Mendung di pagi hari mentari bersembunyi dibalik awan abu-abu. Suara alarm berbunyi kencang diatas portable kayu dengan lampu tidur yang masih redup menyala.
“Kali ini aku harus bangun dan segera ke kantor, ada hal besar yang akan terjadi.” Steven bersemangat menyongsong hari.
Setelah berbulan-bulan Steven mengamati pengusaha tanpa cela itu “Henry Elfred” kali ini tidak akan lepas lagi. Kenaikan karir menjadi ketua tim editorial akhirnya akan disandangnya tahun ini.
Aku yakin itu!
Sudah cita-citanya menyingkirkan si Brengsek Hoffman dari kursi ketua. Steven tidak perlu lagi bergelandangan dijalanan atas perintahnya.
Masuk kedalam mobil dan berangkat, aku melihat jam baru pukul 07.00, “tepat sekali,”. Tidak menyadari bahwa ada dua mobil berwarna hitam sedang mengikuti. Melewati beberapa blok pemukiman dengan kecepatan sedang, "akulah sang wartawan gosip terkemuka yang selalu berambisi untuk mengungkap kehidupan para pengusaha, politisi ataupun pejabat tinggi negara."
Dirinya tidak pernah takut untuk berurusan dengan mereka, semakin berbahaya semakin tinggi ketertarikannya. Pak Hoffman tentu saja sering memanfaatkannya untuk tugas-tugas berbahaya semacam itu.
Jalan ditutup ada perbaikan
Steven harus memutar arah, melewati jalan tikus, tiba-tiba sebuah mobil menghadangnya, rem mendadak. Sembari membuka jendela dan memaki pengendara yang menghalangi jalannya, “Pake otak dong, ini satu arah, minggir!”.
Tiba-tiba mobil lainnya juga menghadang dari arah belakang yang membuatnya terjebak. Tiga orang turun dari mobil tersebut dan melancarkan pukulan bertubi-tubi.
Tiga orang memakai pakaian dan jaket serba hitam dengan penutup kepala, mereka memakai
masker, sepertinya mereka sengaja agar tidak bisa dikenali. Ini jebakan!
“Apa-apaan nih … siapa yang mengirim kalian,” sahutnya mencoba bertahan dari serangan.
Mereka menariknya keluar dari mobil dengan paksa dan melakukan serangan bertubi-tubi tanpa ampun. Hingga Steven tersungkur ketika beberapa menerima tendangan kearah perut dan memukuli kepala dan wajahnya. Steve penuh luka dan tidak sadarkan diri.
Seorang yang berpakaian rapih memakai kacamata hitam turun dari mobil, Steven samar-samar melihatnya karena memar diantara matanya membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Lalu mendekati pria itu dan berkata, “Enough!” sahut pemimpin penyerangan itu. Mereka segera berhenti setelah perintah tersebut.
“Never think of playing with fire!” Pemimpin itu berbisik ditelinganya.
“Leave him to die!”
Kemudian mereka meninggalkannya sendirian dengan luka dalam dan pendarahan yang parah. Mereka sengaja meninggalkan karena menginginkanku, mati. Namun, Steven beruntung karena masih bisa menggerakkan tangannya mengambil handphone meminta pertolongan. Setelah mendapatkan penanganan, pria itu mengalami patah tulang rusuk, gegar otak ringan dan memar dibeberapa wajah.
Setelah beberapa minggu berada dirumah sakit, Steven berangkat ke kantor seperti biasanya. Setelah penayangan berita skandal dihotel pengusaha Henry dan Nyonya Thalif saingannya yang sempat menggemparkan. Kenapa tidak ada yang heboh.
Ini ada yang aneh semua terlihat tenang saja. Memasuki pintu kantor, beberapa rekan kerja melihatnya dengan terheran-heran. “Apa yang sudah terjadi? Aku kira kamu tidak masuk kerja karena ada tugas lapangan,” sahut mereka.
“Ini bukan apa-apa,” sahutnya.
“Steve ada dari media kriminal ingin meminta klarifikasi dari kau tentang pengeroyokan itu, apakah kau bersedia,” tanya Edward bagian humas.
“Damn, aku sudah katakan kepada petugas polisi dan media yang datang kerumah sakit bahwa ini hanya perkelahian kecil saja,” pungkas Steve. Mencoba untuk menutupi kejadian yang sebenarnya.
“Aku sudah mengatakannya Steve tapi mereka tidak percaya, mereka yakin ini ada hubungannya dengan skandal politisi dari partai nasionalis, “Baskoro Abadi”, masih ingat perselingkuhannya dengan artis,” seru Edward lagi.
“Are you sure ini tentang mereka?”
“Yeah, dari media itu yang bilang, seorang detektif menemukan sebuah kartu nama ditempat kejadian … mereka orang bayaran Steven!” ujar Edward. Come on Steve.
“Maksudmu apa? Aku harus mengungkapkannya? ... kau tahu aku hampir mati di gang kosong dan sempit itu … dan kau ingin aku membuka mulut ini, kita ini cuma wartawan gosip yang bisa dibilang paling rendah kedudukannya diantara jurnalis bung, kalau aku mati, mati konyol tidak akan jadi tajuk berita atau dianggap sebagai pahlawan. Please man, wake up.” Pungkas Steve. sadar dirilah.
Edward hanya bisa menyingkir setelah mendengar penjelasan Steve.
“Steve…Bos Erick mau ketemu didalam,” sahut Derry.
“Sepertinya kamu kena masalah kali ini,” Derry berbisik.
"Apa? Bos Erick pemilik dan pemegang saham perusahaan “Scandal Magazine” ingin bertemu denganku. Aku rasa ini saatnya karirku melesat pesat," pikir Steven dengan yakin.
“I Don’t think so, not this time baby … hehe,” ucapnya terkekeh meledek Derry.
Kenapa Steven sangat yakin.
Melangkah dengan keyakinan pasti keruangannya, dari kejauhan Bos Erick terdengar sedang berbincang dan tertawa bersama dengan seorang tamu kehormatan. Tidak pernah Bos Erick tertawa seperti itu.
I**ni ada yang aneh. Perasaan Steven berubah menjadi tidak karuan.
