Samantha melangkahkan kakinya perlahan di koridor salah satu klinik ternama di kota ini. Minggu lalu ia iseng menyerahkan surat lamaran pekerjaan di klinik itu karna informasi yang dia dengar dari temannya bahwa di klinik itu fasilitas dan kesejahteraan kerja pegawai lebih diperhatikan. Dan semalam bagian HRD
klinik menelpon untuk datang hari ini. Shift pagi yang harus dia jalani di RS terpaksa harus ditukar dgn teman untuk bisa hadir hari ini.
Suasana klinik agak sepi. Berbeda dengan situasi di rumah sakit tempatnya kerja yang selalu padat antrian pasien. Yang ditemuinya sekarang adalah seorang gadis belia, bidan muda yang sedang berjaga di ruang pendaftaran pasien.
Setelah agak dekat dengan bidan jaga itu, Samantha baru ingat bahwa Minggu lalu juga bidan ini yang menerima surat lamaran pekerjaannya.
" Selamat pagi mbak, saya Samantha.. kemarin sore saya ditelpon oleh bagian HRD kliniknya untuk datang hari ini". Samantha sebenarnya enggan mendekati dan bertanya karena melihat tumpukan berkas di sebelah pegawai itu yang menandakan bahwa dia sedang sangat sibuk. Namun diluar dugaan, ternyata pegawai itu sangat ramah.
" Oh iya mbak, Bidan Samantha ya? Silahkan ke ruangan mbak, sudah ditunggu Ibu Citra". jawab pegawai itu sembari menunjuk ruangan di sebelah loket umum.
Samantha tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pegawai itu. Dengan tenang Samantha melangkah menuju ruangan yang ditunjukkan tadi. Beberapa langkah sebelum tiba diruangan itu, Samantha melihat seorang pria berjalan ke arahnya, pria muda berkacamata dan Samantha langsung tahu bahwa dia dokter di klinik ini setelah melihat stetoskop yang melingkar di leher pria itu. Tanpa sadar Samantha memperhatikan pria itu yang berjalan semakin dekat ke arahnya.
Postur tubuh yang tinggi, dada bidang dan lengan yang tampak kokoh dalam balutan seragam dokter. Begitu mempesona dan seolah menyihir mata Samantha. Dan tiba2 saja pria itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Tersenyum ramah dan menyapa.
" Hai, kamu yg ditunggu sama Mama ya?" tanyanya sumringah dengan senyum yang manis dan terlihat bahagia. Tambah satu lagi yang membuat Samantha semakin terpesona, tatapan mata yang teduh dan indah dalam bingkai alis mata yang tebal. Dalam hati Samantha menggumam betapa sempurnanya ciptaan Tuhan yang tampak dihadapannya saat ini.
Dengan sikap salah tingkah yang berusaha disembunyikan, Samantha menjawab "oh iya dok, saya Samantha." Samantha mengulurkan tangannya dan disambut jabat erat oleh si dokter tampan.
" Alan... panggil Alan aja, jangan panggil Dok ya.." jawabnya lirih dengan tersenyum manis.
Kembali lagi hati Samantha berdetak aneh, nafasnya terasa berhenti sejenak.
" Okkey..lain kali ngobrol lagi ya .. kamu udah ditunggu Mama di ruangan" ujarnya sambil tersenyum lagi. Samantha mengangguk pelan dan ikut tersenyum.
Setelah interview yang singkat dengan wanita yang disebut Mama oleh dokter Alan tadi, akhirnya diputuskan Samantha mulai bisa bekerja di klinik ini Senin depan. Samantha melangkah gontai menuju halaman klinik dan kembali dari sudut matanya dia menangkap bayangan seseorang yang sudah mulai tidak asing baginya, karena sejak pertemuan pertama tadi raut wajah itu terus membayang di pelupuk matanya, ya... dokter Alan.
Baru saja dokter Alan terlihat berlari kecil menuju ke arah tempat Samantha berdiri, sebuah suara menyadarkan Samantha.
"Sayang, ayo pulang, sudah selesai kan interviewnya? Ayo...biar ngga keburu siang". suara laki-laki yang duduk diatas motornya sedari tadi menunggu Samantha. Ya... dialah Devan, suami Samantha.
