“Percayalah kepada mimpimu, karena mungkin saja itu tidak hanya sekedar bunga tidur” - Sita Ajeng
“Sita!!” Panggil seorang gadis dengan rambut coklat tersebut.
“Via, tolong jangan berteriak” gadis bernama Sita tersebut merasa kesal apabila sahabatnya bertingkah tanpa peduli dengan sekitarnya.
“Bagaimana dengan tugasnya? Pak Heri selalu saja mengomel” Via mengkerlingkan matanya.
“Sudah aman, jangan khawatir dengan itu”
“Oh Sita, aku sangat yakin bahwa kamu adalah calon lulusan dengan Cumlaude” Ujar Via sambil cekikikan”
“Sudah dulu ya, Reno minta ketemuan” Via melambaikan tangannya kemudian berlari.
“Selalu saja begitu” Sita menghembuskan nafasnya.
Via yang merupakan sahabat dari Sita sendiri, terkadang tidak terlalu mementingkan pendidikan karena sudah tentu bahwa ia akan mewarisi perusahaan Ayahnya dan itu berbanding terbalik kepada Sita yang harus belajar dengan giat karena ia anak satu satunya, dan ia harus membahagiakan kedua orang tuanya.
seperti biasa, Sita selalu datang ke Kedai Kopi milik temannya yang merupakan tetanggany sendiri, Sita berpikir untuk membantu agar kedai kopi tersebut laris.
“Aku pesan seperti biasa” ujar Sita sambil membuka ponselnya.
“Hey cantik, pelanggan disini bukan cuma kamu saja”
“Tapi aku spesial karena akulah pelanggan setia disini” Sita tersenyum.
“Cappucino bukan?”
“Nah tepat sekali, ini uangnya lalu ambil saja kembaliannya” Ujar Sita.
Harga kopi di kedai tersebut tidak terlalu mahal untuk seorang perantauan seperti Sita, dibandingkan dengan harga kopi kekinian yang biasa terdapat di mall. Sita sangat menyukai kopi karena selain menghilangkan rasa ngantuk juga dapat menambah stamina untuk mengerjakan semua deadline, walaupun terkadang maag yang ia derita kambuh tetapi tidak membuatnya berhenti untuk meminum kopi, bahkan sahabatnya Via pun sangat kesal apabila Sita sudah merengek ketika sakit sehingga harus menghabiskan uang untuk memeriksa ke dokter.
“Dasar bandel, lanjutkan saja minum kopi dan makan mie instannya” begitulah kalimat yang diujarkan Via sahabatnya apabila Sita mengalami maag.
Setelah mendapatkan kopi yang ia pesan kemudian ia pergi untuk segera menyelesaikan tugas lainnya.
Suasana kota Jakarta sangat panas terlebih lagi Sita tidak memiliki kendaraan Pribadi sehingga mengharuskannya untuk menggunakan kendaraan umum, contohnya saja Trans Jakarta. Airpod telah menyala lantas Sita Segera memutar lagu Favoritnya yaitu “Leaving On a Jet Plane” mungkin untuk saat ini ia disini, tapi suatu saat nanti Sita berharap akan bisa berkeliling Dunia. Tidak terasa Sita sudah dua tahun di Jakarta sejak ia pindah dari Jogyajakarta untuk menempuh pendidikan, walaupun ayahnya dan Sita sempat sedikit berdebat karena orang tua Sita termasuk Strict Parent yang dimana lebih banyak melarang Sita karena khawatir putrinya tersebut mengalami kejadian yang tidak diinginkan seperti Kakak pertama Sita yang telah tiada.
So kiss me and Smile for me \~\~
Tell me that you’ll wait for me \~\~
Hold me like you’ll never let me go\~\~
Cause i’m livin on a jet plane\~\~\~
Don’t know when i’ll be back again\~\~
Oh babe, i hate to go\~\~
Sita sedikit mengingat kenangan bersama mantan kekasihnya yang meninggalkannya lantaran pergi dengan alasan pendidikan namun ternyata pria tersebut memiliki kekasih baru. Sejak saat itu Sita fokus untuk mengejar karir tanpa mempedulikan orang diluar sana.