Tok!
Tok!
Tok!
“Masuk,” ucap Bos.
Steve terkejut bukan main, melihat ada seseorang disana.
Henry Elfred?
Yang benar saja … ini tidak *mungkin***!
“Steve … masuklah, silakan duduk,” sahut Bos Erick menyahut.
Steve duduk dengan berhati-hati mencoba menyembunyikan kegelisahannya sedangkan Henry Elfred tidak merubah posisi duduknya sedikitpun bahkan menikmati cerutu yang disuguhkan.
“Steve, kamu sudah tahu kan siapa beliau?”
“Tentu saja, aku sudah menyelidikinya selama dua tahun ini.”
“Hahahaha ….” Henry Elfred tertawa terbahak-bahak.
“Saya suka dengan semangat anak muda seperti kau, tetapi kau tidak akan mendapatkan apa-apa dariku,” Henry menyakinkakn.
“Anda salah, karena saya sudah menayangkan berita skandal tentang anda di Kalimantan.”
“Hem … hem … berita itu tidak bisa tayang,” sahut Bos Erick.
“Apa? Kenapa?” ucap Steven tidak percaya.
“Pemainan apa lagi ini, apakah Bos sudah dibayar olehnya?” tukas Steven kesal dan berdiri.
“Tutup mulutmu Steve … kau yang membuat berita tidak benar, seharusnya kau minta maaf padanya.”
“Hehe .…’’ Henry terkekeh.
“Saya ingin bicara empat mata dengannya,” ucap Henry.
“Baik Pak Henry, saya akan tinggalkan kalian berdua.”
Steve semakin murka tidak percaya apa yang didengarnya, kalian semua penjilat.
Setelah Bos Erick pergi meninggalkan mereka, Steve masih mencoba untuk meredakan amarahnya namun Henry tetap tenang bagaikan singa yang memainkan makanannya.
“Saya tidak suka menghisap cerutu, tidak pernah menyukainya dan bukan orang yang pandai berbasa-basi ….” Henry sambil mematikan cerutu itu.
Omong kosong … jika tidak suka kenapa dari tadi menghisapnya, dasar pengusaha kotor, sahut Steve dalam hati yang geli mendengarnya.
“Wanita yang kau buat berita adalah bukan wanita yang kau maksud,”
“Apa?? ... jangan berkelit lagi, saya tidak mungkin salah kali ini dan tidak pernah salah.” Berusaha untuk tetap yakin.
“Saya akui kau sangat hebat sebagai wartawan gosip, karena skandal yang diberitakan semuanya fakta terjadi, tetapi tidak kali ini ....”
“Apa buktinya?”
“Saya akan berikan buktinya, tapi ada syarat yang harus dipenuhi.”
“Apakah semacam kontrak?”
“Hahaha … kontrak hanya untuk pegawai, ini perjanjian antar laki-laki, Saya memuji Anda tahu!”
“Hmm … baiklah apa syaratnya?”
“Saya mau kau berjanji tidak akan memberitakan wanita ini setelah saya berikan identitasnya.”
“Lalu? Hanya itu ...,” tanya Steven.
“Dan saya ingin meminta bantuan.”
“Apa? Tidak salah dengar, kau meminta bantuan pada saya?”
“Tentu saja, karena kaulah yang paling bertanggung jawab akan hal ini,” sergah Henry.
“Baiklah … saya sanggupi persyaratannya … cukup mudah.”
Henry mengeluarkan beberapa berkas dari sebuah amplop yang dibawanya disaku. Sebuah foto wanita dan bukti yang sangat menyakinkan bahwa wanita yang dimaksud itu bukan dia.
“Baiklah saya salah, memang wanita ini terlihat
sama, tetapi mereka berbeda,” aku Steven.
“Selanjutnya apakah saya perlu meminta maaf?” sambungnya.
“Kau sangat arogan sekali … saya tidak perlu permintaan maaf itu,” sergah Henry.
“Akibat pemberitaan itu, kau membuatku mengalami tiga kerugian, proyek yang gagal, harus meluruskan semua rumor hingga harus bersembunyi beberapa bulan dan saya kehilangan jejak wanita itu. Tugasmu mencari keberadaan wanita itu dan laporkan perkembangannya setiap saat. Selagi saya menyelesaikan semua permasalahan yang Kau buat … Paham!” sambung Henry segera bangun dan meninggalkan Steve disana.
“Tunggu ....”
“Kenapa kau mempercayaiku? .…” Steven penasaran sembari memandangi foto wanita itu.
“Karena saya lebih mempercayai Anda untuk saat ini, itu saja.”
“Apakah beberapa minggu yang lalu aau yang menyuruh orang untuk mengeroyokku?”
“Wow … ini tuduhan yang serius … saya hanya pengusaha bukan Mafia, mungkin ada yang tidak suka dengan pemberitaan yang Anda lakukan selama ini!”
“Apakah kau yakin itu bukan Anda?”
“Tentu saja … yang saya lakukan hanya membeli seluruh saham “Scandal Magazine” untuk memberi anda pelajaran!” sahutnya sembari tertawa.
“APA?”
“Hahaha …." Henry terkekeh puas lalu pergi.
"Baiklah kali ini kau menang “Henry Elfred” tapi tidak untuk nanti karena aku sudah tahu kelemahanmu yaitu wanita ini …."
Cynthia, wanita yang dicintai oleh Henry Elfred.
"Hehehe ...." Sembari memandangi foto wanita cantik itu.
"Aku menjadi penasaran seperti apa wanita ini hingga Henry berani melindunginya hingga diberikan kepada musuhnya." sembari melihat foto itu dengan seksama, memainkan jemari di dagu seperti pemikir kebanyakan.
***
Part 1: Love At First Sight
Satu tahun sebelumnya,
"Pak Henry untuk lima kandidat sekretaris yang terpilih sudah datang, apakah mau wawancara sekarang?" ucap Ratna sekretaris senior yang sedang mencari pengganti dirinya.
"Ok, persilahkan mereka masuk." ucap Henry. CEO dari perusahaan minyak terbesar di Indonesia. Orang yang tidak banyak bicara, tegas namun berkharisma.
Kelima kandidat itu sudah berdiri dihadapanku.
