NovelToon NovelToon

Lara Cintaku

BAB 1 Pertemuan awal

Umurku masih 14 tahun ketika pertama kali aku bertemu dengan dia. Ya dia, Zean. Arzean Wijaya. Seseorang yang setelah itu selama bertahun-tahun mengisi hari-hariku dengan penuh tawa, seseorang yang pada akhirnya menorehkan luka terdalam di hidupku. Menyesal? Tentu tidak. Jika waktu harus kembali kemasa dimana aku mengenalnya, aku akan tetap pada keputusanku mengenalnya, membuka hati untuknya serta melawati suka dan duka bersama.

FLASBACK ON

Hari ini sepulang sekolah seperti biasa aku dan sahabatku menunggu angkutan umum ditepi jalan raya untuk membawa kami kembali kerumah. Hari ini kami pulang lebih awal karena disekolah sedang melaksanakan ulangan akhir semester 2. Aku adalah siswi kelas 8 disalah satu SMP Negeri di daerahku.

"Ish, tadi susah banget sih soal matematikannya Ndi, aku hampir jadi pengarang profesional tadi." Gerutu sahabatku yang kemudian diiringi ledakan tawanya saat kami masih berdiri menunggu angkutan umum.

Arumi namanya, kami bersahabat sejak pertama kami masuk di sekolah ini. Kami seumuran, tapi kadang dia lebih terlihat seperti adik bagiku. Sifatnya yang manja dan kekanakan tak membuatku merasa terbebani bersahabat dengannya. Mungkin karena dia anak satu satunya di keluarganya hingga sifat manjanya terbawa sampai kami menginjak masa remaja.

"Memangnya semalam tidak belajar?" Jawabku lirih.

"Belajar sih, cuma kok yang aku pelajarin gak ada yang keluar ya?"Jawabnya sambil menggaruk kepala yang ku yakini tak terasa gatal.

"Emang kamu belajar apaan?"Tanyaku penasaran.

"Aku belajar bahasa Korea biar kalau nonton boys over flower mataku nggak usah melotot liatin terjemahnya, kan jadi gak fokus nontonnya, hahahaha." Jawabnya reflek membuat mataku melotot kearahnya. Memang saat ini kami para remaja perempuan sedang menggilai tontonan televisi dari negari gingseng tersebut.

"Nggak usah melotot deh, percumah gak ada serem-seremnya, yang ada malah aneh, mata minimalis kaya gitu lagu-laguan mau melotot."

Aku hanya menyeringai mendengar ejekan sahabatku ini, percumah menimpali ejekannya karena pada akhirnya aku tak akan menang jika berdebat dengannya. Belum lagi ejekannya kepadaku memang benar adanya. Ukuran mataku yang lebih mini dari teman temanku kadang menjadi bahan ledekan untuk mereka. Orangtuaku asli berdarah Jawa namun entah bagaimana aku bisa terlahir dengan mata seminimalis ini dengan kelopak mata tunggal yang membuatku semakin terlihat berbeda dari teman temanku.

Saat sedang asik membicarakan para pemain drama Korea tiba-tiba terlihat angkutan umum yang biasa kami tumpangi mendekat. Sebuah angkutan umum berhenti di hadapan kami dan kamipun segera masuk kedalam angkutan tersebut. Di dalam angkot Arum kembali sibuk menceritakan alur drama Korea yang di tontonnya semalam alih-alih belajar Matematika.

"Indhi, pulang ke rumahku dulu yuk, lagian kan ulangannya sudah selesai udah gak usah belajar lagi mending sekarang kita berhappy-happy ria." Ajaknya yang kemudian aku sambut dengan anggukan.

