NovelToon NovelToon

Jadi TKW

Bagian 1

Tahun 2015 dengan berat hati aku pergi meninggalkan keluargaku di tanah air. Setelah tiga bulan lamanya di PT yang menaungiku, akhirnya aku berhasil terbang juga ke negara Timur Tengah, tepatnya di Arab saudi.

Tekadku sudah bulat, aku ingin merubah nasib menjadi lebih baik dan tentunya tujuan awal aku nekad bekerja sejauh ini tentu saja untuk membayar lunas semua hutang-hutang yang pernah aku pinjam. Tentunya dengan ijin dan persetujuan keluarga dan suamiku, saat itu.

Berat, sangat berat sebenarnya, apalagi harus berpisah dengan putraku satu-satunya, si kecil Adit yang umurnya masih belum genap tiga tahun itu. Namun tekad yang kuat dan keinginan yang besar membuatku berani mengambil keputusan sebesar ini.

'Maapkan ibumu ini, nak'

Setelah belasan jam menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, aku sampai di kota Mekkah. Dari sini perjalanan belum usai, aku dijemput oleh seorang supir dan diantarkan oleh seorang agen ke kota yang akan aku tinggali selama masak kontrak, dua tahun lamanya di kota Thaif.

Jarak kota Mekkah dan kota Thaif yang akan aku tinggali jaraknya sekitar 87 km. Dan ditempuh hampir sekitar dua jam kurang perjalanan menggunakan mobil.

Mobil sampai si depan sebuah gerbang yang tinggi menjulang. Membuat semua yang pertama kali melihatnya pasti akan dibuat takjub. Belum lagi bangunannya, saking tinggi dan megahnya sehingga lebih mirip istana.

Terlihat sangat luas sekali, seperti di film-film india yang sering ku tonton di televisi.

****.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan agen dan mengobrol perihal biodataku,

akhirnya perkenalan dengan majikan dan agen yang mengantarkanku pun pulang. Aku di persilahkan beristirahat di sebuah kamar tidur yang lumayan besar untuk orang seukuranku.

Dari obrolan tadi baru kuketahui namanya

'Madam, Zainab' dan itulah yang harus aku panggil.

Beliau menyimpan semua barangku yang aku bawa dari tanah air. Semua pakaianku tidak boleh digunakan disini, kata beliau.

Lalu beliau menunjukan sebuah lemari pakaian lengkap dengan isinya. Semua peralatan sudah tersedia di sini. Dari mulai pakaian khas arab yang biasa disebut abaya, khimar, niqab, dalaman wanita, skin care, peralatan mandi, pembalut, sampai parfum juga sudah tersedia di sini. Pembalutnya pun berukuran besar, seperti size untuk sehabis melahirkan kalau di Indonesia. Namun begitu, baik banget pikirku hingga menyediakan semua kebutuhanku, ah atau mungkin memang seperti itu ya, aturannnya. Entahlah. Yang jelas mudah-mudahan aku betah dan nyaman bekerja di tempat ini. Amiin...!

Paginya kegiatanku di rumah ini hanya belajar mengenal masakan yang biasa disajikan untuk keluarga madam. Masak-memasak seakan tidak ada habisnya, seperti orang yang punya hajatan. Dari pagi buta hingga tengah malam pekerjaan di dapur ini seakan-akan tidak ada habisnya, pikirku. Pantas saja badan madam sangat subur, dan perperawakan besar dan tinggi.

Sambil mengobrol kecil. Madam bercerita tentang anak-anak beliau yang berjumlah sebelas orang. Tidak terlalu kaget, karna di arab tidak menggunakan KB, haram, kata beliau. Ketujuh anak beliau yang sudah beranjak dewasa tidak tinggal di rumah ini. Ada yang berkarier, ada yang kuliah di universitas, dan ada juga yang sudah berumah tangga. Sedangkan keempat anak madam lainnya masih bersama madam di rumah ini, dan ada pengasuh yang menjaga mereka. Walau katanya saat ini sedang kosong, belum ada yang mengisi.

Pikiranku melayang, saking besarnya rumah ini, seharian aku disini sampai belum sempat melihat mereka. Namun ternyata aku salah, kami para pekerja memang tidak berinteraksi langsung dengan anak-anak madam atau pun majikan laki-laki. Ada privasi. Kami para pekerja tinggal di ruangan besar dan tertutup, dan berinteraksi di dapur. Saat majikan pria bekrja dan anak-anak madam pergi atau sekolah. Maka saat itulah kesempatanku membersihkan setiap ruangan dan kamar mereka.

