Senyum Intan memudar. Hatinya tidak lagi riang. Bahkan, dengan jelas dahinya berkerut mengisyaratkan rasa heran atas ucapan sang kekasih yang baru saja meminta putus hubungan.
“Apa kamu bilang? Break?” Intan meyakinkan dirinya tidak salah dengar.
“Iya. Aku rasa itulah yang terbaik untuk kita.”
“Kenapa?”
Intan tidak butuh basa-basi. Alasan dan penjelasanlah yang saat ini begitu dinanti. Setelah tiga bulan berpacaran tanpa sekalipun ada pertengkaran, rasanya begitu mengherankan jika sang kekasih tiba-tiba meminta putus hubungan.
“Aku tidak pantas untukmu.”
“Tidak pantas? Hanya karena itu?” Tanpa sekalipun memudarkan sorot mata tajam, Intan terus meminta penjelasan.
“Iya. Kamu terlalu baik untukku.”
Tawa pelan Intan tunjukkan tanpa kenal sungkan. Bagi Intan, alasan yang diutarakan sama sekali tidak relevan dengan keadaan selama mereka menjalin hubungan. Selama ini hubungan Intan dan kekasihnya baik-baik saja. Bahkan, kedua orangtua sudah sama-sama tahu, juga berharap Intan dan kekasihnya segera menikah.
“Lucu sekali alasanmu, Mas. Di mana-mana itu orang akan bersyukur jika kekasihnya penuh dengan kebaikan. Kamu justru sebaliknya.”
“Maafkan aku, Intan. Aku tahu kamu sulit menerima keputusan ini. Tapi ….”
“Cukup! Kita putus! Kamulah yang tidak pantas untukku! Pergilah dengan selingkuhanmu!”
Usai Intan berkata demikian, seorang wanita berhidung mancung berjalan mendekat. Senyum manis dia layangkan pada Intan, lantas berdiri di samping lelaki yang kini telah resmi menjadi mantan kekasih Intan. Dugaan Intan benar. Mantan kekasihnya itu telah melakukan pengkhianatan.
Dorr!
Spontan Intan melompat ke atas sofa sambil memegangi dada kirinya. Suara balon meletus benar-benar mengangetkan hingga membuyarkan lamunannya. Namun, keterkejutan itu seketika berubah menjadi kekhawatiran begitu melihat balon-balon lain siap diletuskan.
“Miraaaa! Kemarikan jarumnya!”
“Tidak mau! Weeek!”
Aksi kejar-kejaran antara Intan dengan sang adik tidak dapat dihindarkan. Bukan ingin bersikap kekanakan, Intan hanya tidak ingin balon-balon yang sudah disiapkan harus dipompa ulang. Rencananya, balon-balon itu akan dibagikan untuk murid-murid di sekolah tempat Intan mengajar.
Dor-dor! Dor-dor-dor!
Lima balon lainnya meletus bergantian. Kali ini bukan ulah adik Intan, melainkan ulah cakar tajam dari tiga kucing betina peliharaan Intan.
“Bora-Sora-Nora! Dan, kamu! Miraaa! Kalian ini ….”
“Hahaha. Maaf ya, Kak. Mira bantu pompa lagi, deh. Balon yang diletuskan Bora-Sora-Nora juga akan Mira ganti. Sekarang, lebih baik kakak ganti baju, dandan yang cantik, dan pasang senyumnya. Jangan cemberut gini, ah!” Mira mencubit pelan kedua pipi Intan.
“Tunggu! Ada apa ini?” Intan mulai curiga dengan perintah Mira.
“Ada yang mau datang.”
“Siapa, Mir?”
“Lihat sendiri saja nanti. Mira cuma disuruh ibu bilang ke kakak suruh ganti baju.”
Intan tidak banyak bertanya lagi. Lagipula, dirinya sudah lelah setelah memompa beberapa balon yang pada akhirnya harus ditiup ulang akibat keisengan Mira. Kini, Intan memutuskan untuk mandi, ganti baju, dan bersiap menyambut tamu yang akan datang. Intan menduga orang-orang yang datang adalah ibu-ibu arisan.
Di luar dugaan, Intan justru butuh waktu lama untuk bersiap. Pikiran Intan tidak fokus, bahkan sesekali terjebak dalam lamunan masa lalunya. Ingatan buruk saat dirinya putus hubungan dengan sang mantan beberapa tahun silam itu hadir sejak tadi siang. Saat itu, Intan tidak sengaja berpapasan jalan dengan sang mantan yang ternyata sudah menggendong bayi berusia beberapa bulan.