Setelah beberapa menit di perjalanan akhirnya kami sampai di depan komplek perumahan Arum. Dia turun terlebih dulu untuk membayar ongkos angkot yang kami naiki di susul aku yang mengekor dibelakangnya. Namun karena tidak hati-hati saat akan turun dari angkot kakiku tergelincir dan seketika tubuhku terjatuh dari angkot tersebut yang di susul dengan teriakan histeris Arum. Aku membuka mata saat aku tak merasakan sakit sama sekali di tubuhku dan seketika aku terkejut, alih-alih berada di atas aspal tubuhku malah terjatuh di pelukan seseorang yang datangnya entah dari mana.

Saat aku mendongakan kepalaku untuk melihat wajah orang tersebut sesaat kesadaranku menghilang karena ternyata aku terjatuh di pelukan seorang pria. Dan ketika mata kami tak sengaja saling bertemu aku melihat sorot kekhawatiran dari bola mata birunya, matanya terlihat begitu teduh dan damai, belum lagi hidung mancung yang dengan gagahnya bertengger di antara alis coklat tuanya yang hampir menyatu itu membuatnya semakin terlihat menakjubkan. Tidak sampai disitu, bibirnya yang terlihat penuh dan berwarna kemerahan membuatku terheran, bagaimana seorang pria memiliki bibir seindah itu?

"Kamu nggak papa kan? Hey, are you okay?" Suaranya terdengar tegas namun menenangkan membuatku yang masih terbuai akan ketampanannya mau tidak mau harus kembali sadar dan mulai melepaskan diri dari pelukan pria tersebut.

"Emm,aa,,ii,,iyaa,, aaku gak papa!"Jawabku penuh dengan kegugupan.

"Lain kali hati-hati kalau mau turun!" Peringatan itu keluar tegas dari mulutnya.

"Ah, iya. Terimakasih." Jawabku lagi sambil tertunduk untuk menekan rasa malu yang kini mulai aku rasakan.

"Ndi kamu gak papa kan, ada yang luka gak?" Teriak Arum terdengar cemas sembari membolak balikan badanku memastikan apakan ada luka yang tertinggal disana.

"Nggak papa Rum, gak ada yang luka kok." jawabku untuk menenangkan sahabatku.

"Syukurdeh kalau gak ada yang luka, lagian kamu gimana si kok bisa jatuh gitu?"

"Lah emang gimana, namanya juga musibah, mana aku tau bakal jatuh." Jawabku sedikit kesal mendengar pertanyaan dari sahabatku yang membuatku semakin malu.

"Makasih kak Zean." Ucap Arum kepada pria yang tadi menolongku.

Mendengar ucapan terimakasih Arum membuatku bertanya-tanya dari mana sahabatku ini mengenal pria itu? Dua tahun kenal dan bersahabat, aku hampir mengenal semua keluarga dan teman-teman Arum di sekitar komplek rumahnya. Tapi ini, kenapa Arum tak pernah cerita ataupun mengenalkanku kepada pria tampan ini. Apa yang aku pikirkan, kenapa aku terdengar kesal begini.

"Ayo pulang, bisa jalan kan?" Ajak Arum yang akhirnya membuyarkan lamunanku.

"Iya bisa." Jawabku.

Sebelum pergi aku menoleh ke arah pria itu dan mengucapkan terimaksih yang kemudian disusul dengan anggukan pria itu sambil tersenyum.

Setelah beberapa menit berjalan akhirnya kami sampai di rumah Arum, dia langsung mengajakku naik ke lantai dua menuju kamarnya. Rumah ini sudah tak terlihat asing lagi bagiku karena hampir setiap minggu aku pasti berkunjung ke rumah ini. Rumah yang selalu terlihat sepi, karena kesibukan orangtua Arum membuat mereka sangat jarang berada di rumah pada siang hari. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur ketika masuk ke kamar Arum, mataku terpejam sejenak mengingat lagi kejadian tadi dan seketika senyumku terukir saat aku mengingat senyum manis pria itu, pria yang sudah menolongku.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, kamu yakin tadi kepala kamu nggak luka?"Ledek Arum yang membuatku tersadar dan segera bangun.

"Apaan sih."Jawabku manyun.

