"Sayang." Papi dan Mami Alena memeluk anak gadisnya yang baru saja mendarat di bandara. Alena mau tidak mau harus pulang kerena sang Nenek yang merawatnya selama ini sudah meninggal sekitar 2 Minggu yang lalu. Alena tidak pulang bersama kedua orang tuanya karena masih ingin disana. Sejak umur lima tahun Alena ikut Nenek karena kedua orangtuanya sibuk bekerja mengurusi bisnis mereka masing masing. Papinya seorang CEO dari perusahaan terkemuka dan Maminya seorang perancang busana sekaligus perhiasan terkenal dan dokter kecantikan juga. Pekerjaan kedua orang tuanya membuat Alena di rawat pengasuh di rumah. Neneknya yang tinggal sendiri disana berinisiatif membawa Alena dan merawatnya. Alena sangat menyayangi sang Nenek karena wanita tua itu selalu ada untuknya. Merawat dengan penuh kasih sayang. "Ayo pulang." Gadis itu dengan santainya masuk mobil setelah sepasang suami istri itu melepaskan pelukan mereka.
"Mana kamarku?" Kata Alena setelah mereka sampai di rumah.
"Ayo." Papi dan Mami bersemangat menggandeng tangan anak gadisnya untuk menunjukkan kamar yang berada di lantai dua.
"Ini. Sesuai permintaan kamu kan sayang?"
"Hm." Jawab Alena setelah mengamati semuanya.
"Aku mau istirahat." Kodenya untuk mengusir dua orang itu.
"Tidak makan dulu? Mami masak enak lo."
"Capek."
"Baiklah. Kamu istirahat. Kalo butuh sesuatu panggil kita atau para pelayan ya."
"Hm."
"Selamat istirahat sayang." Mereka meninggalkan kecupan pada pipi Alena sebelum pergi. Gadis itu bergegas mandi setelah kedua orangtuanya keluar dari kamar.
Selesai dengan kegiatan mandinya, Ia kemudian mengeluarkan roti dan soda dari kopernya. Alena makan dengan lahap sambil menonton TV.
Arga merupakan guru paling tampan di Rosadi Internasional high school. Pria jomblo itu masih berkutat dengan laptopnya. Ia sangat bersyukur bisa bekerja di sini. Karena ini sekolah unggulan, seleksi untuk guru agar bisa mengajar di sekolah ini sangat ketat. Untungnya Arga bisa melewati itu semua. Arga hidup sebatang kara. Orangtuanya sudah meninggal dan Kakaknya menyusul sekitar satu tahun yang lalu karena kecelakaan bersama istri dan anaknya yang berusia 7 tahun. Kakaknya meninggalkan seorang anak tampan berusia 1 tahun yang kini memanggilnya dengan sebutan Ayah. Bagi yang tidak tahu Arga di mata orang adalah duda dengan satu anak. Padahal itu hanya keponakannya yang sudah Ia anggap sebagai anak sendiri. Arga tinggal di kompleks perumahan elit dan mempunyai beberapa bisnis restoran yang cukup terkenal. Ia juga membuka bisnis tanaman hias yang baru buka minggu lalu. Pria itu begitu tekun dan ulet hingga membuatnya sukses seperti sekarang.
"Pak Arga belum selesai?"Sapa seorang guru muda yang sudah mengaguminya semenjak Arga bekerja disini.
"Belum Bu Devi."
"Ini ada berkas murid baru di kelas bapak."
"Baik saya akan cek."
"Saya permisi Pak."
"Iya Bu. Terimakasih."
"Sama sama."
Arga membuka amplop coklat itu. Ia membaca lembar pertama sambil mengamati foto gadis cantik itu.
"Alena Adlyn Rosadi."
"Cantik." Gumamnya sambil tersenyum.
"Ayah." Teriak Dave ketika Arga memasuki rumah.
"Dave" Arga menggendong bocah tiga tahun itu. Ketika bekerja ada suster yang merawat David di rumah. Suster itu sudah bekerja semenjak Dave masih berusia 2 bulan. Jadi Arga tenang saat meninggalkan David untuk bekerja.
"Wangi. Dave sudah mandi ya?" Arga menciumi pipi Dave yang menggemaskan.
"Sudah Ayah. Dave dimandikan Mbok Nem."
"Aden sudah pulang. Bibi sudah siapkan makan untuk Aden." Wanita paruh baya itu menghampiri Arga dan Dave.
"Arga mau mandi dulu Bi, terus sholat. Bibi jagain Dave ya."
"Baik Den."
