Hari ini langit begitu cerah. Matahari sudah naik keperaduannya sejak bulan mengucapkan selamat tinggal. Sinarnya sangat terang. Aura panasnya mulai membakar permukaan kulit. Burung-burung yang sedari tadi pagi berkicau diatas pepohonan, dan saling bersahutan kini mulai berterbangan satu persatu. Embun pagi yang menetes setitik demi setitik, perlahan mulai hilang tanpa jejak.
Pagi itu, seorang wanita paruh baya tengah sibuk berkutat didapur. Aroma masakan sudah mulai terasa menyeruak kedalam indera penciuman bagi siapa saja yang menginjakan kaki disana. Tangannya lihai memainkan sebilah pisau. Mencacah satu persatu sayuran yang akan dimasak. Lidahnya pun tidak berhenti mencecapi masakan lain yang tengah dibuatnya. Mengecek apakah rasanya sudah pas atau belum.
"Ahh, sepertinya ini sudah pas!" gumamnya setelah dirasa tidak ada yang kurang.
Satu jam pun sudah berlalu. Semua masakan sudah siap. Bu Widia mulai menaruh sayuran dan lauk yang tadi diolahnya ke dalam wadah masing-masing. Lalu membawanya ke meja makan.
"Ayah! Raisa! Ayo kemari makanannya sudah siap!" Teriak Bu Widia memanggil suami dan anaknya.
Seorang lelaki paruh baya, yang tengah duduk di teras sambil ditemani secangkir kopi hitam, segera melipat koran harian yang dibacanya. Merasa terpanggil oleh sang istri lelaki itu pun masuk kedalam meninggalkan sesapan terakhir dicangkir kopinya.
"Wah, sepertinya enak nih Bu!" pujian dilontarkan Pak Rahman pada istrinya sembari menarik kursi lalu duduk.
"Pasti dong! Istrinya siapa dulu!" Ibu mengedipkan matanya. Pak Rahman terkekeh.
"Kemana Raisa bu? Apa dia belum bangun?" Tanya Pak Rahman.
"Entahlah, sepertinya semalam dia bergadang lagi. Makanya jam segini belum terlihat batang hidungnya." Sahut Ibu yang sudah tak heran dengan kebiasaan anaknya.
"Coba panggil bu, kita makan bersama! Sekalian Ayah ingin bicara padanya."
"Eh, Ayah mau bicara soal apa? Soal perjodohan itu?" Tanya Ibu.
"Ya. Kita harus memberitahu Raisa secepatnya Bu. Lagipula aku sudah berjanji pada Danu untuk menikahkan putra-putri kami saat dirasa umurnya cukup." Jelas Ayah.
Bu Widia tertegun menatap suaminya. "Tapi yah, apa tidak apa-apa jika Raisa kita jodohkan?" Ibu sedikit ragu dengan rencana suaminya.
"Bu, tenanglah! Ayah sudah mengenal baik keluarga Danu. Mereka keluarga baik-baik. Kita juga sudah pernah bertemu bukan dengan puteranya? Dia tampan, mapan, baik, dan sopan. Jadi Ibu tidak perlu khawatir." Ucap Ayah meyakinkan sembari menggenggam tangan Ibu.
"Tapi yah.."
"Sudah Bu. Ayo cepat panggilkan Raisa perutku sudah lapar! Kalau kita bicara terus nanti makanannya keburu dingin, kan mubazir kalau dianggurin, sudah capek-capek dimasak oleh istriku yang cantik ini!" Kelakar Ayah sambil mencubit hidung Ibu.
"Ih Ayah." Ibu tertawa kecil, menepuk pundak Ayah lalu pergi untuk memanggil Raisa.
Tok..tok..tok
"Raisa ayo bangun! Kita makan nak!" Panggil ibu, tangannya membuka handle pintu.
Ibu yang melihat anak kesayangannya masih meringkuk dikasur hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya tuhan, anak ini, jam segini masih bergelut dengan selimut?!"
"Raisa, ayo bangun!" Teriak ibu sambil menggoyang-goyangkan tubuh putrinya.
"Akh ibu, aku masih ngantuk!" sahut Raisa dari balik selimut dengan suara khas orang bangun tidur.
"Kau tau ini sudah jam berapa?!"
"Aku libur bu!" Raisa menjawab sembari terus menarik selimutnya menutupi seluruh bagian tubuh.