"Perkenalkan diri kalian masing-masing," ucapku. Ada seorang kandidat yang kulihat berbeda. Sangat sederhana, pakaiannya juga biasa, masih terlalu muda. Namun sorot matanya sungguh menawan.
"Nama Saya Cynthia, lulusan SMA dan bercita-cita ingin memulai karir sebagai sekretaris diperusahaan besar seperti yang Bapak pimpin saat ini."
“Hiihiihii ... hanya lulusan SMA punya cita-cita setinggi langit," seru kandidat lain yang mengolok-oloknya.
Aku menatap seluruh kandidat yang telah mengolok-olok.
“Kau sangat percaya diri … Cynhia,” ucapku menatapnya.
Cynthia justru kembali menatapku, gadis ini sama sekali tidak punya rasa takut.
“Kalau begitu ceritakan apa yang membedakan dirimu sebagai pemula dan mereka yang memiliki gelar S1, S2 bahkan ada yang sudah berpengalaman."
Ini kesempatan untukmu Cynthia, gadis pemberani. Jika kau tidak bisa memberikan jawaban yang membuatku terpesona, aku tidak akan menerimamu.
“Sebagai pemula saya ibarat kertas kosong yang belum diisi tulisan apapun, sehingga Bapak punya kewajiban lebih terhadap saya. Bapak seharusnya yang memikirkan untuk lebih memberikan saya kesempatan untuk mengisinya dengan tulisan-tulisan yang baik, agar kelak bisa sukses sesuai harapan perusahaan ini. Sedangkan kandidat lainnya ... saya yakin mereka akan mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain jika tidak diterima disini.” Cynthia dengan penuh keyakinan.
"Apa?" aku tertegun dengan ucapannya.
“Sombong sekali sih dia … mengatur pemimpin perusahaan ini. Berani sekali dia bicara begitu.” seru kandidat lainnya merengut kesal.
Henry menatap penuh keingintahuan terhadap Cynthia ini. Sembari menopang dagu dengan kedua punggung tangannya, matanya tidak hentinya menatap gadis itu.
Gadis ini sangat menarik diriku tentang banyak hal.
Baru kali ini ada kandidat yang mengutarakan pemikiran seperti itu. Sungguh tidak terduga.
Tanpa pikir panjang lagi.
“Baiklah kau diterima kerja diperusahaan ini, untuk kandidat yang lainnya seperti yang Cynthia bilang, saya yakin kalian akan mendapatkan pekerjaan diperusahaan lain yang membutuhkan kalian,” ucapku.
Wajahnya tidak percaya apa yang sudah berlaku padanya, kuyakin ini adalah hari terbaik selama hidupnya.
Empat kandidat lainnya tercengang dan raut wajah mereka menggambarkan kekecewaan yang sangat besar sampai ada yang menangis tidak terima hasil keputusan. Cynthia langsung diantar ketempatnya sembari menunggu pelatihan. Wajahnya masih sangat terkejut sekaligus senang. Dirinya tidak percaya bahwa akan diterima bekerja meskipun hanya lulusan SMA.
Sementara itu didalam ruangan Henry, Bu Ratna penasaran dengan pilihan atasannya itu.
"Pak, kenapa lebih memilih Cynthia yang hanya lulusan SMA? Bukankan perusahaan ini membutuhkan sekretaris yang memiliki keterampilan bahasa, cekatan dan bisa mengerjakan semua hal yang terkadang sulit untuk dilakukan oleh orang dengan kemampuan super sekalipun!"
"Ratna, apakah Kau meragukan intuisiku atau ingin mengatakan jika kau tidak sanggup melatihnya, sebelum kau pensiun?"
"Bukan begitu Pak, maksud saya … bisakah memilih satu kandidat lagi dari lainnya. Saya kuatir akan keteteran dengan tugas yang sangat banyak ini."
"Kau tahu kan Ratna, saya tidak suka bekerja dengan banyak orang. Menurutmu kenapa selama 15 tahun aku hanya memiliki 1 sekretaris saja," ucapku memberikan tatapan tegas.
"B-baik pak, kalau begitu saya akan mempersiapkannya sekarang juga!"
"Jika kau tidak sanggup, berikan setengah bebanmu untukku."
"Maksud Pak Henry?" tanya Ratna.
"Ya, tempatkan Cynthia diruanganku, aku akan yang membimbingnya langsung!"
"Baik pak."
Saya menyukainya Ratna ... saya menyukainya.
***
Setelah tiga bulan pertama pelatihan sebagai sekretarisnya selesai. Cynthia langsung ditempatkan satu ruangan dengan Pak Henry. Sejak hari pertamanya, bos nya selalu memberikan tugas yang sangat berat. Memberikannya buku untuk dipelajari dan menghapal istilah-istilah yang belum pernah dibaca selama hidupnya. Pak Henry juga memberikan buku untuk belajar berbahasa asing dan melatihnya setiap hari dengan mempraktekkannya.
Cynthia sangat kewalahan dan bosan. Sebab, bekerja diperusahaan ini menyita waktu, tenaga dan pikiran. Hingga sempat dirinya ingin berhenti dan menyerah saja. Namun, Cynthia harus bertanggung jawab mencari kandidat lain yang setara dengan bu ratna atau dirinya yang sekarang.
Pak Henry juga selalu mengingatkan ucapannya ketika wawancara langsung tiga bulan yang lalu. Bahwa perusahaan ini memiliki kewajiban lebih untuk mengisi tulisan-tulisan yang baik. Cynthia menyesal telah mengatakan hal itu. Namun, dirinya tidak mau mengecewakan Bu Ratna yang sebentar lagi pensiun dan bos yang sudah menerimanya bekerja.
***
Nasib Cynthia ditangan Bos galak bagaimana yah? Beri dukungan buat penulis ya )
Menjadi topik perbincangan oleh rekan-rekan kerja dikantor siapakah pacar Bos?
Apalagi beliau masih bujangan, sehingga banyak yang mencoba tebar pesona kepadanya. Berbeda denganku yang berpenampilan sederhana tidak menarik dan fokus kepada pekerjaan saja.