Bus telah berhenti di halte, kemudian Sita segera Turun untuk melanjutkan langkahnya yang tidak jauh untuk sampai di apartemennya. Ayah Sita tidak membolehkan putrinya untuk kos dikarenakan khawatir bahwa kos tersebut kemungkinan akan dihuni oleh anak laki-laki.
Sita memasuki kamarnya lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur sambil menutup matanya dan menghela nafas.
“Haahhh nikmat mana yang kau dustakan” Sita melihat jam dinding yang menunjukan pukul 16.00 Wib.
Kemudian ia mencoba tidur sebentar untuk mengistirahatkan badannya.
\*\*\*\*\*\*\*\*
Pelan - pelan ia mengusap kedua matanya lalu segera dilihatnya jam dinding tersebut yang sudah menunjukan pukul 19.00, Sita terkejut karena baru terbangun ketika maghrib sedangkan besok ia memiliki kunjungan ke museum bersama teman sekelompoknya namun Sita belum mempersiapkan apapun.
“Anjir”
Sita mengambil beberapa buku yang diperlukan lalu pakaian dan sepatu, tidak lupa kamera untuk mengambil gambar ketika di museum.
“Akhirnya selesai” setelah menyiapkan semuanya, cacing perutnya berbunyi.
Untung saja Sita memiliki stok mie instan sehingga ia tidak perlu repot dalam menyiapkan makanan ketika dirinya malas untuk keluar rumah ataupun tidak memiliki uang untuk membeli makanan.
Tidak perlu waktu yang lama untuk membuat mie instan, kemudian Sita segera melahapnya sambil menonton drama korea favoritnya.
“Tok Tok Tok” ketukan pintu dari luar membuatnya sedikit terkejut.
Sita membuka pintunya lalu sudah berdiri tetangga pemilik kedai kopi tersebut.
“Adi? Kenapa? Tumben” Tanya Sita heran.
“Ada kue kesukaanmu, kebetulan nih lagi ada sisa” jawabnya.
“Black Forest? Terima kasih ya” Sita sangat menyukai kue coklat tersebut.
“Dimakan ya, kalau begitu aku balik dulu” ujar Adi
Kemudian Sita menutup pintunya lalu segera melahap kue Black Forest tersebut.
Sita sangat menyukai Black Forest dikarenakan kue tersebut adalah kue pertamanya ketika ulang tahun, sehingga Black forest menjadi kue yang sangat spesial baginya.
“Astaga tugas” hampir saja ia lupa dengan tugas yang diberikan Pak Heri kepadanya.
Pak Heri merupakan dosen yang sedikit killer dalam mengajar mahasiswanya terlebih lagi jika mahasiswa tersebut telat atau hanya absen saja, bisa saja Pak Heri tidak memberikan izin untuk mengikuti ujian.
“Banyak sekali tugasnya”
“Pak Heri kejam” Ujar Sita yang menggerutu.
Namun biarpun ia kesal, tetap saja Sita mencoba menyelesaikan tugasnya yang begitu banyak tersebut walaupun ia barengi dengan membuka sosial media.
“Ayo Sita semangat, yuk bisa yuk” Ia memberikan semangat untuk dirinya sendiri.
Sita sudah merasa cukup mengantuk walaupun dirinya sudah tidur sejak sore, sehingga ia memutuskan untuk mengejarkan tugas tersebut hanya setengah dan untung saja deadline tugas tersebut tiga hari lagi, sehingga ia yakin bahwa dapat mengerjakan tugasnya tanpa terkendala apapun.
