"Papa mau bunuh Jelita! Menikahkan Jelita dengan lelaki gak jelas asal usulnya begini!" Pekik Jelita dengan derai air mata.
Dia shock saat papanya menjodohkannya dengan lelaki yang sama sekali tidak dia kenal. Ratapan dan tangisan Jelita begitu menyayat hati,Tapi Dery Sasongko sama sekali tak terpengaruh oleh linangan air mata putrinya.
"Joko masuk!"
Orang yang dipanggil joko masuk keruangan dengan beberapa berkas ditangannya. Dia sedikit membungkuk pada Jelita lalu duduk didepan Sasongko.
"Mana berkas pengalihan seluruh hartaku untuk panti asuhan, biar aku tandatangani," ujar Sasongko pada Joko kuasa hukumnya. Joko membuka tas hitam berisi beberapa berkas, lalu menyerahkan selembar kertas pada Sasongko dan satu buah pena. Gerakan Sasongko yang akan menandatangani berkas harus terhenti oleh teriakan Jelita.
"Pa!" Pekik Jelita. Dengan wajah merajuk dia menatap Sasongko.
Dery Sasongko menahan gerakannya lalu beralih menatap putrinya. Dia sama sekali tak tersentuh dengan mimik melas Jelita yang bermandi air mata.
"Ada apa?" Tanyanya dengan ekspresi datar.
"Baik aku setuju!" Pekik Jelita lagi. Mana rela dia melepas seluruh harta papanya untuk panti asuhan. Mendengar kalimat itu senyum puas seketika tersungging dari bibir Dery Sasongko. Sementara Jelita menatap Dery geram. Apa benar lelaki tua itu ayahnya, atau jangan-jangan dia hanya anak pungut. Makanya dia berlaku tega pada Jelita.
"Panggil Evan kemari, Jelita sudah bersedia menikah dengannya." Titah Dery pada orang suruhannya.
Lima menit kemudian lelaki yang dipanggil Evan oleh Sasongko datang menghadap. Begitu dia masuk, Jelita tak lepas menatapnya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki jadi perhatian Jelita.
Jelita mengakui lelaki ini cukup tampan, andai dia adalah pewaris dari keluarga kaya, Jelita dengan senang hati menerima pernikahan ini. Tapi lelaki ini hanya seorang pengawal pribadi yang hanya bergaji sepuluh juta sebulan, setara dengan uang jajan yang diberikan papanya setiap bulan.
"Duduklah, ada yang harus kita bahas saat ini." Titah Sasongko pada Evan. Dengan sikap sopan dan penuh hormat Evan duduk diantara mereka.
"Aku sudah membicarakan hal ini padamu beberapa waktu lalu. Tentang pernikahanmu dengan putriku dan putriku barusan sudah setuju dengan keputusanku." Ujar Sasongko dengan suara berat.
Evan mengangguk hormat pada Sasongko, lalu melirik Jelita sekilas. Tentu saja Jelita membalasnya dengan tatapan Sengit.
"Jelita, selama menikah dengan Evan. Kau hanya bisa memakai uang gaji Evan untuk memenuhi kebutuhanmu sehari-hari. Aku tidak akan memberimu sepeserpun uangku selama dua tahun. Dan apa bila selama dua tahun pernikahan kalian, tidak ada tumbuh rasa cinta. Kalian boleh mengajukan perceraian. Dan hartaku tetap jadi hak Jelita. Tapi bila kalian bercerai sebelum dua tahun, sepeserpun hartaku tak kan jatuh ketangan Jelita." Jelas Sasongko untuk yang kesekian kali pada Jelita dan Evan. Evan kembali mengangguk sementara Jelita masih memperlihatkan wajah muram.
"Kalian bicaralah dulu. Anggap ini sebagai perkenalan sebelum menikah. Dan masalah waktu menikah sudah aku putuskan besok," ujar Sasongko lagi. Jelita menatap papanya dengan mata membulat, besok? Apa tidak terlalu mendadak. Dia bahkan masih shock dengan berita pernikahan ini.
"Baik tuan," jawab Evan pebuh hormat. Sementara Jelita mendengus kesal.