Pikiran Intan terganggu karena melihat mantan kekasihnya telah bahagia bersama istri dan buah hatinya. Berbeda dengan Intan yang hingga saat ini belum menemukan orang yang tepat untuk diajak menuju ke pelaminan.
Dorr!
Kali ini bukan suara balon meletus. Miralah yang membuat suara ‘dorr’ demi membuyarkan lamunan Intan.
“Bu guru kenapa melamun terus, sih?” Mira menggoda Intan dengan nada ala anak-anak sekolah dasar.
“Mira, jangan mulai, deh!”
“Dasar kakak! Muridnya dilarang melamun, tapi sekarang justru kakak sendiri yang melamun.”
Disindir demikian, hati Intan melunak. Senyum simpul diberikan, lalu perhatian Intan tertuju pada Mira yang sudah bersiap dengan balutan gaun motif bunga. Jauh berbeda dengan penampilan Intan yang memilih setelan hoodie dan celana panjang.
“Pakaianmu terlalu bagus. Cepat ganti sana! Kita bagian dapur, Mir.”
Tidak ada tanggapan. Mira hanya terdiam sambil mencoba mencerna kalimat Intan.
“Bagian dapur? Kakak kira di rumah ini mau ada arisan?”
“Iya.”
“Bukan, Kak. Sebentar lagi mau ada acara lamaran.”
“Hah? Siapa yang mau dilamar?”
“Ya kakak, dong! Masa iya Mira duluan.”
Bola mata Intan membulat. Sebelum ini sama sekali tidak ada yang mengatakan apa-apa padanya. Dia sama sekali tidak tahu-menahu tentang acara lamaran yang baru saja dikatakan Mira padanya.
Kedua kaki Intan lekas diayun cepat menuju teras depan. Ada ibu dan ayahnya di sana. Tanpa basa-basi lagi, Intan bersiap meminta penjelasan dari mereka.
“Bu, apa benar ….”
Mulut Intan ada yang membekap dari belakang. Miralah pelakunya. Sengaja Mira mencegah Intan bertanya pada ibunya.
“Kalian berdua ini ngapain, sih? Ayo, bantu ibu! Sebentar lagi tamunya datang.”
Tidak lama berselang, terlihat Bu RT melangkah cepat menuju halaman rumah Intan diikuti beberapa ibu-ibu lainnya. Tebakan Intan benar. Acara sore itu adalah acara arisan, bukan lamaran.
“Mira!” Intan berhasil melepas bekapan tangan sang adik.
“Hihi. Prank! Kakak melamun terus, sih.”
Sebenarnya Intan ingin marah, tapi dicegah sang ibu karena kondisi yang ada. Akan jadi perbincangan ibu-ibu arisan bila Intan dan Mira bertengkar di hadapan mereka. Jadilah, Intan hanya berdecak kesal kemudian bergegas kembali ke kamarnya.
Mira yang merasa bersalah lekas membuntuti kakaknya. Seperti biasa, dengan sedikit rayuan dan penjelasan, Mira berhasil mendapat maaf dari Intan. Begitulah hubungan persaudaraan antara Intan dan Mira. Sebesar apa pun kesalahannya, selalu ada kata maaf yang meredam semua.
“Apa kakak belum bisa move on dari mantan? Sampai-sampai kakak tidak mau lagi pacaran? Kejadian itu sudah beberapa tahun lalu, lho. Saat kakak masih kuliah. Sekarang kakak sudah bekerja dan sudah waktunya menikah.” Panjang lebar Mira menjelaskan isi pikirannya.
“Kakak tidak mau pacaran bukan karena belum move on, Mir. Kakak inginnya langsung menikah. Pacaran itu buang-buang waktu saja. Belum lagi sakit hatinya.”
“Apa kakak sudah ada calon?”
Intan menggeleng. Memang, sejak dia putus hubungan dengan sang mantan, tidak ada seorang lelaki pun yang berani menyatakan perasaan. Apalagi sejak dirinya melakoni profesi sebagai seorang guru sekaligus penulis yang sudah memiliki cukup banyak penggemar. Rumornya, tidak ada yang berani mendekati Intan karena merasa tidak pantas bersanding dengannya.
“Kalau yang suka sama kakak, ada nggak?” Mira menyelidik.
“Mungkin … ada. Mungkin juga tidak.” Nada bicara Intan terdengar seperti seorang yang sedang pasrah dengan keadaan.
“Bagaimana dengan Kak Ronal? Si raja gombal waktu zaman kakak SMA? Bukankah dia naksir kakak?”
“Naksir doang tapi tidak ada pembuktian, ya percuma, Mir.”
“Benar juga, sih. Oh iya, bagaimana dengan Pak Dosen ganteng? Teman kakak waktu kuliah.”
Deg-deg-deg!
