Sunny berjalan mengitari taman kecil yang berada di samping rumahnya, sambil sesekali menyeka air mata yang membasahi pipinya. Tiba-tiba saja tubuhnya limbung dan jatuh terduduk di rerumputan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sunny menangis sejadi-jadinya saat mengingat perkataan ayahnya.
"Kau akan menikah satu minggu lagi,"
"Apa...Ta-tapi Ayah,"
"Tidak ada bantahan, Sunny,"
"Aku masih ingin sekolah Ayah,"
"Walaupun kau sudah menikah, kau masih tetap bisa bersekolah,"
"Ta--tapi Ayah," lirih Sunny
"Sudahlah Sunny, turuti kemauan Ayah, ini demi kebaikanmu dan kebaikan kita semua," Frans menghampiri Sunny.
"Dan juga untuk pengobatan kakakmu. Apa kau tidak senang, jika kakakmu sembuh,"
Sunny menatap sang Ayah sambil berlinang air mata.
Frans mengusap air mata yang menetes dipipi Sunny. Memeluk sang putri erat.
"Maaf kan Ayah, sayang... Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah di keluarga kita. Ayah harap kau mengerti,"
Sunny balas memeluk sang Ayah dengan erat.
"Baiklah Ayah, kalau memang itu yang terbaik untuk kita semua," lirih Sunny disela-sela tangisannya.
"Terimakasih sayang, atas pengertiannya," ucap Frans sambil melepas pelukan dan mengecup lembut kening sang putri.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Sunny belum juga bisa memejamkan mata. Yang ada dipikirannya saat ini adalah, bagaimana nasib dirinya satu minggu mendatang.
Sunny termenung.
Seandainya kakak tidak mengalami kecelakaan, ini semua tidak akan terjadi. Pasti keuangan keluarga akan tetap aman. Dan aku bisa menjadi seorang chef terkenal dan bisa keliling dunia. Ayah juga tidak akan punya hutang pada Tuan Rudolf.
"Kenapa aku,"
"Kenapa harus aku," ucap Sunny sambil menangis.
****
"Sayang, bangun, kau akan terlambat sekolah nanti," ucap Chintya sambil membuka gorden jendela kamar, kemudian berbalik dan menghampiri Sunny, sang putri yang sedang menggeliat didalam selimutnya.
"Ibu, bisakah aku tidak sekolah hari ini?" ucap Sunny sambil menyandarkan badannya pada sandaran tempat tidur.
Chintya sangat terkejut melihat mata sembab Sunny, kemudian menyentuhnya lembut.
"Baiklah kalau itu memang keinginanmu, sayang. Ibu akan beritahu Ayahmu nanti"
"Aku akan sekolah bila mata sembabku ini sudah normal lagi, Bu," ucap Sunny lirih sambil menundukkan kepala dan bersiap untuk menangis lagi.
"Sayang, Ibu mohon, jangan menangis lagi, sudah cukup sayang. Ibu dan Ayah menginginkan kau bahagia,"
"Aku tidak mau menikah muda, Ibu,"
"Ibu tau, sayang, tapi tidak ada cara lain untuk biaya berobat kakakmu dan mengembalikan keuangan keluarga kita. Ibu harap kau mengerti,"
Tidak ada jawaban dari Sunny, Chintya bangkit dari duduknya dan menuju pintu kamar.
"Cepatlah bangun, Ibu menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Chintya di balik pintu kamar dan menutupnya perlahan.
Sunny tidak menjawab perkataan sang Ibu, saat ini pikiran Sunny tidak fokus dan mengingat kejadian saat sang kakak kecelakaan.
****
2 Tahun Yang Lalu
Sunny hendak menyebrang jalan, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari sebrang jalan.
"Sunny! Tetap disitu. Kakak akan mengajakmu ke kedai mie!" teriak Bastian, sang kakak.
Sunny tidak menjawab, hanya mengangkat kedua jempol tangannya sambil tertawa lebar.
