan sekolah kamu!"

Zion menatap dengan berat, sangat sulit baginya mengizinkan putri kesayangannya itu untuk menetap berjauhan darinya. Namun tidak ada pilihan lain, Zion sebenarnya tahu apa yang membuat Zia rela melakukan semua ini.

"Di SMA mana?" Gadis cantik berambut cokelat itu kini memegang tangan sang Daddy, seolah menegaskan bahwa dirinya tidak apa-apa jika berjauhan dengan keluarga.

"Kamu akan satu sekolah bersama sepupumu, Handa!" Keputusan dari Zion membuat Zia membulatkan matanya seketika.

"Nggak Dad, Anna nggak mau sekolah di sana!" Zia menolak dengan cepat lalu menunduk menunjukkan ketidaksukaan.

Bukan sepupunya yang membuat Zia tidak mau, tapi para siswa di sekolah itu yang membuatnya enggan menimba ilmu di sana, semua muridnya resek setahunya. Setelah memutuskan untuk pindah sekolah, ia memang sempat menjelajah ke beberapa sekolah terbaik yang akan menjadi pilihannya. SMA Galaxy, tempat di mana sepupunya bersekolah itu tidak termasuk dalam daftar pilihannya.

"Kenapa? Setidaknya di sana kamu punya kenalan sayang! Bukan cuma Handa, di sana juga ada Kenzo!" ujar Zion. Pria itu hanya khawatir putrinya tidak nyaman jika di sekolah lain, menurutnya Zia akan lebih nyaman jika bersama kedua sepupunya.

"Nggak Dad, di tempat lain aja ya!" Zia memohon dengan puppy eyesnya. Zia tidak masalah kalau hanya ada Handa, yang jadi masalah adalah keberadaan Kenzo di sana. Hubungannya dengan Kenzo selama beberapa tahun ini sangat tidak baik-baik saja, Zia pun tidak tahu apa yang membuat Kenzo sangat membenci dirinya.

Zion terdiam sembari menatap lekat wajah putrinya, berpikir sejenak mempertimbangkan keinginannya. "Tidak, kamu hanya boleh sekolah di sana! Kalau mau, kamu pindah. Kalau kamu nggak mau, berarti nggak usah pindah!"

Zia terdiam memikirkan keputusan Daddy nya yang tidak bisa di ganggu gugat itu. Tentu saja ia kecewa, tapi mau bagaimana lagi, dari pada tetap berada di sini lebih baik ia pindah saja ke sekolah itu. Lagipula tidak ada buruknya juga kalau pindah ke sekolah itu.

Jika berlama-lama di sini, Zia takut hanya akan membuat musuh dari keluarganya mengetahui identitas seluruh keluarganya. Setelah putus hubungan dirinya dengan Rexie dan Danis, Zia mulai menyadari ada sesuatu yang mencurigakan. Identitasnya kembali di ketahui oleh musuh yang ingin menghancurkan keluarganya, melindungi kedua adik laki-lakinya adalah tujuan utamanya saat ini.

Zia berharap dengan kepindahannya ke Indonesia bisa mengecoh musuh keluarganya yang memang sudah terlanjur mengetahui dirinya, karena penculikan yang terjadi padanya dua belas tahun silam. Dengan kepindahannya maka kedua adiknya akan baik-baik saja, dan penculik itu hanya akan mengetahui bahwa hanya Zia anak satu-satunya Zion dan Shina.

*****

Lima hari berlalu sejak keputusan Zion tentang kepindahannya, kini Zia sudah tinggal di rumah Paman Max. Zion sudah kembali ke Jerman setelah mengantarkan Zia sampai ke rumah Max dengan selamat dua hari yang lalu, menggunakan jet pribadi miliknya.

Hari ini adalah hari pertama Zia masuk ke sekolah barunya, setelah dua hari menghabiskan waktu hanya dengan berdiam diri di rumah. Di dalam kamar luas bernuansa biru muda dan putih itu, Zia sedang merapikan diri menggunakan seragam sekolah baru miliknya.

Tok... Tok... Tok...

"Nona, sudah siang waktunya sekolah!" pekik Viara dengan tangan yang masih mengetuk pintu.

Tidak berselang lama pintu kamar terbuka, menampilkan seorang gadis berkuncir satu yang terlihat sangat cantik dan rapi dengan seragam sekolah barunya. Viara menyambut dengan tersenyum, yang dibalas dengan senyuman yang serupa oleh Zia.

"Tante kira kamu belum bangun. Maaf ya, Tante lupa bangunin kamu tadi!" Viara bernafas lega, untung saja Nona nya itu gadis yang rajin dan sudah mandiri sejak sejak kecil.