Seketika itu Intan langsung terdiam. Intan tahu betul siapa lelaki yang dimaksud Mira. Pak Dosen yang disebut-sebut adiknya itu bernama Sandhi, teman Intan semasa kuliah S1. Intan sempat menaruh hati, tapi tidak dilanjutkan lagi karena Intan merasa tidak pantas untuk mendapatkan hati Sandhi.
“Kakak tidak pantas untuk Sandhi, Mir. Sandhi itu cerdas, keren, terkenal di kampusnya. Sedangkan kakak ….”
“Bukankah kakak juga cerdas, keren, dan punya penggemar juga dari novel yang kakak tulis? Menurut Mira pantas-pantas saja, sih.”
“Pan-tas,” eja Intan dengan nada lirih.
Kata pantas itulah yang selama ini membeban hati. Kata pantas itulah yang digunakan mantan kekasih Intan untuk mengakhiri hubungan. Kini, kata pantas itulah yang Intan gunakan sebagai alasan untuk mengungkapkan perasaan mengganjal yang hingga kini masih tidak menemui titik terang. Kenapa harus ada kata pantas dalam suatu hubungan, itulah yang sempat menjadi pertanyaan.
“Pokoknya kakak harus menikah. Umur kakak sudah semakin bertambah, tuh!”
“Iya, Mir. Kakak paham itu.”
“Em, kalau dijodohkan mau nggak, Kak?”
“Apa?” Intan terkejut mendengar kata perjodohan.
Rupanya pertanyaan itu adalah pancingan untuk memulai obrolan serius. Setelahnya, Mira bergegas menuju ke topik utama. Sebenarnya beberapa hari lalu Mira tidak sengaja mendengar obrolan sang ibu tentang rencana perjodohan kakaknya dengan anak tetangga.
“Kenapa kamu baru bilang sekarang, Mir?”
“Sssut! Jangan keras-keras, Kak! Nanti Mira ditegur ibu karena menguping obrolan waktu itu.”
Intan memijit keningnya perlahan. Kabar ini benar-benar mengejutkan. Ditambah lagi, Mira menunjukkan rekaman obrolan yang sekaligus membuktikan bahwa kabar tersebut bukan omong kosong belaka.
“Kakak tidak mau dijodohkan, Mir. Kamu tahu itu, bukan?”
“Iya, Mira tahu, Kak. Kalau memang seperti itu, kakak harus bergegas cari calon untuk dikenalkan pada ayah dan ibu.”
“Tapi, siapa yang mau sama kakak?”
“Usaha dulu, Kak. Nanti juga ketemu.”
Beberapa hari setelah kabar itu diterima, ibu dari si pemuda yang hendak dijodohkan dengan Intan tidak sengaja keceplosan bicara tentang perjodohan. Sejak itu Intan sering terjaga saat malam. Bingung, kepikiran, opsi rencana kabur dari rumah pun sempat terbersit di benaknya. Namun, rencananya tidak sampai dijalankan karena Intan tidak ingin bersikap kekanakan.
“Apa yang harus aku lakukan agar perjodohan itu tidak sampai terlaksana?” Intan bergumam dalam hati, sambil kakinya terus melangkah di tepian kolam ikan yang berada di area rumah makan.
Dalam keadaan setengah melamun, bahu Intan tidak sengaja bersenggolan dengan bahu seseorang. Sayangnya, tempat Intan limbung adalah tepian kolam ikan. Air kolam jernih siap menyambut tubuh Intan sebelum akhirnya seseorang yang menyenggolnya tadi membalikkan keadaan. Tangan Intan diraih, kemudian ditarik menjauhi area kolam.
Intan selamat, tidak jadi tercebur kolam ikan. Bukan perasaan senang yang pertama kali Intan rasakan, melainkan jantung berdebar. Saat ini bola mata Intan sedang beradu dengan bola mata lelaki di hadapannya. Lelaki yang sama sekali tidak asing baginya. Intan tidak hanya bisa mengenalinya dari raut wajah, melainkan juga dari senyum manis yang disuguhkan padanya.
Siapakah lelaki itu? Mungkinkah pertemuan di tepian kolam ikan menjadi jalan bagi Intan untuk menemukan pasangan? Nantikan lanjutan ceritanya!
Bersambung ….
Tidak lagi limbung, tangan Intan dilepas perlahan oleh lelaki yang telah menyandang status pahlawan. Meski tidak lagi beradu tatapan, tapi jantung Intan masih saja berdebar. Demi menutupi rasa gerogi, Intan pun bergegas mengucapkan terima kasih pada si lelaki yang masih saja tersenyum lebar dengan memperlihatkan deretan gigi putih.