Bastian tidak melihat lampu penyebrangan jalan yang sedang berwarna hijau, saat berada ditengah-tengah jalan, tiba-tiba ada mobil melaju sangat kencang, lalu mobil itu menabrak Bastian hingga terpental sejarak 5 meter, darah segar keluar dari kepala dan hidungnya. Semenjak kejadian itu, Bastian mengalami koma hingga saat ini.
Orang yang menabrak Bastian, meninggal ditempat akibat mengalami benturan dikepala.
Pihak keluarga si penabrak hanya mampu membayar seperempat dari biaya rumah sakit Bastian, karena dari keluarga kurang mampu. Sehingga selebihnya biaya rumah sakit, Ayah Sunny yang membayar.
Karena hal itu, keuangan keluarga Sunny menipis. Hampir semua pabrik milik Ayah Sunny dijual dan yang tersisa kini hanya pabrik pakaian, itupun sudah hampir mengalami kebangkrutan.
Ayah Sunny terpaksa meminjam uang kepada Tuan Rudolf, sang raja rentenir yang bisa meminjamkan uang seberapapun banyaknya, dan tentu saja meminta jaminan yang fantastis pula.
****
Sunny menarik kursi yang ada di ruang makan, lalu mendudukinya, membalik piring dan mengisinya dengan satu centong nasi goreng, timun dan juga kerupuk udang favoritnya.
"Kamu mau pergi?"
"Iya, Ayah... Aku akan menemui kakak," ucap Sunny sambil memasukkan suapan pertama nasi goreng kemulutnya.
"Tapi sembab dimatamu itu?"
"Tenang Ibu, aku pakai kacamata hitam, hehe..." kekeh Sunny sambil menunjukkan kacamata hitam dari dalam tasnya.
"Perlu diantar?"
"Tidak perlu Ayah, aku akan pergi kesuatu tempat sepulang dari menjenguk kakak,"
"Baiklah, hati-hati. Ayah pergi dulu," ucap Frans seraya bangkit dari duduknya, mengambil tas kerja, mencium kening Chintya dan Sunny, kemudian berlalu pergi.
Setelah Frans pergi, Sunny buru-buru menghabiskan sarapannya, minum susu, mencium tangan Chintya dan bergegas keluar untuk menyetop taxi.
Saat ini Sunny memakai celana jeans, tanktop putih, cardigan hitam, tas selempang hitam, topi hitam dan sepatu kets putih. Dan jangan lupakan kacamata hitam tentunya untuk menutupi mata sembabnya.
****
Di dalam ruangan serba putih dan penuh alat-alat medis untuk menopang hidup Bastian, Sunny duduk di samping Bastian sambil menggengam tangan Bastian erat.
"Kakak, aku tidak akan menangis lagi, aku capek menangis semalaman dan aku harus kuat," Sunny melepas kacamata hitamnya dan memandang Bastian lekat.
"Kumohon sadarlah kak, sebelum hari pernikahan itu tiba, aku belum ingin menikah kak," mohon Sunny sambil menggenggam erat tangan Bastian dengan kedua tangannya dan menempelkan pada pipinya.
Sunny merasa itu mustahil dan tidak akan mungkin ada keajaiban akan hal itu. Tapi Sunny tetap berharap dan memohon kepada Tuhan agar keajaiban itu terjadi. Jika Bastian sadar, otomatis Sunny tidak akan menikah dengan anak dari seorang rentenir. Sunny masih ingin sendiri dan menikmati masa remajanya dengan tenang.
Tapi apakah itu mungkin? Apa yang akan terjadi kedepannya?
****
Saat ini Sunny sedang duduk di sebuah bangku panjang yang berada di taman kota.
Sesekali Sunny tertawa mendengar lagu yang di plesetkan oleh sejumlah remaja yang jaraknya tidak jauh dari dirinya.
Ya lumayanlah buat refresing otak, pikir Sunny.
Entah semenjak kapan di sebelah kanan Sunny sudah duduk seorang nenek dengan pakaian ya bisa di bilang seperti seorang pengemis.
Sunny dengan masih memakai kacamata hitamnya memandang nenek pengemis itu dengan lekat.