Dihari kedua bekerja barulah madam menunjukan hampir semua ruangan yang harus aku bersihkan. Ada tujuh belas kamar tidur, dua ruang makan, satu ruang khusus menerima tamu, dua auka besar tempat diadakan pertemuan dan dua puluh tujuh kamar mandi di rumah sebesar ini. wow.. banget menurutku bahkan untuk ruang peralatan makan saja luasnya hampir sperti dua rumah di kampungku. luas sekali.

Untuk sopir pribadi dan pelayan laki-laki ruangannya beda lagi, ada ruangan yang tak boleh kami para wanita mendekati apa lagi mengobrol dengan mereka, sangat di larang.

Bagian 2

Masih kata madam juga. Dirumah ini ada tujuh pekerja. Dua orang sopir, dua orang pekerja luar ruangan dan taman, seorang pengasuh anak, dan dua orang pekerja dalam rumah, yaitu aku dan seorang rekan lainnya. Hanya saja rekanku yang satu itu, sedang cuti dan baru kembali besok pagi.

Sore setelah selesai membereskan ruang demi ruang dan merasakan lelah yang amat sangat , madam membawaku ke sebuah ruangan besar. Rupanya itu tempat menyetrika baju. Ya ampun, alangkah kagetnya aku, tumpukan baju yang harus disetrika jumlahnya sangat banyak sekali, menggunung sampai membentuk tumpukan yang sangat tinggi.

'Astagfirullah...! Sanggupkah aku membereskan nya, ya Allah...?'

"Kamu bisa khan memebereskannya selama satu minggu?" tanya madam. Aku hanya mengangguk lemah.

Saat orang lain mungkin Tengah terlelap di alam mimpi, tapi tidak denganku. Pekerjaan ini seolah tidak ada habisnya meski aku sudah berusaha mempercepat pekerjaanku. Lelah, sangat lelah sampai-sampai rasanya aku ingin meninggalkan dan membiarkan pekerjaan ini dan pergi ke kamar tidurku, kalau saja madam tidak bolak-balik mengawasi pekerjaanku. Tapi tidak, kata madam, minimal sampai jam satu malam baru aku boleh beristirahat. Kejam,

****

Baru beberapa jam terlelap pintu kamar sudah ada yang menggedor dengan keras.

Dugh, dugh, dugh...!

Mataku terbuka. Ku lirik jam di sebrang tempat tidur. Padahal baru menunjukan jam empat subuh. Dengan tergesa aku bangun dan membuka pintu kamar.

Kriet...

Rupanya bukan madam yang menggedor pintu, tapi orang lain. Seorang wanita bertubuh tinggi besar namun lebih tinggi dari madam Zainab dengan kulit yang hitam legam. Kami saling memandang. Aku menatap dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia hanya diam dan tak berbicara namun tetap memandang dengan tatapan, aneh.

Takut, itulah yang aku rasakan sekarang. Dari raut wajahnya seperti orang yang kasar yang setiap saat siap menelanku hidup-hidup.

Dan benar saja, tak berapa lama ia menggamit dan menggusur lenganku menuju dapur, untuk memasak. Setelah itu dia menunjuk beberapa bahan yang ada di atas meja dapur. Kemudian dia berlalu pergi entah kemana.

Siang ini madam menyuruh untuk membersihkan lampu hias yang sangat besar yang bertengger si Tengah ruang lantai tiga. Tinggi sekali, lampu ini menjuntai ke lantai dua. Saking tingginya sampai-sampai aku bingung dan tak mengerti dengan cara apa aku harus membersihkannya.

Tak lama pekerja dari arah luar membawa tangga lipat dan menyuruhku membawanya ke lantai atas kemudian menyuruhku menggunakannya.

'Astagfirullah, lagi-lagi rasanya aku ingin menangis dan berteriak. Bagaiman tidak, seumur hidup belum pernah aku melakukannya. Apalagi ini letaknya tepat di tengah ruang lantai tiga. Dan tepat di bawah sana adalah lantai satu yang kalau menunduk ke bawah membuatku merinding, saking tingginya lanatai tiga ini.

Namun bisakah aku menolaknya?

Baru beberapa langkah menaiki tangga, kaki ini sudah gemetar. Mungkin belum terbiasa atau aku memang penakut sekali. Ini pertama kalinya aku bekerja dengan

enggunakan tangga. Apa lagi dengan abaya yang kukenakan saat ini membuatku susah bergerak ditambah cadar yang kukenakan ini membuatku sulit bernafas dan kepanasan

sehingga aku kerepotan dan sedikit saja tersingkap kain ini maka madam pasti akan melotot dan memarahiku.

Ku lirik madam, beliau tengah membaca di kursi empuk dekat tangga. Sesekali beliau menatap ke arahku, memperhatikan pekerjaanku. Seperti pengawas yang sedang mengawasi para murid dikala ujian sedang berlangsung. Seram.