“Lain kali hati-hati,” ucap Sandhi, si dosen tampan yang beberapa waktu lalu menjadi perbincangan Intan dan Mira.
Ya. Penyelamat Intan hari ini adalah Sandhi. Sungguh, Intan sama sekali tidak menyangka akan bertemu Sandhi di tepian kolam ikan. Sandhi pula yang menyelamatkan Intan sehingga tidak sampai tercebur kolam. Bagi Intan, rasanya sungguh sesuatu sekali karena si penolongnya kali ini adalah lelaki yang pernah menjadi pujaan hati. Wajar juga bila Intan sempat berdebar-debar melihat senyuman Sandhi.
Pertemuan di tepian kolam berlanjut obrolan. Intan dan Sandhi mengobrol tanpa canggung karena dulu semasa kuliah S1 mereka berdua adalah teman satu jurusan. Begitu lulus, Sandhi lanjut S2, sedangkan Intan memilih untuk langsung bekerja.
Berbeda kota, tidak pula bertemu dalam waktu lama, membuat perasaan Intan terhadap Sandhi memudar. Intan mengira perasaan itu akan hilang sama sekali. Nyatanya, saat Intan dan Sandhi bertemu di tepian kolam, rasa manis itu seolah bisa Intan rasakan kembali.
“Tan, desa di ujung jalan sana bagus sekali pemandangannya.”
“Kamu dari sana?”
“Iya, ada kelompok mahasiswa bimbinganku sedang KKN di sana.”
Intan mengangguk-angguk, kemudian menyeruput es teh pesanan yang baru saja datang.
“Em, Sandhi. Aku boleh tanya nggak?”
“Silakan saja. Jangan sungkan!”
“Bagaimana rasanya jadi dosen?”
“Hm. Bagaimana, ya?” Sandhi tampak berpikir, dan lagi-lagi tanpa memudarkan senyuman. “Rasanya … manis,” lanjut Sandhi.
“Kok bisa manis?”
“Ya bisa, dong. Sama sepertimu.”
Deg!
Ucapan Sandhi benar-benar berpengaruh pada ritme detak jantung Intan. Jantung Intan sampai berdebar berlebihan. Deg-degan.
“Ma-maksudnya?” Intan sampai terbata menanggapinya.
“Maksudnya, sama seperti saat kamu mengajar murid-murid di kelasmu. Sikap mereka manis, bukan?”
Betapa angan Intan langsung terjatuh dari ketinggian. Ibarat tembok, langsung runtuh akibat salah tatanan. Intan telah salah paham. Salah menangkap maksud perkataan Sandhi. Harusnya Intan tidak buru-buru terbawa suasana hati. Apalah daya, semua sudah terjadi. Untung saja yang merasakan kesalahpahaman itu hanyalah Intan sendiri.
“Iya, muridku manis-manis. Dan, aku menyukai profesiku sebagai guru. Ya, aku menyukainya.”
“Hm? Menyukai siapa?” tanya Sandhi.
“Siapa? Ya menyukai profesiku-lah.”
“Oh. Aku kira kamu menyukaiku.”
Deg!
Kali ini Intan tidak ingin salah paham lagi. Intan langsung membentengi hati. Tidak lagi mudah terbawa perasaan sampai deg-degan seperti tadi. Intan sadar, sejak tadi ucapan Sandhi butuh penafsiran lebih. Yang Intan belum tahu, ucapan itu benar-benar ungkapan dari hati atau justru hanya candaan basa-basi.
“Jangan bercanda, San.”
“Bagaimana kalau aku sedang tidak bercanda?”
Hati Intan seperti sedang dibolak-balikkan. Sebelum ini dibuat melambung, terjatuh karena salah paham, kemudian harus kembali melambung tinggi, dan lagi-lagi karena ucapan Sandhi yang benar-benar membutuhkan penafsiran lebih.
“Benarkah?” Intan tampak ragu. “Apakah … selama ini kamu juga ….”
“Ya. Aku juga menyukaimu waktu itu.”
Jelas sekali ucapan Sandhi adalah pengakuan. Namun, Intan masih meragukan karena ada kata 'waktu itu' di belakang.
“Ha? Waktu itu? Bagaimana dengan sekarang?”
“Sekarang masih. Tapi, aku telah dijodohkan.”
Untuk ke sekian kalinya hati Intan dijatuhkan. Bedanya, kali ini ada perih yang Intan rasakan. Kecewa, iya. Patah hati, jelas terjadi pada dirinya.
“Oh. Selamat, ya.” Intan berusaha tegar.
Sekian detik tidak terjadi obrolan. Baik Intan maupun Sandhi sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Es teh yang tidak lagi dingin itu menjadi saksi pengakuan hati yang berujung sedih.
