NovelToon NovelToon

THE SECRET : Terror Brings Love

Sinopsis

Erina adalah seorang siswi di SMA BINA MUDA, hidup yang ia jalani begitu sempurna. Ibu yang selalu menyiapkan semua kebutuhannya sehari-hari, Ayahnya seorang pemimpin di perusahaan yang ia dirikan sendiri, memiliki satu orang adik laki-laki yang menggemaskan. Lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang harmonis membuat Erina percaya diri menghadapi dunia yang kebanyakan orang bilang itu kejam. Itu semua berkat dukungan moral yang ibunya berikan.

Memiliki dua sahabat yang senantiasa mengisi hari-harinya menjadi lebih berwarna dan bermakna. Ameera, seorang gadis cantik yang banyak di kagumi oleh kaum adam, kecantikannya ini bagaikan seorang model, tubuh tinggi semampai, hidung mancung, kulit putih bersih, rambut hitam panjang lurus, bulu mata lentik, Erina sendiri bahkan kalah cantik dari Ameera. Apalagi ditambah dengan sifat ramahnya. Selain memiliki paras yang cantik, Ameera juga dikarunia dengan otak yang cerdas. Bahkan Erina sendiri mengakui jika Ameera ini adalah sosok perempuan yang sempurna. Erina merasa beruntung bisa menjalin persahabatan dengan Ameera

Ameera kini tinggal di sebuah kost-an, karena jarak rumahnya yang lumayan jauh, membuat Ameera membuang banyak waktu untuk perjalanan antara rumah dan sekolah. Satu kekurangan yang dimiliki Ameera, dia memiliki kakak tiri yang kurang baik. Yang senantiasa selalu merasa iri dengan apa yang dimiliki Ameera, termasuk Devan. Kakak tirinya itu sangat membenci Ameera karena Devan lebih memilih Ameera. Menghindari kakak tirinya adalah salah satu alasan kenapa Ameera bersikeras memilih untuk nge-kost.

Via, adalah anak yatim piatu, katanya, orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat dia masih kecil. Via dirawat dan dibesarkan oleh neneknya seorang diri, uang hasil pensiunan kakek Via menjadi satu-satunya pegangan hidup untuk Via dan neneknya.

Namun begitu, Via adalah sosok perempuan yang ceria dan tangguh, bahkan diantara persahabatan mereka bertiga, Via lah yang selalu menghidupkan suasana menjadi lebih ceria. Erina sangat lengket dengan Via, Via bisa menjadi tempat untuk Erina menumpahkan semua isi hatinya.

Namun, bukan Erina namanya jika tidak bisa move on, dia sadar, dirinya itu tidak ada apa-apanya di bandingkan Ameera, wajar saja Devan lebih memilih Ameera yang sempurna itu.

Persahabatan merekapun tak goyah begitu saja, berkat nasihat dari Via, Erina dapat berpikir dengan bijak dan belajar menerima kenyataan. Malah sekarang Erina mendo'akan agar hubungan Ameera dan Devan langgeng hingga mereka kuliah, bekerja lalu berlanjut ke jenjang pernikahan.

Mereka kembali merajut masa remaja, mengukir kenangan indah. Menyongsong hari-hari dengan penuh canda tawa dan kegembiraan.

Satu hal yang membuat hari-hari di sekolah terasa menjengkelkan, Albi, teman satu kelas Erina. Laki-laki itu tak pernah bosan mengusik ketentraman hidup Erina.

Meskipun kerapkali di tolak mentah-mentah oleh Erina, dia tak pernah menyerah untuk mendapatkan hati perempuan itu. Selalu saja dia memiliki cara untuk mendekati Erina. Erina akui jika Albi baik dan juga tampan, alim juga. Hanya saja dia merasa ilfil saat laki-laki itu terang-terangan menyatakan cintanya di depan kelas.

Apalagi sikap menyebalkan nya itu, Albi bukanlah tipe Erina. Dia mengidamkan laki-laki yang cool dan tak banyak tingkah. Semacam Devan.

Namun siapa sangka, sebuah pencarian membawa Erina lebih jauh mengenal sosok Albi. Ternyata di balik sikap menyebalkan nya, Albi adalah sosok yang bijak dan selalu berpikir panjang dalam bertindak.

Membuat sudut pandang Erina pada Albi sedikit demi sedikit mulai berubah.

Awan putih yang senantiasa selalu menyelimuti kehidupan Erina seketika berubah menjadi gelap. Saat Erina kerap kali mendapat teror demi teror dari orang yang tak di kenal di setiap harinya.