Tak lama ada yang datang dan menaiki tangga. Rupanya babah, suami madam itu sudah pulang dari kantor.

Tumben tidak biasanya, yang biasanya beliau pulang malam setelah rumah dalam keadaan sepi.

Madam tampak kaget dan segera menyuruhku untuk Turun dan segera pergi.

Bagian 3

Baru beberapa langkah menuruni tangga, abaya yang kukenakan terinjak kakiku sendiri dan aku hampir saja terjungkal ke lantai bawah, tepatnya hampir saja terhempas ke lantai satu, kalau saja aku tak segera berpegangan ke besi penghalang.

Seketika madam dan suami berteriak hampir bersamaan. Sedangkan aku berusaha menyeimbangkan badanku kemudian aku terduduk dengan badan gemetar, sedemian rupa. Aku menangi sejadi-jadinya. Sedang madam segera menenangkan ku.

"Kamu cerono, kami ceroboh!" ucapan suami madam tepat di depan mukaku.

"Dasar se**n, anj**g, go***k, memangnya kau pikir aku sengaja jatuh, hah?" umpatku dengan bergetar menggunakan bahasa Indonesia. Kedua pasangan suami istri tersebut hanya bengong, tak mengerti maksud ucapanku pastinya.

Setelah insiden barusan yang hampir membuatku celaka, madam segera menyuruhku untuk segera peri, tak perduli dilihatnya aku yang gemetar dan ketakutan karna baru saja lolos dari maut.

"Pergilah!,"

Istirahat? bukan. Lebih tepatnya madam menyuruhku pergi ke ruang tempat setrika baju. Katanya ini pekerjaan ringan yang bisa dilakukan sambil istirahat, katanya.

Baru beberapa helai baju ku setrika. Madam menghampiri. Dalam pikiranku ia akan iba dan menanyakan perihal keadaanku, namun ternyata dugaanku salah.

Madam marah, menyalahkanku atas insiden yang terjadi. aku pun berusaha membela diri dengan mengatakan itu tidak sengaja.

Namun ternyata bukan itu yanv jadi masalah. Menurut madam aku salah bukan karna terjatuh, tapi karna cadar yang kukenakan di hadapan babah tidak menutupi mata. Ya, cadar yang kukenakan memang terdiri dari dua lapis. Satu lapisan untuk menutup wajah, dan satu lapisan lagi untuk menutupi bagian mata, hanya saja lebih tipis dan nerawang.

"Ya madam, aku tak mungkin menuruni tangga dengan menutup mataku, itu sangat bahaya. Dan anda tahu tadi, saya hampir saja terjatuh" aku membela diri tak terima dengan perkataanya.

"Matamu itu ya Noorah, haram....!" madam malah marah dan murka. Raut wajahnya nampak tak bersahabat, tak henti dia berdakwah sambil terus berdiri di hadapanku. Kenapa aku sebut berdakwah? tentu karna bahasa arabnya yang panjang, membuatku kurang mengerti. Apalagi panjang lebar seperti yanh beliau ucapkan. Jadi, aku anggap saja itu ceramah atau dakwah. Lagi pulaaku ingin tertawa saat dia memanggilku ya Noorah, padahal namaku sendiri, Nur, Nurlina panjangnya.

****

Makan malam sudah disiapkan oleh wanita bertubuh tambun yang berkulit hitam legam. Namanya Husnah. Ia juga membawakan makanan ke tempatku menyetrika.

Kata dia, aku tidak perlu membalas omonganmajikan wanitaku itu. Cukup bicara ia-ia saja. Maka semua aman, tak akan berkepanjangan ceramah.

"Percayalah, aku tidak sakit hati, Mus" lalu kami pun tertawa bersama.

Ia lalu bercerita tentang rumah ini. Dengan bahasanya yang kurang fasih berbahasa arab, sama sepertiku, jadinya aku lebih banyak bengong dan mencerna maksud dari ceritanya. Meski sedikit ada yang kupahami juga. Ternyata setelah sedikit mengobrol aku jadi tahu bahwa sebenarnya ia orang yang cukup baik.

Sampai dini hari kami berada di ruang setrika. Lelah, itu yang aku dan Husnah rasakan. Aku dengan baju-baju yang tidak ada habisnya meski sudah di bantu Husnah. Namun semuanya tetap saja, belum mampu membereskan tumpukan baju ini.

***

Rutinitas pagi dimulai dengan membuat aneka makanan dan minuman sperti kopi arab, teh dan aneka macam jus. Tak kurang dari tujuh jenis makanan dan minuman yang harus kami sediakan. Aku kurang paham dalam membuat dan menakar bahan makanan, jadilah aku dibantu oleh Husnah agar tidak di hukum saat melakukan kesalahan dalam rasa dan penyajian makanan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!