"Rum,, mmm,, cowok yang tadi nolong aku kok kamu bisa kenal si?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulutku setelah aku rasa sudah tidak bisa lagi menahan rasa penasaran.

"Oh kak Zean, kenal lah, dia itu temen kuliah om Fajar, sering kesini kalau lagi gak kuliah. Kenapa emang kok kamu penasaran, kamu naksir ya sama kak Zean.?" Terangnya dengan penuh selidik.

Mendengar jawaban dari sahabatku rasa penasaran yang sedari tadi menggebu kini seolah lebur dengan sendirinya tergantikan sebuah rasa aneh di hati ini. Sedih? kenapa, apa yang aku sedihkan? Bukannya aku hanya penasaran saja, kenapa mendengar jawaban Arum membuatku tidak lagi bersemangat untuk bertanya lebih jauh tentang dia.

Fajar Setiawan, dia adalah adik kandung dari mama Arum, yang berarti dia adalah om dari sahabatku ini. Aku cukup dekat dengan om Fajar karena kebetulan om Fajar juga tinggal bersama dengan Arum setelah kedua orangtuanya meninggal, jadi setiap kali aku berkunjung ke rumah Arum tak jarang aku bertemu dengan om Fajar dan hubungan kamipun semakin dekat, bahkan aku juga menganggap dia seperti om ku sendiri.

Usia om Fajar dengan Arum hanya berjarak sekitar 8tahun sehingga mereka lebih terlihat seperti kakak beradik dari pada om dan keponakan. Om Fajar adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu komputer di salah satu Universitas Negeri terbaik di daerah kami dan berarti jika dia adalah teman dari om Fajar dia juga adalah mahasiswa tingkat akhir dan berarti juga jarak usia kami sekitar 8tahun. Arghh, kenapa ini, kenapa dadaku terasa begitu sesak? Kenapa dengan fakta jarak usia kami membuatku begitu sedih, apa yang sebenarnya aku harapkan dari pria itu? Kenapa aku takut dia hanya akan menganggapku seorang bocah kecil alih-alih seorang gadis yang mulai beranjak remaja. Ah, apa ini, apa yang aku pikirkan? Kenapa aku berharap dia bahkan akan menganggapku seorang bocah, padahal belum tentu kami akan bertemu lagi. Hanya saja semoga kami akan bertemu suatu saat nanti. Semoga.

Bersambung....

Bab 2 Libur sekolah

Hari ini adalah hari pertama libur sekolah, tak ada kegiatan apapun yang aku rencanakan selama libur semester ini. Pagi ini cuaca cukup dingin sehingga membuatku enggan keluar dari selimut dan melakukan aktivitas di luar ruangan.

"Ndi bangun udah siang di panggil ibu tuh, katanya kamu ada les siang ini! Ndi bangun!" Ulangnya lagi seraya mengetuk pintu kamarku.

"Kakak dobrak nih kamarnya kalau nggak di buka!" Ucapan itu sontak membuatku melompat keluar dari selimut hangatku.

"Apaan sih kak, masih pagi tau, lagian ini kan liburan masa ada jadwal les juga si, Indhi kan masih pengin bobo."Ucapku sambil membuka kamar yang kemudian di ikuti langkah kaki seorang laki-laki masuk ke dalam kamarku.

Kevin Ega Irvantara, 28 tahun, dokter spesialis bedah di salah satu Rumah Sakit swasta dikotaku. Dia adalah kakak laki-laki terbaik yang pernah aku punya. Seorang kakak yang bisa menjadi figur apa saja yang aku butuhkan, kakak yang selama setahun terakhir ini menjelma menjadi sosok seorang ayah setelah kepergian ayah karena sebuah kecelakaan.