"Dave sama Mbok Nem dulu ya. Ayah mau mandi sama sholat."
"Iya Yah." Jawab Dave patuh.
Mami dan Papi bolak balik ke kamar Alena namun gadis itu belum bangun juga.
"Sayang. Makan dulu." Panggil Mami.
"Masih ngantuk. Kalian aja." Jawabnya.
"Baiklah. Besok kamu sudah mulai sekolah ya. Di sekolah Papi kamu akan di perlakukan sama dengan murid yang lainnya. Identitas kamu juga dilindungi sesuai dengan keinginan kamu. Tapi untuk berangkat sekolah kamu diantar supir ya?"
"Em...kita udah bahas ini. Aku nggak mau pake supir."
"Yasudah. Papi sama Mami keluar dulu."
"Ya." Jawab Alena meneruskan tidurnya.
"Ayah. Kapan Dave punya Bunda?" Kata anak itu polos. Arga hanya tersenyum menanggapinya. Umurnya sudah matang, namun belum menikah juga. Banyak teman yang menanyakan sebab Arga masih betah sendiri sampai sekarang. Padahal temannya sudah menikah dan punya anak. Ia hanya bisa tersenyum dan mencari alasan yang tepat.
"Memangnya Dave mau Bunda yang seperti apa?" Arga malah balik bertanya.
"Yang buat Dave nyaman."
"Baiklah. Nanti Ayah carikan Bunda untuk Dave."
"Terimakasih Ayah."
"Sama sama." Arga melanjutkan menyuapi Dave.
Arga tidak bisa tidur memikirkan foto yang tadi siang Ia lihat. Anak dari keluarga Rosadi begitu cantik. Hingga sulit bagi Arga untuk melupakannya. Hanya sekedar foto, tapi entah kenapa sangat membekas. Arga meraih ponselnya dan membuka foto gadis berseragam itu.
"Besok kita bertemu." Gumamnya sambil memperhatikan foto Alena.
Di tengah malam Alena mengobrak abrik isi kulkas. Hanya ada buah, susu dan makanan sehat lainnya.
"Tidak ada yang enak." Katanya sambil meneguk air putih.
"Sayang kamu bangun?"
"Ya."
"Mau makan. Mami siapin."
"Boleh."
Alena menunggu Maminya yang sedang menyiapkan makan.
"Selamat makan. Mami suapi ya." Kata Wanita itu sambil menyajikan banyak makanan di atas meja.
"Nggak usah. Aku bisa sendiri."
Alena makan dengan lahap karena benar benar lapar.
"Makannya pelan pelan saja Sayang." Mami mengelus lembut kepala putrinya.
Bibi mondar mandir keluar masuk kamar Alena sedari tadi. Gadis itu begitu sulit untuk dibangunkan, padahal ini hari pertamanya bersekolah.
"Non. Bangun Non. Nanti Non telat ke sekolah."
"Iya." Akhirnya Alena bangun juga. Ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Selesai dengan kegiatan mandinya Alena langsung memakai seragam yang sudah di sediakan. Ia memilih sepatu dan tas ransel dengan warna yang senada. Serba hitam putih seperti hidupnya. Apalagi di tambah kepergian Sang Nenek yang mendadak membuat Alena begitu sedih dan terpukul. Butuh waktu dan banyak kesibukan untuk membuatnya bangkit dari suasana berduka. Ia menghabiskan masa berkabungnya dengan bersenang senang sediri.
Meja makan tampak kosong namun penuh dengan hidangan.
Alena duduk di kursi dan seorang pelayan menghampirinya.
"Tuan dan Nyonya sudah berangkat pagi pagi sekali Non. Beliau menitipkan ini." Wanita itu menyerahkan 3 kartu sebagai uang jajan Alena.
"Kembalikan saja."
"Tapi Non."
"Aku sudah punya sendiri. Kembalikan saja."
"Baik Non."
"Panggil semuanya."
"Maaf Non."
"Panggil semuanya. Kita sarapan sama sama. Aku tidak mungkin menghabiskan makanan sebanyak ini. Jika dibuang mubazir. Cari uang susah."
"Baik Non." Katanya patuh. Bibi tak menyangka Alena ternyata orang yang baik di balik sifatnya yang cuek.
Mobil sport hitam keluaran terbaru terparkir mulus di halaman sekolah. Sosok gadis cantik turun dan melangkah dengan tegap tak menghiraukan mereka yang sedang menatapnya dengan intens.
"Maaf ruang guru sebelah mana ya?" Tanya Alena pada seorang gadis berkacamata tebal.