"Ya sudah, kalian bicaralah baik-baik. Aku keluar dulu."
Sasongko bersama Joko meninggalkan mereka berdua dalam ruangan. Memberi mereka waktu untuk saling mengenal satu sama lain, sebelum menikah.
Evan hanya diam tertunduk menekuri lantai. Sementara Jelita menatapnya penuh amarah.
"Apa ini ulahmu, meracuni pikiran papaku agar mau menikahkan aku denganmu?!" Sentak Jelita jengkel. Evan yang sedari tadi tertunduk diam, mengangkat wajahnya menatap Jelita.
"Nona berpikir aku bisa melakukan itu pada tuan Sasongko, Apa masuk akal?"
Jelita terdiam, benar juga. Hal itu terdengar sangat tidak masuk akal. Seorang Sasongko harus tunduk pada bodyguard seperti Evan.
Tapi semenjak kematian Mamanya Jelita tak perna mendapat penolakan dari Papanya. Apapun maunya selalu dipenuhi oleh Sasongko.
"Lalu kenapa kau tidak menolak tawaran papaku, kalau kau tidak punya tujuan mana mungkin kau menerima begitu saja permintaan papa."
Evan menghela napas panjang, netranya menatap Jelita dengan Seksama.
"Jadi, Nona mau aku menolak pernikahan ini? Bukankah sekarang belum terlambat membatalkan pernikahan. Pernikahannya baru dilaksanakan besok kan," ucap Evan dengan tenang. Sorot matanya yang tajam saat menatap Jelita, membuat jantung Jelita berdegup kencang.
"Kau sengaja ingin membuatku jatuh miskin! Tidak ada jalan lain selain menikah denganmu. Tapi kau jangan mimpi bisa menerima perlakuan manis dariku. Dan satu lagi, aku sudah memiliki kekasih. Jadi jangan berharap padaku!" Ujar Jelita Sinis. Bukannya marah Evan malah tertawa pelan.
"Aku tau batasanku Nona." ucapnya sembari sedikit membungkuk.
"Bagus kalau kau tau," sungut Jelita.
"Aku kira tak ada yang harus dibicarakan lagi. Aku akan pergi."
"Baiklah Nona."
Jelita yang terlebih dahulu pergi meninggalkan ruangan, sementara Evan menatap kepergian Jelita dengan senyum simpul.
Nona muda yang sulit dihadapi, sikapnya yang manja dan tak mau mengalah akan jadi ujian terberatnya menjadi seorang suami.
*****
Jelita termangu didepan Apartement suaminya. Baru beberapa jam yang lalu dia menikah dengan Evan dan papanya langsung mendepaknya keluar dari rumah.
"Ini rumah kamu?" Tanya Jelita dengan suara pelan. matanya nanar menatap apartemen sederhana milik suaminya.
"Rumah kita sekarang," Sahut Evan sembari membuka kunci apartemennya.
"Kenapa kamu tidak bekerja lebih layak agar menghasilkan banyak uang, kamu menikahiku dengan gaji sepuluh jutamu itu, bagaimana aku bisa hidup?" Omel Jelita sembari mengekori langkah kaki Evan masuk kedalam Apartement.
Evan mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Jelita. Jelita yang tak menyangka Evan mendadak berhenti, hampir saja menabrak tubuh Evan. Berdiri dengan jarak yang begitu dekat membuat Jelita dapat mencium Aroma maskulin yang meruar dari tubuh Evan. Jantungnya seketika berpacu sangat kencang. Bagaimanapun dia wanita normal, berada dengan lelaki yang sudah sah jadi suaminya dengan jarak yang begitu dekat, sedikit banyak menimbulkan rasa.
"Itu kamar nona, dan yang ini kamarku. Nona pasti lelah, istrahatlah. Aku akan menyiapkan makan malam untuk nona." Jelas Evan lalu beranjak kekamarnya.
Jelita tertegun, menyiapkan makan malam? Dalam benaknya beberapa saat yang lalu, Evan akan memintanya membuat makan malam mereka. Tapi kenyataannya Evan yang berinisiatif memasak makan malam mereka. Sungguh diluar dugaan.