“Saat itu, saat kita masih kuliah, aku merasa tidak pantas untukmu, Tan. Aku kejar mimpiku, berharap akan bisa lebih pantas denganmu. Ternyata, ada takdir lain yang disiapkan untukku. Aku dijodohkan, dan aku tidak ingin mengecewakan,” terang Sandhi panjang lebar.
Menanggapi itu semua, Intan hanya tersenyum. Tidak ada kata penguat untuk mengimbangi penjelasan Sandhi. Bagi Intan, percuma saja dijelaskan. Sandhi telah memilih untuk menerima perjodohan, dan tidak ada lagi yang bisa Intan lakukan kecuali menerima kenyataan.
“Tan, kamu baik-baik saja?” Sandhi khawatir karena Intan hanya menunjukkan senyuman.
“I’m okay. Berbahagialah dengan pilihan orangtuamu.”
Jeda sejenak, Intan kembali menyeruput es teh miliknya demi meredam kelunya lidah, agar tidak ada pula ucapan terbata.
“Em, mendung, nih. Lebih baik kamu bergegas, San. Nanti kehujanan di jalan, lho.” Intan mengalihkan topik.
“Tan, aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin membuat pengakuan sebelum ….”
“Sebelum kamu melangsungkan perjodohan. Ya, aku paham.” Intan menggangguk-angguk sejenak. “Tidak masalah bagiku,” imbuhnya kemudian.
Ada kesedihan di hati Intan, tapi air mata pantang dia keluarkan. Ada pedih pula yang Sandhi rasakan, tapi dia tidak mampu memberi pengobatan. Ada keputusan yang telah Sandhi pilih. Demikian pula dengan Intan, dia juga telah memutuskan untuk menghargai keputusan Sandhi.
Sandhi pamit pulang, sementara Intan masih bertahan. Intan menghabiskan waktunya sendirian dengan melahap dua porsi lalapan nasi ayam. Sedih dan kecewa dia lampiaskan pada makanan dalam porsi besar.
“Pantas. Lagi-lagi ada kata pantas. Kenapa saat kamu sudah memperjuangkan kata pantas, aku justru kamu lepas?” Batin Intan, sambil tetap mengunyah makanan.
Selesai. Dua piring lalapan nasi ayam isinya telah tandas. Intan benar-benar puas.
“Lalu, di mana aku bisa bertemu dengan jodohku?” gumam Intan, sambil berjalan menyusuri tepian kolam ikan.
Intan berjalan perlahan menuju arah parkiran. Intan hendak pulang. Akan tetapi, langkah lambat membuat Intan jadi berlama-lama menyusuri tepian kolam ikan. Ditambah lagi, pikiran Intan sedikit terusik karena momen pertemuannya dengan Sandhi tadi kembali muncul tanpa permisi.
Tersenggol lagi. Intan yang setengah melamun, bahunya tersenggol lagi oleh seorang wanita yang terburu-buru pulang. Jauh berbeda dengan tadi, kali ini tidak ada seseorang yang membalikkan keadaan. Intan limbung, dan air kolam menjadi tempat pendaratan.
Byuuurr!
Intan basah kuyup ditemani ikan-ikan yang masih sibuk berenang. Beberapa pengunjung rumah makan sempat melihat, kemudian mengabaikan. Wanita yang tadi menyenggolnya pun seolah tidak peduli pada keadaan, bahkan terus berlarian kecil menuju arah parkiran. Sementara Intan, dia dengan tegar menuju tepian kolam. Tinggal beberapa langkah lagi sebelum akhirnya ada seseorang yang mengulurkan tangan.
Uluran tangan itu tidak langsung disambut. Intan mengusap wajahnya yang basah, lantas memfokuskan pandangan matanya. Ternyata, yang mengulurkan tangan kepadanya adalah seorang lelaki. Bukan Sandhi, melainkan lelaki lainnya lagi. Lelaki yang masih setia mengulurkan tangannya itu mengenakan setelan hoodie hitam dan celana jeans warna senada. Senyumnya merekah tertuju pada Intan yang masih belum mau menyambut uluran tangannya.
“Apa wajahku terlihat seperti zombie sampai kamu terbengong seperti itu, Tan?” canda si lelaki.
“Zombie?”
Lelaki ber-hoodie hitam itu tetap tersenyum. Kali ini tangannya lebih dimajukan agar Intan segera menyambut uluran tangan. Sayangnya, Intan kurang peka pada keadaan. Maklum, pikiran dan hatinya baru saja berantakan.
Byurr!
Bola mata Intan melebar karena melihat lelaki tadi justru ikut menceburkan diri ke dalam kolam ikan. Kini, Intan tidak basah kuyup sendirian.