"Anak muda, kedepannya nanti kau akan mengalami kejadian-kejadian yang luar biasa di hidupmu, kejadian yang tak terduga tentunya," ucap sang nenek sambil tersenyum.
"Pakailah selalu kalung ini sebagai pelindungmu, jangan pernah melepaskannya," ucap sang nenek sambil meletakkan kalung liontin kunci bertahtakan permata ungu pada telapak tangan kanan Sunny.
"Maksud nenek apa?" bingung Sunny sambil memandang kalung yang berada di tangannya.
"Pakailah, kau akan membutuhkannya nanti,"
"Dan harus kau ingat. Jangan pernah kau lepaskan kalung itu dari lehermu. Mengerti?!"
Sunny hanya mengangguk mengiyakan perkataan sang nenek.
Sunny menunduk memperhatikan kalung yang ada di tangannya, saat akan bertanya pada nenek pengemis itu, Sunny kebingungan mencari keberadaannya, karena tiba-tiba saja sudah menghilang dari hadapannya.
Sunny hanya mengendikkan bahunya dan memasukkan kalung itu kedalam tasnya dan berlalu pergi untuk kembali berjalan-jalan keliling taman kota, dan tentu saja sambil menikmati jajanan pinggir jalan.
******
Saat Sunny akan bersiap untuk tidur karena sudah sangat lelah seharian berjalan-jalan, tiba-tiba teringat tentang kalung pemberian nenek pengemis.
Sunny beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar dan langsung merogoh tasnya untuk mengambil kalung pemberian nenek pengemis.
Diperhatikan dalam-dalam kalung yang ada didepannya itu.
"Apa maksud nenek itu?" tanyanya pada diri sendiri sambil memperhatikan dan membolak balikkan kalung.
Karena tak mau ambil pusing, Sunny langsung memakai kalung itu dan bergegas untuk tidur, karena lelah yang sangat amat dirasakannya.
Tanpa sepengetahuan Sunny yang sudah langsung terlelap tidur, kalung liontin kunci itu memancarkan cahaya berwarna ungu dan menyelimuti keseluruhan tubuh Sunny. Setelah beberapa detik cahaya itu menghilang dan kembali masuk ke dalam kalung.
****
Keesokan paginya, Sunny merasakan seluruh tubuhnya terasa segar dan ringan, seperti tidak terjadi apa-apa.
Selepas mandi dan memakai seragam sekolah, Sunny turun untuk sarapan bersama Ayah dan Ibunya.
Kali ini sarapan sandwich, dengan isi 2 lembar daging asap, 2 lembar keju slice, 4 potong irisan tomat, 4 potong irisan timun, mayonaise dan saus sambal. Sunny hanya memakan setengah potong, setengahnya lagi dia bawa untuk bekal kesekolah.
"Kamu yakin akan masuk sekolah hari ini?"
"100% yakin Ayah. Lihat mata sembab ku, sudah hilang," ucap Sunny ceria sambil memakan sandwichnya dengan lahap.
"Kau tidak apa-apa... Karena beberapa hari lagi kau akan menikah dan tinggal bersama keluarga suamimu?" tanya Frans sedikit ragu.
"Apa tidak bisa aku tetap tinggal bersama Ayah dan Ibu?"
"Sayang, bila sudah menikah, seorang istri harus tinggal bersama suami, lihat, seperti Ayah dan Ibu," jelas Chintya sambil tersenyum menatap Sunny lembut.
Sunny tidak menjawab perkataan Chintya, Sunny sibuk membayangkan bagaimana perlakuan suami dan mertuanya nanti, Sunny takut diperlakukan dengan kejam dan semena-mena oleh keluarga Tuan Rudolf, karena Tuan Rudolf terkenal kaya dan terpandang, memiliki aset kekayaan dimana-mana, ya asetnya itu juga didapat dari orang-orang yang meminta pinjaman kepada Tuan Rudolf tetapi tidak dapat mengembalikan pinjaman, dan akhirnya sesuai perjanjian aset orang itu menjadi milik Tuan Rudolf.