"Nggak papa kok Tante!" Zia tersenyum manis, lagipula untuk apa dibangunkan. Gadis itu sudah cukup dewasa untuk menyiapkan semuanya sendiri, walaupun beberapa kali Zia kerap menunjukkan sifat kekanak-kanakan nya. Mau bagaimana pun Zia masih berusia tujuh belas tahun, sifat labil dan manja sering kali mendominasi padanya.

"Ya sudah ayo sarapan dulu!" Viara mengajak Zia menuju ruang makan, sebelum waktu semakin siang.

Zia menahan Viara yang sedang berjalan menggandeng dirinya menuju ruang makan. Ada sesuatu yang ingin di bicarakan gadis itu pada Tantenya. "Tante, boleh nggak jangan panggil Zia pake Nona lagi, Zia nggak suka. Zia pengennya Tante panggilnya nama aja!" pintanya.

"Ya udah kalau itu mau kamu, Tante coba nanti!" Zia langsung tersenyum senang saat Tante Viara menyetujui permintaannya.

Bagi Viara itu termasuk permintaan yang cukup sulit, mau bagaimana pun Zia adalah putri dari mantan majikannya dulu. Sekarang pun Zia masih menjadi putri dari pemilik perusahaan tempat suaminya bekerja, tapi Viara akan tetap mencobanya nanti.

"Tante, Zia titip Jaka ya. Belum Zia kasih makan soalnya!" pinta Zia. Jaka adalah nama kucing kecil yang baru Zia adopsi kemarin, kucing yang di ambil dari mansion Zielinski.

"Iya tenang aja!" ujar Viara menyanggupi.

Mereka berdua langsung menuju ruang makan untuk segera mulai menyantap sarapan pagi. Mereka memulai sarapan tanpa adanya obrolan karena waktu sudah semakin siang, tidak mungkin kan Zia harus terlambat ke sekolah hanya karena kelamaan sarapan.

Selesai sarapan Zia, Paman Max dan putranya -Bian Xavierre, berpamitan pada Viara. Max mengantarkan Bian ke sekolahnya lebih dulu, karena jarak ke sekolah putranya itu lebih dekat dari sekolah Zia. Setelahnya giliran Max mengantar Zia, beruntung jalanan di pagi hari ini belum terlampau macet. Dengan begitu Zia bisa sampai di sekolah tepat pada waktunya.

Dan di sinilah Zia berada, menatap gedung sekolah baru yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu. Banyak murid yang terlihat berjalan memasuki area sekolah yang cukup elite itu. Zia hanya terdiam di tempat, rasanya sedikit gugup untuk keluar dari mobil sekarang.

"Nona?" Max menepuk pundak Zia, mencoba menyadarkannya dari lamunan.

"Eh iya Paman!" Zia tersadar, sudah cukup lama ia hanya memandang para siswa dan siswi yang masuk melewati gerbang.

"Maaf Nona, saya tidak bisa mengantar sampai ke dalam, karena...."

"Nggak papa Paman, Zia bisa sendiri kok!" Zia menyela sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan terburu-buru. "Paman, mulai sekarang panggilnya Zia aja ya! Zia nggak suka di panggil Nona. Ya udah Zia masuk dulu!"

"Nona, nanti cari Bu Mega ya!" ucap Max dengan suara meninggi agar Zia dapat mendengarnya.

Zia hanya mengacungkan jempolnya sambil berlari memasuki area sekolah, karena sebentar lagi gerbang akan di tutup. Max yang melihatnya hanya menggeleng sambil tersenyum tipis, kemudian melajukan kembali mobilnya menuju perusahaan.

Zia berjalan menyusuri koridor dengan mata yang menelisik ruangan demi ruangan, tidak ada siapapun di sana, sepertinya para siswa sedang melakukan upacara bendera saat ini. Gadis itu sedang mencari di mana letak ruang guru berada, tidak ada seorang pun yang bisa ditanyai saat ini.

Seorang laki-laki tengah berlari terburu-buru jauh di depan Zia, ada beberapa siswa juga di belakangnya. Karena terlalu fokus mencari ruang guru, gadis itu sampai tidak menyadarinya. Ia terus berjalan dengan mata yang melihat ke arah yang berbeda. Begitu juga dengan lelaki itu, entah apa yang membuatnya berlari seperti dikejar anjing di pagi hari.

Brukk

"Aduh...!"

Zia terpental dan mendarat dengan apik di lantai, hari yang sangat sial untuknya. Baru pertama masuk saja harus mengalami hal seperti ini, Zia mengaduh kesakitan. Berbeda dengan Zia, cowok yang tidak sengaja menabraknya tadi justru masih berdiri di tempatnya. Sepertinya tubuh Zia tidak mampu menggoyahkan kekokohan tubuhnya.

Cowok itu mengulurkan tangan, setidaknya ia cukup tahu diri bahwa itu adalah kesalahannya. Tanpa memikirkan siapa cowok itu Zia langsung menerimanya, berdiri lalu membersihkan dan merapikan kembali bajunya yang sedikit berantakan.