Jelita menyeka keringat dikeningnya. Seumur-umur dia tak pernah melakukan pekerjaan seperti ini. Hari ini dia harus bersusah payah menyusun keperluannya didalam lemari baju miliknya. Jangan berharap memiliki walk in closet dirumah ini. Yang ada cuma lemari tiga pintu yang berada disamping tempat tidurnya.
Tok!
Tok!
"Nona keluarlah makan malam sudah siap." ujar Evan dibalik pintu. Jelita ingin sekali menolak, tapi perutnya sudah sangat lapar, dengan terpaksa dia keluar kamar menemui Evan.
Saat pintu terbuka aroma lezat seketika memenuhi indra penciumannya. Seenak itukah masakan Evan.
Jelita duduk diam disisi meja makan, sementara Evan menyiapkan nasi beserta lauk pada piring milik Jelita. Evan yang hanya memakai kaos oblong berwarna putih, memperlihatkan pahatan-pahatan indah ditubuhnya. Otot-otot dilengan Evan membuat mata Jelita tak berkedip.
Kenapa dia bisa terlihat begitu seksi hanya dengan kaos oblong. Atau mendadak menikah membut otaknya sedikit tak waras. Hingga berpikir Evan begitu seksi. Tapi dia masih waras dan Evan memang benar-benar seksi.
"Makanlah. Maaf kalau rasanya tidak sesuai selera nona," ucap Evan. Jelita tergagap dan buru-buru menerima piring yang di sodorkan Evan.
Dengan perasaan ragu dia menyuap nasi beserta lauk kedalam mulutnya. Tapi sungguh tak disangka, masakan ini sungguh enak.
"Ini sangat enak," ujar Jelita tanpa sadar. Matanya berbinar menatap Evan.
"Makanlah," ujar Evan dengan ekspresi datar.
Jelita seperti lupa pada deritanya sepanjang hari ini. Kelejatan masakan Evan membuat hatinya bahagia, setidaknya ada yang bisa dipandang dari Evan yang membuat Jelita senang.
.
To be continuous
Hay readers ketemu lagi sama emak. Ini karya emak yang baru, mohon dukungannya ya. 🙏🙏🙏🙏🥰
Dering Alrm yang begitu nyaring tak mampu membangunkan Jelita. Dia terpaksa bangun saat Evan mengetuk pintu kamarnya berulang kali. Ditambah teriakan Evan yang mampu membangunkan pengguni apartemen sebelah.
Dengan mata sedikit tertutup Jelita turun dari ranjangnya, beranjak menuju pintu.
"Ada apa? Kenapa ribut sekali," ujar Jelita dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Sudah siang, Nana harus kuliah dan aku harus bekerja. Cepat mandi aku tunggu di meja makan." ujar Evan tegas. Jelita membulatkan matanya menatap punggung Evan. Apa tadi itu? apa dia sedang memerintah Jelita?!
Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi, Jelita bergegas keruang makan menemui Evan. Dia sudah ingin menghardik Evan, tapi urung dia lakukan. Kalimat yang tadi telah dia rangkai berantakan seketika. Saat melihat Evan sudah menyiapkan menu sarapan pagi untuk mereka.
"Kau memasak lagi?" Tanya Jelita seraya menarik kursi di depan Evan.
"Hemm." sahut Evan dengan gumaman. Setelah mengisi piring Jelita dia meletakkan didepan jelita, lalu mengisi piringnya sendiri.
"Jam berapa kau menyiapkan semua ini?" Jelita masih penasaran, jam berapa lelaki ini bangun lalu menyiapkan sarapan pagi untuknya. Menu yang tak sederhana menurut Jelita. Nasi goreng dengan potongan udang. Lalu di tambah dengan sepotong ayam goreng yang sangat crunchy. Rasa yang tak bisa dianggap sepele, bahkan nasi goreng kantin kalah lezat.
"Lain kali aku akan membangunkan nona saat bangun pagi," ujar Evan tanpa melihat Jelita.
