Bacalah ini seperti Anda melihat sebuah lukisan.
Ditunggu hingga terlihat hasil akhir yang penuh warna warni goresan kejadian.
Ada yang menyenangkan, menyedihkan, membanggakan, meresahkan dan lainnya.
.
.
.
...“Semesta tahu, mana yang akan melengkapi dirimu....
...Dia datang, lalu kau menyusul....
...Mungkin....”...
September 2018.
Bunga-bunga putih dan daun-daun hijau menghiasi tempat pernikahan mereka. Mereka berdiri dari tempat duduk dan menyalami satu-persatu tamu yang datang.
“Selamat Sa.”
“Selamat Min!”
“Semoga cepat punya momongan Sa.”
Nusa dan Amin menikah saat mereka telah memasuki usia di atas 25 tahun dan telah mapan. Mereka menetapkan tidak akan menunda dalam memiliki anak.
Di sisi lain,
Galvin dan Nasya menunggu kelahiran anak keduanya. Perkiraan dari dokter adalah kelahiran kurang 20 hari lagi. Mereka segera menyiapkan kamar untuk anggota keluarga baru mereka.
“Ibu, ini untuk adik yang masih di dalam perut Ibu?”
“Iya, Mogi. Sebentar lagi kamu akan menjadi kakak.”
“Wah! Aku akan memanggilnya dengan nama siapa, Bu?”
“Nanti akan Ayah kasih tahu nama adikmu, setelah adikmu hadir ke dunia ini, oke?”
“Oke Bu!”
...***...
Oktober 2018.
Nusa merasa mual, dan berlari menuju kamar mandi untuk meringankan rasa mual nya dengan muntah. Amin yang khawatir dengan keadaan istrinya, segera membawa Nusa menuju rumah sakit terdekat.
Di sana, mereka mengecek kesehatan Nusa dan hasilnya adalah positif hamil. Mereka tersenyum bahagia dan segera memberi kabar pada orang tua mereka masing-masing.
“Anaknya nanti perempuan atau laki-laki?”
“Belum tahu, Bu,” jawab Nusa sembari mengelus perutnya.
“Terserah saja... perempuan atau lelaki, yang penting lahir dengan normal dan selamat.”
Disisi lain,
Nasya meronta kesakitan di rumah sakit yang ditemani oleh perawat dan dokter kandungan. Inilah waktunya ia menjadi seorang ibu dengan 2 anak laki-laki.
Galvin dan anak laki-lakinya menunggu di luar. Ketika mendengar suara tangisan bayi, Galvin mencoba masuk, tapi dihentikan oleh perawat yang telah menggendong bayi keluar dari ruangan.
“Syukurlah, keturunanku yang ganteng ini telah lahir ke dunia,” ujar suaminya, Galvin.
“Siapa namanya, Yah?” tanya Mogi.
“Namanya ... adik Nagi ya.”
...***...
Tahun 2019, di bulan Juni.
Dokter mengatakan bahwa Nusa akan melahirkan sekitar bulan Juli. Akan tetapi, perkiraan mereka semua salah. Sekitar pukul 10 pagi, Nusa meronta kesakitan dan meminta suaminya untuk membawanya ke rumah sakit.
Di sana, Nusa melahirkan seorang anak cantik seperti dirinya. “Siapa namanya, Mas?” tanya Nusa.
“Namanya ... Mina Livina. Itu nama yang cocok untuk anak cantik ini,” ucap Amin yang telah diperbolehkan menggendong anaknya.
9 bulan, umur anak ganteng tersebut saat ini.
Ia disayang oleh ayah, ibu, dan kakaknya. Ia telah diajari berjalan, berbicara, dan bermain. Mereka melihat Mogi yang bahagia mendapatkan saudara di keluarga ini.
...***...
Kisah dua insan dari latar keluarga yang berbeda, apakah akan bersatu?
Arah yang berbeda, menciptakan jarak dan waktu yang jauh berlainan. Masihkah bisa bersatu?
Semua, serahkan pada semesta.
Nantinya akan saling melengkapi atau hanya berpapasan, semesta lebih tahu.
Hingga bisa mengatakan, “Kamu tercipta untukku.”