Sita membereskan perlengkapan kuliahnya lalu mencuci piring bekas mie instan dan Black Forest. Tidak lupa ia merapikan tempat tidurnya lalu mencuci muka kemudian memasang alarm agar tidak terlambat datang ke museum. Sita bukan tipe yang suka membuat orang lain menunggu, karena ia tahu bahwa menunggu itu sangat menyebalkan terlebih lagi kebiasaan orang indonesia yang selalu mengabarkan bahwa mereka sudah jalan namun ternyata belum berangkat.
“Alarm sudah, lalu apalagi ya?” Sita mencoba mempersiapkan banyak hal dengan baik.
“Sepertinya sudah dan hanya itu saja, baiklah sekarang aku sudah dapat tidur dengan tenang”
Sita meraih bantal dan guling kesayangannya lantas menarik selimut dengan karakter beruang kesukaanya yaitu We bare Bear kemudian memejamkan matanya mencobs untuk tidur terlelap.
"Tunggu, siapa dirimu? " tanya Sita
"Dan dimana aku? "
"DORRR!"
Jakarta, 17 juni 2019
Sita segera membuka mata namun nafasnya masih terengah-engah ia merasa bahwa itu seperti kisah nyata, dirinya melirik jam dinding yang menunjukan pukul 03.00 Wib. Mimpi itu selalu saja datang lantas menghantui dirinya di setiap malam, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan tidurnya kembali mengingat bahwa besok Sita akan pergi ke salah satu museum di kotanya untuk study.
*******
Sita sudah sampai di sebuah Museum, cuaca saat itu cukup dingin bahkan tidak seperti biasanya yang selalu panas di Jakarta. Sehingga dirinya memilih untuk menggunakan sweater dengan rok panjang, Namun anehnya di Museum tersebut Sita tidak melihat satupun pengunjung bahkan teman-temannya. Museum bukan tempat andalan bagi para milenium di masa kini, mereka lebih memilih tempat yang cenderung populer seperti Cafe maupun Bioskop. Tidak mengherankan jika Museum memiliki pengunjung yang sedikit dan banyak yang melupakannya.
"Tring \~\~" dering ponsel milik Sita.
Sita segera mengangkat panggilan masuk dari ponselnya dan itu adalah Via sahabatnya.
"Hallo? Sita."
"Kamu dimana? Aku udah di Museum sesuai kesepakatan kemarin."
"Astaga Sita, aku lupa memberitahumu sebenarnya kami membatalkan study hari ini namun diganti menjadi besok."
"Apa??! Gila ya kamu." Raut wajah menjadi masam.
"Aku minta maaf Sita."
Sita segera mematikan ponsel miliknya, ia begitu kesal dan berpikir untuk apa merepotkan dirinya dengan datang ke Museum apabila mereka membatalkan janjinya bahkan Sita sedang dikejar oleh deadline yang sudah menumpuk. Sambil mencari arah untuk keluar dari Museum, di koridor ia melihat - lihat lukisan serta beberapa patung pahlawan, kehidupan jaman dahulu sangatlah sulit dengan para kolonial belanda yang menjajah indonesia pastilah banyak tragedi berdarah. Saat Sita berjalan menuju ruangan lain, tidak sengaja dirinya menginjak sebuah jam saku dengan huruf romawi yang sepertinya milik museum, ia berpikir untuk segera mengembalikannya sebelum dirinya dituduh pencuri oleh petugas disana. Namun belum sempat dirinya mengembalikannya, jarum jam tersebut berputar dengan arah yang sengat cepat bahkan ia merasakan bahwa dunia juga ikut berputar sehingga Sita mencoba menutup mata, sekitar lima belas menit kemudian Sita mulai membuka mata terlihat di depannya semuanya sudah berubah, bahkan Sita sudah tidak berada di museum lagi melainkan di sebuah hutan rindang yang tanpa satupun dilihatnya sosok manusia. Ia mulai mencoba menyusuri hutan itu dengan maksud untuk meminta bantuan namun hasilnya nihil dan ia sekarang merasa benar-benar terjebak hingga tanpa sita sadari bahwa ia mulai menangis, dirinya tidak pernah merasa setakut seperti sekarang hingga ia sadar bahwa ada tangan yang menyentuh pundaknya, ia sangat terkejut dan hampir berteriak namun tangan itu segera menutup mulut Sita sehingga gadis tersebut mencoba untuk melepasnya.