Dan ya, ayahku sudah meninggal setahun yang lalu, beliau meninggal dalam kecelakaan lalu lintas sepulangnya dari bekerja. Ayahku adalah seorang Arsitek. Beliau bekerja di salah satu perusahaan arsitektur terbaik dikota ini begitupun dengan ibuku. Mereka bekerja di tempat yang sama sedari mereka belum menikah. Kepergian medadak ayah membuat hidup kami semua berubah, bukan hanya sikap kakak yang semakin posesif kepadaku, perubahan sikap ibu juga semakin membuatku merasakah kesedihan setelah kehilangan ayah. Ibu menjadi lebih pendiam, lebih mudah marah dan yang paling membuatku sedih adalah sikap ibu yang selalu memaksaku menjadi apa yang beliau kehendaki .

"Kakak emang gak kerja?" Tanyaku.

"Baru saja pulang, belum sempat mandi udah di suruh ibu buat bangunin kamu." Jawabnya sambil mengangkat tangannya dan mendekatkan ketiaknya kearah wajahku.

"Ih, kakak bau, jorok banget sih, pantes aja udah setua ini masih aja jomblo hahahha."

"Kalo kakak punya pacar terus menikah nanti yang jagain ibu sama kamu siapa?"

Deg, mendengar jawaban dari kak Ega membuat hatiku ngilu seketika, aku merasa bersalah kepada kakak karena sepeninggal ayah kakaklah yang bertanggungjawab atas aku dan ibu. Meskipun secara finansial ibu masih sanggup membiayai hidup kami dari gaji bulanan ibu, tapi tak serta merta membuat kak Ega melepaskan tanggungjawabnya kepada kami. Sebagai anak laki laki tertua dan satu satunya di rumah ini membuat kak Ega terpaksa memikul beban untuk menjadi kepala keluarga. Meskipun kak Ega melakukannya dengan ikhlas tapi entah mengapa aku selalu bersedih mendapati kak Ega merelakan waktu luangnya untuk menjagaku alih-alih pergi bermain bersama teman-temannya atau mulai menata hidupnya dengan mencari seorang wanita di sela-sela waktu sibuknya.

"Udah buruan bangun! Nanti kakak anterin ke tempat les." Ucapnya sambil mengelus kepalaku yang sedetik kemudian berganti mengacak-acak rambutku.

"Kakaaaaaakkk."Teriakku yang kemudian disusul suara tawa dari mulut kak Ega.

Setelah mandi aku bergegas menuju ruang makan, dari kejauhan aku mengamati ibu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk kami. lagi-lagi kesedihan menyuat dihatiku

ketika aku tersadar sudah jarang sekali melihat ibu tersenyum. Dulu waktu ayah masih hidup ibu akan bersenandung lirih sambil menyiapkan sarapan dan bekal untuk kami, meskipun ibu sibuk bekerja namun beliau tidak pernah melalaikan tugas utamanya sebagai seorang istri dan juga ibu. Tapi sekarang apa yang kudapati, wajah sedih itu. Oh Tuhan, kumohon kembalikan senyum di wajah ibu.

"Ibu nggak ngantor?"Tanyaku sambil tersenyum ke arah ibu.

"Nggak, nanti siang ada janji sama client jadi ibu nggak perlu ke kantor dulu." jawabnya seraya menyodorkan sepiring nasi goreng ke arahku.

"Kenapa nggak resign aja si bu, ibukan sudah nggak muda lagi, aku takut ibu kelelahan!" Suara kak Ega yang tiba tiba muncul entah dari mana.

"Kalo ibu di rumah kan Indhi jadi gak kesepian bu, ibu ga usah khawatir gaji kakak cukup kok bu buat menghidupi kita bertiga dan juga sekolah Indhi." Lanjutnya.

"Ega, makan!" Bukannya menjawab ibu malah mengalihkan pembicaraan dengan menyodorkan sepiring nasi goreng ke arah kak Ega.

"Bu Ega kan cuma.."

"Ega cukup. Ibu sedah selesai makan, kalian lanjut saja sarapannya. Nanti ibu pulang malmm kalian tidak usah menunggu ibu untuk makan malam."

"Tapi bu." Ucap kak Ega masih belum menyerah mayakinkan ibu.