Berawal dari papanya yang mengungkap tentang masalalu, bahwa dirinya bukanlah pria baik. Dia pernah melukai hati Devi, istri pertamanya yang sedang mengandung dengan berselingkuh bersama mama Sofi, ibu Erina. Papanya mengatakan kalau Erina memiliki adik berbeda ibu. Namun papa Heri tak tau kini anaknya ada di mana. Devi sekeluarga menghilang membawa anaknya yang berada di dalam kandungan Devi.

Lalu, perubahan sikap Ameera setelah berpacaran dengan Devan. Dia tak banyak bercerita pada Erina maupun Via. Ameera memendam semua masalah yang sedang dia hadapi seorang diri.

Saat itu Erina mendapat telfon dari Ameera, Ameera meminta tolong karena ada orang yang sedang mengincar nyawanya. Secepat kilat Erina pergi ke kos-an Ameera untuk menyelamatkannya.

Namun semua terlambat, saat tiba disana, Erina menemukan Ameera sekarat. Sebilah pisau menancap diperut Ameera, kesalahan terfatal yang pernah Erina lakukan, dia berusaha untuk melepaskan pisau itu dari perut Ameera, berpikir dengan cara itu bisa membuat rasa sakit di tubuh Ameera bisa berkurang.

Dan tepat saat itu, ibu kost-an Ameera datang dan menyaksikan itu semua. Dia bersaksi jika Erina lah yang telah menusuk Ameera. Erina menjadi satu-satunya tersangka disana.

Dugaan diperkuat sebab Erina menyukai Devan, kekasih Ameera. Semua orang percaya jika Erina lah yang telah menghabisi nyawa Ameera.

Ditengah usahanya membela diri, Erina menemukan fakta jika Ameera saat itu sedang mengandung. Kecurigaan Erina seketika tertuju pada Devan, dia mengira jika Devan yang telah membunuh Ameera karena tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan Ameera.

Namun nyatanya, Devan menyangkal jika dia yang sudah menghamili Ameera. Bahkan Devan mengaku jika sikap Ameera berubah belakangan ini.

Sedangkan Via mencurigai Violla, kakak tiri Ameera yang juga diketahui menyukai Devan dan kerap kali ditolak mentah-mentah oleh Devan. Lalu, dua nama lain muncul sebagai kandidat tersangka berikutnya. Dea, teman sebangku Ameera yang kepribadiannya pendiam dan mencurigakan. Lalu Iqbal, secret admire Ameera.

Lalu, siapa orang yang telah menghamili Ameera sebenarnya? Apakah dia orang yang sama dengan orang yang telah meneror Erina selama ini? Namun apa motifasinya? Ada rahasia apa dibalik kematiannya Ameera?

Albi, laki-laki menyebalkan yang kerap kali mengusik kehidupan Erina menjadi orang pertama yang berdiri di hadapannya dan membela Erina saat di kucilkan dan dibully oleh teman-temannya. Via, satu-satunya sahabat yang masih tersisa, menjadi sumber kekuatan bagi Erina untuk bisa memecahkan kasus ini.

Lantas, mampukah Erina membuktikan jika dirinya tidak bersalah dalam kasus ini dan menemukan siapa sebenarnya orang yang telah menghabisi nyawa Ameera dan meneror dirinya?

Di tengah pencarian tentang siapa orang yang telah membunuh Ameera, benih cinta mulai tumbuh di hati Devan untuk Erina, sedangkan hati Erina telah terpikat lebih jauh oleh sosok Albi, laki-laki menyebalkan yang selama ini ia benci. Lalu, kepada siapa akhirnya hati Erina akan berlabuh?

_______________

Hai semua, mohon dukungannya untuk aku bisa menyelesaikan novel ini ya... Tolong juga berikan kritik dan saran, coretan-coretan kalian di kolom komentar agar aku semangat buat nulisnya...

Pagi yang cerah

Happy reading guys...

Hangatnya sinar matahari pagi mampu menyapu kabut tebal yang menyelimuti bagian bumi yang Erina tinggali. Suara kicauan burung terdengar merdu saling bersahutan, menyambut datangnya sang raja siang.

Membuat siapa saja yang mendengarnya bersemangat untuk menjalani hari ini dengan harapan baru.

Namun tidak untuk Erina, hangatnya sinar matahari tak bisa ia rasakan, karena ia masih saja sibuk bergelung dibawah selimut, berkutat dengan mimpi-mimpi indahnya.