"Siapa kau? Dan dimana aku? " suara Sita sangat ketakutan dan rasa panik menyerangnya, ia terlihat linglung. Pria asing ini menggunakan pakaian khas tentara kolonial belanda dan lengkap dengan senapan laras panjang pada jaman dahulu .
"Katakan dimana aku?! Cepat katakan sekarang juga!!" Sita berjalan mundur dan berteriak seolah dirinya akan dimangsa oleh serigala dan semakin lama pengelihatannya perlahan kabur dan segalanya tampak begitu gelap.
\*\*\*\*\*\*\*
Sita mulai tersadar dan mencoba membuka matanya secara perlahan. Dengan suara yang samar dirinya mendengar seseorang berbicara dengan bahasa asing, kini ia bukan lagi berada di Hutan melainkan berada dalam ruangan yang bercat putih dengan gaya klasik khas eropa.
"ben je wakker? " suara pria asing yang ditunjukan kepadanya.
Ia merasa sakit pada bagian kepala dan semua terasa berputar-putar seperti roda, pria asing itu pun mengambilkan Sita air dan tanpa basa-basi Sita segera melepas dahaganya. Ia hanya terdiam saja perasaannya terasa kalut sekarang, masih banyak hal yang tidak dirinya pahami.
"Maaf bisa kau beritahu dimana aku sekarang ?" Sita begitu lelah dengan suara yang lemah dan berharap semoga pria asing itu mengerti yang ia katakan.
"Kini kau berada di Batavia" jawabnya.
Sita mulai terperanjat dan semakin panik karena tidak mengerti apapun dengan apa yang pria asing katakan. dirinya mencoba berlari keluar ruangan menuju halaman, ia memandangi bangunan bercat putih dengan arsitektur seperti di kota tua , disana ia hanya melihat satu wanita tua dengan menggunakan kebaya putih lalu tersenyum padanya. Pria asing itu menghampirinya dan memeluknya
"Tahun berapa ini?! Dan apa ini Hindia Belanda? Katakan! " sita kembali berteriak dan menutup telinganya dengan panik.
"Tahun 1941, ya kau benar ini di hindia belanda tepatnya di batavia, ada apa ? " tanya pria itu .
"Aku pasti sudah mati" gumam sita.
"Kau masih hidup dan belum mati, aku yang membawamu kesini" pria itu terheran mendengar ucapan Sita
Sita semakin terkejut lalu ia mencoba melepaskan pelukannya dengan meronta-ronta, namun hasilnya nihil . Pria asing itu begitu erat memeluk Sita lalu membawa sita menuju ke kamar.
"Tinggalkan aku sendirian !" ujar Sita, ia menangis seolah tidak percaya.
Kemudian pria asing itu hanya terdiam dan meninggalkan Sita tanpa ingin menganggu Sita.
Sita masih tidak percaya bahwa ia pergi melintas masa, dirinya berpikir betapa bodohnya ia. seharusnya Sita tidak mengambil jam saku itu dan membiarkannya tetap di lantai namun semuanya telah terjadi, terlebih lagi itu adalah kesalahannya sendiri seperti ibarat nasi sudah menjadi bubur. Sita memperhatikan pakaiannya yang telah berganti menjadi kebaya berwarna putih polos. Ia masih merasa terkejut akan dirinya yang terjebak di masa kolonial belanda dan sekarang bahkan dirinya tinggal di rumah salah satu prajurit belanda. Ia menangis sejadi-jadinya sambil menutup matanya, mungkin dengan cara itu dirinya dapat kembali ke tempat yang seharusnya ia berada sekarang.
******
"Tok tok" ketukan pintu terdengar
Seseorang telah mengetuk pintu kamar lalu membukanya dengan perlahan, dilihatnya oleh Sita ternyata si pria asing tersebut, pria itu membawakan nampan yang telah disediakan sepiring nasi dan semangkuk sup.