"Kak!" Cegahku sambil menggelengkan kepala ke arah kak Ega.

Setelah ibu pergi, aku melihat raut kecewa di wajah kak Ega. Aku paham betul maksud kak Ega adalah untuk kebaikan ibu, tapi mungkin menurut ibu berhenti dari pekerjaannya hanya akan membuat ibu semakin mengingat ayah. Aku ingat betul bagaimana hancurnya ibu saat pertama ayah pergi, ibu melampiaskan kesedihannya dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Kadang aku kecewa dengan sikap ibu yang begitu egois, apa ibu pikir hanya ibu saja yang sedih, hanya ibu saja yang kehilangan ayah? Tidak bu, aku juga sedih begitupun kak Ega, kami semua kehilangan bu. Kami bahkan merasa bukan hanya kehilangan ayah saja tapi kami juga kehilangan sosok ibu, ibu yang dulu selalu tersenyum, ibu yang selalu perhatian kepada kami.

Bu, aku sedih melihat ibu yang sekarang. Terkadang aku marah dan frustasi dengan sikap ibu sehingga aku berfikir untuk mengeluarkan semua kemarahan yang aku pendam, namun lagi lagi saat melihat wajah sedih ibu, tenggorokan ini berasa di cekik sehingga aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun kepada ibu. Dan sampai berbulan bulan terlewati pada akhirnya sikap ibu dan diamnya aku menjadi tembok tinggi diantara hubungan ibu dan anaknya. Tapi aku bersyukur masih mempunyai kakak yang perhatian atau bahkan bisa dibilang terlalu perhatian kepadaku, kakak yang masih menyempatkan waktu untuk menemaniku disela-sela padatnya jadwal operasi, dan kakak yang akan melakukan apapun untuk membuatku tersenyum.

Setelah sarapan yang begitu tidak menyenangkan aku kembali ke kamarku untuk mempersiapkan keperluan les tambahan yang sudah disiapkan ibu dari jauh hari. Ibu memaksaku untuk mengikuti les tambahan dengan alasan aku hampir kelas 9, untuk mempersiapkan diri supaya aku bisa masuk SMA negeri favorit kemudian bisa melanjutkan kuliah kedokteran di Universitas terbaik. Semuanya sudah ibu rencanakan tanpa ibu bertanya apa yang aku inginkan dan apa cita-citaku di masa mendatang.

Jujur aku sama sekaki tidak tertarik dengan dunia kedokteran. Lahir dan tumbuh dari sepasang arsitek membuat jiwa seniku lebih hidup, aku selalu bersemangat saat dulu ayah menunjukan sketsa atau gambar proyek yang sedang ayah kerjakan, sejak saat itu aku mulai tertarik dan ingin menjadi seperti ayah. Namun sekarang, aku harus melupakan semua impianku demi ibu. Ya demi ibu, setidaknya tiga kata itu bisa sedikit meredam kekecewaanku yang harus mengubur dalam-dalam impianku. Lagipula apa salahnya menjadi dokter, bisa membantu banyak orang dan bermanfaat bagi orang lain, bukankan itu hal yang bagus. Ibu juga mungkin punya alasan tersendiri mengapa ibu tak mengizinkan aku untuk mengikuti jejak mereka di dunia arsitektur. Yah, begitulah kira kira ucapan yang selalu aku keluarkan dari mulutku setiap kali kak Ega meyakinkanku untuk tidak menyerah akan cita-citaku.

Bersambung...

Bab 3 Hy girl we meet again

Hari mulai beranjak siang ketika aku dan kak Ega berangkat ke tempat les ku. Di sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, mataku menatap keluar jendela mengamati jalanan yang terlihat lengang siang ini, mungkin karena bukan di jam sibuk jadi hanya beberapa mobil yang terlihat melintas melewati mobil kami.

"Kamu beneran mau nurutin keinginan ibu masuk kedokteran nanti?"Tanya kak Ega mengakhiri keheningan.

"Hemm." Jawabku pasrah.