Pemilik perusahaan itu bernama Henry Elfred. Nama yang keblaster-blasteran keturunan Jawa dan Inggris dari keluarga Ayah.
Sampai tiba saatnya, Bu Ratna merasa sudah ada pengganti dirinya. Sudah sejak tiga tahun yang lalu Bu Ratna ingin mengajukan pensiun, tetapi beliau selalu menolak karena belum ada pengganti yang bisa sehebat dirinya. Namun kali ini aku merasa bangga karena dianggap pantas untuk menggantikannya, sekaligus sedih karena harus berpisah dengan rekan kerja dan mentor yang hebat seperti beliau.
Bu Ratna ingin kembali mengurus keluarga, sudah lelah dengan hiruk pikuk hebohnya pekerjaan kantoran. Menjadi sekretaris bukan hanya sekedar berpakaian rapih, rok pendek dan senyum yang otomatis terpasang. Sekretaris adalah jembatan penghubung dari dalam dan luar perusahaan, tidak hanya itu sekretaris juga bisa dianggap sebagai keluarga karena lebih mengetahui seluk beluk setiap atasannya melebihi dari istrinya
sekalipun.
Namun, selama aku bekerja belum pernah mengurusi hal yang pribadi, menurutnya Henry memang seorang yang sangat misterius dan menyimpan masalah pribadinya sendiri.
Aku juga mendengar desas desus mengenai Bos Henry, rekan-rekan dikantor ada yang mengatakan bahwa beliau seorang playboy dan suka bermain kasar, maklum saja dirinya seorang bujangan kaya raya. Namun, aku tidak menggubrisnya mereka memang sering bergunjing. Lagipula aku hanya ingin fokus bekerja dan sebatas antara atasan dan bawahan, tidak mungkin akan terlibat hal-hal diluar batas.
Aku yakin mereka telah salah menilai Bos Henry, beliau tidak pernah memandang atau merendahkan selama bekerja disini.
Suatu hari aku beserta beberapa rekan kerja, pemilik perusahaan dan investor terbesar harus menghadiri sebuah tinjauan langsung ke lokasi pengeboran minyak ditengah lautan. Kami harus menggunakan pesawat komersil dan helikopter perusahaan untuk dapat ketempat tersebut. Ini adalah pertama kalinya ketempat seperti itu.
Pengalaman pertama tidak ada yang memberitahu soal pakaian. Tetap memakai rok dan sepatu hak tinggi seperti biasa. Tapi apa boleh buat sudah terlanjur. Dua helikopter kami mendarat mulus disebuah hangar kecil ditengah laut sebagai lokasi pengeboran.
Perusahaan Henry-lah yang membuat kerangka-kerangka besi itu bisa berdiri ditengah lautan sampai kedasarnya sehingga minyak yang ada didasar bumi bisa diambil. Aku takjub dengan besi-besi raksasa, kerangka-kerangka yang menjulang tinggi diatas kedalaman lautan. Saat itu mereka memberikan kami helm dan rompi pelampung.
Apakah ini untuk berjaga-jaga jika ada kondisi terburuk terjadi, saat itu bulu kudukku berdiri memikirkannya.
Angin kencang yang sering membawa tubuh kurus dan mungil ini kearah kanan dan kiri membuat jengkel pemilik perusahaan itu.
Menoleh kearahku yang seakan-akan jijik atau bisakah kau berjalan lurus atau sebaiknya kamu pulang saja, makan dan tidur, begitu pemikiranku tentang tatapannya itu.
Aku menjadi semakin tidak percaya diri olehnya. Apalagi dengan sepatu hak tinggi ini membuatku tidak seimbang berjalan diterpa angin dan medan yang tidak rata. Ingin pergi dari sini cepat-cepat rasanya. Berusaha untuk tidak terjatuh atau terpeleset. Lalu hal itu terjadi tapi lebih parah, karena terlalu fokus dengan jalan sampai tidak melihat bahwa harus menunduk. Aku terbentur kencang kerangka besi dan terjatuh lalu tidak sadarkan diri.
Terbangun, berada di hotel dan tidak ingat apa yang terjadi. Di sebuah cermin terlihat sebuah perban yang menempel menutupi dahi. Teringat membentur kerangka besi. ceroboh sekali aku. Cynthia mengecek telepon ada
Beberapa panggilan masuk tidak terjawab beberapa kali dari Pak Benny Manager kantor, dan pesan yang bertuliskan, “ Cynthia, kami kembali kekantor setelah melihat kondisimu cukup bagus. Jangan kuatir ada Pak Henry disana.”
Mati Aku, dalam hati.
Tak lama kemudian, Bos menelepon aku ragu-ragu mengangkatnya.
“Kamu sudah sadar? ayo turun temani saya makan malam,” ucapnya.
“I-iya pak saya siap-siap d-dulu,” sahutku.
“Jangan lama-lama saya tunggu pukul 19.00 di restauran.” sahut Henry tegas langsung menutup teleponnya.
Aku syok saat itu, Henry memang terkesan tegas, galak dan membenciku kenapa dia ingin aku menemaninya makan malam. Dasar Bos aneh.
***
Kemudian aku melihat jam dinding menunjukan pukul 18.45, padahal belum mandi dan bersiap-siap.
“Gawaaaattttt! ...,” ucapku sambil melompat kearah tempat tidur kesisi sebelah kanan dan berguling sebanyak tiga kali agar segera sampai ke lantai dan bangkit lalu berlari ke kamar mandi. Aku seperti Rambo yang sedang menghindari rentetan peluru yang bertubi-tubi.
Mandi dan dandan dalam waktu 15 menit, lumayanlah yang penting rapih dan wangi. Aku menggunakan gaun terusan pendek sederhana berwarna soft pink. Menurutku ini sopan, tidak
terlalu pendek. "Oh tidak sudah pukul 19.15, aku bergegas dengan berlari!"
Padahal kepalaku masih sedikit pusing.
Ketika sampai di restaurant, mengamati dan mencari Bos Henry berada. Seorang pelayan menghampiriku dan menanyakan.
“Ibu bernama Cynthia?” sahut pelayan itu.
“Iya ...,” sahutku singkat sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Bapak Henry sudah menunggu sejak tadi … silakan lewat sini ruangan VIP,” sahut pelayan itu.