“Sekarang, lebih baik kita keluar dari kolam sebelum menjadi tontonan. Mau aku bantu?”
“Ti-tidak. Aku bisa sendiri.” Intan menolak bantuan dan bergegas naik menuju tempat aman.
Siapakah lelaki itu? Akankah kisah di tepian kolam ikan akan berlanjut sama seperti sebelumnya? Nantikan lanjutan ceritanya!
Bersambung ….
Devano, begitulah nama si lelaki yang ikut menceburkan diri ke dalam kolam ikan. Intan dan Devano adalah teman lama, pernah satu kelas saat di bangku sekolah menengah. Ini pertama kalinya Intan dan Devano bertemu setelah sekian tahun lamanya. Meski demikian, keduanya tetap bisa saling mengenali dari hanya melihat wajah.
“Kamu gila, Dev!” Intan menggerutu.
“Eit, Bu Guru kok ngomongnya begitu, sih?” Devano melebarkan senyumnya.
Membawa-bawa profesi membuat Intan jadi tidak enak hati. Intan hanya sebal karena Devano ikut menceburkan diri. Intan tidak ingin dikasihani.
“Maaf. Kata-kataku kurang sopan,” ucap Intan pada akhirnya.
“Dimaafkan nggak, ya?” Devano menaik-turunkan kedua alisnya.
“Orang baik itu mudah memaafkan, lho. Sekarang kamu mau nggak jadi orang baik?”
“Nggak mau, deh. Tadi aku jadi orang baik malah dicuekin. Jadi malas mau baik lagi.” Yang dimaksud Devano adalah saat dia mengulurkan tangan pada Intan tapi tidak dipedulikan.
“Terserah kamu saja. Aku pulang dulu. Bye!”
Tanpa banyak basa-basi lagi, Intan bergegas pergi meninggalkan Devano. Langkah kakinya diayun menuju tempat parkir motor. Intan benar-benar ingin segera sampai di rumah dan mengganti pakaiannya yang basah. Namun, niatan itu tidak bisa langsung terlaksana.
Intan merogoh tas ransel mini yang dibawanya, tapi tidak menemukan kunci motornya. Seingat Intan, tadi kunci motor itu sudah dia genggam ketika berjalan menuju arah parkiran, sebelum akhirnya tercebur kolam ikan.
“Duh! Jangan-jangan kunci motornya tercebur juga!” Begitu sadar, Intan spontan panik.
Banyak pertimbangan yang Intan pikirkan. Tidak mungkin juga Intan kembali menceburkan dirinya ke dalam kolam hanya untuk mencari kunci motor yang hilang. Alhasil, Intan memutuskan akan menghubungi Mira di rumah. Intan berharap adiknya itu berkenan menuju rumah makan untuk mengantarkan kunci motor cadangan. Namun, sayang sekali Intan tidak bisa menghubungi Mira karena ponselnya mati. Memang, ransel mini yang Intan gunakan juga basah hingga ke bagian dalam. Padahal, di sanalah tempat Intan menyimpan ponselnya.
“Ini namanya jatuh tertimpa tangga berkali-kali.”
Lantaran tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, Intan memutuskan kembali menemui Devano. Sempat ada sedikit perasaan gengsi saat Intan kembali, tapi mau bagaimana lagi. Saat ini Intan benar-benar butuh bantuan.
Usai celingukan ke sana-sini, akhirnya Intan menemukan Devano di salah satu meja makan di area outdoor. Intan menduga, Devano sengaja memilih tempat outdoor karena pakaiannya yang basah.
“Dev, aku butuh bantuan.” Intan tidak basa-basi.
“Duduklah dulu!”
Meski kurang nyaman duduk di sana akibat pakaiannya yang basah, tapi Intan menurut saja.
“Sepertinya kunci motorku tercebur kolam, Dev.”
“Benarkah? Kalau begitu biar aku ambilkan!”
“Eh, tunggu!”
Intan gesit memegangi lengan Devano demi mencegah langkahnya. Sejauh ini, Devano telah bersikap tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Sebelumnya Devano ikut menceburkan diri ke dalam kolam demi menemani Intan agar tidak basah sendirian. Sekarang, Devano tanpa pikir panjang hendak menceburkan diri lagi ke dalam kolam demi membantu Intan mencari kunci motornya yang hilang.
“Sabar dulu, Dev! Kamu mau ke mana, sih?” Intan melepas lengan Devano sambil menggerutu.
“Lah, katamu tadi kunci motornya tercebur kolam juga. Ya sini, mau aku ambilkan.”
“Kamu mau basah-basahan lagi sama ikan?”
“Apa salahnya? Itu hanya basah, Tan. Nanti juga kering sendiri.”