Meskipun alarm di ponselnya sudah berbunyi berulang kali, namun Erina tak sedikitpun merasa terusik. Sampai akhirnya pintu kamarnya dibuka oleh sang mama.

Mama Sofi terperanjat kaget saat mendapati putrinya masih meringkuk di balik selimut, dia berdecak pinggang sambil mengomel ala emak-emak.

"Astaga Erina! Kamu belum siap-siap untuk berangkat ke sekolah? Ini udah jam berapa coba?" Mulut mama Sofi mendumel, sedangkan tangannya menarik selimut yang menutupi sekujur tubuh Erina.

Erina masih tak terpengaruh dengan apa yang mamanya lakukan, dia merasa jika mamanya sedang mengomel itu hanyalah bunga tidur.

Melihat putrinya yang tak bereaksi saat ditarik selimutnya sekalipun, mama Sofi beralih mendekati jendela, menyibak tirai karakter monokuroboo yang tertutup, sehingga pantulan sinar matahari dapat menembus bebas masuk kedalam kamar itu, lalu jatuh tepat mengenai wajah Erina.

Mata Erina yang terpejam mengerut saat sebuah cahaya menyilaukan menembus indra penglihatannya. Spontan tangan kanannya terangkat lalu menutupi matanya agar sinar itu tak bisa menembus kornea matanya. Sedangkan tangan kirinya meraba-raba sekitar, mencari keberadaan selimut untuk kembali dia gunakan. Dia sadar jika selimutnya telah hilang, Erina harus menemukannya kembali.

Saat itu pula mama Sofi juga menarik selimut yang Erina tarik. Aksi tarik-menarik pun tak terhindarkan. Kedua ibu dan anak ini tak mau mengalah satu sama lain. Sampai akhirnya Erina merasa kesal karena dipermainkan oleh mamanya itu.

Masih setengah sadar Erina bangun dari tidurnya, matanya masih belum bisa terbuka sepenuhnya. Kotoran mata itu bagaikan lem yang membuat mata Erina sulit dibuka.

"Mama apaan sih? Balikin selimutnya!" Ucap Erina dengan geram.

"Nggak bisa, kamar kamu mau mama bereskan sekarang. Kamu cepat mandi, ini udah jam berapa liat? Nanti keburu Via sama Ameera datang lho!" Mama Sofi sudah duduk ditepi ranjang dan melipat selimut tebal milik Erina tadi.

Astaga!

Jam berapa sekarang?

Erina mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan jam weker. Pandangannya jatuh pada benda kecil diatas meja belajar. Pukul 06:20!

Astaga! Astaga! Astaga!

Erina telah melewatkan waktu mandi dan berdandannya. Seharusnya dia sekarang sudah menghabiskan sarapan dan sedang menunggu Via juga Ameera datang menjemputnya.

"Mama kenapa nggak bangunin aku dari tadi sih? Jadi telat kan?" Malah menyalahkan mamanya, padahal dia sendiri yang susah di bangunkan.

"Ya udah, lain kali mama bangunin kamu pake segelas air ya!" Mama Sofi tersenyum nakal kearah Erina.

"Ya jangan dong ma, nanti kasur Erina basah. Siapa juga yang repot. Mama kan?" Ucap Erina.

"Kamu benar juga. Ya sudah, cepat mandi. Nanti makin telat lagi." Mengusir dengan gerakan tangannya. Kemudian kembali fokus merapikan tempat tidur Erina.

Erina tak berkoar lagi, dengan gerakan cepat dia ngacir ke kamar mandi.

Mama Sofi bisa mendengar suara percikan air yang jatuh mengenai lantai. "Dasar anak itu, selalu saja membuat drama di pagi hari."

Krek!

Belum ada lima menit didalam kamar mandi, Erina kini sudah muncul masih dengan menggunakan pakaian yang sama, kemudian berjalan menuju lemari.

"Astaga! Anak gadis nggak mandi lagi?" Mama Sofi yang terkejut dengan keluarnya Erina dari kamar mandi memperhatikannya dengan dahi yang mengerut.

Kebiasaan sekali anak ini.

Dengan cepat Erina mengganti piama nya dengan seragam kebanggaannya.

"Nggak sempet ma, udah telat ini." Ucap Erina tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Ihh, jorok sekali. Pantesan aja sampai sekarang nggak ada cowo yang ngapelin kamu. Kamu nya bau sih." Mama Sofi menutupi hidungnya dan mengibas tangannya kedepan.