“Mas … mas … Bos Henry sudah berapa lama disini?” sahutku berbisik sambil mengikutinya dari belakang.
“Kira-kira setengah jam lebih,” sahut pelayan itu membalas bisikan.
“Bunuh saja akuuu …,” sahutku lemas. Kaki ini gemeteran melangkah sampai kepintu.
Menarik napas panjang dan menyuruh pelayan itu untuk tidak membuka ruangannya terlebih dahulu. “Biar Saya menenangkan diri dulu mas, Saya belum siap.”
Pelayan itu menyetujuinya sambil menunggu kode tanda siap dariku. Ketika keadaan sudah sedikit tenang dan dalam pikiran sudah ada beberapa alasan keterlambatan yang akan kukatakan kepada Bos.
"Aku siap! Bring it on."
Ketika pintu terbuka, aku melihat Bos Henry sedang berdiri membelakangiku didekat jendela-jendela berkaca besar itu, sedang memandangi kearah luar. Kami berada dilantai 28 dan sama sekali tidak takut melihat ketinggian. Memegang segelas minuman beralkohol dan sisa botol diatas meja yang hanya tersisa seperempat.
'Belum pernah aku melihatnya dengan seperti ini'
Aku takut bagaimana jika bos mabuk dan takut mengganggu ketenangannya. Situasi ini agak canggung. Lebih baik tadi bos menyambutnya dengan makian dan hinaan karena diriku sudah terlambat, lalu aku menangis kembali ke kamar, selesai. Namun situasi diluar bayangan ini membuatku frustrasi, apa yang harus dilakukannya.
Aku mulai melangkah mendekatinya dan mencoba menyapanya, melangkah sedikit demi sedikit, betisku terasa gatal. Aku menggaruknya dengan ujung sepatu. Begini kebiasaan jika aku gugup. Melakukan hal-hal aneh.
“Bo … eh Pak Henry, maaf saya terlambat, tadi … ada tel ...,” sahutku terpotong.
“Baru kali ini ada seseorang sepertimu yang membiarkan seseorang yang berharga sepertiku menunggu ....” Henry berbalik dan mendekati.
“Ma-maaf Pak sa-saya tidak bermaksud membuat anda menunggu ...,” sergahku sambil melangkah mundur.
“Bapak bisa saja langsung memulai makan malamnya, saya akan pergi saja,” ucapanku terpotong.
Pertama kalinya Aku melihat mata Pak Henry begitu indah, matanya begitu coklat dan guratan biru disekeliling retinanya.
"Jangan pergi Cynthia, kumohon temani aku makan malam, aku tidak suka makan sendirian."
"Baiklah," ucapku segan untuk menolak ajakannya.
Pak Henry menarik kursiku sebagai sikap kesopannya. Mendadak dirinya membungkam mulutku dengan tangannya. Memelukku lembut dari belakang. Aku hanya terpaku dengan perlakuannya.
Aroma tubuhnya tercium dan sangat menyegarkan. Baru kali ini ada yang memelukku seperti ini.
“Diam berpura-puralah kau menikmatinya selama 5 menit,” ucapnya berbisik.
"Apa?" aku tidak paham maksudnya.
Aku bingung harus apa, berada dibawah kendalinya.
Tiba-tiba, muncul seseorang yang langsung membuka pintu, seakan itu adalah penggerebekan sebuah skandal besar. Seorang wanita cantik dan elegan berwajah barat kearaban masuk tanpa diundang.
Sepertinya Bos Henry mengetahui bahwa wanita ini akan datang.
“Come on Henry you have never changed at all, lets talk about business,” sahutnya wanita itu.
Aku melihat ada seseorang diluar yang menggunakan kameranya dan mengambil foto wanita itu. Sebuah kilatan dari kameranya terpancar, siapa wanita itu.
“You ruined my dinner!” pungkas Henry kesal.
“I’m not interested in talking to business with you, Go Away. “Our business is
done, traitor.” Henry murka dan mengusir wanita itu.
Wanita itu jengkel melihat sikap Henry yang menghiraukannya lalu pergi.
Melihat wanita itu pergi Henry seperti semakin murka dan melimpahkan amarahnya kepadaku. Aku merasakan degup jantungnya yang cepat dan wajahnya yang berubah pucat menahan marah.
Lalu, Henry menempati kursinya dan memanggil pelayan. Aku melihat wajahnya sedikit gusar. Semakin bingung harus berbuat apa. Situasi ini sangat canggung. Aku takut jika bertanya akan merusak mood-nya.
"Bisakah kau tersenyum, paling tidak itu membuat hatiku tenang," ucapnya tiba-tiba.
Deg!
Deg!
Apa maksud ucapannya itu.
Aku menyeringai kaku.
"Kau sangat jelek," ucapnya lagi.
Sontak aku cemberut. Tadi disuruh senyum sekarang dia bilang aku jelek. Dasar aneh.
Makan malam dengannya berdua saja, seperti sepasang kekasih. Tergelak tawa namun menahannya sekuat tenaga. Aku tidak mau membuatnya kesal.
"Kenapa senyum-senyum?" tanyanya.
Kenapa Henry bisa tahu padahal matanya fokus pada makanan didepannya. Apa dia punya mata didahi juga.
"Tidak ... tidak apa-apa Pak, hanya teringat sesuatu yang lucu."
"Boleh aku tahu apa yang membuatmu bisa tertawa seperti itu," ucapnya sembari menatap dan tersenyum manis.
Deg!
Deg!
Deg!
Jantungku memompa lebih cepat. Sepertinya jantung ini diserang oleh martil senyumanya yang dahsyat.
"Pak, bisakah bapak tidak tersenyum seperti itu," ucapku spontan.
Glek!
Meneguk air mineral.
"Kenapa?" ucapnya santai sembari mengiris steak dipiringnya.
"Jelek ... ya jelek!" membalasnya.
"Apa? ... aku jelek? Hahaha ...." Dirinya tertawa terbahak-bahak. Seakan itu sangat lucu baginya. Mungkin baru kali ini ada yang mengatakan dirinya jelek.
"Emang lucu Pak?"