"Darah!" Zia terkejut melihat darah yang keluar di tangan cowok itu, "Maaf gue nggak sengaja!" Zia berpikir bahwa dirinya yang telah menabrak cowok itu tadi, salahnya juga tidak menatap ke depan dengan benar.

Melihat ada luka kecil di tangan cowok itu membuat Zia merasa sedikit bersalah, gadis itu langsung mencari plester di dalam tas. Setelah ketemu Zia mengambil tangan itu tanpa persetujuan dari sang pemilik. Tangan mungilnya mulai membalut luka itu perlahan, mengira tangan itu terluka karena tabrakan yang cukup dramatis tadi.

Cowok itu hanya diam saja membiarkan apa yang sedang dilakukan gadis itu, ini pertama kalinya seorang perempuan berani menyentuhnya. Selain keluarga tentunya. Entah apa yang di pikirkan olehnya, cowok itu hanya fokus menatap wajah yang sedang serius membalut luka kecil di tangannya itu. Seringai kecil terukir di bibirnya yang sedikit tebal, gadis pencuri yang satu bulan lalu berhasil mengelabui dirinya kini berada di hadapannya.

"Lo nggak papa 'kan? Sorry, gue nggak sengaja!" Tidak ada jawaban dari cowok itu, Zia mendongak untuk melihat seperti apa wajahnya.

Gadis itu tercengang seketika, cowok itu membuatnya tidak bisa berkata-kata. Pakaiannya sedikit kotor dan dibiarkan keluar, dua kancing baju bagian atas terlepas memperlihatkan kaos hitam di dalamnya. Tidak lupa rambut yang cukup acakan dan sudut bibirnya ada sedikit darah yang sudah mengering. Lebam, sangat berantakan. Tapi, Zia akui cowok itu masih terlihat tampan meski dalam kondisi seperti itu.

"Lo nggak papa Heav?" tanya seorang cowok yang baru datang bersama yang lainnya.

Glek

Zia meremas ujung roknya, semua cowok itu menatap dengan bingung, penasaran serta kagum pada dirinya. Zia jadi merasa risih sendiri ditatap seperti itu oleh mereka, di tambah dengan cowok yang sejak tadi hanya diam saja di hadapannya. Cowok yang sama yang ditemuinya di hotel waktu itu, kini tengah menyeringai menatap dirinya.

"Maaf gue nggak sengaja nabrak dia tadi!" Zia buru-buru pergi dari hadapan mereka, jujur saja ia sedikit takut. Karena mereka semuanya berpenampilan sama. Aneh, banyak lebam dan sangat berantakan.

"Aneh banget tuh cewek, lo yang nabrak kenapa jadi dia yang minta maaf!" ucap salah satu cowok bernametag Agam Maverick.

Pandangan mereka masih tertuju pada punggung gadis yang semakin lama semakin menjauh. Wajah cewek itu terlihat asing, mereka menduga akan ada murid baru di sekolah.

"Muka lo serem kayaknya Heav, makanya dia langsung minta maaf gitu!" Agam tergelak mengejek.

"Ketawa sekali lagi gue tenggelamin lo ke laut merah!" balas cowok yang merasa ditertawakan, Heaven. Seketika Agam langsung menghentikan tawanya, berganti dengan cengiran bodoh.

"Tapi dia cantik tau, kayaknya ada anak baru deh. Udah cantik pake banget lagi, lumayan nih!" Nanda menyahut dengan senyuman penuh misteri, jiwa playboy nya meronta melihat kecantikan Zia.

"Lo tuh ya, cewek udah bertebaran juga masih aja ngoleksi. Emang dasar playboy cap ketombe! Buat yang jomblo dulu napa!" Agam menyahut sambil menunjuk cowok lain yang masih belum memiliki pasangan di antara mereka.

"Bilang aja lo yang mau, nggak usah bawa bawa yang lain! Muna!" Nanda mendengus melihat Agam yang memasang wajah menyebalkan sedang menaik turunkan alisnya sambil tersenyum jenaka.

"Siapa Muna? Cewek baru lo?" tanya Agam tidak tahu. Ah tidak, lebih tepatnya pura-pura tidak tahu.

"Munafik kocak!" kesal Nanda.

Heaven menatap plester yang menempel di tangannya, plester berwarna biru dengan beberapa gambar potongan kue di dalamnya. Senyum tipis tercetak di bibirnya, tidak biasanya ia tersenyum hanya karena mendapatkan sebuah plester. Untung saja temannya yang lain tidak terlalu memperhatikan raut wajahnya saat ini, bisa bisa dirinya dijadikan bahan bulan-bulanan kalau sampai ketahuan.

*********

Jangan lupa tinggalkan jejak ya, biar akunya lebih semangat lagi. 😍

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!