"Ah iya. Ayo aku antar." Kata Gadis itu tersadar dari lamunannya.
Alena mengikutinya hingga sampai di depan sebuah pintu bertuliskan ruang guru.
"Makasih ya."
"Sama sama. Aku ke kelas dulu."
"Iya hati hati."
Alena mengetuk pintu setelah gadis itu pergi.
"Masuk." Suara laki laki di dalam membuat Alena membuka pintu.
Jantung Arga berdetak tak karuan melihat ternyata Alena yang datang.
"Permisi Pak. Saya murid baru."
"Pak."
"Pak."
"Ah. Iya. Saya wali kelas kamu. Ayo saya antar. Ini juga bertepatan dengan pelajaran saya."
"Baik Pak."
Alena mengekori Arga yang mulai melangkah menuju kelasnya.
Arga memasuki kelas bersama Alena membuat semuanya terdiam memperhatikan. Alena menelisik seisi ruangan. Ternyata Arga cukup populer. Banyak murid perempuan yang sengaja memperbaiki penampilannya ketika guru mata pelajaran sejarah itu datang.
"Selamat Pagi. Kalian akan kedatangan teman baru yang baru pindah dari New York. Silahkan perkenalkan diri."
"Baik Pak."
"Nama saya Alena Adlyn R. Saya baru pindah kesini beberapa hari yang lalu karena ikut kedua orang tua yang bekerja disini. Salam kenal semuanya. Semoga kita bisa berteman dengan baik." Kata Alena ramah.
"Cantik sudah punya pacar?"
"Belum."
"Pekerjaan orang tua apa?"
"Guru." Kata Alena membuat Arga menggelengkan kepala karena gadis itu berbohong.
"Sudah. Jika ada pertanyaan bisa kalian tanyakan nanti. Alena silahkan duduk."
"Baik Pak."
Alena menuju kursi yang kosong.
"Halo Alena aku Fani."
"Oh. Kita sekelas ternyata." Kata Alena sambil menjabat tangan Fani.
"Iya."
"St..Kamu cantik. Salam kenal. Namaku Bara." Sapa seorang muri cowok yang hanya ditanggapi senyum oleh Alena.
Arga menjelaskan materi sambil sesekali memperhatikan Alena yang sedang serius menatap buku di depannya. Entah mendengarkan atau tidak. Namun feeling Arga berkata gadis itu sangat bosan. Terlihat dari raut wajah lucunya yang malas.
Alena tengah makan di kantin sendiri setelah beberapa teman barunya berpamitan untuk ke perpustakaan. Gadis itu makan dengan lahap tanpa memperdulikan orang orang di sekitar yang sedang mengamatinya. Termasuk Arga. Matanya tak pernah lepas untuk memperhatikan Alena. Hingga sosok laki laki berpakaian formal datang dan memberi salam pada Lena.
"Duduk saja. Jangan seformal itu sama aku." Kata Alena pada asisten Papinya.
"Baik Nona."
"Ada apa? Mau bakso nggak?" Tanya Alena santai.
"Tidak Nona. Terimakasih. Saya sudah makan."
"Lalu?"
"Saya ingin menyampaikan jika Papi dan Mami Nona akan ada acara. Kemungkinan besok baru pulang. Nona di hubungi tidak diangkat. Makanya saya diutus Tuan untuk memberi kabar."
"Ya."
"Baik Nona. Kalo gitu saya permisi."
"Ok." Alena tidak terlalu perduli lalu melanjutkan makannya. Arga masih setia mengamati namun tidak mendengar apapun yang dibicarakan keduanya. Dari ekspresi Alena yang datar Ia juga tidak tau apa yang dirasakan gadis itu.
Arga baru saja sampai di rumah.
"Dave mana Bi?"
"Sedang tidur Den."
"Oh. Baiklah. Saya mau bersih bersih dulu terus ke restoran Bi. Bibi tolong jagain Dave ya. Kalo ada apa apa hubungi saya."
"Iya Den."
Arga sudah berada di restorannya sekarang. Ia beralih menjadi barista setelah mengerjakan laporan di ruangannya. Sosok gadis cantik terlihat sedang memarkirkan sepedanya di depan. Terlihat jelas sangat cantik dari pintu kaca. "Jodoh nggak kemana." Gumam Arga.
Alena masuk langsung menuju ke arah Arga membuat jantung pria itu bermasalah lagi dengan detaknya.
Alena memakai celana pendek selutut topi dan juga kaos lengan pendek.
"Dark Mocha 1 dan Black forest." Katanya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Baik Nona silahkan duduk. Nanti saya antar."