"Ya, ibu tau hari ini kau libur! Tapi kau itu seorang gadis. Tidak baik jika seorang gadis bangun terlalu siang!" Dengan sekuat tenaga ibu menarik kembali selimut yang membungkus tubuh Raisa.
"Ayo cepat bangun! Ayahmu sudah menunggu! Jika kau tidak segera bangun, ibu berjanji tidak akan memberimu makan dan uang saku lagi!" Senjata andalan ibu keluar. Ibu tahu jika Raisa diancam seperti itu dia tidak akan bisa berkutik.
"Akh Ibu,, baiklah ibu menang!" Akhirnya Raisa membuka selimutnya. Wajahnya merengut menatap sang ibu.
"Nah gitu dong, ini baru namanya anak ibu!" Ibu tersenyum penuh kemenangan. Tangannya menjawil pipi Raisa yang masih cemberut. "Ibu tunggu dimeja makan dalam waktu lima menit! Kalau kau tidur lagi lihat saja akibatnya nanti!" Ancam ibu sambil menunjuk kening Raisa, lalu berjalan keluar meninggalkan kamar.
Aaaaaaa.... Ibu kenapa selalu mengancamku seperti itu sih! Dasar ibu kejam!
Raisa masih terus menggerutu diatas tempat tidur sambil mengacak-acak rambutnya. Tapi mengingat waktu yang diberikan ibu ia segera bangkit dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Setelah selesai dari kamar mandi Raisa bergegas ke ruang makan. Ayah dan ibu sudah menunggu.
"Kenapa lama sekali nak?! Perut ayah sudah sangat lapar!" Protes Ayah.
"Maaf yah aku kesiangan!" Raisa segera duduk,mengambil piring dan menyendok nasi.
"Apa kau bergadang lagi semalam?" Tanya ayah sambil menyendokan makanan kemulutnya.
"Hehe iya yah. Semalam aku tidak bisa tidur lalu menelpon Nadia. Karena keasyikan aku jadi lupa waktu." Jawab Raisa dengan wajah tanpa dosa.
"Jangan dibiasakan bergadang, karena itu tidak baik!" Ayah memberi nasehat.
"Iya yah."
Raisa makan dengan lahap. Karena hari ini ibu memasak makanan kesukaannya. Sementara ayah dan ibu saling lirik seolah memberi isyarat. Akhirnya ayah memutuskan untuk angkat bicara.
"Ehem...Raisa!" Ayah membuka pembicaraan.
"Iya yah, ada apa?" Raisa melirik dan bertanya sembari mengunyah makanan dimulutnya.
"Ayah, ingin kau menikah!"
"Uhukk..Uhuk.." Raisa tersedak mendengar kalimat ayahnya barusan.
Ibu dan ayah yang melihat Raisa terbatuk pun jadi panik dan segera memberikan air.
"Pelan-pelan nak!" Ucap ibu tangannya mengelus dan menepuk nepuk punggung Raisa.
Raisa memukul pelan dadanya. Menarik nafas perlahan lalu membuangnya. Setelah baikan, Raisa menatap sang Ayah.
"Apa yah? Menikah?!" Raisa memelototkan matanya mengulangi perkataan sang ayah barusan, berharap dirinya salah dengar dan ayahnya salah berucap.
Namun sayang harapannya semu. "Ya, ayah ingin kau menikah!" Ujar Ayah mantap.
.
.
.
Bersambung...
Raisa masih tak percaya dengan apa yang diucapkan ayahnya. Ia pergi dari meja makan dengan hati kesal. Ibu menyuruhnya untuk menghabiskan dulu makanannya, tapi Raisa tidak mengguris perintah ibu. Selera makannya hilang seketika. Raisa terus berjalan dengan langkah lebar memasuki kamar.
Dan Brakk!!!
Raisa membanting pintu kamar dengan keras. Ia naik keatas ranjang dan berbaring tengkurap disana. Raisa mulai menangis. Bagaimana bisa ayahnya memutuskan sepihak hal sepenting itu untuk dirinya?
Sementara di meja makan, Ayah dan Ibu bersandar dikursi, mereka menarik napas panjang.
"Ini yang ibu takutkan yah! Raisa tidak akan setuju." Raut wajah ibu terlihat menyesal dengan apa yang baru saja terjadi.
"Ibu tenang saja, tidak perlu terlalu khawatir! Itu reaksi wajar. Raisa hanya merasa syok karena baru pertama kali mendengar hal ini. Tapi ayah yakin ibu pasti bisa memberinya pengertian dan mengajaknya bicara dari hati kehati." Tutur ayah meyakini.