"Kuliah kedokteran bukan hal yang mudah Ndi, kalo kamu tidak yakin sama apa yang ibu inginkan, mending kamu bilang sama ibu sebelum terlanjur nantinya, siapa tau ibu bakal berubah pikiran kalau kamu berani mengutarakan keinginan kamu sekarang!."

"Kakak tau sendiri gimana ibu sekarang, lebih baik aku nurut aja dari pada bikin ibu tambah sedih, masalah mudah atau enggak kita lihat saja nanti kak, buktinya kakak saja bisa jadi dokter masa aku enggak sih?"

Setelah mendengar jawabanku, aku melihat raut kecewa di wajah tampan kak Ega yang disertai helaan nafas panjang dan terdengar berat. Kak Ega memang selalu mendukung apapun keinginanku, dia tidak ingin aku menyesal di kemudian hari karena salah mengambil keputusan. Tapi mau bagaimana lagi aku terpaksa mengubur semua angan dan impianku demi kebahagiaan ibu dan aku yakin aku takkan pernah menyesal dengan keputusanku. Ya semoga saja tidak di kemudian hari.

Sibuk meyakinkan diri bahwa keputusanku tidak salah, ternyata mobil kak Ega sudah berhenti di depan bangunan 2 lantai yang ku yakini adalah tempat les-ku. Tempat ini masih terlihat sedikit asing karena baru pertama kalinya aku datang ke tempat ini. Aku membuka sabuk pengamanku, mengulurkan tangan ke arah kak Ega untuk berpamitan dengan kakak tersayangku ini. Setelah mendapat sambutan tangan dari kak Ega aku langsung mengecup punggung tangan kak Ega dan bergegas keluar dari mobil.

"Ndi, nanti pulang sendiri bisa kan? Kakak ada operasi, dideket sini ada halte bus kok, nanti jalan aja ke halte kalau nggak naik ojek ya!"Teriak kak Ega dari dalam mobil dan akupun hanya mengangguk lalu berjalan meninggalkan mobil kak Ega.

POV EGA

Melihat wajah Indhi, meskipun dia bilang bahwa dia baik baik saja tapi aku yakin yang di rasakan adalah sebaliknya. Aku sangat mengenal siapa adikku ini, dia tipe manusia yang akan menomor duakan dirinya sendiri jika itu menyangkut kebahagiaan orang terkasihnya. Kadang aku merasa kasihan padanya, di usianya yang masih begitu muda dia harus kehilangan figur seorang ayah, di tambah dengan kesibukan ibu dan juga sikap ibu yang mulai berubah sepeninggal ayah, aku sangat yakin dia sangat menderita. Sejauh ini aku masih bersyukur melihat adikku tumbuh menjadi gadis yang baik meskipun sudah tak seperiang dulu lagi.

Dulu aku sangat khawatir dengan kondisi psikisnya, keadaan membuatnya harus dewasa sebelum waktunya. Sempat aku membawanya menemui salah satu temanku yang menjadi Psikiater, namun di pertemuan ketiga dia menolak datang dan meyakinkanku bahwa dia baik baik saja. Semenjak itu aku hanya bisa menuruti keinginannya, mensupport apapun yang dia lakukan selama itu hal yang positif, meluangkan sedikit waktu di tengah padatnya jadwal operasiku hanya sekedar untuk menemaninya makan atau belajar di rumah.

Terkadang aku berfikir untuk mulai menata hidupku sendiri. Di usiaku yang sudah menginjak 28 tahun ini harusnya aku mulai memikirkan untuk membangun sebuah keluarga, namun aku tak boleh seegois ini, aku harus menjaga ibu dan melihat Indhi bahagia dan ceria seperti dulu lagi baru nanti aku memikirkan diriku sendiri. Untuk saat ini kebahagiaanku cukup dengan melihat ibu dan Indhi sehat dan melihat senyum mereka. Ya meskipun untuk saat ini sangat susah untuk membuat mereka tersenyum. Namun aku yakin suatu saat nanti aku akan melihat mereka tertawa bahagia. Harapku.