"Ini sudah larut malam dan kau belum makan apapun? Aku khawatir kau akan jatuh sakit" ujarnya.
Sita tidak mengatakan sepatah kata padanya. Pria tersebut pun mencoba duduk di samping sita, hal ini membuat Sita sedikit gelisah dan jantungnya berdegup kencang.
"Dengarlah, tidak perlu kau takut padaku" ujarnya. Sepertinya ia tahu bahwa sita sangat ketakutan.
"Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu, kau harus makan. Karena kau berada dirumahku jadi kau adalah tanggung jawabku sekarang" Dirinya kemudian mengambil sendok dan mulai menyuapi Sita, awalnya Sita menolak namun ia sangat kelaparan sehingga mau tak mau dirinya harus makan.
"Kau tidak akan membunuhku atau menjadikan diriku gundikmu bukan?" tanya Sita dengan nada yang datar dan tatapan kosong.
"Apa maksudmu?" Pria asing itu tampak keheranan mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Sita.
"Uhuk - uhuk"
Melihat Sita yang tersedak, dengan sigap pria asing itu memberikan air pada Sita, ia mulai tersenyum pada sita dan meletakan piring di meja.
"Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan apapun yang menyakitimu" jawabnya
"Dengarlah sekarang, mungkin aku tidak tahu siapa dirimu dan darimana kau berasal tapi aku mohon padamu tetaplah hidup dengan baik" ujarnya pada Sita.
Setelah Sita menyudahi makan malamnya, Pria tersebut segera memintanya untuk tidur.
"Sekarang kau harus segera tidur, Selamat malam"
Lalu dirinya pergi dan membawa piring bekas makanan kemudian Sita mencoba menutup matanya barangkali ia bisa pergi dari sini setelah bangun tidur
******
Cahaya matahari mulai menyeruak masuk ke dalam kamar menandakan sang fajar telah terbit, harapannya ternyata sudah pupus bahkan ia masih berada di tempat ini. Perlahan Sita mulai beranjak dari ranjang lalu keluar kamarnya, rumah yang cukup luas dan memberikan kesan elegan pada jamannya namun rumah itu sangat sepi mengingat hanya pria londo tersebut yang tinggal sendirian.
"goedemorgen"
Sita terkejut, pria asing itu mendadak berada di dekatnya dan tersenyum menyapa dirinya. Jantungnya terasa berdegup mengingat apa yang ia ucapkan kemarin malam.
"Ayo makan" ujarnya. Ia membawa Sita ke meja makan lalu menyiapkan roti dan telur .
"Kau tidak suka ya?" tanya dirinya .
"A a ku menyukainya" jawab Sita sedikit gugup .
"Hari ini aku akan pergi ke kantor" ujarnya .
Sita memperhatikan dirinya yang sudah lengkap menggunakan seragam tentara .
"Aku akan kembali nanti , jangan takut " ujarnya .
Kemudian ia pergi membawa mobil tempo dulunya .
Sita menghabiskan roti serta telur yang disediakan, tidak berapa lama kemudian datanglah seorang wanita paruh baya yang ia lihat kemarin sambil membawa keranjang yang telah tersedia sayuran.
"non? Bagaimana apakah sudah membaik?" tanya wanita itu .
"Iya sudah" jawab Sita .
"Jika diperkenankan, boleh mbok tahu nama non siapa?"
"Namaku sita" jawab Sita dengan tersenyum.
"Non cantik sekali,beruntung sekali non ditolong oleh tuan muda" ujarnya.
"Siapa tuan muda yang dimaksud?" Sita mengerutkan alisnya.
"Tentu saja pria londo yang tinggal disini, namanya Tuan Henrick"
"Memangnya kenapa? Aku tidak mengerti maksudnya" tanya Sita
"Apakah nona tahu jika jarang sekali ada wong londo yang baik dan penuh perhatian bahkan tuan muda tidak pernah memiliki seorang nyai" jawab nya .