Kebanyakan orang menyebutnya "Raja Rentenir" karena memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi, sehingga para peminjam akan kesulitan untuk mengembalikannya. Dan sepertinya itu memang rencana Tuan Rudolf untuk menambah aset kekayaannya.
Banyak orang yang ingin masuk menjadi bagian dari keluarga Tuan Rudolf, walaupun hanya menjadi pelayan tidak masalah.Dan saling menjilat satu sama lain agar bisa menjadi orang kepercayaan Tuan Rudolf.
Sedangkan Sunny yang hanya gadis biasa dan hanya seorang anak dari pemilik pabrik akan menjadi menantu dari Tuan Rudolf. Sunny tak habis pikir kenapa Tuan Rudolf mau menjadikannya seorang menantu.
"Ayah... Mengapa Tuan Rudolf mau menikahkanku dengan putranya? Apa tidak ada gadis lain?" tanya Sunny penasaran.
"Ayah juga tidak tau, Tuan Rudolf bilang, dia sendiri yang akan menjelaskannya padamu nanti,"
"Jangan takut sayang, dari yang Ayah lihat, cara bicara dan tingkah laku Tuan Rudolf sepertinya dia orang baik, jadi kau jangan khawatir. Oke," ucap Frans meyakinkan Sunny.
Sunny hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan.
"Sudah, ayo cepat, nanti kau terlambat ke sekolah. Biar Ayah yang mengantarmu. Dan bawa ini, bagikan kepada teman-temanmu," Chintya menyodorkan paper bag berwarna cokelat yang berisi beberapa sandwich.
"Baik Bu, Sunny berangkat dulu Bu," Sunny mencium punggung tangan kanan Chintya, dan berlalu pergi bersama Frans.
****
Sunny tiba di kelas dan meletakkan paper bag ditengah-tengah kerumunan teman-temannya.
"Apaan nih?"
"Eh... Sunny! Kemana aja! Kamu sakit?!"
"Ya ampun Sunny, kamu tidak masuk sekolah kemarin, karena melakukan perawatan?"
"Iya ya, kinclong dan mulus banget tuh wajahmu,"
Dan blablabla banyak lagi pertanyaan dan pernyataan dari teman-teman satu kelasnya. Sedangkan yang ditanya hanya tersenyum dan menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Sebenarnya Sunny sendiri juga bingung, saat bangun tidur tadi pagi dan bercermin, sebenarnya Sunny sungguh sangat terkejut mendapati wajahnya menjadi putih bersih dan tanpa noda sedikitpun, bahkan jerawat dan bekas jerawat yang ada di pipinya sirna seketika.
Saat ini banyak teman-teman Sunny baik yang cewek maupun yang cowok yang bertanya dimana salon kecantikan yang bisa membuat wajah mulus seperti Sunny, sedangkan orang yang ditanya hanya bengong dan bingung harus menjawab apa, karena kemarin seingatnya, dia hanya mengunjungi kakaknya, lalu berjalan-jalan ditaman, bertemu nenek pengemis dan pulang ke rumah.
Tunggu. Apa ini semua gara-gara nenek pengemis itu? Entahlah.
Bel dimulainya pelajaran pun berbunyi, Sunny merasa lega akan hal itu. Semua teman-temannya kembali ketempat duduk masing-masing sambil ada beberapa temanya yang masih mengunyah sandwich pemberian Sunny.
Sunny pun terkekeh geli memperhatikan tingkah lucu teman-temannya.
****
Di kantin sekolah, Sunny duduk menyendiri dibagian pojok kantin sambil membuka kotak bekal berisi sandwich sisa bagian setengah saat sarapan tadi.
Saat akan memasukkan sandwich ke dalam mulutnya, tiba-tiba ada tangan yang menjatuhkan sandwichnya.
"Hei... Cewek penggoda! Sudahku bilang untuk jauhin Revan! Kamu malah terus-terusan nempel sama dia, kan?!" seru cewek yang sekarang ada dihadapannya.