"Iya lucu ... baru kali ini ada yang berani mengatakan itu langsung di depanku!"
Setelah menyelesaikan makan malam, Henry mengajakku ke sebuah taman dihotel. Sehabis makan kebiasaannya untuk bertelanjang kaki menapaki rerumputan. Dan, aku menemaninya melakukan itu. Ternyata kaki ini terasa sangat geli seperti diserbu oleh ribuan semut yang menggerayangi.
"Hihihi ...."
"Ada apa?" tanyanya sembari tersenyum.
"Lucu sekali rasanya,seperti ada yang menjalar mengelitiki. Baru kali ini aku merasa sangat geli." seruku.
Henry memandangiku dan matanya bersinar. Aku tidak sanggup melihatnya. Sungguh sejak tadi hati ini seakan ingin keluar dari tempatnya. Aku kuatir terkena serangan jantung.
Tiba-tiba, Henry mencium bibirku lembut. Aku terbelalak dibuatnya, sedang dirinya menutup mata dan seakan menikmatinya. "Apa yang harus kulakukan?"
Mendorong tubuhnya agar menjauh. Aku bingung dan berlari darinya.
"Cynthia ...," ucapnya memanggilku. Namun aku terus berlari menuju kamar.
Masuk kedalam kamar dan menguncinya. Apa yang baru saja terjadi padaku. Pak Henry menciumku, apa dia pikir aku wanita murahan yang bisa diperlakukan seperti ini. Ciuman pertamaku dengannya, apa dia sedang mempermainkanku. Mungkin dia pikir aku anak kecil yang mudah diperalat. Tidak bisa, aku bukan perempuan seperti itu. "Awas saja yah, Bos. Akan kuberi pelajaran!"
Menelepon Pak Benny,aku berniat untuk melaporkan kejadian ini.
Nada sambung yang belum terangkat. Setelah sepuluh kali dering akhirnya tersambung.
"Halo, siapa malam-malam begini yang telepon?" seru Pak Benny yang terbangun.
"Halo Pak ini Cynthia ... maaf pak saya mau!"
"Cynthia ada apa, kamu sakit?" serunya lagi.
"Ah ... tidak pak ... saya mau melap ...," terpotong lagi.
"Pak Henry baik-baik saja?" tanyanya.
"Ah ... iya pak. Saya cuma mau tanya kapan bisa pulang?" mengurungkan niat untuk melaporkan kejadian ini. Aku malu.
"Sebaiknya kau tanya Pak Henry langsung yah, kau kan sekretarisnya," balasnya.
Tiba-tiba sambungan terputus.
***
Berikan like, vote, boom dan comment ya )
Malam itu aku tidak bisa tidur memikirkan ciuman itu. Ada apa denganku, itu hanya kecupan biasa. Mungkin orang lain sudah pernah merasakan yang lebih daripada itu, kenapa aku harus memikirkannya terus.
“Gara-gara Henry kampreeettt!” dengan rambut acak-acakan dan mata panda.
Bersiap-siap untuk segera menemuinya.
Semua sudah berkumpul diruang meeting. Aku terlambat lima menit, tidak peduli lagi jika bos memarahiku. Ini semua salahnya. Aku kesal tidak bisa tidur.
Tatapan matanya hanya sekilas melihatku dan langsung fokus pada pembicara yang sedang memaparkan slide makalahnya. Pak Henry memberikan kode padaku untuk memberikan berkas yang diperlukannya. Kebiasaannya yang selalu menbuat perincian sendiri atas perencanaannya, bos seorang perfeksionis. Terkadang aku membencinya karena hal itu membuatku lembur. Sekaligus memujanya, bos memang hebat.
Setelah dua jam lebih akhirnya selesai juga. Diselingi dengan coffee break, segera mengambil se-cup kopi. Aku sangat membutuhkannya saat ini. Ketika sudah menghabiskan gelas kedua. Mendadak Henry memanggilku dan aku mendekatinya dengan jaga jarak.
“Ada apa denganmu pagi ini?” ucapnya tanpa melhatku, tetapi dengan mata didahinya.
“Aku?... tidak ada apa-apa pak,” ucapku santai.
“Lalu kenapa menghabiskan dua gelas kopi sekaligus, maag-mu akan kambuh,” ucapnya.
“Sa-saya sedikit mengantuk pak,” balasku santai.
“Sana siapkan berkas C yang kau harus minta dari klien, aku tetarik dengan perencanaannya.”
“Sudah saya mintakan sebelum bapak suruh,” jawabku santai sembari berlalu pergi.
“Apa … ada apa dengannya?”
“Oiya pak, lain kali jika bapak habis minum jangan memintaku untuk menemanimu,” seruku yang memberinya tatapan kesal.
Henry hanya terbelalak bingung dengan perkataanku. Paling tidak aku sudah lega telah mengucapkan itu. Sehingga dia tidak akan memintaku untuk menemaninya lagi. Aku sedikit sedih karena sepertinya Henry tidak berpengaruh apa-apa soal ciuman itu. Dirinya masih fokus bekerja sedangkan aku seperti tidak berpijak di bumi. Bergentayangan seperti hantu yang sedang berada di dua alam.
Aku kecewa padanya, yang menganggapku perempuan gampangan. Seharusnya Henry meminta maaf atas perbuatannya itu atau paling tidak mengirimkan teks WhatsApp. “Dasar Bos arogan.”
Aneh kenapa dari tadi aku menyebutnya sekedar nama saja bukannya Bos atau Pak.
Sepertinya aku butuh istirahat.
Ketika makan siang bersama, seperti biasa aku disampingnya dan beberapa investor lainnya. Menikmati sajian sembari berbincang soal bisnis. Tiba-tiba aku teringat makan malam bersamanya. Aku mulai gelisah, dan menatapi wajahnya dari sini. Memperhatikan bibirnya seperti ter-zoom. Bibirnya yang indah. “Oh Tuhan ada apa dengan otakku ini.”
Mendadak perutku sakit, aku meminta izin untuk meninggalkan ruangan. Bos Henry memberikan kodenya. Segera berlari ke kamar mandi. Aku memuntahkan semua makanan yang tadi disantap. Perutku terasa melilit dan kembung. Sepertinya apa yang dikatakan Henry benar, maag-ku kambuh.