"Ya nggak lah mah, Erina tetep wangi kok, kan ada ini." Erina menunjukkan parfum favoritnya ke arah sang mama sebelum dia menyemprotnya pada seluruh bagian seragamnya, tak ada satupun yang dia lewatkan.

"Ya, ya, ya. Tapi awas lho, kamu bisa kena sial kalau nggak mandi sebelum pergi beraktivitas."

"Mama kok do'ain nya aku kena sial sih? Do'ain dong anaknya biar hoki." Protes, Erina memajukan bibirnya, pura-pura ngambek.

"Hah, iya iya. Mama selalu mendo'akan yang terbaik buat anak-anak mama." Ucap mama Sofi.

Erina beralih pada meja riasnya, memakai cream wajah, memoles bedak dengan tipis, menyisir rambutnya dengan gerakan cepat dan di biarkan tergerai. Tak lupa sedikit lipsglos agar bibirnya tak terlihat pucat. Selesai. Sesimple itu Erina bersiap untuk pergi ke sekolah.

"Erina berangkat ya ma!" Erina mencium pipi kanan lalu pipi kiri mamanya itu, layaknya mereka seumuran. Ya, begitulah! Sekilas jika ada orang yang melihat, mereka tak terlihat seperti ibu dan anak. Melainkan seperti adik kakak yang umurnya tak jauh berbeda.

Setelah itu, Erina berhambur menuju pintu, dia harus segera turun karena ponselnya sudah bergetar sedari tadi. Pesan dari Ameera sudah memenuhi ruang ponselnya. Meminta Erina untuk bergerak lebih cepat.

"Jangan lupa sarapan dulu, mama udah bikinin kamu nasi goreng di bawah!" Seruan mama Sofi sepertinya hanya jadi angin lalu, Erina tidak mendengar apa yang mamanya katakan, dia sudah terlanjur menuruni anak tangga saat itu.

***

Dengan langkah tergesa, Erina menuruni anak tangga, melewati meja makan yang ternyata papa dan adiknya sedang berada disana.

"Dah papa, Erina berangkat dulu. Assalamualikum." Tanpa menghentikan langkahnya Erina berucap, melambaikan tangannya kearah dua laki-laki berbeda generasi itu.

"Waalaikumsalam. Nggak sarapan dulu nak?" Papa Heri sampai harus berteriak karena Erina berlalu dengan cepat.

"Nanti aja di sekolah pa!" Erina membalasnya dengan teriakan pula, menyambar sepatu di lemari penyimpanan, kemudian keluar melalui pintu utama.

"Jangan ditiru ya kelakuan kakakmu itu." Papa Heri berkata pada Baim, anak bungsunya, adik Erina.

"Iya pa!" Anak penurut, Baim mengangguk kemudian melanjutkan melahap nasi goreng miliknya.

Sementara itu, di halaman depan. Ameera dan Via sudah uring-uringan menunggu Erina yang tak kunjung keluar. Via sudah stand by di atas motor maticnya, sedangkan Ameera sibuk melirik bergantian ponsel dan juga pintu rumah Erina. Berharap Erina segera muncul dan mereka secepatnya tiba di sekolah.

"Duh, ngaret banget sih ini anak!" Ameera dengan tak sabaran mengetikkan pesan pada Erina.

"Iya, dia lupa apa jam pertama hari ini itu yang ngisi si pak Buambuang?" Via menyebut nama pak Bambang dengan gaya anehnya.

"Nah, itu dia anaknya. Enaknya kita apain ya Vi?" Ameera berteriak kegirangan saat melihat wujud Erina muncul dari balik pintu sambil menenteng sepatunya.

"Kita tinggalin aja deh!" Ucap Via mengancam.

"Ehh, jangan dong. Gue udah siap kok ini. Tinggal pake sepatu doang." Erina secepat kilat memakai sepatunya, namun jika sedang diburu-buru seperti ini, selalu saja ada godaannya. Mendadak tangan Erina kesulitan untuk mengikat tali sepatunya.

Itu membuat Via dan Ameera semakin geregetan, drama terus! Pikir keduanya.

"Makanya, beli sepatu yang kayak gini. Biar nggak ribet dan cepet pake nya!" Via menunjuk sepatu miliknya yang tanpa menggunakan tali.

"Iya, iya ahh. Kalian ini nggak sabaran banget sih." Setelah berhasil mengikat tali sepatunya, Erina berdiri.