"Sudah berapa kali sih kak aku bilang, aku ga ada hubungan apa-apa sama Kak Revan,"
"Jangan munafik kamu, Sunny, jelas-jelas kamu dan Revan tidak masuk sekolah. Pasti kalian jalan bareng kan?!" tuduh Nissa, kakak kelasnya.
"Ter... Se... Rah... Mau percaya atau tidak... Aku tidak perduli... Kak Nissa." Sunny memajukan kepalanya mendekat pada Nissa, kemudian berlalu pergi meninggalkan Nissa dan teman-temannya yang menahan kesal.
****
Sunny sedang berjalan pulang menuju rumahnya sambil memakan ice cream favoritnya, yaitu ice cream strawberry.
Tiba-tiba dari arah belakang ada mobil yang melaju sangat kencang. Saat mobil itu akan mendekati Sunny, seketika tubuh Sunny melayang dan ice cream yang ada ditangannya tumpah mengenai bagian dadanya.
"Sial!" seru suara cewek sambil menghentikan laju mobilnya dan berbalik memandang Sunny penuh kebencian.
"Kak Nissa," lirih Sunny yang mengenali plat nomor mobil dihadapannya.
Nissa dengan cepat melajukan mobilnya meninggalkan Sunny yang berlumuran ice cream.
Sunny tak habis pikir, apakah tadi Kak Nissa, kakak kelasnya akan menabraknya?
Tapi kenapa?
Sunny berdiri tegak sambil membersihkan ice cream yang menempel di dadanya dengan tisu. Dalam kebingungan dan tanda tanya besar tentang kejadian yang baru saja dialaminya, Sunny melangkahkan kakinya pulang ke rumah.
"Apakah aku harus menceritakan kejadian ini pada Ayah dan Ibu?" tanyanya pada diri sendiri.
Disisi lain Sunny ingin bercerita agar mendapatkan perlindungan. Tapi dilain sisi, Sunny tidak ingin membuat khawatir kedua orang tuanya.
Sunny berjalan mengendap-endap memasuki rumahnya, setelah dilihat aman, langsung berjalan menuju pintu kamarnya, berharap tidak bertemu Chintya -Ibunya- , bisa heboh nanti melihat badannya berlumuran ice cream.
"Aman," ucap Sunny saat berhasil memasuki kamarnya.
Dengan cepat, Sunny melepas tasnya, meletakkan diatas meja belajarnya lalu melepas sepatu dan kaos kakinya dirapikan di rak sepatu, kemudian bergegas memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Sunny melepas kemeja putih sekolahnya, kemudian membilas noda ice cream dengan air, lalu menggantungnya dengan hanger baju di pojok kamar mandi.
Karena badan terasa lengket akibat ice cream tadi, Sunny pun memutuskan untuk mandi.
"Segarnya," ucap Sunny keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Kau mandi?" kaget Chintya karena tidak biasanya pulang dari sekolah Sunny mandi.
"I... Iya, Bu, diluar panas, hehehe...." Sunny berusaha bersikap wajar pada Ibunya. Sunny tidak mau menceritakan hal yang baru saja terjadi pada Chintya, karena tidak ingin membuat khawatir kedua orang tuanya. Dan memang kebetulan juga cuaca hari ini sangat terik.
"Cepatlah pakai gaun ini, kau akan diajak Tuan Rudolf memilih gaun pengantin," Chintya mengangkat gaun yang sedang dipegangnya saat ini, kemudian menutup pintu lemari pakaian dihadapannya.
Sunny melihat gaun berwarna cream polos, dengan ikat pinggang bergerigi kecil menjadi padanannya.
"Ibu tunggu di bawah, sayang," ucap Chintya sambil meletakkan gaun berwarna cream itu diatas tempat tidur, dan berjalan menuju pintu kamar untuk keluar.
"Tapi mengapa mendadak sekali?" tanya Sunny bingung.
"Entahlah, Ibu juga baru dihubungi oleh Ayahmu tadi, Ibu menelponmu tapi tidak ada jawaban, saat Ibu masuk ke kamarmu, ternyata kau sudah pulang dan sedang mandi," jelas Chintya.