Perjalanan ini segera dimulai, walaupun dari arah yang berbeda. Semesta menunjukkan kuasanya untuk memantapkan hati mereka menjadi kuat, sabar, dan berbahagia.
Senang dan sendu akan hadir dalam kisah ini, maukah kamu setia menunggu hingga akhir kisah ini?
Mereka hadir untuk mengisahkan pulau kecil dan keelokannya, di samping kisah nano-nano mereka. Rute perjalanannya pun bisa kamu dapatkan dari kisah ini, karena hal itu yang membuat jarak di antara mereka.
...“Takdirku disini, dan masih misteri.”...
Tahun 2027.
Ibu Nusa, Ayah Amin, Mina dan Dina baru saja kembali dari liburan di rumah nenek yang berada di kota Biru.
Setelah menaiki bis, sampailah mereka di atas kapal yang akan mengarungi lautan dari ujung pelabuhan kota Hijau menuju ujung pelabuhan Pulau Kecil.
“Huf....” Mina menarik nafas dan menghembuskannya.
“Mina... kamu tidak mual kan?” tanya ibu.
“Engga Bu, buat apa aku mual. Hanya naik bis saja aku merasa mual,” jawab Mina dengan senyum manisnya.
“Dina... cuma kamu aja yang mual. Sini, makan permen ini biar mual mu berkurang.”
“Iya, Bu.”
Adik Dina, saat ini ia baru berusia 5 tahun. Ia tak biasanya mual seperti itu. Biasanya ia paling tahan mabuk, mungkin saat ini ia sedang masuk angin sehingga merasa mual.
...***...
Nagi, anak laki-laki yang masih berumur 9 tahun, mengayuh sepedanya bersama teman-temannya menyusuri tepi jalan raya, hingga masuk menuju pelabuhan.
Pelabuhan ini terletak di Desa Ujung Barat. Rombongan anak-anak itu segera memarkirkan sepeda mereka di pinggir pantai. Lalu mereka menikmati laut biru disertai angin laut, ditambah langit senja yang menenangkan.
Lalu Lely bertanya pada Nagi. “Nag! Ibumu asli pulau kecil ini, dan ayahmu berasal dari kota di seberang sana. Berarti kamu lahir di mana?”
“Aku lahir di tengah laut! Hahaha,” jawabnya dengan lelucon.
Mereka berlima adalah teman sekelas di sekolah dasar. Sembari menikmati senja, mereka berbincang-bincang penuh dengan gelak tawa dan sejenak melupakan bahwa esok hari mereka harus sekolah.
...***...
Sampai di Pelabuhan Ujung Barat,
Waktu telah menunjukkan pukul 5 sore. Senja mulai tenggelam dengan merah oranye nya yang indah bak mengatakan selamat malam pada keluarga tersebut.
“Kita langsung naik angkot ya.”
“Yang mana angkotnya, Yah?” tanya Ibu.
“Yang itu saja. Ayo!” jawab Ayah.
Mereka menaiki angkot (angkutan kota) merah maroon yang kondisinya sudah menua. Selesai ayah bernegosiasi harga dengan supir angkot, mereka dipersilahkan naik dan supir angkot langsung tancap gas. Mina dan Dina duduk di samping pak supir supaya tidak mual.
Nagi dan teman-temannya kembali menaiki sepeda dan mengayuhnya keluar dari pelabuhan.
Selama perjalanan, banyak sekali angkot-angkot yang mengangkut para penumpang. Sepeda yang mereka kayuh terus berada di pinggir jalan, melewati satu-persatu angkot yang juga berjalan keluar dari pelabuhan.
...***...
Di luar Pelabuhan, sang supir angkot menghentikan langkah angkot karena ada penumpang lain yang ingin menaiki juga seperti Mina dan keluarganya.
Nagi hampir menabrak angkot yang Mina tumpangi karena tiba-tiba mengerem di depannya. Lalu Nagi memfokuskan kembali pandangannya ke depan untuk menyetir sepedanya.
Saat penumpang masih bernegosiasi harga dengan sang supir, Mina memandang jalan raya, rumah-rumah, serta Nagi dan teman-temannya yang bersepeda di tepi jalan.
Mina berkata dalam hati, Kalau aku punya teman dari daerah sini, itu pasti menyenangkan sekali! Ketika sampai di sini, aku akan disambut oleh temanku. Wihh pasti senang!