"Ihh mimpi!" cebik Jelita. Evan tertawa tanpa suara menatap wajah manyun istrinya.
"Cepat habiskan sarapan nona. Kita sudah akan berangakat," ujar Evan sembari beranjak bangkit. Dengan cekatan dia membereskan sisa sarapannya, mencuci piring kotor miliknya, lalu melerakkannya di tempat piring.
"Jangan bilang kamu ngantarin aku kekampus. Aku gak mau ada gosip!" Evan yang sudah bersiap masuk kamarnya, menghentikan langkahnya lalu beralih menatap Jelita lekat.
"Aku hanya pengawal pribadi nona, bagaimana bisa menyebabkan gosib untuk nona."
Jelita terdiam, ucapan Evan benar. Dia hanya seorang pengawal apa yang dipusingkan.
"Bagaimana, sudah bisa pergi?" Tanya Evan tanpa melepas pandangannya dari Jelita. Jelita mengangguk pelan lalu masuk kedalam kamarnya mengambil keperluan kuliahnya. Sementara Evan cuma bisa menghela napas dalam.
Masalah kembali muncul saat Evan memberi Jelita uang jajan sebesar lima puluh ribu.
"Cuma segini? apa kau bercanda?!" Seru Jelita tak terima.
"Lebih dari itu kita tidak bisa makan." Ujar Evan santai, sembari memasang seat belt.
"Evan kau mau membuatku malu! apa kata temanku kalau mereka tau aku hanya punya selembar uang biru ini!" cicit Jelita. Entah sudah berapa kali Evan menarik nafas dalam.
"Nona bisa bilang pada teman nona kalau nona lagi dapat hukuman dari tuan Sasongko. Bukankah setahun lalu nona pernah dihukum tak mendapatkan uang jajan sepeserpun. Bahkan nona terpaksa menumpang hidup dengan Sella teman kuliah nona," ujar Evan sembari melajukan mobilnya meninggalkan basement apartemennya.
"Kau! bagaimana bisa tau masalah pribadiku? kau mengikuti aku ya?!" Seru Jelita panik. Bagaimana bisa Evan tau kisahnya setahun lalu.
"Aku, mengikuti nona buat apa?"
"Kalau tidak, bagaimana kau bisa tau masalah pribadiku. Bahkan itu kejadian setahun lalu."
"Nona lupa aku siapa, aku pengawal pribadi tuan. Masalah internal di mansion tuan Sasongko kami semua tau." Jelas Evan dengan ekspresi datar.
Jelita terdiam, ucapan Evan benar. Dia yang terlalu paranoid terhadap Evan.
Setelahnya Jelita tak lagi buka suara sampai mobil Evan berhenti didepan kampusnya.
"Jangan telan jemput aku," ujar Jelita mengingatkan.
"Masukkan nomor nona, telpon aku kalau sudah pulang." Evan mengulurkan gawai miliknya pada Jelita.
"Apa ini perlu?" Tanya Jelita ragu.
"Tentu, aku juga tidak akan sembarangan menghubungi nona," ujar Evan meyakinkan Jelita. Walau ragu tapi akhirnya Jelita me-save nomornya di gawai milik Evan.
Jelita baru saja memasuki halaman kampus, seseorang merangkulnya dari belakang.
"Boy, jaga sikapmu!" Bentak Jelita. Replek tubuhnya berbalik mencari mobil Evan ditempat dia parkir tadi, hatinya lega saat mobil Evan sudah tak terlihat lagi disana. Eh tunggu sikap apa ini, kenapa harus takut dilihat Evan. Bukankah dia sudah membahas boy pada Evan.
"Kau terlalu kaku Jelita, aku kekasihmu bukan lelaki lain." protes boy. Sudah berpacaran setahun, tapi berciu man saja tak pernah. Walau boy sangat ingin melakukan, tapi batasan-batasan yang dibangun Jelita membuatnya tak berdaya.
"Hanya pacar, kapan saja bisa putus. Aku tidak mau jadi bekasmu saat kita putus." kalimat ini bukan yang pertama kali keluar dari bibir Jelita. Boy cuma bisa pasrah walau dia ingin.
