Namaku adalah Marissa. Lebih lengkapnya, Marissa Oktavia Almahera. Sudah tiga kali mengalami yang namanya pendarahan dan membuat janin itu gugur dengan sendirianya dari rahimku.
Sejak kejadian itu, aku merasakan depresi luar biasa dan tak tentu arah lagi, siapa pun yang mendekat akan mendapati sebuah benda yang melayang dari tangan ini.
Ketika aku sedang hamil tua, tepatnya di anak yang ketiga. Suami tercinta sedang tak ada di rumah, ia pergi bekerja dengan rekannya sebagai sekretaris kantor. Ya, wanita itu adalah Siska. Kedekatan mereka yang memang sejak dari SMA dan aku sudah tahu akan hal itu.
Ketika tubuh ini mencoba untuk bangkit dari ranjang, kedua kaki terasa sangat susah untuk menapak. Entah apa gerangan. Yang pasti, aku harus bisa mandiri dan melangkah menuju kamar mandi. Ketika sampai di tempat tujuan, aku menapakkan kaki kiri ke dalam ruangan.
Akan tetapi, aku malah terpeleset dan membanting tubuh ini keras di sebuah lantai.
Bruk ...!
Seketika aku terkapar dan tak sadarkan diri, darah segar keluar dari dalam perut membasahi lantai yang telah menghabiskan sisa-sisa tenaga di dalam tubuh ini.
Revan POV
Di suatu malam. Aku merasakan sangat kelelahan karena seharian harus meeting dan menyiapkan beberapa dokumen penting untuk membahas projek, sementara perusahaan telah mengalami berbagai musibah keuangan.
Akan tetapi, demi kelangsungan hidup dan calon buah hati di rumah. Aku rela kerja larut malam demi menghidupi mereka. Mengendarai mobil, aku melesat kencang. Karena firasat ini tidak enak selama aku meninggalkan rumah ketika pagi tadi.
Selang dua puluh menit lebih kurang. Aku sampai di depan halaman rumah. Tak biasanya, sekarang pintu gerbang telah terbuka sangat lebar. Sementara di pos penjagaan, Mang Diman tidak ada dalam lokasi.
Menepis sebuah pemikiran aneh malam ini, aku pun langsung memasuki garasi mobil dan mematikan mesin. Di sepanjang jalan menuju rumah, aku melepaskan dasi berwarna hitam dan membuangnya di atas sofa.
"Assalam' mualaikum ...,' sapaku dengan nada suara mengayun.
Tak ada balasan kata seperti biasanya, batin pun berkata. 'Istriku ke mana, sih, enggak biasanya kalau aku pulang ia enggak ada. Apa lagi salat di kamar? Ah ... enggak mungkin, karena ia sedang hamil besar.'
Aku bergegas menaiki anak tangga lantai dua, sesampainya di dalam kamar, aku menoleh kanan dan kiri.
"Sayang ... papa pulang."
Batin kembali berkata, 'ternyata Marissa tidak ada di kamarnya. Lalu, ia di mana saat ini?'
Menafsirkan sebuah pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi. Kulangkahkan kaki ini menuju lantai satu lagi.
"Bi Ira ... Bi ...."
Dalam samar, suara seseorang terdengar dari balik dapur.
"Iya, Tuan ...."
Sampailah asisten rumah tangga di hadapanku. Sementara dibagian tangannya seperti habis menyuci piring, karena penuh dengan buih sabun.
"Bi, lihat Marissa enggak?" kutanya ia sambil mengernyitkan kedua alis.
"Ada, Tuan. Nyonya dari tadi di kamar," respons asisten rumah tangga dengan nada suara netral.
Kemudian, aku kembali menyambar. "Tetapi saya ke kamar enggak ada siapa-siapa."
"Ah, Tuan enggak teliti kali lihatnya. Suer, Nyonya ada di dalam kamar sedang berbaring," tukasnya, kemudian ia bergegas menuju lokasi.
Karena penasaran kembali menghujaniku. Akhirnya, kulangkahkan kaki dengan berjalan mengikuti Bi Ira dari belakang. Menaiki anak tangga untuk sampai di lantai dua. Beberapa menit berjalan, asisten rumah tangga membuka pintu kamar secara perlahan.
"Nah, mana Nyonya! Kata Bibi ia lagi baring di kamar." Kutunjuk ranjang dengan kasur yang sudah berserak.
"Tadi ... Nyonya ada, kok, Tuan ...!"