"Ya udah, cuss. Nanti tambah kesiangan lagi." Ucap Ameera. Ameera kemudian naik terlebih dulu, disusul oleh Erina. Jadilah posisi Ameera dihimpit oleh Via dan Erina.

"Kok jadi sempit begini ya? Kemarin perasaan muat-muat aja." Ucap Erina.

"Si Ameera tuh yang badannya gendutan sekarang." Tuduh Via.

"Sialan loe, nggaklah. Gue kan selalu diet. Loe kali yang gendutan Vi, semua jenis makanan kan bisa masuk kedalam perut loe itu." Ameera membela diri.

"Ya udahlah, biarin gue aja yang gendutan disini. Nggak ada habisnya berdebat. Udah, Gas poool Vi." Erina menengahi, lalu berseru dengan menggebu. Semangatnya begitu membara pagi ini.

"Oke, pegangan ya!" Seru Via.

"Brangkaaaat!" Seru ketiganya serempak, penuh keceriaan.

Motor matic milik Viapun mulai melaju, membelah jalanan kota yang padat, namun bukan Via namanya jika tidak bisa selap selip, dia kan pengemudi handal. Menyalip kendaraan yang ada di depannya sudah jadi makanan sehari-hari bagi Via. Pembalap favoritnya saja Rossi.

Tak butuh waktu lama untuk mereka tiba di sekolah. Erina bahkan harus berpegangan erat pada Ameera karena Via benar-benar menjalankan motornya dengan kecepatan penuh.

Ameera dan Erina dibuat jantungan oleh kelakuan sahabatnya itu.

Saat motor yang di kendarai mereka tiba di gerbang, bersamaan dengan satpam yang akan menutup gerbang itu. Via tidak tinggal diam, motornya memaksa menerobos gerbang sehingga si satpam kewalahan dan kalah.

Tiiiid tiiiid tiiiid!

Bising, begitulah saat Via membunyikan klaksonnya yang sengaja di buat panjang. Sukses membuat si satpam jantungan, untung saja dirinya tak tertabrak.

"Hey neng, jangan kebut-kebutan bawa motonya. Boncengan bertiga, nggak pake helm lagi." Si satpam merasa geram, dia berceloteh sendiri, sedangkan motor Via sudah jauh meningalkan gerbang.

"Dasar anak jaman sekarang!" Masih tak habis fikir, si satpam terus mengutuki perbuatan Via, Ameera dan Erin.

***

Kini Erina, Via dan Ameera tengah berjalan menuju kelas mereka. Bisa sedikit bernapas lega karena mereka bisa masuk sebelum gerbang ditutup.

"Gokil loe Vi! Salut gue sama loe!" Erina memberikan dua jempol untuk Via.

"Gue terpaksa kali lakuin ini, semuanya gara-gara loe sih pake bangun kesiangan segala." Gerutu Via.

"Iya iya sory, besok nggak lagi-lagi deh." Ucap Erina pasrah.

"Jantung gue mau copot tau, loe bawa motornya edan banget!" Ucap Ameera dengan gaya bicara lebay nya.

"Kalau nggak gitu, kita nggak bakalan ada disini sekarang." Balas Via berbangga diri dengan kelakuan nakalnya.

Langkah ketiganya perlahan melambat, saat melihat sosok yang sedang berjalan kearah mereka. Devan. Mulut Erina sampai menganga melihat Devan dari jarak kurang dari 10 meter itu. Ketampanannya melebihi pangeran didalam dongeng-dongeng.

Pantas saja dia menjadi idola di sekolah ini, Erina tidak melihat sedikitpun kekurangan dalam dari Devan. Semua terlihat sempurna. Bibir sexy yang jika tersenyum akan membuat bunga-bunga yang layu jadi bermekaran seketika. Bahu tegap yang jika dipakai untuk bersandar pasti tidak akan runtuh. Hidung mancung ala-ala India, alis tebal yang menaungi mata lentiknya.

Astaga!

Perempuan mana yang tidak akan jatuh hati pada sosok itu. Erina menobatkannya sebagai COWOK SEMPURNA.

"Hai." Bibirnya menyapa, tangan ya melambai.

Benarkah ini? Devan sedang menyapa dirinya? Mimpikah ini? Erina masih tidak percaya.