"Yah, apa kita batalkan saja perjodohan ini?" Ibu memberi usul.
"Tidak bisa Bu! Ini bukan hanya sekedar janji masa muda Ayah. Tapi juga karena kebaikan Danu dan keluarganya selama ini." Ayah menjeda perkataannya, lalu menarik nafas perlahan.
"Mereka sudah banyak membantu kehidupan keluarga kita, dengan memberikan kita modal untuk mengembangkan usaha toko yang nyaris tutup. Jika mereka tidak membantu kita, Raisa juga tidak mungkin bisa kuliah." Jelas ayah.
"Mereka hanya meminta Raisa untuk menjadi bagian keluarganya, apakah itu salah? Keluarga Danu itu adalah keluarga baik-baik Bu. Ayah bisa saja menolaknya, tapi ayah tidak enak hati."
"Tapi Raisa tidak mengerti soal ini. Lalu bagaimana jika Raisa tetap menolak yah? Usianya baru menginjak dua puluh tahun. Emosinya juga masih labil. Ibu takut perjodohan ini akan merusak mentalnya." Ibu menggenggam tangan ayah, berusaha menggoyahkan keinginan suaminya.
Pak Rahman menepuk pelan tangan Bu Widia. "Bu, dengarkan ayah baik-baik. Pergaulan jaman sekarang itu sangat bebas. Apalagi untuk anak seusia Raisa. Ayah hanya takut, dia tidak bisa menjaga dirinya. Lalu nanti siapa yang malu? Lagipula tidak ada yang lebih beruntung dari Raisa dengan mendapatkan putranya Danu. Dia sudah memiliki segalanya. Bahkan dia bisa mendirikan perusahaannya sendiri, semua atas kerja kerasnya, terlebih dia masih muda. Ayah juga ingin Raisa mendapatkan yang terbaik Bu! Ayah tidak asal pilihkan suami untuknya!" Pak Rahman mencoba meyakinkan Bu Widia.
Ibu hanya menghela nafas mendengar penjelasan dari Ayah. Sejenak Ibu mencerna kata-kata suaminya, ada benarnya juga semua yang dikatakan oleh suaminya tadi. Itu juga yang dikhawatirkan Ibu, kalau-kalau Raisa akan salah pergaulan.
"Baiklah yah, Ibu akan coba berbicara pada Raisa. Semoga dia mengerti. Tapi jika Raisa kekeh menolak, tolong jangan paksa dia." Pinta Bu Widia.
Ayah mengangguk menyetujui permintaan istrinya. Bu Widia pun bangkit dari duduk dan berniat menghampiri Raisa dikamar.
"Jangan lupa katakan padanya Bu, dia tetap bisa melanjutkan kuliahnya meskipun nanti sudah menikah!" Ujar Ayah. Ibu hanya membalas dengan anggukan.
Ibu mengetuk pintu kamar Raisa. Tanpa menunggu jawaban dari orang didalamnya, ibupun masuk. Ibu melihat Raisa tengah berbaring memunggunginya sambil memeluk guling. Bahu gadis itu terlihat bergetar, seperti sedang menahan tangis. Ibu duduk ditepi ranjang menghadap wajah Raisa, ia mengusap pelan kepala putrinya.
"Sayang, bangunlah ibu ingin bicara!" Ibu merayu Raisa agar bangun dan berbicara padanya. Raisa tak bergeming, ia menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya.
"Pergilah Bu! Aku tidak ingin bicara pada Ibu!" Raisa terus menangis dibawah selimut.
"Raisa, kau sudah besar. Apa begini caramu menyelesaikan sebuah masalah?"
Raisa melihat sekilas wajah sang ibu dari balik selimut. Lalu ia segera bangun dan menyingkirkan selimut yang dipakainya dengan kasar, membuat Ibu terkejut.
"Bu! Kenapa ibu dan ayah melakukan ini padaku?! Aku belum ingin menikah bu! Aku masih ingin belajar! Aku bahkan belum lulus kuliah, kenapa aku harus menikah?!" Raisa melayangkan protes ditengah tangisannya yang menggema.
Bu Widia menarik lembut tangan Raisa. Ia membawa tubuh putri semata wayangnya kedalam dekapannya.
"Ibu mengerti sayang jika kau marah. Maafkan ibu, tapi semua keputusan ini ada alasannya. " Ibu menenangkan Raisa dengan mengusap bahunya.