Lalu dia tersenyum, karena ialah sang pemimpi. Dia suka berkhayal yang indah dan menyenangkan.
Mina merasa sangat lelah karena perjalanan yang dilalui menurutnya sangat jauh, sehingga dirinya ingin sekali duduk sebentar dan kemudian dapat melanjutkan perjalanan menuju ke rumah.
Nagi dan teman-temannya mengayuh sepeda mereka masuk ke dalam gang, terus menyusuri jalanan gang yang sempit menuju rumah masing-masing.
...***...
Sejam kemudian,
Mina dan keluarganya telah sampai di rumahnya yang berada di tengah kota Bunga. Mereka segera masuk ke rumah untuk melepas penat. Sedangkan Nagi dan keluarganya yang berada di Desa Ujung Barat bersiap-siap untuk makan malam bersama.
Mina dan Nagi tidak tahu bahwa semesta memiliki rencana besar, yaitu memperkenalkan mereka masing-masing.
Senja kali ini yang menjadi saksi bahwa intuisi mereka terikat.
...“Hidup memang melelahkan bagimu....
...Tapi bagi orang lain, itu menyenangkan....
...Bersabarlah.”...
Tahun 2030. Kelas 6 SD.
Mina menangis kesakitan selama perjalanan pulang sekolah. Ia menuntun sepedanya hingga sampai di rumah.
Ibu dan nenek yang mendengarnya menangis, segera berlari menuju Mina untuk menuntunnya masuk ke rumah. Nenek memberikannya minuman supaya membuatnya tenang, dan ia mulai menceritakan apa yang terjadi.
“Tadi di sekolah, aku diganggu sama 2 teman laki-laki yang nakal di kelas. Terus mereka tahu kalau aku punya bel sepeda baru, dan mereka senang sekali memencet terus bel sepedaku.
"Aku cepat-cepat pulang, tapi mereka terus mengikuti ku. Di jalan, satu sepeda mereka menyenggol sepedaku, terus aku jatuh dari sepeda.”
Lalu Mina bercerita siapa pelaku yang telah mengganggunya, dan itu membuat ibu dan nenek khawatir. Ditambah lagi saat ayah yang pulang cepat untuk melihat anak sulungnya yang baru saja terluka.
Ibu menenangkan Mina dengan menyiapkan makan siang untuknya. Ayah juga turut menenangkannya.
“Besok Ayah akan datang ke sekolahmu... menemui teman-temanmu yang kurang ajar itu!”
...***...
Esok harinya, di Desa Ujung Barat.
Nagi memasuki kelas dan duduk di bangkunya sembari berbincang-bincang dengan teman sebangkunya. Kemudian Lely menghampirinya.
“Eh, aku lihat jawabanmu nomor 3 dong. Aku sudah menghitungnya berulang kali tapi kok salah terus ya?”
“Ini Lel,” ucap Nagi yang langsung memberikan bukunya kepada Lely.
Revan menghampiri Nagi yang duduk, dan mengatakan bahwa nanti sore akan ada pertandingan sepak bola melawan sekolah lain di lapangan dekat rumah mereka. Selain itu, Revan juga berbisik pada Nagi.
“Nag, hati-hati sama dia,” bisiknya dan Nag hanya diam saja.
Di kota Bunga,
hari ini Mina diantar oleh ayah menuju sekolah. Ayah segera menemui 2 orang teman Mina dan melaporkannya ke kepala sekolah. Ia merasa bersyukur memiliki seorang ayah yang peduli pada dirinya.
Namun, hal tersebut membuat ia merasa sangat merepotkan ayahnya untuk dirinya yang terlalu penakut.
...***...
Sore harinya, Nagi dan teman-temannya beristirahat setelah bertanding sepak bola. Lely duduk di sebelah Nagi dan memberikan sebotol minuman.
Namun Revan segera merebut botol minuman tersebut dan mengucapkan terima kasih. Alhasil Lely memasang wajah cemberutnya.
Di sisi lain, Mina masuk ke tempat les dan bertemu teman-temannya. Ia hanya diam saja saat teman-temannya mengatakan bahwa Mina tidak berani dan manja karena tidak bisa mandiri menghadapi masalah dengan 2 temannya yang nakal.