"Ya, tetapi sekarang enggak ada. Bukankah Bibi dari tadi di rumah? Ia lagi hamil besar, berapa kali saya bilang. Kalau Nyonya pergi ke mana aja, temani! Jangan biarkan ia pergi sendirian," omelku dengan nada suara ngegas dan emosi sangat ******* malam ini.
Kami pun berjalan kembali menelusuri ruangan. Aku bergerak menuju tempat untuk berhias, tetapi hasilnya nihil.
Sementara Bi Ira mencari di sekitar kamar. Aku pun segera bergegas keluar untuk mencari di lain ruangan. Barangkali ada di tempat biasa ketika ia main alat musik piano.
Dua langkah keluar, kedua telinga menangkap sebuah teriakan dari dalam kamar.
"Tolong ...."
"Tuan ...."
Aku pun terdiam di anak tangga. "Bukankah ... itu suara Bi Ira. Kenapa ia berteriak keras banget," celetukku sendirian.
Tanpa membuang banyak waktu, aku pun bergegas menuju ruang kamar. Di sana, sudah ada Bi Ira yang mengubah posisi jongkok dan menangis histeris.
"Bi, apa yang terjadi?" kutanya ia dengan penasaran tingkat tinggi.
Lawan bicara mendongak, 'kan kepalanya dan menatap mantap wajahku. "Tuan ... ini Nyonya. Ia pendarahan lagi," papar Bi Ira dengan menangis histeris.
"Astaghfirullah ... Marissa!" Kupeluk ia yang sudah pucat dan lemah tak berdaya. "Marissa, bangun sayang. Kamu harus kuat," lanjutku masih dalam posisi memeluk tanpa melepas.
"Nyonya ... maafin bibi yang enggak mengecek dari tadi ke kamar ...."
Dengan sigap, aku menggendong istri tercinta dan turun dengan penuh hati-hati. Sampailah di dalam sebuah mobil, aku menekan gas sangat kencang dan hendak menuju sebuah rumah sakit umum H. Anwar Mangunkusumo.
Saat itu, di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan perawat dan para dokter. Aku berteriak dengan menggendong sang istri menuju ruangan paling depan.
"Tolong ...."
"Astaghfirullah ...," respons para perawat dan segera menuju ruangan. Seketika mereka kembali dan membawa kasur dorong.
Aku pun meletakkan tubuh Marissa dan mengikuti para perawat dari belakang. Mereka membawa tubuh sang istri ke sebuah ruangan dengan portal bertuliskan UGD. Mencoba untuk menenangkan emosi, akan tetapi air mata tak kunjung mengering.
"Maaf, Pak. Anda dilarang untuk masuk, tunggu saja istri di luar ruangan," ujar perawat dengan hijab berwarna putih berukuran panjang.
"Tetapi, Sus ... saya ingin mengetahui keadaan istri saya," tukasku memaksanya dengan nada suara melas.
Ia pun tetap menahan kehendak ini. "Maaf, Pak. Tidak bisa, Anda harus menunggu di luar dan kami akan segera memberitahukan tentang keadaan istri Anda."
"Enggak, Sus ...."
"Pak, maaf. Jangan buat kekacauan di rumah sakit ini."
Setelah perawat itu menolak dengan segala alasan, ia pergi meninggalkanku yang sedang diruntuk kesedihan. Membanting badan dan menekan kepala yang rasanya seperti hendak pecah di atas sebuah kursi.
Ya, Allah ... selamatkan anak hamba dan istri hamba. Jangan biarkan janin itu gugur lagi untuk ketiga kalinya, aku mohon ..., batinku berkata dengan isak tangis yang tersedu-sedu.
Waktu terus bergulir, para dokter yang sedang menangani Marissa tak kunjung keluar. Perasaan cemas dan penuh kegelisahan tumbuh begitu saja dari dalam otakku, belum lagi masalah satu tuntas, sekarang ada lagi masalah yang lebih parah.
Terkadang aku tak tahu apa maunya Tuhan. Mendikte akan jalan kehidupan ini seakan tak percaya bahwa kehadirannya ada untuk menepis semua masalah yang selalu melanda.
Kupejamkan kedua bola mata, seraya menatap tembok rumah sakit dengan seksama. Membayangkan kalau aku sudah menggendong anak bayi yang sangat imut, lucu, dan merubah hidup ini lebih berwarna.
Nyatanya tidak, semua kini terasa sia-sia. Berjuang jatuh bangun, sekarang harus terjatuh lagi ke dalam lubang masalah yang sama.
Bersambung ...
"Selamat malam, Pak," ucap seseorang dari samping kiri. Ia adalah dokter yang menangani istriku di dalam ruang UGD.
Aku pun berdiri dari tempat duduk semula. "Eh, Dok."