Spontan Intan memejamkan kedua matanya sembari menarik nafas perlahan. Intan gemas dengan sikap Devano.
“Dev, aku cuma mau pinjam ponselmu untuk menghubungi adikku. Ada kunci cadangan di rumahku. Mira akan kuminta ke sini mengantarkan kunci cadangannya.” Intan menjelaskan dengan tenang.
“Kamu merepotkan adikmu, Tan. Tunggulah sebentar. Setelah ini aku bantu. Di sebelah gedung itu ada tukang kunci. Aku kenal baik dengannya. Dia pasti bisa membantumu.”
“Aku maunya pinjam ponselmu, Dev. Apa kamu tidak mau meminjamkan ponselmu?”
“Ya. Aku tidak mau meminjamkan, karena aku akan menolongmu dengan cara lain. Tunggulah sebentar. Aku habiskan dulu makan siangku.” Devano melebarkan senyuman hingga membuat Intan terdiam.
Intan mencoba memahami keadaan. Sejauh ini Intan melihat sikap Devano yang santai menyikapi situasi yang terjadi. Intan mencoba belajar padanya. Kali ini Intan bersikap tenang dan menurut saja. Lagipula, Intan tidak sedang ada agenda lain lagi beberapa hari ini. Kebetulan juga, sekolah tempat Intan mengajar sedang masa liburan.
Untuk beberapa saat, Intan hanya diam sambil sesekali melihat Devano menyantap menu lalapan tahu tempe. Begitu lahap, dan mimik wajah Devano menyiratkan ketenangan. Seperti tidak ada beban.
“Kamu mau makan siang juga, Tan?”
Intan menggeleng. “Tadi sudah.”
“Oya, kamu kenapa di sini sendirian?” Devano membuka obrolan.
“Tidak apa-apa. Sedang ingin menikmati waktu sendiri saja. Kalau kamu, Dev?”
“Kalau aku sedang istirahat makan siang. Coba lihat gedung yang di sana itu.”
Intan mengikuti arah telunjuk Devano. Tampak sebuah gedung besar berlantai tiga yang halaman parkirnya selalu penuh dengan kendaraan para pelanggan. Intan tahu betul gedung apa itu. Gedung percetakan yang cukup terkenal di kota itu.
“Kamu kerja di sana, Dev?”
“Iya.”
“Di bagian apa?”
“Di sana … aku tukang bersih-bersih.” Devano menjawab sambil melebarkan senyumnya.
Dahi Intan mengerut, kemudian manggut-manggut.
“Kalau begitu, aku benar-benar mengganggu waktu istirahatmu, Dev. Bagaimana kalau nanti kamu ditegur atasanmu?”
“Santai, Tan. Tidak akan.”
Seorang lelaki tiba-tiba mendekati meja Intan dan Devano. Pakaian yang digunakan sama persis dengan pakaian yang tersembunyi di balik hoodie hitam yang dipakai Devano. Satu hal yang membuat Intan jadi bertanya-tanya, si lelaki yang baru tiba itu menyebut Devano dengan sebutan Pak Bos. Tanpa banyak pikir lagi, Intan langsung memecah rasa penasarannya.
“Mas, maaf saya mau tanya. Pak Devano ini kerja di gedung yang di sana itu, ya?”
“Benar, Mbak. Pak Devano ini kep- ….” Laki-laki yang berseragam sama seperti Devano itu seketika menghentikan penjelasannya setelah menerima kode mata.
“Sepertinya saya datang di waktu yang tidak tepat. Baiklah. Selamat menikmati waktu makan siang berdua.” Laki-laki tadi mendekat ke telinga Devano, lantas berbisik. “Kamu ditunggu teman-teman untuk voting. Pukul dua nanti ada rapat dengan Pak Bos Besar.”
Devano membalas bisikan temannya itu dengan anggukan singkat. Sementara Intan, dia terus memperhatikan dan tetap bertahan dengan rasa penasaran.
“Dev, kamu sedang berbohong, ya?” tanya Intan begitu laki-laki tadi pamit pergi.
“Nggak, kok.”
“Kamu benar kerja di gedung itu?”
Devano mengangguk santai sebagai jawabannya.
“Di bagian apa? Kenapa lelaki tadi memanggilmu dengan sebutan Pak?”
Devano tidak langsung menjawab. Dengan santainya dia meneguk minuman, lantas kembali fokus pada Intan.
“Intan, apa kamu mulai penasaran denganku?”
Pertanyaan Devano sukses membungkam Intan. Atas pertanyaan itu, Intan hanya menggeleng pelan kemudian meminta Devano untuk melanjutkan makan siangnya.