Chintya menghampiri Sunny yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Kau akan pergi bersama calon mertuamu, Ibu harap kau bersikap sopan padanya, apalagi Tuan Rudolf orang terpandang di kota ini, Ibu harap kau mengerti sayang, jangan kecewakan Ayah dan Ibumu ini," Chintya mengusap lembut rambut Sunny yang masih basah sambil tersenyum.
Sunny hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Kemudian Chintya bergegas turun untuk menemui Frans dan Tuan Rudolf di bawah.
Saat tadi di tempat kerja, Tuan Rudolf tiba-tiba datang menemui Frans dengan maksud untuk mengajak Sunny ke butik langganan keluarga Rudolf untuk memilih dan mencoba beberapa gaun pengantin yang sudah disiapkan oleh Nyonya Rebeca -istri Tuan Rudolf-.
Frans pulang bersama Tuan Rudolf ke rumah Frans, sedangkan mobil Frans akan di bawa sopir nanti. Dan Nyonya Rebeca sudah menunggu di butik.
Sunny menuruni anak tangga secara perlahan. Sunny memakai gaun yang dipilihkan Ibunya tadi, dipadukan dengan flatshoes berwarna senada dengan gaun yang dipakai yaitu warna cream. Dan rambut yang dibiarkan terurai karena rambutnya masih sedikit basah.
Sunny merasa gugup setelah berhadapan dengan Tuan Rudolf.
"Tu... Tuan Rudolf. Sa... Saya siap,"
****
Sunny duduk bersebelahan dengan Tuan Rudolf di dalam mobil.
Tuan Rudolf memperhatikan Sunny yang masih menundukkan kepalanya karena gugup.
"Kau tidak usah gugup seperti itu. Bersikap biasalah seperti kau bersikap dengan kedua orang tuamu," pinta Tuan Rudolf kepada Sunny.
"Ta... Tapi Tuan...."
"Panggil aku papa, karena sebentar lagi kau akan menikah dengan putraku,"
"Ba... Baik Tu... Papa," ucap Sunny tergagap dan langsung membenarkan ucapannya.
Sunny ingat pesan Ibunya, untuk menuruti semua permintaan dan perkataan Tuan Rudolf dan Nyonya Rebeca. Jangan sekalipun membantahnya, karena takut kalau Tuan Rudolf dan Nyonya Rebeca akan sakit hati dan membatalkan pernikahannya lalu Ayah dan Ibunya akan masuk penjara nanti. Apalagi Tuan Rudolf orang yang terpandang dan disegani di kota ini.
"Anakku tidak bisa ikut menemanimu untuk memilih gaun pengantin karena satu dan lain hal, apa kau tidak apa-apa hanya ditemani oleh papa dan mamamu?" ucap Tuan Rudolf sambil memandang kearah Sunny.
"Ti... Tidak apa-apa papa," Sunny berusaha tenang menjawabnya.
Tuan Rudolf tertawa senang mendengar jawaban Sunny.
****
Sesampainya di butik, Sunny disambut ceria oleh Nyonya Rebeca. Dan langsung diajak masuk ke dalam butik untuk memilih gaun pengantin yang sudah disiapkan olehnya sejak tadi.
Sunny sedari tadi bingung untuk memilihnya, karena ada sepuluh gaun pengantin dihadapannya yang sangat indah, tapi entah kenapa Sunny merasa kurang tertarik untuk memilih salah satu diantaranya apalagi untuk mencobanya.
Tiba-tiba Sunny melihat gaun pengantin yang bercorak keemasan dan sedikit bersinar di dalam lemari kaca.
Sunny berjalan mendekatinya kemudian teringat sesuatu, tapi apa ya?
"Ah... Kalung itu, ya warnanya senada seperti kalung itu," gumam Sunny karena telah mengingatnya.
Tetapi Sunny ragu untuk mengatakan hal ini kepada Tuan Rudolf dan Nyonya Rebeca. Sunny takut, pilihan gaunnya ini tidak diterima oleh mereka.
Sunny perlahan berjalan mendekati Tuan Rudolf dan Nyonya Rebeca, bermaksud untuk mengutarakan ketertarikannya dan memilih gaun pengantin bercorak keemasan itu.