" Yank, aku brangkat dulu ya... jaga anak-anak.. nanti ingat antar Sheilla les nari jam 3 yaa.." ujar Samantha pada Devan, suaminya. Samantha memang sudah terlalu sibuk sebenarnya dengan 2 anak yang sudah mulai sekolah. Sheilla dan Rheinna, gadis kecil usia 10 tahun dan 6 tahun. Yaa...menjaga dua putri kecil memang sudah sangat menyita waktu Samantha. Tapi dia harus tetap bekerja untuk menopang ekonomi keluarga. Devan yang tenaga honorer di sebuah sekolah menengah umum, memperoleh penghasilan yang tidak seberapa banyak untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Jadi mau tidak mau Samantha harus bekerja. Samantha sebenarnya ingin mempunyai banyak waktu luang untuk bersama kedua putri kecil mereka.
Dengan menggunakan jasa Abang ojek, akhirnya Samantha sampai di klinik tempatnya baru bekerja. Ini adalah hari pertama dimana dia tidak boleh terlambat.
Kecelakaan besar 6 tahun yang lalu masih menyisakan trauma berat baginya sehingga dia belum berani mengendarai sepeda motor sendiri. Yah terpaksa untuk pulang pergi setiap hari Samantha harus menggunakan jasa ojek. Atau kalau suaminya, Devan lagi free kadang dia yang mengantar Samantha.
Setibanya di klinik Samantha segera menuju kamar pegawai untuk menyimpan barang bawaannya di loker.
" Hai, kamu jaga pagi?" sapa sebuah suara yang sudah tak asing di telinga Samantha. Ya, suara yang akhir-akhir ini sering terngiang di telinganya walaupun dia sedang beraktivitas di rumah. Baru saja Samantha siap menjawab sapaan itu, si pemilik suara sudah sigap berdiri di belakangnya.
" Eh hai, iya dok..saya....mmm...jaga pagi, dokter Alan juga jaga hari ini?" tanya Samantha agak kikuk.
" Iya..kita berdua jaga pagi hari ini, Papa ada urusan keluar, jadi aq diminta gantiin Papa" jawabnya santai disertai senyuman ramah yang khas. Akhh...senyum itu, kenapa setiap dokter Alan tersenyum Samantha merasa aneh. Tapi segera ditepisnya jauh-jauh perasaan itu.
Pagi ini di klinik lumayan sibuk karena pasien yang berkunjung untuk berobat terus berdatangan. Sampai di pukul 13.00 akhirnya mulai sepi. Samantha bergegas membuka sarung tangan yang dikenakannya tadi selama bertugas dan mencuci tangan.
Ruangan praktek yang tidak terlalu luas dan terdapat hanya satu wastafel dalam ruangan membuat Samantha terus merasa kikuk saat berada dalam satu ruangan dengan dokter Alan. Padahal biasanya Samantha merasa biasa-biasa saja dengan rekan kerja laki-laki yang lain. Dokter Alan memang sedari tadi menatapnya, bahkan dengan bersenandung kecil..
"...sejak jumpa kita pertama ku langsung jatuh cinta...walau kutahu kau ada pemiliknya..."
Potongan lagu dari penyanyi almarhum Chrisye itu disenandungkan oleh dokter Alan sambil menatap ke arah Samantha.
Samantha tahu itu dan mulai mengambil ancang-ancang untuk segera pergi dari ruangan itu. Tiba di luar ruangan Samantha menghirup nafas panjang. Baru saja dia hendak menuju kamar pegawai untuk mengambil botol air minumnya, penunggu pasien dari ruang Angsoka, ruang kelas 1 untuk pasien rawat inap memanggilnya dan meminta untuk dilihat kondisi keluarganya diruangan. Samantha melupakan rasa hausnya dan bergegas kembali ke ruangan untuk mengenakan gown dan sarung tangan. Tapi di depan pintu ruang praktek dokter, ia terhenti dan ragu-ragu untuk masuk ke dalam karena dokter Alan masih disana. Tapi demi kewajiban harus segera melihat kondisi pasien dan melaporkannya ke dokter, dia memberanikan diri untuk masuk.
" Permisi dokter.." ujarnya saat melihat dokter Alan masih duduk manis di kursi. Masih dengan rasa kikuk yang berusaha ia sembunyikan, Samantha mencari tempat handscoen / sarung tangan praktek yang tidak dia temukan ditempat biasa.
" Disini..." Dokter Alan menunjuk tempat handscoen yang kini sudah berada di sebelah tempat duduk dokter Alan.