Membersihkan mulutku sembari mencucinya diwastafel. Mencoba untuk berdiri tegak dan berpangku pada kedua tangan diatasnya. Aku bercermin dan menatap wajah yang memantul disana.
“Aku harus kembali fokus dan melupakan ciuman itu.” Sembari menyakinkan diri. Aku bukan perempuan yang sepadan untukknya, mungkin itu hanya ciuman biasa buka hal yang luar biasa.
Muncul pesan singkat diponsel.
“Tidak perlu kembali kesini, istirahatlah,” ucapnya dalam pesan itu.
“Baiklah, jika aku tidak dibutuhkan lagi.” Sembari berjalan menuju kamarku.
***
Terbaring diranjang ini dengan rasa lelah dan perut yang semakin nyeri saja. Sudah tiga kali aku muntah mengeluarkan seluruh isinya. Jendela kamar yang masih terbuka sudah meredup cahaya yang memancar kedalam kamar. Cahaya dari rembulan yang kian gelap. Aku tidak sanggup lagi untuk melangkah dan menyalakan lampu.
Suara bel berbunyi.
Samar-samar aku mendengarnya hanya saja aku tidak sanggup lagi. Tubuhku lemas dan hanya ingin tidur saja. Setelah beberapa lama tidak terdengar lagi deringan bel. Suara ponsel yang terdengar redam dari dalam tas-ku juga akhirnya tidak kuangkat. Aku hanya memandang sebentar keluar jendela dan melihat cahaya dari bintang-bintang. “Sangat indah”, lalu tidur lagi.
Mendadak suara pintu yang dibuka oleh seorang petugas hotel. Aku menatap sosok yang ada dibelakangnya. Seorang yang kukenal, “Henry”.
Aku berusaha bangun dan duduk, “aku tidak apa-apa Pak, hanya butuh istirahat,” ucapku.
Seorang dokter memeriksa keadaan dan memberikan resep obat. Setelah itu mereka pergi dan tinggal Henry sendiri.
“Bapak kenapa tidak kembali saja!”
“Tidak apa-apa aku akan melihat keadaanmu sebentar lagi.”
Henry memberikan semangkuk bubur yang diberikan dari restoran hotel. Ketika dirinya mau menyuapi, aku menolaknya.
“Berikan saja padaku, aku bisa makan sendiri!”
Lalu, Henry mulai membuka laptopnya disini dan mengerjakan sesuatu.
“Pak, kembali saja kekamar. Ini sudah malam saya juga mau istirahat!”
“Kamu tidur saja, aku akan berada disini sebentar lagi.” balasnya dengan mata di dahi.
Kebiasaannya bicara tidak melihat, dasar!
Malam itu yang teringat aku tertidur dibawah pengaruh obat. Perlahan perut yang nyeri hilang dan kantuk yang begitu berat. Membawaku ke sebuah mimpi indah.
Henry selalu berada disisiku dan tidak pernah beranjak. Memeriksa keadaan hingga pagi. Hingga kecupan selamat tidur yang disematkan pada kening. Sembari mengcapkan, “Lekas sembuh Cynthia.”
Terbangun dari mimpi indah, meskipun itu hanya bunga-bunga tidur. Membuatku bersemangat dan tersenyum bahagia.
***
Dibalik kamar ini setelah semalaman menjaganya, aku akan mandi untuk menyegarkan diri. Dasar perempuan lugu, menjaga dirinya saja tidak bisa. Apa yang harus kulakukan untuk membuatnya tidak memikirkan ciuman itu. Aku tahu Cynthia memikirkannya terlalu dalam hingga jatuh sakit.
Kenapa aku tidak bisa melupakannya sejak wawancara itu, baru kali ini hatiku tersentuh lagi setelah pengkhianatan wanita itu. “Thalifa Guzman, aku tidak akan melupakan perbuatanmu.”
Pertemuan terakhir hari ini dengan para investor, pemgembang dan perencana proyek. Seperti biasa aku selalu datang lebih awal untuk mengecek kelengkapan dan kekurangan dalam pemaparan kemarin. Menatap berkas-berkas ditanganku dengan teliti, aku mendengar langkahnya memasuki ruangan.
Langkah kakinya yang kecil dan kurus, seperti anak ayam. Tubuhnya terlalu kurus untuk gadis dengan tinggi 163 cm.
“Selamat pagi Pak,” ucapnya padaku.
“Pagi.” aku hanya melihatnya dengan mata yang lain. Mata hati.
Dirinya menyiapkan berkas-berkas yang kuminta kemarin, langsung menyodorkan dimejaku.
“Apa kau sudah sarapan?”
“Nanti saja pak … aku baik-baik …,” ucapnya kupotong.
“Jika kau tidak sarapan tidak usah mengikuti meeting ini. Aku tidak mau terlihat kejam karena sekretarisku terlalu kurus, kering, kerempeng.” Seruku sembari memberikan catatan pada berkas.
Cynthia hanya diam terpaku disana, sangat terkejut. Wajahnya kubuat bersedih lagi. Berbeda dengan sebelumnya ketika masuk keruangan ini, terlihat bahagia.
Maafkan aku Cynthia, kamu harus makan.
Aku melihatnya keruangan sebelah yang tersaji sarapan dengan menu lengkap. Mengikutinya dengan mengintip, dirinya sedang melahap semangkuk croissant kesukaannya yang bertaburkan keju dan gula pasir. Itu kesukaannya. Gadis itu sangat lucu, kenapa bisa sangat menyukainya. Teringat waktu aku membawakan makanan ke kantor untuk para karyawan, dari sebanyak yang kusediakan. Cynthia hanya mengambil croissant, bahkan mengambil 2 sekaligus.
Ketika ditanya oleh yang lain kenapa menyukainya, Cynthia menjawab karena seperti memakan
berjuta-juta lembaran ketika menggigitnya. “Lihat ….” Sembari menunjukkan kedalam bekas gigitan itu dengan mulut yang penuh. Aku tertawa mengingat itu.
Aku akan menyediakan berjuta-juta croissant hanya untukmu Cynthia.