"Je! ke cafe yok, aku belum sarapan!" Seru Sella dari kejauhan. Jelita cuma menggeleng sebagai penolakan. Dia cuma punya lima puluh ribu, paling bisa cuma makan dikantin kampus. Lagi pula Evan sudah membuatkan sarapan lezat untuknya tadi.
"Udah sarapan dirumah tadi," ujar Jelita.
"Oke deh kalau gitu." Sella pergi dengan lainnya. Sementara Jelita dan boy menuju kekelas.
"Tadi diantar siapa?" Tanya Boy sembari mensejajari langkah jelita.
"Biasa orang suruhan papa."
"Papamu gak takut kamu tergoda orang suruhannya. Menurut pengamatanku dia lumayan tampan."
"Jangan takut, masih lebih tampan kamu dari dia. Jadi mana mungkin aku tergoda," ujar Jelita dengan kerling manja.
"Yang bener?"
"Iya!"
Boy terkekeh, dengan lembut dia mengaitkan jemarinya pada jemari Jelita, membawa langkah mereka menuju ruang kelas. Walau hanya itu yang bisa Boy dapat dari Jelita tapi mampu membuat hatinya berbunga. Tapi entah mengapa perbuatan boy ini membuat Jelita tak enak hati. Hati kecilnya merasa bersalah pada Evan, bagaimanapun dia sudah sah menjadi istri Evan. Perbuatan seperti ini apa pantas dilakukan seorang istri.
"Ada apa?" Tanya Boy kecewa saat Jelita melepas genggamannya.
"Gak enak diliatin orang tuh," sahut Jelita sembari mengedarkan pandangan keseluruh kelas.
"Alasan kamu Je!" Rajuk Boy sembari mendahului langkah Jelita. Jelita hanya mampu menarik napas dalam. Entah mengapa sejak akad diucapkan Evan dia seperti terikat secara batin dengan Evan. Dia ingin mengelak, tapi rasa ini datang sendiri. Menegaskan siapa dia disamping Evan. Apa pun niat mereka saat menikah, pernikahan mereka sah secara hukum dan agama.
"Marah?" Tanya Jelita dengan suara lembut.
"Menurutmu? Semakin hari kau terasa semakin jauh Je, aku ragu apa kau masih memiliki rasa terhadapku," keluh Boy dengan mimik sedih.
"Boy, kau tau dari awal. Sedekat apapun hubungan kita, aku tak mau melewati batas terlalu jauh. Sekarang kenapa itu jadi masalah."
"Menyentuh tanganmu saja, akan melewati batas apa? " Jelita hanya diam. Dia tak ingin terus berdebat sementara kelas sudah mulai ramai.
"Sudahlah jangan marah lagi. Pulang nanti kau bisa bisa mengandeng tanganku sepuasnya." bujuk Jelita dengan suara lembut. Wajah Boy berubah ceria, marahnya tadi hilang seketika.
.
To be continuous
Terimakasih yang sudah kasih dukungan, semoga cerita ini tetap bisa menghibur Readers tercinta.
Seperti janji Jelita tadi Boy bisa menggandeng tangannya saat pulang kuliah dan Boy tak ingin kehilangan kesempatan itu.
Boy mengandeng jemari Jelita dari ruang kelas sampai ketempat mobil Evan terparkir. Hal itu tak lepas dari penglihatan Evan. Dia menatap sekilas jemari istrinya lalu beralih pada gawai ditangannya.
Tok!
Tok!
Boy mengetuk kaca mobil yang tertutup rapat, Evan menurunkan kaca mobil setengahnya saja.
"Ada apa?" Tanya Evan dengan ekspresi datar.
"Hanya mau bilang, aku titip dia," ujar Boy sembari memperlihatkan jemari mereka yang saling menggenggam.
Evan hanya menatap sekilas lalu membuang pandangannya ketempat lain. Sementara Jelita sudah masuk kemobil duduk di jok belakang.
Tanpa bicara Evan melajukan mobilnya meninggalkan kampus. Evan memang pendiam, tapi diamnya kali ini terlihat berbeda dimata Jelita.