"Nyai? Wanita simpanan tanpa ikatan pernikahan ?" tanya Sita.
"Benar sekali, orang seperti tuan muda sangat langka" jawab mbok Karti
Sita pernah mendengar bahwa seorang nyai terkadang merelakan dirinya untuk menjadi Simpanan untuk menghasilkan uang walaupun itu terpaksa namun tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka juga dengan senang hati menjadi nyai. Melihat udara yang berhembus dari arah pekarangan membuat Sita ingin menenangkan diri.
"Mbok? Apa tidak keberatan aku melihat sekeliling diluar sebentar?" ujar Sita.
"Tentu saja tidak keberatan, silahkan non".
Sita pergi melihat pekarangan rumah yang tampak sejuk untuk dipandang karena banyak sekali bunga yang membuatnya terlihat sangat indah, ini sangat nyata. Masa dimana bangsanya belum merdeka dan masih dijajah oleh kolonial Belanda bahkan sebaik apapun pria asing itu tetap saja dirinya adalah penjajah negrinya, ia harus tetap waspada kepada pria tersebut.
Namanya Sita ajeng seorang mahasiswa jurusan ilmu sejarah disalah satu Universitas di ibu kota Jakarta dengan rambut hitam lebat dan wajah khas gadis jawa serta mata yang bersinar membuatnya di gandrungi kaum adam dan kini ia berada di masa kolonial dan tinggal bersama pria berdarah asing.
Ia menghembuskan nafas secara perlahan dan mencoba membuat dirinya setenang mungkin, ia biarkan sang fajar menghangatkan tubuhnya dengan sinarnya .
Sempat terbesit dipikirannya bagaimana keadaan di masa sekarang, apakah Via sahabatnya tahu bahwa dirinya menghilang? Dan bagaimana nanti dengan tugas kuliah yang menumpuk?
"Sudahlah diam Sita, kau masih saja memikirkan tugasmu sedangkan kau sedang terjebak di masa lalu sekarang" gumamnya.
******
Sore hari itu bahkan Sita masih saja di taman bunga sambil menikmati cahaya fajar yang mulai berwarna jingga menandakan bahwa hari sudah mulai petang .
"Kau sudah terlalu lama sekali disini "
Sita menoleh asal suara tersebut dan pria asing itu berdiri tepat di belakangnya.
"Namaku Henrick Van Roosevelt" ia menjulurkan tangannya pada Sita.
Awalnya Sita diam saja dan ragu untuk menjabat tangannya namun sangat tidak sopan apabila mengabaikannya .
"Namaku Sita ajeng" jawabnya pada Henrick .
"Namamu indah seperti kisah pewayangan ramayana" ujar Henrick.
"Kau tahu kisah itu?" tanya Sita.
"Tentu saja, kenapa tidak? Kau pikir londo sepertiku tidak tahu?" jawab Henrick sambil terkekeh.
Sita hanya menunduk dan tidak menatap Henrick.
"Apa saja yang kau lakukan sepanjang hari ini?" tanya Henrick.
"Aku hanya melihat - lihat taman bunga saja" jawab Sita.
"Jika aku memiliki waktu senggang, aku akan mengajakmu berkeliling Batavia" ujar Henrick .
"Kenapa?" tanya Sita.
"Karena sepertinya kau bukan dari sini" jawab Henrick.
Sita mengerutkan dahinya dan berpikir apa mungkin Henrick tahu bahwa dirinya bukan dari masa ini? Begitu pikirnya.
"Maksudku adalah aku yakin bahwa kau orang dari luar Batavia" ujar Henrick.
Ternyata anggapan Sita salah karena tidak mungkin pria londo tersebut tahu bahwa dirinya dari masa depan.
Sita dan Henrick masuk ke dalam rumah karena hari semakin gelap. Henrick mulai menyalakan lampu untuk menerangi ruangan dan menyiapkan makan malam.