Tak lama semua datang dan aku mulai memberikan tanggapan mengenai beberapa perencanaan yang disetujui dan tidak. Dan pertemuan itu selesai sesuai rencana.
Sebelum kembali ke kamar dan bersiap-siap untuk pulang. Aku melihat Mr. Fukuya investor dari Jepang berbincang dengan Cynthia. Namun, aku tidak menggubrisnya. Cynthia sudah tahu batasan tugasnya, meninggalkannya disana dengannya.
***
Bersiap-siap untuk pulang. Menelepon seseorang untuk menjemput dan tiket pesawat yang sudah dipesan. Memberikan teks pesan singkat padanya agar segera bersiap-siap. Setelah 15 menit dirinya tidak membalas.
“Kemana Cynthia?”
Meneleponnya karena kuatir.setelah dering kesekian kalinya tidak diangkat juga. Aku menjadi sangat kuatir. Mencarinya diruang meeting dan tempat lainnya tidak ada. Bertanya kepada seorang staff disana, terlihat bersama dengan tamu dari Jepang.
“Mr. Fukuya!”
Aku bertanya dikamar berada Mr Fukuya menginap, ternyata satu lantai diatasku. Aku berlari dan lift semua sedang turun. Memasuki tangga darurat dan memutari anak tangga satu lantai. Tubuhku berkeringat dan sedikit kelelahan. Entah apa yang terjadi padanya, aku takut dia dimanfaatkan oleh Mr. Fukuya.
Kamar 1208. Mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal sebelum mengetuk kamar itu. Tiba-tiba pintu itu terbuka dan mereka keluar sembari mengucapkan salam perpisahan dan berjabat tangan. Lalu, Mr. Fukuya terkejut melihatku juga berada didepannya.
“Aku mengatakan juga mau mengucapakan perpisahan, karena ini adalah hari terakhir,” sambungku menutupi yang sebenarnya.
Mr. Fukuya sangat senang dengan sambutan dari kami yang ramah. Lalu kami meninggalkannya disana dengan senyumannya yang mengembang.
Setelah dirinya masuk kedalam. Cynthia bertanya, “dari mana pak … basah keringetan semua, bau tahu!” serunya sembari berjalan meninggalkanku.
Cynthia berjalan cepat masuk kedalam lift dan aku mengikutinya. Masih dengan napas yang kelelahan. Tiba-tiba lift ini berguncang keras dan mematikan sistem listriknya. Cynthia melompat kepadaku dengan ketakutan.
“Pak, kenapa ini?” sembari memegang lenganku erat.
Aku hanya menikmati aroma rambutnya yang tercium didepanku.
“Katanya bau koq dekat-dekat…,” ucapku meledeknya.
“Pak, jangan becanda lagi, kenapa ini?” ucapnya semakin ketakutan.
“Coba pencet tanda itu, bilang kalau kita terjebak disini!”
Cynthia memencetnya dan menunggu seseorang menjawabnya. Ketika ada suara yang menjawab, dengan cepat mengabarkan jika lift ini mati dan terjebak di lantai 9 atau 10.
Petugas itu memberitahukan jika ada masalah, mungkin sekitar setengah jam baru bisa kebuka. Petugas sedang berusaha memperbaikinya.
“Setengah jam? Tidak bisa lebih cepat pak, saya takut ruang sempit. Bagaimana jika kami kehabisan napas!”
“Nanti aku akan berikan napas bantuan,” ucapku becanda.
Cynthia semakin kesal dan aku justru tersenyum dalam hati. Aku menyandarkan diri disudut ruang itu sembari duduk. Mencoba mengatur napas pendek-pendek untuk menyisakan oksigen.
Cynthia masih saja berdiri ketakutan.
“Cyn, bisa tidak kau duduk. Kepanikanmu itu membuatku semakin tegang!”
“Bagaimana ini …,” ucapnya semakin ketakutan.
“Cynthia … duduk!” ucapkan sedikit menekan.
Entah kenapa Cynthia duduk disampingku, terlalu takut untuk menempati sudut satunya.
“Sudah tidak perlu takut, setengah jam tidak lama, mungkin kurang dari itu kita akan keluar.”
“Pak nanti hotel ini dikomplen yah, kenapa lift-nya bisa macet begini,” serunya hampir menangis.
“Sudah, tenang yah,” sembari menepuk-nepuk bahunya.
“Oiya, pak Henry darimana tadi, koq ngos-ngosan?”
“Cari kamu, telepon tidak diangkat.”
“Maaf, hape-nya ketinggalan dikamar. Tapi, kenapa ngos-ngosan.”
“Aku kuatir ….”
“Kuatir?”
Cynthia kumohon jangan bertanya lagi, aku kuatir tidak bisa menahan diri lagi.
“Hmm … sepertinya kita akan terlambat pulang,” sahutku mengalihkan pembicaraan.
“Jangan-jangan pak Henry kuatir sama aku karena Mr. Fukuya yah, tenang saja pak. Aku bisa menjaga diri koq …,” ucapnya lugu sembari memberikan senyuman kebanggaan itu.
Dasar bocah, senyumku mengembang dibuatnya.
“Koq senyum pak, memang ada yang lucu!”
Dasar gadis naif, senyumku mengembang lagi.
“Masa bodoh ….”
Aku sudah tidak bisa lagi menahan perasaan suka ini.
Menyentuh pipinya dan perlahan menariknya dekatku dan menciumnya. Kali ini aku benar-benar menciumnya, bukan sekedar kecupan seperti semalam. Aku ingin mengatakan dengan bahasa tubuhku bahwa inilah bahasa hatiku.
Memberikannya rasa hangat, melampiaskan kekhawatiranku barusan. Aku ingin kamu tahu bahwa inilah yang kupikirkan tentangmu. Tidak ingin mengakhirinya namun aku ingin menjaganya sebelum merusaknya.
Melepasnya meskipun masih dengan irama napas yang sama, aku dan Cynthia menyatu. Saling memandang. Mungkin ini pengalaman pertamanya yang sulit untuk dilupakan. Menyentuh bibirnya sekali lagi dan berucap.
"Aku menyukaimu, Cynthia."
***
Berikan dukungan untuk penulis ya )
Jangan lupa Like, Vote, Boom dan Comment.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!