"Apa alasannya Bu sehingga aku harus dijodohkan? Apalagi dengan lelaki yang tidak ku kenal. Aku pasti akan menikah tapi nanti dengan pilihanku sendiri Bu!" Tangis Raisa terdengar pilu. Ia meminta penjelasan sekaligus menegaskan bahwa ia tidak mau dijodohkan.
Ibu kembali memeluk putrinya dengan erat, sembari mengusap pelan punggungnya. Membiarkan Raisa menangis dalam pelukannya. Kepala Raisa menopang pada bahu sang ibu.
"Nak, dengarkan ibu baik-baik. Usia ayah dan ibu semakin bertambah. Ayah dan ibu ingin melihatmu bahagia. Jodoh yang dipilihkan ayahmu bukanlah lelaki sembarangan. Ia adalah lelaki dewasa, baik, sabar dan juga mapan. Keluarga kita pun sangat mengenal baik keluarganya. Karena Ayah adalah teman masa muda Tuan Danu. Selain karena janji masa muda Ayahmu dan Tuan Danu, keluarga Tuan Danu pun sudah banyak membantu keluarga kita. Kau bahkan bisa kuliah karena bantuan Tuan Danu, sayang!" Ibu mencoba memberi pengertian.
Raisa melerai pelukan Bu Widia. Ia menatap ibunya lekat-lekat. "Lalu, apakah sebagai balasan kebaikan Tuan Danu, aku harus menerima perjodohan ini dan menikah dengan anaknya? Begitu Bu? Apakah aku harus membayarnya dengan diriku?!" Tanya Raisa lirih.
Ibu menggeleng. Kedua tangannya menangkup wajah Raisa. "Tidak, bukan nak. Jangan salah paham! Percayalah pada Ibu, Ibu dan Ayah tidak akan menjerumuskanmu, kami akan selalu memberikan yang terbaik untukmu!"
Kepala Raisa tertunduk. Organ tubuhnya seakan berhenti bereaksi. Buliran bening dari sudut matanya masih setia mengalir.
Dijodohkan?
Tidak pernah sekalipun Raisa bermimpi untuk menikah muda apalagi di jodohkan seperti ini. Membayangkannya saja ia tidak mau. Tujuan hidupnya hanya belajar dengan giat untuk meraih gelar sarjana agar bisa sukses diusia muda, itulah yang Raisa impikan. Bukan mengurus sebuah keluarga diusianya yang masih belia.
Ibu mengusap kedua pipi Raisa yang dibanjiri airmata. Ia mengerti apa yang dipikirkan putrinya. Ibu mengecup kening Raisa berkali-kali. Meninggalkan kenyamanan disana.
"Ibu.." Raisa mendongakan wajahnya.
"Iya sayang."
"Apakah lelaki itu benar-benar baik?"
"Ya sayang, Ibu sangat yakin dia lelaki baik. Ibu pernah bertemu dengannya. Dia lelaki tampan, baik dan sopan." Ucap ibu tersenyum seraya mengelus pipi sang putri.
Raisa berpikir sejenak.
"Baiklah bu, aku akan menerima perjodohan ini demi membalas kebaikan Tuan Danu kepada keluarga kita." Tutur Raisa dengan wajah tertunduk.
"Sayang jangan sedih seperti ini! Kau bisa menilainya nanti saat kalian bertemu. Dia tidak buruk nak!" Ibu meyakinkan Raisa.
Raisa hanya terdiam. Ibu kembali memeluknya erat. Sedangkan diluar kamar, sedari tadi Ayah memperhatikan kedua wanita kesayangannya dengan tatapan haru.
.
.
.
Bersambung...
Seminggu telah berlalu. Ayah sudah menghubungi keluarga Tuan Danu, dan mengundang mereka sekeluarga agar bersedia datang untuk makan siang dirumah Pak Rahman. Tuan Danu pun menyambut baik undangan dari sahabatnya itu. Ia berkata akan memboyong keluarganya besok siang kerumah Pak Rahman. Pak Rahman dan Bu Widia pun merasa senang.
Tapi tidak dengan Raisa. Setelah ayah dan ibunya memberitahu perihal perjodohan untuk dirinya seminggu lalu, Raisa menjadi agak sedikit pendiam. Entah itu dirumah maupun dikampus.
Ibu slalu menghibur Raisa untuk tidak terlalu memikirkan tentang perjodohannya. Biarkan semua mengalir apa adanya. Saat berada dikampus Raisa lebih sering memilih untuk menyendiri, membuat sahabatnya Nadia merasa ada yang aneh.