"Saya bayar sekarang Mas. Berapa?"
"Semuanya 75. 000."
"Ini Mas. Kembaliannya ambil aja. Saya tunggu disana." Katanya sambil menyerahkan uang 100 ribu.
"Baik Nona." Arga dengan semangat langsung membuatkan pesanan untuk Alena. Ia membuatnya dengan hati hati dan penuh cinta.
"Silahkan Nona." Arga menyajikan pesanan Alena.
"Makasih Mas." Gadis itu langsung meminumnya.
Arga tidak masalah Alena tidak memperhatikannya. Bisa melihat Alena saja Arga sudah senang. Ia tak menegur dan hanya memperhatikan dari tempatnya sekarang.
"Bos suka gadis cantik itu?"
"Hah?"
"Kalo suka langsung lamar aja. Umur dah 30 an belum nikah juga."
"Ya sabar lah. Masa baru kenal main lamar lamar aja. Orang tuanya kaya raya. Aku ragu bakalan di terima jadi mantu."
"Bos tau orang tuanya."
"Tau lah. Kalo kalian tau juga bakal kaget." Kata Arga kembali mengamati Alena yang sedang sibuk minum sambil memainkan ponselnya.
Mami dan Papi Alena tengah menunggu anaknya untuk sarapan bersama.
"Pagi Sayang." Keduanya mengecup Pipi Alena ketika melihat kedatangan gadis itu.
"Pagi."
"Sayang. Sini duduk, Mami masakin sarapan enak buat kamu." Mami menggeser kursi mempersilahkan putri satu satunya untuk duduk. Alena duduk dan meminum susunya.
"Ini apa Mi?"
"Itu bubur ayam. Kamu coba deh. Pasti enak."
"Ok." Alena langsung memakannya.
"Gimana? Enak kan?"
"Ya. Krupuknya masih ada?"
"Ada. Masih banyak. Ini." Mami mengambilkan krupuk untuk Alena.
"Gimana di sekolah?"
"Biasa aja."
"Kamu nggak ada masalah kan?"
"Nggak Pi."
"Nanti malam kita makan di luar ya. Mami ajak kamu ke restoran enak banget. Kamu pasti suka."
"Ya."
"Uang jajan kamu kenapa nggak di terima sih Sayang?"
"Alena masih punya dari pendapatan bisnis online pakaian Alena." Alena memang mempunyai bisnis pakaian online sebagai sambilan saat masih di New York. Kini bisnisnya dikelola oleh beberapa orang kepercayaannya. Alena tinggal mendapat laporan keuangan dan menggaji mereka.
"Kamu terima ya. Yang punya kamu di simpen aja."
"Nanti kalo butuh. Sekarang Alena masih ada."
"Yasudah. Kalo kamu butuh sesuatu tinggal bilang sama Papi sama Mami."
"Ya." Jawab Alena melanjutkan makannya.
Alena sampai di sekolahnya. Keadaan sudah sepi. Tidak ada siswa yang berlalu lalang sama sekali menandakan Alena telat sekarang.
"Telat juga ya?" Tanya Seorang cowok menghampiri Alena yang baru saja keluar dari mobil.
"Astaga. Bikin kaget aja."
"Kamu telat kan? Ayo ke kelas bareng." Kata cowok itu.
"Aku Bara. Kemarin kita kenalan." Katanya karena melihat Alena yang kebingungan.
"Oh. Ayo." Katanya setuju.
Alena mengetuk pintu dan masuk ke dalam kelas bersama Bara.
"Guru killer." Gumam Bara yang masih bisa di dengar Alena.
Arga menatap kedua murid itu dengan intens. Mau tidak mau Ia harus bersikap profesional sebagai guru meskipun yang telat gadis yang Ia suka sekalipun.
"Kalian keluar. Tunggu saya di depan." Kata Arga dengan wajah datar khas dirinya.
"Baik Pak." Bara menggandeng tangan Alena keluar langsung menjadi pusat perhatian seisi kelas. Begitu juga dengan Arga, rasa tak rela memenuhi hatinya.
"Kalian bersihkan lapangan belakang sekarang. Saya akan awasi."
"Baik Pak."
Bara dan Alena menyapu lapangan belakang diawasi Arga yang duduk di bangku yang tak jauh dari sana.
Selesai dengan hukuman. Bara dan Alena memutuskan untuk ke kantin. Gadis itu menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang siswi tengah menyiramkan minuman pada siswi lain. Ternyata itu Fani. Alena langsung ke sana meninggalkan Bara. Ia mengambil minuman milik siswa yang tengah makan dan menyiramkan ke tiganya masing masing satu gelas.