Sejenak, Devano senyum-senyum melihat perubahan sikap Intan yang tampak diam sambil sesekali mengerucutkan bibir sebagai isyarat sebal.
“Selain mengajar, setahuku kamu juga menulis buku, ya Tan?” Devano masih tetap membuka obrolan.
“Benar.”
“Punya penggemar, dong.”
“Lumayan.”
“Wow. Pasti banyak sekali lelaki yang mengejarmu, ya.”
Semula Intan hendak menjawab dengan singkat seperti sebelumnya. Namun, perkataan Devano yang terakhir mempengaruhi suasana hatinya. Ada perasaan sedih, karena yang terjadi tidaklah demikian. Akan tetapi, Intan memilih untuk tidak mengungkapkan.
“Kenapa diam, Tan?”
“Ehem. Dev, apa kamu mulai penasaran denganku?” Senyum Intan melebar. Dia puas bisa membalas perkataan Devano.
Seketika itu Devano angkat tangan. Benar-benar mengangkat kedua tangannya sebagai penegas bahwa dia tidak lagi ingin melanjutkan perkataan.
Pakaian Intan dan Devano mulai mengering dengan sendirinya. Cuaca siang itu memang sedang terik-teriknya. Meski demikian, rasa tidak nyaman tetap ada karena baju yang digunakan belum kering sepenuhnya.
Urusan motor yang kehilangan kuncinya, Devano dan kenalannya telah berhasil membantu Intan. Tidak butuh waktu lama karena yang menangani adalah orang yang tepat. Intan girang karena dia bisa segera pulang.
“Dev, terima kasih untuk bantuannya, ya.”
“Maaf, Tan. Yang barusan itu … tidak gratis.”
Intan melongo. Sebal, geregetan, dan segala macam hal sudah hendak dia lontarkan. Namun, tidak jadi karena tiba-tiba Devano menunjukkan sebuah video yang membuat Intan penasaran.
Video berdurasi dua menit itu memperlihatkan pemandangan danau yang menyejukkan pandangan. Pepohonan rimbun dan ayunan kokoh juga tampak dalam rekaman video. Sungguh damai, dan tepat sekali dijadikan salah satu tempat liburan.
“Tempat apa ini?”
“Tan, kamu sedang liburan, bukan?” Devano tidak menjawab pertanyaan Intan, justru mengajukan pertanyaan.
“Ya. Aku sedang liburan.”
“Kalau begitu, besok ikutlah denganku.”
“Ha? Maksudmu ke tempat di video itu?”
“Iya. Dan, harus mau.”
“Wah. Ini pemaksaan namanya, Dev. Aku tidak mau.”
Devano melebarkan senyumnya, lantas dengan santainya dia mendekat dan berbisik di telinga Intan.
“Kalau begitu, kamu masih berhutang padaku.”
“Oke-oke.Hanya ke tempat itu saja, kan? Siapa saja yang ikut bersama kita?” Intan akhirnya mengiyakan.
“Kita berdua saja.”
“Apa?”
Intan merasa dijebak. Pikirannya sudah penuh prasangka usai Devano berkata hanya berdua saja ke tempat yang besok akan dikunjungi mereka.
"Tidak mau!"
“Apa kamu mau rombongan?"
“Iya. Lebih baik begitu daripada berdua saja.”
“Baiklah. Besok aku sewakan bus biar kita berangkatnya satu kelurahan. Kebetulan aku kenal baik dengan lurah di sini.”
“Cukup! Tidak perlu! Besok kita berangkat. Tunggu aku di tempat ini pukul tujuh pagi.”
Bergegas Intan memutar kunci motor, lantas dengan gesit mulai melajukan motornya.
“Sampai jumpa besok. Hati-hati di jalan!”
Dengan jelas Intan dapat mendengar teriakan Devano sebelum akhirnya motor Intan benar-benar telah melaju kencang. Sepanjang perjalanan, Intan sempat menyesal karena telah mengiyakan.
“Seingatku, Devano dulu anak yang baik.”
Intan melambungkan ingatan menuju momen bertahun-tahun silam, saat dirinya satu kelas dengan Devano di bangku sekolah menengah. Sempat ada senyuman, meski akhirnya berujung sebal saat ingatan Intan kembali pada kejadian di tepian kolam ikan.
“Mungkin Devano hanya butuh teman untuk liburan. Baiklah, tidak ada salahnya aku pergi. Sekalian menghibur diri dari kejadian hari ini dan … dari Sandhi. Hm. Siapa tahu juga di sana bisa ketemu jodoh.” Kali ini Intan senyum-senyum sendiri.
Untuk apa Devano mengajak Intan? Apa yang akan terjadi di sana. Nantikan lanjutan ceritanya!
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!