"Sa, kuperhatikan seminggu belakangan ini kau sering menyendiri, kau kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Nadia ketika jam mata kuliah sudah usai. Ia duduk disamping Raisa.
"Tidak apa-apa Nad." Jawab Raisa lesu.
"Jangan bilang tidak ada apa-apa Sa! Kita kan sudah lama bersahabat. Biasanya kau terlihat ceria, tapi dari kemarin wajahmu ditekuk seperti koran bekas. Ayo ceritakan padaku kau ada masalah apa?!" Nadia mendesak Raisa untuk bercerita.
Tatapan Raisa menjadi sendu. Sekilas ia menoleh pada Nadia. Lalu tatapannya kembali menatap kedepan. "Aku dijodohkan Nad!" ucapnya.
Nadia sontak terkejut mendengar ucapan Raisa. Matanya membeliak tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh sahabatnya.
"Apa?! Dijodohkan? Sungguh Sa?!" Ekpresi Nadia membuat Raisa mendengus kesal.
"Ups ma-af Sa, aku hanya terkejut!" Nadia langsung membekap mulutnya.
"Huft, tidak apa-apa Nad. Aku hanya sedang merasa frustasi." Keluh Raisa.
"Kenapa orangtuamu tiba-tiba menjodohkanmu Sa?" Nadia mulai penasaran. Raisa pun menceritakan semuanya juga sebab mengapa ia dijodohkan, semua hanya karena balas budi.
"Jika kau tidak setuju kenapa kau tidak menolaknya?" tanya Nadia.
"Awalnya aku menolak Nad. Namun aku berpikir untuk tidak mengecewakan orangtuaku. Kau tahu? Bahkan biaya kuliahku pun ada campur tangan dari orang yang akan menjadi mertuaku nanti." tutur Raisa lirih.
Nadia yang menyimak cerita Raisa ikut merasakan apa yang dirasakan sahabatnya itu. Nadia akhirnya paham dan mengerti posisi Raisa. "Sabar ya Sa!" sembari merangkul bahu Raisa, mendekatkannya dengan bahunya, lalu saling menempelkan kepala.
"Aku yakin jodoh yang dipilihkan orangtuamu adalah jodoh yang terbaik Sa. Benar kata ibumu, tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Coba kau temui dulu calon suamimu besok, siapa tahu kalian cocok!" Nadia memberikan semangat pada Raisa. Raisa membalasnya dengan tersenyum kecut.
"Lama-lama kau terlihat seperti Ibuku ya!" Raisa berkelakar sambil menjauhkan tubuhnya dari Nadia.
"Ishh kau ini! Diberi semangat malah mengejek!" Nadia bersedekap sambil mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk.
Raisa tertawa melihat wajah konyol Nadia.
Nadia pun ikut tertawa akhirnya. Kini mood Raisa sudah kembali membaik berkat sahabatnya.
Setelah puas saling mengejek, mereka pun merasa haus dan ingin pergi ke kantin untuk membeli minum.
Sepanjang perjalanan kearah kantin, Raisa dan Nadia terus bercengkrama, namun tiba-tiba pandangan mata Raisa tak sengaja teralihkan dan menangkap bayangan seseorang yang disukainya sedang bermain basket bersama kawan-kawannya.
Vano, adalah kakak senior Raisa dan Nadia di kampus. Wajahnya tampan. Ia banyak digilai kaum hawa dikampusnya karena pintar dan jago bermain basket. Sejak dulu Vano memang bercita-cita ingin menjadi seorang atlet basket. Namun kedua orangtuanya melarang, mereka ingin Vano mengikuti jejak sang ayah nantinya untuk bekerja di firma hukum. Entah nanti menjadi hakim atau menjadi pengacara seperti ayahnya.
Raisa adalah salah satu pengagum rahasia Vano. Ia selalu memperhatikan Vano dari kejauhan. Memandanginya dengan tatapan penuh damba tanpa diketahui sang idola. Begitupun kali ini, saat Nadia sedang asyik nyerocos panjang lebar sambil berjalan ke arah kantin, Raisa malah berhenti ditengah jalan. Sorot matanya menaruh kagum pada sosok Vano.
"Dia tampan sekali!" gumam Raisa pelan namun suaranya masih bisa didengar oleh Nadia. Nadia menghentikan langkahnya dan menoleh kesamping tapi tidak ada Raisa disana. Lalu ia memutar tubuhnya kebelakang, benar saja Raisa tertinggal beberapa langkah dari tempatnya berdiri.