Samantha menganggukkan kepalanya dan meraih sarung tangan itu. Tapi ternyata tempat sarung tangan itu agak dibawah tempatnya sehingga Samantha harus merunduk untuk meraihnya. Dan beberapa detik kemudian adalah peristiwa yang mengubah hati dan perasaannya. Setelah meraih sarung tangan itu Samantha mendongak dan otomatis jarak antara dia dan dokter Alan sangat dekat.
" Gimana, ktemu sarung tangannya?" tanya Dokter Alan sambil berbisik hingga membuat Samantha kaget. Alhasil Samantha dengan reflek menoleh ke arah suara dan tanpa sadar mendongak. Wajahnya dan wajah dokter Alan begitu dekat...sangat dekat...hingga suara nafas dokter Alan yang berat dan terburu-buru begitu jelas terdengar oleh Samantha. Dan satu lagi.. Bibir itu terasa hangat walaupun hanya tersentuh di bibirnya dalam sepersekian menit.
Dengan kaku dan perasaan campur aduk, Samantha berusaha berlalu dari tempat itu tapi tangan dokter Alan menggenggamnya.
" Per..misi...dok... " ujar Samantha melepaskan genggaman tangan dokter Alan dan segera berlari keluar dari ruangan itu.
Samantha keluar ruangan dengan perasaan kacau dan bercampur aduk.
"Aku tidak boleh begini, ini salah, tidak boleh seperti ini" rutuknya dalam hati.
Sementara di dalam ruangan, dokter Alan bersandar di kursi sambil termangu. Dia mereka ulang peristiwa tadi.
"Ada apa denganku...aku tidak seharusnya seperti ini, aku harus ingat bahwa aku sudah ada Lina.." gumamnya. Tapi dia tidak bisa melupakan semburat teduh tatapan mata Samantha. Keteduhan yang tidak bisa ia temukan pada orang lain termasuk Lina, tunangannya. Sorot mata yang membuat hatinya teduh dan nyaman hanya pada diri Samantha.
"Alan, duduk sebentar..ada yang ingin mama bicarakan". Dokter Alan tertegun mendengar panggilan mamanya yang ternyata sudah menunggunya di ruang tamu malam itu.
"Nggak bisa besok aja Ma? Alan capek mau istirahat" jawabnya sambil berusaha menunjukkan ekspresi yang benar-benar kelelahan.
"Sebentar saja, ada yang ingin Mama tanyakan tentang seseorang". Suara tegas Mamanya mulai membuat Dokter Alan membaca situasi yang tidak bagus. Segera dia urungkan niatnya menuju tangga kamarnya dan berbalik arah menuju tempat duduk sang Mama.
"Ada apa Ma? Kenapa Mama tampak begitu serius? Seseorang...siapa maksud Mama?" tanyanya.
"Samantha.." ujar mamanya datar dan singkat namun cukup membuat debar jantung dokter Alan seketika bertambah cepat.
"Alan, beberapa hari ini Mama mengamatimu, dari sikap yang tak biasa, perubahan kebiasaan dan juga laporan beberapa orang ke Mama...tentang kamu dan Samantha" ujarnya.
"Apa kamu ada perasaan khusus pada Samantha? Kalau ada, lupakan Nak. Kamu sudah bertunangan dengan Lina kan? Dan lagi, kamu kan tahu kalau Samantha itu sudah bersuami dan sudah punya seorang anak. Jadi Mama nggak akan izinkan kalian dekat karena nanti bisa mengundang masalah" lanjutnya panjang lebar.
Alan menarik nafas panjang. Tak ada yang ingin dijelaskannya. Perasaan yang dia miliki untuk Samantha cukup dia yang tahu. Tapi dia harus menyelesaikan percakapan ini agar tidak jadi perdebatan panjang dengan mamanya.
"Baik Ma...aku akan jaga jarak dan sikap" jawabnya singkat.
"Sekarang aku mau istirahat dulu Ma, kepalaku agak pusing" lanjutnya sambil beranjak dari tempat duduknya dan segera menuju tangga kamarnya. Dia ingin segera sampai di kamar untuk melanjutkan renungannya di klinik tadi siang tentang Samantha.
Mamanya mengangguk pelan dan membiarkan Alan berlalu. Ia paham sifat anak bungsunya itu yang tidak suka berdebat panjang. Walaupun dalam hatinya masih ada satu ganjalan perasaan yang belum selesai.
Pagi ini Samantha merasa badannya agak tidak sehat. Kemarin sore dia pulang dari jaga kehujanan dan suaminya menelpon dari kantor untuk memberitahukan bahwa dia tidak bisa menjemput Samantha. Sebenarnya dokter Alan sudah menawarkan bantuan untuk mengantar Samantha pulang. Tapi demi situasi dan hubungan yang harus terus dijaganya, dan demi mengatasi debaran jantungnya saat berdekatan dengan dokter Alan, jadi mau tidak mau dia harus menolak ajakan dokter Alan.