"Kamu..." Geram mereka.
"Kurang ajar."
Alena mencekal tangan gadis centil itu sebelum sampai di pipinya.
"Jangan cari masalah. Dasar sampah." Kata Alena mendorongnya hingga tersungkur.
"Ini sebagai ganti minuman kalian." Alena memberi 3 lembar uang seratus ribu. Namun mereka hanya terbengong sambil mengangguk. Alena membawa Fani duduk.
"Bara kamu jagain Fani dulu. Aku mau ke mobil ambil handuk."
"Ah Iya." Alena berlari ke mobilnya mengambil Paper bag kemudian kembali lagi. Semua itu tak luput dari perhatian Arga yang juga duduk tak jauh dari sana.
Alena mengeringkan rambut Fani.
"Makasih Len."
"Ya. Gantilah pakaianmu."
"Tapi Leh. Bajumu mahal. Ini juga masih baru."
"Ga masalah. Ambilah."
"Baik. Terimakasih len." Fani langsung ke kamar mandi untuk berganti baju.
"Makan yuk."
"Iya."
Bara dan Lena makan bersama.
"Dia sering di bully ya?"
"Iya. Tapi nggak ada yang peduli gitu."
"Masalahnya apa sih?"
"Ga tau juga. Katanya sih karena Fani itu anak paling miskin di sekolah. Dia masuk sini karena beasiswa."
"Oh. Pinter berarti."
"Iya."
"Kamu nggak punya temen apa? Kok makannya sama aku."
"Punya. Lagi ribut aja. Biasa lah. Lakik kadang suka kaya cewek. Kalo marahan lama."
Alena hanya tersenyum menanggapi perkataan bara.
"Jangan senyum. Ntar diabetes aku lihat kamu."
"Yaudah cemberut aja."
"Eh.. enggak. Bercanda aku. Ayo makan."
"Iya."
Malam hari Arga tengah sibuk menyiapkan ruangan VVIP di restorannya sebaik mungkin. Keluarga Rosidi akan makan malam hari ini dan dia akan melayaninya sendiri.
"Bos. sudah datang." Katanya memanggil Arga.
"Ok."
"Selamat datang Tuan. Nyonya. Silahkan. Ruangannya telah siap." Kata Arga menyambut sepasang suami istri itu.
"Baik. Terimakasih ya." Kata Mami Alena ramah.
"Iya Nyonya. Bisa saya tulis pesanannya?" Kata Arga setelah keduanya duduk. Ia mencari keberadaan Lena yang tidak ada. Gadis itu mungkin tidak ikut kedua orang tuanya.
"Kami pesan soto Betawi, rendang, gurame asam manis, dan sate. Minimnya es teh saja."
"Baik Nyonya. Harap di tunggu ya."
"Iya."
Alena yang baru datang langsung bergabung dengan kedua orang tuanya. Seperti biasa. Hanya menggunakan celana, sneakers dan Hoodie. Padahal Maminya sudah memperingati.
"Ketemu?"
"Ketemu."
"Dimana?"
"Di bawah kursi."
"Lain kali jangan ceroboh lagi ya."
"Iya."
"Capek." Alena menundukkan kepalanya di meja.
Arga datang menyiapkan makanan. Ia mendapati gadis itu tengah menundukkan kepala sambil memainkan ponselnya.
"Silahkan Tuan, Nyonya dan Nona." Arga menekankan kata Nona berharap Lena akan menatapnya. Namun tidak, gadis itu masih dalam posisi yang sama.
"Makasih ya Mas."
"Sama Sama Nyonya. Saya permisi."
"Ya." Jawab Mami Alena sambil tersenyum ramah.
"Ayo dimakan sayang."
"Iya."
Alena meletakkan ponselnya dan memulai makan.
Arga memperhatikan Alena yang makan dengan lahap karena ruang VVIP terdapat kaca yang pas searah dengan tempat duduk Alena.
"Ini apa?"
"Itu rendang. Kamu coba. Enak kok?"
"Dari apa?"
"Daging sapi."
"Oh."
"Enak kan?"
"Masih enak satenya."
"Mi. Bungkusin sate buat di bawa pulang."
"Iya. Nanti Mami pesankan."
"Pake lontong nggak?"
"Lontong apaan Pi?"
"nasi Yang dibungkus daun pisang."
"Lemper?"
"Bukan."
"Pakek aja deh. Biar tau." Kata Lena melanjutkan makan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!