"Hei Raisa! Kau sedang apa?" Nadia berjalan menghampiri Raisa.
Tatapan Raisa terus tertuju pada sosok Vano yang sedang minum karena kelelahan bermain. Raisa mengerlingkan matanya. Ia tidak menjawab pertanyaan dari Nadia karena fokus menatap sang pujaan hati. Nadiapun mengikuti arah sorot mata Raisa. Lalu tatapannya kembali menemui Raisa.
"Huh pantas saja tidak menjawab pertanyaanku! ternyata sedang asyik menatap sang idola!" Ucap Nadia. Telapak tangan kanannya mengusap kasar wajah Raisa.
Raisa yang tersadar akan perbuatan sahabatnya terkekeh. Ia merasa malu karena Nadia menangkap basah dirinya saat sedang menatap Vano. Wajah Raisa tersipu. Nadia yang melihat itu mendengus kesal.
"Sorry Nad. Hehehe.." Ucap Raisa.
"Kalau kau memang suka padanya kenapa tidak memberitahunya saja?!" Usul Nadia. "Toh dia juga belum punya pacar!" tambahnya.
Raisa memelototkan matanya pada Nadia. "Ti-tidak! Masa iya harus aku duluan yang memberitahunya. Aku kan perempuan, Gengsilah!" Raisa memalingkan wajahnya.
Nadia terkekeh mendengar jawaban Raisa. "Hari ginii masih gengsi?! Capek deh!" Nadia memutar bola matanya sambil menempelkan punggung telapak tangan dikeningnya sendiri. "Nanti kalau keburu diambil orang bagaimana?!" Nadia memprovokasi.
"GAK MUNG-KIN ! Kak Vano itu bukan tipe laki-laki yang gampang jatuh hati!" Jawab Raisa dengan percaya dirinya. Nadia pun hanya mengangkat kedua tangan dan bahunya.
"Siapa tahu dia sudah punya gebetan."
Raut wajah Raisa terlihat gusar saat mendengar ucapan Nadia. Ketika mereka berdua sedang asyik bergosip, orang yang baru saja di gosipkan datang dari arah belakang Raisa.
Nadia pun memberi kode pada Raisa dengan bahasa isyarat, ia menggunakan mata dan bibirnya menunjuk kebelakang. Raisa yang bingung melihat tingkah Nadia, hanya mengedikan bahu sambil mengernyitkan kening.
Bodoh! tengok kebelakang! , batin Nadia mengumpat.
Sampai akhirnya terdengar deheman. "Ehem, Hai Raisa, Nadia?!" Sapa Vano yang sudah sampai dibelakang Raisa. Tubuh Raisa seketika menegang, seolah tersengat aliran listrik ribuan volt. Ia merasa tidak asing dengan suara itu.
Sedangkan Nadia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melemparkan senyuman ke arah Vano. Raisa pun perlahan membalikan tubuhnya untuk memastikan suara tadi.
Dan benar saja, orang yang baru saja dia gosipkan sudah berdiri dihadapannya. Nadia maju selangkah untuk mensejajari tubuhnya dengan tubuh Raisa.
"Kak Vano?!" Seru Raisa. Matanya membulat sempurna, ia tidak percaya lelaki yang selalu dipujanya selama ini, berada dihadapannya.
"Sepertinya kalian sedang asyik berbincang? Boleh aku ikut bergabung?!" Senyuman tampan terbit dari wajah Vano, membuat degub jantung Raisa dan Nadia bergemuruh lebih cepat didalam sana. Mereka berdua sama-sama menatap wajah rupawan yang di anugerahkan tuhan kepada lelaki itu. Vano melambaikan tangannya naik turun didepan wajah kedua gadis yang menatapnya tanpa berkedip. Seakan mereka berdua sedang tersihir karena ucapannya tadi.
"Bo-boleh ka!" Jawab Raisa dan Nadia serempak.
Vano tersenyum.
"Yasudah, ayo kita ngobrol-ngobrol dikantin!" Ajak Vano akhirnya.
Vano berjalan lebih dulu di depan Raisa dan Nadia. Sementara Raisa dan Nadia saling senggol dibelakang sambil menggigit bibir dan meremas ujung baju masing-masing.
Astaga, apa aku sedang bermimpi? Dia benar-benar tampan. Puji Raisa terus menerus dalam hatinya.
.
.
.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!