Nada dering handphone nya berbunyi nyaring, terus melantunkan bait demi bait lagu Cinta karena Cinta nya Judika. Dengan enggan Samantha beranjak menuju handphone nya di meja rias. Satu chat masuk di WhatsApp..
" Pagi tha... kamu ngga jaga?" satu chat simple yang membuat dada Samantha berdetak kencang. Chat dari dokter Alan...
Jari lentik Samantha mulai mengetik dengan gamang. "Saya ijin hari ini dok, saya sakit" . Samantha menarik nafas panjang dan menghembuskan dengan lelah. Dalam pikirannya saat ini terasa kacau dan tidak tentu. Bingung dengan perasaan yang beberapa waktu terakhir ini dia rasakan setiap kali mendengar suara dokter Alan, terlebih lagi saat bertemu. Degupan jantungnya terasa aneh. Belum selesai dia dengan kekacauan pikirannya, satu chat masuk lagi di handphonenya. Dokter Alan lagi.
" Gws tha...". Sesimpel itu sebenarnya. Tapi hati Samantha teriak kacau. Dan kehadiran suaminya membuyarkan semua lamunan. Betapa hati Samantha serasa menanggung dosa yang begitu besar seketika saat melihat suaminya dengan tulus membawakan makanan dan minuman ke kamar. Dalam hati Samantha berbisik.."aku harus sudahi semua kekacauan ini...".
Pagi ini Samantha paksakan diri untuk kerja. Mamanya dokter Alan yang tak lain adalah bos besarnya pasti tidak akan senang melihatnya berlama-lama libur. Walaupun baru beberapa kali bertemu dia tapi Samantha sudah bisa membaca karakter wanita paruh baya itu seperti apa. Dan satu hal yang sebenarnya menjadi beban hati yang tetap ia simpan adalah sejak pertemuan kedua dengan wanita itu Samantha merasa sorot mata tidak suka wanita itu padanya. Tapi Samantha berusaha tidak memperdulikan itu dan tetap bekerja sebaik-baiknya. Apalagi dia adalah mama dari seorang dokter Alan yang hangat dan baik hati. Ahh..lagi lagi dokter Alan. Batin Samantha meronta ingin keluar dari semua rasa ini. Tapi nihil, dia tidak bisa.
" Hei... Sam...bengong aja kamu, aku mau minta tolong nih..." tiba tiba saja Putri sudah didepannya. Putri salah satu rekan jaga nya di klinik yang cukup akrab dengan Samantha. Dan satu-satunya teman yang memanggilnya dengan panggilan akrab Sam.
" Minta tolong apa nih? Jangan yang berat-berat yah minta tolongnya.." gurau Samantha.
" Sayang banget Sam..gw minta tolongnya bakal beraaat banget hahaa" teriak Putri heboh. Putri memang karakternya seperti itu, heboh dan santai.
" Apaa dehh, cepetan nih laper mau makan trus pulang.." kata Samantha udah mulai nggak fokus pada omongan Putri. Dia melihat sosok yang familiar di matanya, sosok tampan dan atletis. Dokter Alan terlihat menuju arah tempatnya duduk dengan Putri.
" Iya iya... to the point deh.. gantiin gw jaga malem besok yaa...pliss.." pinta Putri dengan tampang memelas dibuat-buat.
Samantha mulai gelisah dan mau beranjak bangun dari tempat duduk saat dia lihat dokter Alan sudah semakin dekat.
" Ehhh Sam...gimana bisa kan nolongin gantiin gw besok?" serbu Putri berusaha narik tangan Samantha untuk duduk kembali. Tapi Samantha tetap memilih untuk pergi dan menghindari dokter Alan.
"Siappp...besok aku gantiin" jawab Samantha sambil berlari pergi. Berlari dengan sejuta perasaan yang tidak tentu.
"Selalu dan lagi-lagi degupan aneh ini.." gumam Samantha dalam hati. Tanpa sadar dia menangkup kedua tangannya untuk merasakan degupan aneh yang ia rasa. " Akhhh...rasa apa ini.." teriaknya dalam hati. Ia merasa tersiksa menahan perasaan seperti itu. Dan esoknya...kisah baru yang dimulai tanpa diduga...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!