"Jadi begini, Pak. Saya ingin mengatakan yang sebenarnya malam ini, akan tetapi tidak di sini."
"Iya, Dok."
"Mari, Pak. Ikut dengan saya ke ruangan," ajaknya dengan lembut dan tatapan wajah sangat semringah.
Aku pun mengikutinya dari belakang. Langkah yang semakin berat membuat diri ini tak mampu untuk berkata apa-apa. Bagai menelan ribuan kilogram jarum tajam, menusuk hati serta menyayat sebuah kenyataan.
Malam itu, di rumah sakit H. Anwar Mangunkusumo. Aku duduk di bangku berwarna hitam sebagai pendengar sebuah nasihat dari dokter yang tengah membawa sebuah informasi untuk istri tercinta.
Tatapan matanya membuatku seakan tak bisa berpaling, karena tampak sangat sedih dan ia sesekali menekan mulutnya dengan tangan kanan.
"Jadi begini, Pak. Anda yang sabar dalam menghadapi ini semua."
"Dok, jangan bertele-tele. Katakan secepatnya yang terjadi pada istri saya, Dok!" hardikku dengan nada suara ngegas.
"Oke-oke! Saya akan mengatakannya."
Aku yang kala itu berdiri dan menatap wajah dokter dari depan, seketika membanting tubuh untuk tetap tenang dan meredahkan emosi yang tak terkendali.
Ia menarik napas panjang dan membuang dari mulutnya. "Pak. Istri Anda pendarahan, dan anak yang di kandungannya telah gugur. Sekarang, istri Anda sedang kritis dan komah."
Seketika kepala ini seperti tengah diterpa hujan badai. Petir seakan menyambar otak dengan sebuah pernyataan tentang sebuah cerita yang tak ingin aku dengarkan. Tangan kanan memukul meja dengan sangat keras.
"Dok! Pasti Anda sedang bercanda, 'kan, pada saya? Coba jelaskan yang sebenarnya, enggak mungkin istri saya keguguran. Katakan, Dok!" kedua tanganku mencengkeram kerah baju lawan bicara dan menariknya dari tempat duduk.
"Pak, semua memang fakta. Anda sabar menghadapi ini semua, serahkan pada Allah. Karena ialah yang memberikan anugerah anak dan ia juga yang mengambilnya."
"Tapi ini kali ketiga saya gagal, Dok! Pokoknya Anda harus menyelamatkan anak saya, berapa pun biayanya, akan saya bayar asal janin itu tetap ada ...." Tangis itu mewarnai kisah kelam malam ini. Air mata seakan tak bisa menjelaskan apa yang terjadi.
Kulanglahkan kedua kaki dan berjalan menuju ruang UGD. Tepat di depan portal bertuliskan Ruang Gawat Darurat, aku berhenti seketika. Menoleh ke arah kiri dan menatap dari balik pintu kaca. Alat Elektrokardiogram atau disingkat dengan EKG berbunyi lambat.
Menyaksikan semua ini dengan kedua bola mata, aku memukul pintu ruang UGD dengan tangan kiri.
"Tidak mungkin aku kehilangan anak lagi."
"Ini adalah ketiga kalinya aku gagal menjadi seorang ayah."
"Ya, Tuhan ... apa salahku selama ini? Apakah kau benar-benar ada? Atau hanyalah sebuah anggapan semu untuk para umat yang memang memerima keadilan dalam hidup ini."
Merengek dan menangis, aku pun mengubah posisi menjadi jongkok hingga akhirnya tertidur di depan pintu ruang UGD.
***
Pagi telah tiba, tapakan kaki terdengar seperti mengarahku saat ini. Dalam samar, aku mencoba membuka kedua bola mata. Menatap penuh hati-hati pada orang-orang yang sudah berkumpul di depan ruang UGD.
Mereka menatapku dengan penuh keanehan. Rupanya aku telah tertidur hingga pagi hari. Lalu, kedua tangan mencoba untuk membangkitkan badan. Sebisa mungkin untuk tetap berdiri tegak dan menghapus air mata.
Kedua kaki menapak dengan penuh hati-hati menuju sebuah taman. Ya, tepat di depan ruang praktikum yang dipenuhi dengan berbagai bunga-bunga indah.
Bagaimana rasanya berdamai dengan waktu. Setelah semalaman meratapi dan mendikte akan kebesaran Tuhan yang entah kapan ia tunjukkan. Belum lagi harus menyaksikan sebuah peristiwa kehilangan seorang anak untuk yang ketiga kalinya.