"Hai." Reflek senyum Erina mengembang, tangannya membalas lambaian tangan Devan. Wajahnya seketika memerah ketika menyadari jika yang Devan sapa bukanlah dirinya, melainkan Ameera. Devan melewatkannya begitu saja dan menghampiri Ameera yang berdiri tepat di belakang Erina.

Via berusaha menahan tawanya melihat wajah memerah Erina. Percaya diri sekali sahabatnya itu.

"Bisa ngobrol sebentar?" Erina bisa mendengar apa yang Devan katakan pada Ameera.

"Bisa kok." Terdengar Ameera malu-malu menjawab.

Hati Erina menjerit, antara menahan malu dan juga sedih. Kenapa dia bisa sebodoh itu mengira jika Devan menyapa dirinya. Erina terus mengutuki kebodohannya sendiri.

"Kalian duluan aja! Nanti gue nyusul." Ameera mengusir secara halus.

"Oke, kita tunggu dikelas ya! By!" Via merangkul Erina, menyelamatkannya dari rasa malu. Terpaksa Erina mengikuti langkah Via, meskipun sebenarnya dia ingin tau apa yang ingin Devan katakan kepada Ameera.

"Jangan halu deh loe!" Dalam langkahnya Via berkata pada Erina.

"Iya nih, gue kok jadi halu gini ya? tapi pantes aja sih dia sukanya sama Ameera. Ameera kan cantik banget, pinter lagi. Sepadan lah sama Devan yang sempurna." Ucap Erina dengan nada pasrah.

"Jiaaah, kok loe sekarang jadi baperan gini sih?" Via malah menggoda Erina yang suasana hatinya sedang tidak baik.

"Loe gimana sih? Gue halu nggak boleh, baperan juga nggak boleh! Terus gue harus gimana doong?"

______________

Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca...

Kakak tiri

Erina dan Via berjalan memasuki kelas. Suasana di dalam kelas sudah sangat ramai, wajar saja, jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Jam pun sudah menunjukkan pukul tujuh kurang 2 menit.

Bergegas Erina dan Via berhambur menuju bangku kejayaan mereka. Ya, Erina dan Via duduk di satu meja yang sama.

"Kira-kira, Devan lagi ngomong apa ya ke Ameera?" Erina menopang dagunya di atas meja, mengira-ngira apa yang terjadi setelah dirinya pergi tadi.

"Mungkin dia ngajak Ameera nge-date, atau nembak dia langsung mungkin." Via mengedikkan bahunya.

"Loe kok gitu sih Vi! Bikin badmood tau nggak." Erina memajukan bibirnya, protes dengan perkataan sahabatnya itu. Via hanya cekikikan melihat ekspresi Erina.

Tiba-tiba saja Albi datang menghampiri bangku Erina. Menyapa, rutinitas yang tidak bisa dia lewatkan di pagi hari. Karena baginya, kehidupan baru akan dimulai sesaat setelah dia melihat wajah bidadari hatinya, Erina.

"Selamat pagi cantik." Sengaja dia duduk di atas meja milik Erina, menebar senyum termanisnya, namun Erina bukannya ingin menjawab sapaan Albi, malah merasa sebal dengan gayanya yang sok kegantengan itu. Ehh, tapi kalau dilihat-lihat, Albi memang ganteng sih. Tapi entah kenapa Erina sama sekali tak berminat untuk menggubrisnya.

Erina mengerlingkan matanya, kemudian buang muka ke sembarang arah.

Via menyenggol lengan Erina, memberi kode, setidaknya jawab sapaan Albi, begitu kira-kira arti senggolan nya itu. Namun Erina malah mengibas tangannya agar sikut Via menyingkir.

Pagi-pagi seperti ini sudah banyak orang yang membuat moodnya jadi buruk.

"Pulang nanti, kita nonton yuk Er! Gue baru dapet tiket nih." Albi merogoh saku seragamnya dan memamerkan tiket nonton di bioskop, sebuah film yang belakangan ini banyak di promosikan di televisi. Membuat siapa saja pasti akan senang di ajak nonton, apalagi gratisan.

"Loe mau kan Er?" Merasa tak di gubris, Albi kembali melontarkan pertanyaan.

Erina bukannya tidak tertarik dengan film itu, hanya saja kalau bukan Albi yang mengajaknya, Devan misalnya, dengan senang hati pasti Erina akan menerimanya tanpa berpikir panjang.

"Sory ya, gue ada acara lain nanti pulang sekolah. Mendingan loe jual aja tiketnya ke orang lain." Akhirnya mau menjawab, biar cepat selesai urusannya, begitu.