POV INDHI

Hampir 3 jam di dalam ruangan les membuat kepalaku hampir meledak. Ya Tuhan ini musim liburan kenapa aku masih harus bergelut dengan si Aljabar dan semua teman temannya yang memusingkan. Argggh, aku mengacak rambut hitamku yang terurai sebahu dan berjalan keluar ruangan tanpa menyadari penampilanku yang sudah berantakan dengan rambut acak-acakan.

Seperti gadis gila aku berjalan sambil mendengarkan musik dan bernyanyi menuju halte bus yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat les. Sesekali aku berhenti untuk membetulkan Earphone yang terlepas dari telingaku. Sepanjang perjalanan aku heran kenapa semua orang yang berpapasan denganku menatapku dengan aneh lalu tertawa, apa yang salah denganku?

Saat melewati sebuah bangunan yang didominasi dengan kaca sebagai dinding aku berhenti dan berjalan ke arah bangunan tersebut. Tentu saja mereka melihatku dengan tatapan aneh dan tertawa, lihatlah penampilanku ini, sudah seperti orang gila dengan rambut acak tak beraturan dan noda bekas bolpoint terlukis indah di wajahku.

Saat hendak merapikan rambut dan menghapus noda di wajah tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di belakangku dan si pemilik mobil membuka kaca mobilnya. Aku berbalik karena penasaran siapa pemilik mobil itu dan seperti tersambar petir di sore hari yang cerah, yang berada didalam mobil itu adalah om Fajar dan kak Zean yang juga terlihat kaget melihat penampilanku.

"Kamu abis tawuran Ndi?" Ucap om Fajar sambil tertawa puas mengejekku.

"Apaan sih om, aku habis les tau. Om mau kemana?" Tanyaku basa- basi untuk menyisihkan sedikit rasa malu.

"Kirain habis berantem, hahaha lagian rambut kamu berantakan gitu kaya habis jambak jambakan."

"Om mau kemana atau dari mana?" Tanyaku lagi dengan nada sedikit tinggi.

"Om mau pulang, dari kejauhan lihat kaya ada gadis gila lagi jalan sambil lompat lompat pas om samperin kok kaya kenal, eh ternyata memang beneran kenal, hahaha.. Ayo masuk sekalian om anterin, ini sudah sore jarang ada bus lewat!." Ajaknya lalu keluar dari mobil dan membuka pintu mobil belakang.

"Nggak ngrepotin kan om?" Tanyaku ragu.

"Enggaklah, ayo buruan masuk nanti keburu gelap!"

Aku hanya mengangguk dan bergegas masuk ke dalam mobil.

"Hye girl, we meet again." Suara dari balik kemudi itu membuatku berhenti bernafas untuk sementara. Tak mendengar tanggapan dariku kak Zean menoleh ke belakang dengan senyum manisnya.

"Hey are you okay?"

Mendengar pertanyaannya aku hanya mengangguk pasrah, belum lagi saat melihat senyumnya, seketika pipiku memanas dan aku yakin wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus. Ya Tuhan tolong segera keluarkan aku dari mobil ini atau aku yakin jantungku tidak akan baik baik saja.

"Hmm , ya, i'm okay!" Jawabku gugup.

Tak lama kemudian om Fajar masuk kedalam mobil dan kami melanjutkan perjalanan pulang dengan hening. Sesekali aku mencuri pandang ke arah kak Zean dari kaca spion, menyadari gelagat aneh dariku terkadang aku juga melihat kak Zean melihatku dari balik spion di iringi dengan senyumnya dan gelengan kepalanya. Tapi kenapa dia tersenyum sambil menggelengkan kepala? Apa ada yang lucu? Atau mungkin dia merasa aneh di perhatikan oleh bocah sepertiku atau mungkin dia merasa risih? Entahlah hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang ada dalam pikirannya.

BERSAMBUNG....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!