"Apa kau tidak merasa berlebihan padaku?" tanya Sita.
"Apa maksudmu?" Henrick tampak bingung dengan pertanyaan Sita.
"Seorang prajurit belanda yang baik pada pribumi sepertiku, aku berpikir sudah berapa banyak yang kau bantai dari kaumku?" entah apa yang di pikirkan Sita saat itu, dirinya merasa begitu lancang pada Henrick.
"Apa kau sadar akan hal itu?" Lanjutnya
Henrick berjalan mendekati Sita tanpa ekspresi apapun. Dirasakan tubuhnya mulai gemetar, ia terlihat begitu ketakutan dan membuatnya berpikir bahwa Henrick akan membunuhnya atas kelancanganmya berbicara. Kini henrick berdiri di hadapannya dan memegang dagu Sita.
"Ucapanmu itu sama sekali tidak pernah aku dengar dari wanita pribumi lain" ujar Henrick.
Selama mereka makan malam, tidak ada satupun kata yang terlontar dari bibir Henrick maupun Sita. Sita yang merasa salah pada henrick hanya bisa terdiam menelan salivanya.
Hingga pada malam harinya, Sita yang merasa sangat bersalah lalu memutuskan untuk pergi dari rumah pria tersebut walaupun dirinya tidak memiliki arah tujuan kemana.
Dirinta kabur melalui jendela dengan sangat hati-hati tanpa ketahuan oleh Henrick dan melompat melalui pagar. Kini Sita sudah keluar dari rumah Henrick, namun ia tidak tahu akan pergi kemana. Hari itu pun sudah malam sekali, suasana sangat gelap tanpa penerangan pada jalan setapak yang dirinya lewati. Ia terlihat takut apabila para belanda menculiknya. Dan benar saja di tengah perjalanan Sita bertemu dengan para tentara belanda yang sepertinya terlihat sedang mabuk, saat itusalah satu dari mereka mulai memperhatikannya.
"Hey inlander ! Ayo bersenang - senang dengan kami" ujar salah satu diantara mereka.
Kemudian mereka menarik paksa tangan Sita dan mulai merobek kebaya berwarna putih yang dirinya kenakan, pada saat itu tidak ada siapapun kecuali mereka.
"Gadis yang cantik sekali" mereka terkekeh tanpa rasa peduli
Terlihat raut wajah bajingan dari mereka. Sita teringat bahwa dirinya pernah mengikuti bela diri di sekolahnya, lalu ia berpikir untuk mencoba menggunakannya. Dirinya menendang tulang kering pada kaki salah satu tentara dan mengigit lengannya,walau hasilnya tidak begitu memuaskan karena tubuh mereka besar dan jumlah mereka yang lebih banyak namun berhasil membuat Sita kabur dari para tentara itu. Kini ia berlari dengan sekuat tenaga dari kejaran mereka dengan kebaya yang sudah lusuh, dirinya berlari tanpa menggunakan alas kaki sehingga membuat kakinya terluka. Sita melihat sebuah sungai yang tidak terlalu dalam lalu melompat dan bersembunyi di bawah jembatan kecil. Para tentara itu sepertinya terlihat bingung mencari Sita diatas jembatan.
"stom meisje!"
(Gadis bodoh !)
Sita mengendap-endap untuk memastikan bahwa mereka telah pergi dan perlahan mulai menepi. Hawa dingin mulai masuk ke dalam tubuh Sita yang basah akibat terjun ke sungai dan pakaiannya yang robek. Rasa sakit pada kakinya akibat terkena duri membuat Sita merintih kesakitan, ia menyesal telah kabur dari rumah Henrick. Namun ia juga berpikir bahwa Henrick juga tidak akan memaafkan dirinya akibat kelancangannya berbicara. Ia mulai menuju tepi sungai dan berjalan tertatih- tatih menuju perkampungan warga pribumi, sedikit demi sedikit pandanganya semakin gelap dan ia jatuh tersungkur di depan rumah salah satu penduduk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!