"Gue susah payah lho Er buat dapetin tiket ini, gue nabung selama sebulan dan perjuangan banget ngantrinya buat dapetin ini. Masa iya gue mau jual lagi?" Albi nampak kecewa, lagi-lagi Erina menolaknya. Albi sadar diri, dia banyak kekurangan. Hanya satu yang patut dia banggakan dalam dirinya, yaitu cinta yang begitu besar untuk Erina.

Namun Albi sadar, cinta saja tak cukup untuk membuat Erina berpaling dan menatap ke arahnya.

"Ya terserah loe aja mau di apain." Menjawab dengan ogah-ogahan. Bukannya dia sombong atau menampik. Hanya saja Erina tak ingin memberikan harapan kepada laki-laki yang sudah terang-terangan menyatakan cintanya di depan seisi kelas. Memalukan sekali.

Di hati Erina kini hanya terukir satu nama, Devan. Meskipun dia tau cintanya kepada Devan takan pernah bisa terwujud, namun setidaknya biarkan Erina merasakan indahnya mengagumi seseorang. Meskipun rasa perih dominan ia rasakan karena cintanya tak terbalas.

Dia tak ingin Albi merasakan apa yang dia rasakan, dia ingin Albi melupakannya dan tak lagi berharap padanya. Karena mengagumi tanpa dicintai itu sangat menyakitkan. Namun nyatanya, sikap ketus yang kerap kali Erina tunjukkan kepada laki-laki itu malah membuat Albi merasa tertantang dan tak sedikitpun terbesit di benaknya untuk berhenti mengejar cinta Erina.

Ameera datang sambil berlari kecil, kemudian duduk di bangkunya, tepat di depan bangku Erina dan Via. Di susul oleh pak Buambuang (panggilan konyol dari Via untuk pak Bambang) di belakangnya. Membuat Albi merasa terusir dengan kehadirannya. Mau tidak mau laki-laki itu harus turun dari meja Erina dan berjalan menuju bangkunya sendiri, wajahnya nampak lesu. Lagi-lagi Erina mematahkan semangatnya pagi ini.

Erina bisa bernafas lega karena kehadiran pak Bambang membuatnya terbebas dari godaan syaiton yang terkutuk.

"Kenapa sih Er loe nggak terima aja si Albi, kalau diliat-liat, dia nggak kalah ganteng dari Devan." Ucap Via sambil berbisik di telinga Erina.

"Nggak ya, gue konsisten sama pilihan gue." Menjawab dengan berbisik pula.

Via menghela nafas kasar, keras kepala sekali sahabatnya ini. Sepertinya Via harus sedikit bertindak untuk membuat mata hati Erina terbuka dan menoleh kepada cintanya Albi.

Beberapa ide cemerlang berseliweran di pikiran Via agar Albi bisa semakin dekat dengan Erina.

Ameera menoleh kebelakang, lebih tepatnya pada kedua sahabatnya itu. Memamerkan sebuah coklat berwarna biru di tangannya, sengaja digoyang-goyangkan agar menarik perhatian mereka.

"Devan kasih ini ke gue." Dengan senyum yang mengembang Ameera berkata dengan suara pelannya, takut pak Bambang mendengarnya, karena pelajaran baru saja dimulai.

"Waah, asik tuh. Gue kecipratan kan?" Via juga nampak antusias. Sedangkan Erina menanggapinya hanya dengan sebuah senyuman, senyuman yang dipaksakan. Darahnya kini tengah mendidih mengetahuu Ameera dan Devan ternyata semakin dekat saja. Sedangakan dirinya, tak selangkahpun dia bergerak dari posisinya, nyalinya menciut karena mengetahui jika Devan menyukai Ameera. Menyatakan cintanya terlebih dulu pasti hanya akan memalukan dirinya sendiri.

"Pasti doong, kalian kan besty gue."

Dea, teman sebangku Ameera menoleh ke arah mereka, tatapannya sulit untuk diartikan. Sikapnya yang tertutup dan tak banyak bicara, membuat ketiga gadis itu kesulitan untuk mengakrabkan diri dengannya.

Entahlah!

***

Saat jam istirahat tiba, Erina, Via dan Ameera memilih kantin sebagai tempat mereka mengisi perut, biasanya mereka hanya akan membeli cemilan saja lalu memakannya di taman sekolah. Karena biasanya suasana kantin selalu ramai, tapi tidak dengan hari ini.