"Maaf... Pa... Ma... Bolehkah aku memilih gaun yang berwarna keemasan itu?" tanya Sunny sedikit ragu. Dan takut bila tidak disetujui.
Tuan Rudolf dan Nyonya Rebeca bersamaan melihat ke arah gaun yang dimaksud Sunny.
"Cobalah," ucap Nyonya Rebeca sambil tersenyum lembut ke arah Sunny.
Nyonya Rebeca memerintahkan pegawai butik untuk menurunkan gaun dan membantu Sunny untuk memakainya.
Sunny memasuki ruang ganti di butik tersebut, menanggalkan gaun berwarna creamnya dan kemudian dibantu dua orang pegawai butik untuk memakai gaun pengantin bercorak keemasan itu.
Setelah beberapa saat kemudian, kedua pegawai butik itu membuka gorden sebagai pembatas antara ruang ganti pakaian dan ruang tunggu.
Alangkah terkejutnya Tuan Rudolf dan Nyonya Rebeca yang melihat Sunny memakai gaun pengantin bercorak emas, sedikit bergelombang di bagian bawahnya, bermotif bunga dengan corak keemasan lebih tua dari warna gaun, serta ada sentuhan berlian dibagian dada.
"Wow... Kau sangat-sangat cantik dan menawan sekali sayang, kau memang sangat pintar dalam memilih, benarkan suamiku?" Nyonya Rebeca memandang Tuan Rudolf tersenyum senang.
"Benar," setuju Tuan Rudolf.
"Apa mama dan papa tidak marah, atas pilihanku ini?" tanya Sunny penasaran.
"Bagaimana kami bisa marah, sayang, pilihan gaunmu ini sangat-sangat cantik," jawab Nyonya Rebeca sambil menggenggam erat kedua tangan Sunny.
"Kalau begitu, kita akan buat pesta pernikahan bertema gold, bagaimana menurutmu, kau suka?" tanya Nyonya Rebeca antusias kepada Sunny.
"A... Aku menurut saja ma,"
Tawa bahagia mereka bertiga terdengar di dalam butik yang oleh pemilik butik sengaja dikosongkan untuk privasi Tuan Rudolf.
Memang "Butik Matilda" -nama butiknya- sudah menjadi langganan dari keluarga Tuan Rudolf. Ibu dari Tuan Rudolf yang selalu cocok dengan gaun atau busana apa saja dari Butik Matilda, karena menurutnya jahitannya rapi, sesuai dengan selera, desainnya selalu unik berbeda dari butik manapun dan selalu pas dibadan, sehingga menjadikannya sebagai butik andalan keluarga Tuan Rudolf.
****
Sunny sudah membersihkan tubuhnya kembali dan bersiap untuk tidur, setelah tadi di wawancara dengan banyak pertanyaan oleh kedua orangtuanya, dan di jawab oleh Sunny dengan antusias.
Kedua orangtuanya sangat terkejut dan tak menyangka saat Tuan Rudolf dan Nyonya Rebeca menyuruhnya memanggil papa dan mama. Ternyata Tuan Rudolf tak seburuk yang Frans dan Chintya bayangkan selama ini serta dengar dari orang-orang sekitar.
Orang-orang sekitar banyak mengatakan bahwa Tuan Rudolf adalah pria yang sangat kejam dan tak mengenal belas kasihan, mungkin orang-orang itu berpikiran seperti itu karena belum mengenal Tuan Rudolf secara baik.
Saat Sunny bersiap akan memejamkan matanya. Ia melihat bayangan seseorang berdiri di balkon jendela kamarnya, dengan perlahan Sunny turun dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon.
Sunny membuka gorden dan nampaklah seseorang dengan memakai jubah dan penutup wajah serba hitam, serta menampakkan manik merahnya yang menatap Sunny dengan penuh kelembutan.
Jarak Sunny dan seseorang itu hanya terhalang oleh jendela kaca. Sehingga Sunny sangat amat jelas melihatnya.
"Si... Siapa kamu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!