"Evan."
"Hemm."
"Itu tadi Boy, yang pernah aku ceritakan padamu." Jelas Jelita. Entah mengapa dia merasa perlu menjelaskan masalah tadi pada Evan. Dia merasa perubahan sikap Evan setelah melihat Boy menggandeng jemarinya.
Tidak ada respon dari Evan, dia focus pada jalanan yang ramai didepannya. Entah apa yang ada dibenak lelaki itu, Jelita sangat ingin tau. Tapi ekpresi Evan yang selalu datar membuatnya sulit menebak isihatinya.
Mobil berhenti dibasemen, masih dengan diamnya Evan keluar dari mobil melangkah menuju Apartemennya.
Jelita mengekori langkah Evan dengan perasaan kesal. Harusnya dia senang Evan tak perduli keberadaan Boy diantara mereka. Tapi kenapa hatinya jengkel dengan sikap acuh Evan.
"Sudah makan siang?" Tanya Evan sembari membuka pintu Apartemen.
"Belum. Kau memberiku uang jajan lima puluh ribu, bagaimana bisa aku makan dengan uang segitu," omel Jelita sambil terus mengekori langkah suaminya.
"Boy tidak memberimu makan?" Tanya Evan. Dia berhenti saat tiba didapur. Membuka jas hitamnya meninggalkan kemeja putihnya saja. Meraih apron di nakas lalu tanpa ragu memakainya.
"Boy bukan suamiku, kenapa dia harus memberiku makan? bukankah itu tugasmu sebagai suami memberiku makan!" Sungut Jelita. Evan yang sedang membuka kulkas beralih menatap Jelita dengan tatapan tajam.
"Duduk diam disana aku akan membuatkanmu makan siang." Tegas Evan. Anehnya Jelita jadi sangat penurut. Dia menarik kursi didepannya, duduk manis disana sembari memperhatikan suaminya berjibaku dengan alat masak.
Tubuh kekar Evan yang terbalut Apron terlihat sangat seksi dimata Jelita. Apa lagi saat dengan apik jemarinya memainkan pisau memotong daging dan sayur, gerakan layaknya chef sekelas hotel bintang lima.
'No, no, no, tidak bisa begini. Tidak boleh kagum, dia tak lebih baik dari lelakiku. Tapi Evan kau benar-benar keren. Aku baru bersamamu dua hari, tapi langsung kagum padamu.'
Tak!!
Hentakan piring dimeja membuyarkan lamunan Jelita. Matanya nyalang menatap tatanan yang tersusun rapi. Benarkah Evan memasak semua ini.
"Makanlah, semoga sesuai dengan seleramu," ujar Evan. Dia mulai mengisi piringnya dengan nasi dan lauk. Sementara Jelita speechless dengan hidangan ini.
"Tidak suka?" Tanya Evan, menghentikan makannya.
"Suka."
"Terus kenapa hanya diam. Ingin aku suapi?"
"Ihh apaan sih. Aku cuma heran, kamu tuh pengawal pribadi atau shef," ujar Jelita sembari mengisi piringnya.
"Salah, kalau pengawal bisa masak?"
"Enggak sih, cuma masakan kamu ini sekelas chef bintang lima, salut aja." puji Jelita jujur. Semupa yang dimasak Evan rasanya sangat enak. Saking enaknya gak berasa makan dirumah.
Evan cuma diam, memilih menikmati makan siangnya. Hening membuat mereka lebih menikmati makan siang istimewa ini, terutama bagi Jelita.
"Abis makan aku harus pergi kerja lagi Je, kamu gak apa-apa dirumah? Atau kamu sudah ada janji dengan Boy?" Tanya Evan sembari memberesi sisa makan mereka.
"Biar aku yang cuci piring," ujar Jelita. Evan yang sudah memegang sabun cuci piring beralih pada Jelita.
"Yakin bisa?"
"Cuma cuci piring aja apa susahnya," sungut Jelita. Dia tak suka nada menyepelekan dari Evan.