Mereka nampak menikmati makanan yang mereka pesan masing-masing.

"Oh ya, kalian tau? Devan ngajakin gue dinner lho nanti malam." Ucal Ameera dengan antusias. Selalu antusias saat menceritakan apapun itu tentang Devan.

"Asli loe? Kayaknya sebentar lagi bakalan ada yang jadian nih." Ucap Via. Erina hanya diam saja tak berkomentar, dia malah sibuk mengaduk-aduk jus alpukat pesanannya.

"Ehh mana coklat tadi yang dari Devan? Gue mau dong." Dengan tidak tau malunya Via meminta.

Erina sadar, dia tidak bisa memiara perasaan ini lebih dalam lagi. Atau itu akan menjadi sebuah bahan peledak untuk persahabatan mereka yang telah terjalin sejak lama.

Terkadang Erina merasa harus mempertahankan perasaannya, namun kenyataan seakan menamparnya dan menyadarkan Erina dari khayalan panjangnya yang tak berujung.

"Jangan ihh, nanti kalau ternyata itu ada peletnya gimana?" Erina mencoba untuk berbesar hati dan masuk kedalam obrolan Via dan Ameera.

"Nggak mungkin lah, kita buka ya!" Ameera sudah bersiap untuk membuka coklat pemberian Devan.

Namun, sebuah tangan dengan gerakan cepat menyambar coklat yang digenggam Ameera. Sehingga coklat itu kini berpindah tangan. Sontak membuat Ameera, Erina dan Via menoleh ke arah si pemilik tangan itu.

"Violla!" Seru ketiganya bersamaan.

Ternyata, Violla mendengar apa yang sedari tadi mereka bicarakan. Violla adalah kakak tiri Ameera, dia selalu saja merundung Ameera dan tak membiarkan Ameera hidup dengan tenang. Selalu saja ada yang dia lakukan untuk membuat Ameera merasa tak nyaman.

"Coklat ini nggak pantes buat loe. Devan pasti lagi khilaf ngasih ini ke loe. Pemilik coklat ini yang sebenernya itu gue!" Dengan percaya diri Violla berkata sinis.

Erina yang malah merasa sakit hati disana, dia tak terima, selalu saja Ameera di perlakukan dengan tidak baik oleh kakak tirinya itu. Tidak di rumah, tidak di lingkungan sekolah.

"Loe kok nggak tau malu banget sih La, Devan itu ngasihnya sama Ameera. Balikin lagi coklatnya sama dia!" Erina bahkan sampai harus beranjak dari duduknya untuk menghadapi Violla.

Meskipun Erina sendiri tidak menyukai kedekatan antara Ameera dab Devan, tapi dia merasa harus membela sahabatnya itu.

"Udah lah Er, cuma satu coklat ini. Nanti gue bisa minta sepuluh coklat lagi dari Devan." Ucap Ameera, mendelik ke arah kakak tirinya itu.

"Iya bener itu Meer, nggak mampu kali orang ini ketimbang beli coklat doang. Jadi malakain punya orang lain." Via mulai buka suara.

"Apa? Sialan! Loe ngatain gue?" Ucap Violla yang tak terima direndahkan oleh Via.

"Udah stop guys, mending kita cabut aja yuk. Kita nggak perlu ngeladenin orang yang nggak penting. Buang-buang tenaga aja tau ngga!" Ameera menengahi, dia tau jika berdebat dengan kakak tirinya itu pasti takan berujung. Mengalah adalah solusi terbaik, pergi dengan cara terhormat.

Mereka bertigapun beranjak, meninggalkan area kantin, membawa semua makanan yang belum sempat mereka habiskan, pergi mencari lapak baru yang tidak ada penganggunya.

"Bawa semua Er! Jangan ada yang ketinggalan, nanti ada yang bawa lagi. Disini kan ada orang yang nggak modal, pengennya makan gratisan, hidup numpang. Udah kayak benalu aja kan?"

Violla yang merasa tersindir dengan perkataan Via, bersiap untuk membalas perkataannya. Namun untung saja secepat kilat ketiga gadis itu pergi dari sana sehingga mereka tak terlalu jelas mendengar apa yang Violla katakan. Kalau tidak, pasti Via atau Erina terpancing lagi emosinya dan perdebatan di antara mereka tak akan berakhir dalam waktu yang singkat.

______________

Jangan lupa tinggalkan jejaknya guys berupa like, corat-coret di kolom komentar, rate bintang 5 dan votenya juga ya... 😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!