Bahkan guru les menyindirnya karena dari tadi hanya diam saja. Ia hanya membalas sindiran tersebut dengan sebuah senyuman malu-malu dan menunduk.
Akan tetapi ketika ditanya oleh guru, Mina menjawab dengan cepat dan tepat. Membuat gurunya itu berani untuk membanding-bandingkan dirinya dengan teman-temannya yang masih harus berpikir lama dalam menghitung soal matematika.
...***...
Setelah selesai bertanding, Nagi dan Revan menaiki sepedanya masing-masing untuk kembali ke rumah. Tiba-tiba mereka dihentikan oleh Lely yang memberikan sebungkus jajan padanya. Nagi menerimanya dan berterima kasih padanya.
Perasaan Lely tergambarkan lewat senyuman yang ia berikan pada Nagi. Segera Nagi pamit pulang padanya tanpa tersenyum.
...***...
Malamnya, Mina beserta keluarganya berkumpul di depan televisi. Ibu, Mina dan Dina duduk di lantai beralaskan tikar. Sedangkan ayah berbaring di sofa.
Mina menoleh kepada ibu dan ayah untuk meyakinkan dirinya bahwa inilah saat yang tepat. “Yah, Bu...,” panggilnya. Membuat semua menoleh padanya.
“Aku mau ikut lomba menulis cerpen di sekolah. Apakah boleh, Yah, Bu?”
Ayah terdiam dan masih berpikir. Sedangkan ibu berkata, “Kamu yakin Min? Kamu sekarang sudah kelas 6 loh, sudah harus fokus ke ujian-ujian.”
“Yakin kok, Bu! Biar aku punya pengalaman sekali saja dalam lomba cerpen. Boleh ya, Bu, Yah?” ucapnya yang memohon dan merayu.
“Iya boleh, Min. Ayah tahu, pasti kamu ingin menceritakan isi lamunanmu itu 'kan? Haha!” kata Ayah sembari tertawa.
“Iya, Min. Biar kamu ngga banyak melamun. Hehe,” sambung Ibu.
Mata Mina berbinar-binar karena jawaban dari ayah dan ibu yang membuatnya bahagia. Senyum dan tawanya tidak lepas selama malam tersebut di ruang keluarga.
Ayah mengingatkan Mina supaya tetap mengutamakan sekolah, pelajaran, dan ujian-ujian yang harus ia hadapi saat kelas 6 ini.
Di sisi lain,
Nagi dan keluarganya telah selesai makan malam bersama. Ibu dan ayah duduk di sofa, mereka sama-sama sedang berada di depan televisi, tetapi ayah sembari mengerjakan tugas kantor.
Nagi mengintip mereka dari balik pintu kamarnya, menatap penuh dengan keyakinan bahwa dirinya bisa seperti mereka. Akan tetapi, hal tersebut tidak bertahan lama karena dirinya dikejutkan oleh kakaknya, Mogi.
“Hayo! Kamu lagi apa Nag?” tanya Mogi.
“Eh! Ngga apa, Mas!” ujar Nagi yang langsung kembali ke meja belajarnya.
“Jangan bohong deh... kalau ada apa-apa, cerita aja Nag.”
Nagi bercerita bahwa dirinya saat ini ingin sekali berusaha menghasilkan uang, sehingga ia dan temannya mengikuti lomba menulis makalah mengenai Manajemen Keuangan untuk Sehari-hari.
“Terus aku mendapat juara 3 dan dapat hadiah berupa uang loh Mas Gi! Lumayan bisa aku tabung uangnya, hehe.”
Mogi tersenyum dan mencubit Nagi. “Kenapa baru bilang sekarang lu? Selamat ya Nag! Lain kali ajak aku dong.”
Nagi melebarkan senyumnya dan, mengatakan, “Siap Mas Gi!”
...***...
Saat upacara, pengumuman juara lomba cerpen diberitahukan oleh kepala sekolah. Mina mendapat juara 3 untuk lomba itu. Dia bersyukur kerja keras dirinya telah membuahkan hasil.
Hal itu membuatnya tidak bisa melupakan perasaan puas atas hasil kerja kerasnya. Setelah ini, ia harus bersiap untuk ujian-ujian kelulusan dari sekolah dasarnya.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!