"Emang pernah cuci piring?" Tanya Evan sembari menautkan kedua alisnya. Jelita menggeleng, pelan. Melihat itu Evan terkekeh.
"Sudah sana masuk kamar, dapur biar aku yang beresi." titah Evan. Tanpa menoleh lagi dia melanjutkan yang tadi tertunda.
Jelita duduk ditepi ranjang dengan perasaan tak menentu. Apa yang terjadi padanya?Kenapa semua yang Evan lakukan terlihat begitu manis dimatanya. Apa yang terjadi? Dua hari lalu dia begitu marah dan benci pada Evan. Dia benci dan marah harus meikah dengan lelaki tak berguna seperti Evan. Tapi baru dua hari pandangannya tentang Evan sudah berubah. Ini begitu cepat, dia merasa tak terima.
Tok!
Tok!
"Jelita Aku berangkat kerja dulu." Terdengar suara Evan dibalik pintu, lalu terdengar derap langkah kakinya menjauh.
"Jelita? Sejak kapan dia memanggilku Jelita. Bukankah biasanya dia memanggilku dengan sebutan nona." gumam Jelita seorang diri. Tapi dengan panggilan itu hatinya menghangat. Ehh apaan sih!
Jelita sedang bersantai di atas ranjang, tiba-tiba ponselnya berdering, tertera nama Boy dilayar.
"Sayang, ada waktu gak?" Tanya Boy disebrang telpon.
"Ada, memangnya kamu mau bawa aku kemana?"
"Jalan ke mall, lalu nonton gimana?"
"Aku gak punya uang, aku lagi jalani hukuman dar papa."
"Sayang, kalau hanya jajanin kamu di mall aku masih sanggup tanpa harus keluarin uang kamu."
"Baiklah kalau gitu, nanati aku kasih alamatnya kamu jemput aku dimana."
"Loh, gak di mansion?"
"Udah gak usah banyak tanya jemput aja di alamat itu."
"Apa kata sayang aja."
*****
Evan pulang menjelang makan malam. setelah membersihkan diri dia langsung menuju dapur, menyipakan makan malam untuk dia dan Jelita.
Dengan cekatan Evan menata hidangan diatas meja, setelah selesai dia menghampiri kamar Jelita.
Tok!
Tok!
"Jelita, makan malam sudah siap." Seperti biasa tanpa menunggu jawaban dari Jelita Evan meninggalkan kamar Jelita.
Cukup lama Evan menunggu dimeja makan, sampai dia menyadari kalau Jelita sedang tak berada dirumah. Tak masalah makan sendiri tapi sayangnya dia memasak sedikit berlebih.
Evan menikmati makan malamnya tanpa ekpresi, dua hari ini dia makan bersama Jelita. Tiba-tiba makan sendiri seperti ada yang hilang.
Dia baru saja memnyudahi makan malamnya saat Jelita pulang. Seperti biasa Evan tak begitu perduli, dia sibuk membereskan sisa makannya.
"Sudah selesai makan?" Tanya Jelita sembari berjalan mendekat, entah mengapa melihat hidangan tersaji untuknya Jelita merasa bersalah.
"Hemm." sahut Evan dengan gumaman.
"Maaf aku tadi sudah makan malam bersama Boy," tutur Jelita pelan.
Evan tak merespon, dia mengambil dua buah mangkuk yang memiliki tutup dari dalam rak piring, membawanya kemeja makan.
Dengan cekatan dia mulai menata semua hidangan tadi kedalam mangkuk lalu menutupnya rapat. Sementara Jelita masih mematung ditempatnya.
"Kenapa cuma berdiri saja, apa kau tidak ingin istrahat. Aku akan mengantar ini untuk satpam, sayang kalau dibuang." ujar Evan sembari berlalu pergi membawa dua mangkuk berisi makan malam yang seharusnya untuk Jelita.
Jelita hanya diam menatap kepergian Evan. Ada apa dengannya kenapa dia sedih melihat Evan menunggunya di meja makan. Dan tak rela saat Evan membungkus makan malamnya untuk di berikan pada satpam.
"Sepertinya aku sudah mulai gila." gumam Jelita sembari melangkah kekamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!