Dari belakang tubuh, seseorang menyentuh pundakku perlahan. Seketika kutoleh siapa gerangan yang datang.
"Tuan, ini bibi bawa makanan dari rumah untuk mengganjal perut," celetuk Bi Ira yang saat ini bekerja sebagai asisten rumah tangga.
"Enggak, Bi. Saya tidak lapar." Setelah kutolak, pandangan kembali menatap pohon bunga Tanjung yang hidup dengan sangat rimbun.
"Tuan ... dari kemarin Tuan enggak makan. Nanti sakit," timpalnya lagi lagi seraya berkata sangat lirih.
Kedua bola mata kembali menoleh sosok wanita paruh baya yang ada di samping kiri. Ketika melihat wajah itu, aku terbayang dengan almarhumah ibuku dahulu. Ya, berusia hampir sama dengannya.
Tanpa balas kata, Bi Ira duduk di samping kanan. Aku pun menggeser tampat duduk agar ia bisa menemani kesedihan ini untuk sebentar saja.
Ia meletakkan sebungkus nasi di atas kursi. "Terkadang, kita seakan enggak percaya pencipta karena semua kejadian pahit itu selalu menimpah tanpa ada jeda. Akan tetapi, kita lebih enggak percaya kalau dunia ini ada jika ia tidak ada."
Sekilas, kutoleh ia dengan tatapan datar. Kemudian, aku menekan kepala dengan kedua tangan seraya menelan ludah berulang kali.
"Saya enggak menyangka kalau hidup saya seperti ini, Bi. Tiga kali gagal di satu peristiwa, kenapa harus saya yang mengalami ini semua?"
"Enggak cuma Tuan yang mengalami ini. Semua manusia pasti punya masalahnya masing-masing. Coba untuk melaksanakan salat dan memohon petunjuk pada-Nya."
Aku pun memeluk wanita paruh baya di samping kanan tubuh ini. Seakan tak mampu lagi untuk mengatakan apa yang tengah aku rasakan. Ya, mungkin selama ini aku menjalani hidup hanya mencintai rupiah saja, selalu melupakan-Nya yang memberikan rezeki.
Setelah lama berbincang, aku pun pamit pulang ke rumah. Sementara untuk menjaga sang istri di rumah sakit, sudah aku amanahkan pada Bi Ira. Berjalan menuju parkiran mobil, dan menginjak gas sangat kencang.
Butuh waktu sekitar tiga puluh menit, aku sampai di rumah. Kemudian, aku membuka pintu dan menuju ruang kamar untuk melepas pakaian kerja yang telah dua puluh empat jam tidak dicuci.
Beberapa menit di rumah, azan berkumandang dan waktu salat magrib telah tiba. Aku pun segera melaksanakan wajib tiga rakaat. Tak lupa, untuk menyisipkan doa untuk kesembuhan istri di rumah sakit yang sedang menghadapi masa kritisnya.
"Ya, Allah ... ya, Tuhanku. Berikan hamba kekuatan untuk mengahadapi ini semua. Sesungguhnya engkau yang memberikan cobaan, dan engkau pula yang bisa meredahkan segalanya. Amin ...."
Sehabis melaksanakan salat, aku melipat sajadah berwarna hijau. Di tangan kiri, arloji menunjukkan pukul 19.00. Hanya meneguk segelas air mineral, aku pun kembali berlari menuju mobil.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, sesekali kedua bola mata menoleh ke arah kanan jalan. Saat itu, sepasang suami dan istri melangkah mesrah dengan bayinya di depan sebuah supermarket.
Aku pun memutar isi kepala. Seandainya gue punya anak seperti meraka ... pasti hidup gue akan lebih berwarna dan sempurnalah aku sebagai seorang suami, celotehku dalam hati.
Malam ini, tepat di pusat kota. Aku berhenti di salah satu toko penjualan alat perlengkapan bayi. Ya, membuka pintu mobil dan melangkah masuk ke dalam toko tersebut.
Kedua bola mata dimanjakan dengan sebuah penglihatan seputar pakaian perlengkapan, kelambu warna-warni, serta sepeda yang menarik hati ini untuk membeli.
Berjalan lebih jauh menelusuri toko perlengkapan bayi, air mata menetes dengan sendirinya setelah berhenti di salah satu mainan mobil-mobilan berwarna merah tua. Seperti yang tertera dalam USG beberapa hari lalu, mengatakan kalau aku akan memiliki anak laki-laki.
Perasaan senang itu berubah menjadi sebuah momok mengerikan dalam hidup ini. Belum lagi sang waktu tengah mempermainkan perasaan yang tak kunjung menerima kenyataan.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!