NovelToon NovelToon

KASIH BERSEMI DARI REUNI

Episode 1: AYO REUNI

    “Ayo, kita reuni, biar bisa ketemu teman-teman.”

    “Iya ...., aku setuju.”

    “Sudah kangen, pengin ketemu. Tidak cuman di WhatshApp grup.”

    “Iya .... Biar kita bisa ngobrol kayak waktu SMA dulu.”

    “Wah ..., kalau kita bisa reunian, pasti seru!”

    Group WhatshApp Alumni SMA yang ada di telpon genggam milik Rini, berkali-kali muncul chat yang membahas reuni. Maklum, sudah sekitar tiga puluh tahun semenjak perpisahan kelulusan SMA, orang-orang yang ada dalam grup alumni seangkatan di masa SMA tersebut sangat jarang berjumpa, bahkan ada yang tidak pernah ketemu sama sekali, karena tempat tinggalnya yang sangat jauh. Seperti Brun misalnya, yang sekarang tinggal di Negeri Kincir Angin, dia tidak pernah pulang ke Indonesia. Meski di profil WA ada yang memajang fotonya, atau bahkan mereka sering posting foto selfinya, tetapi perubahan guratan kulit pipi dan dahi di wajahnya, perkembangan besarnya badan selama tiga puluh tahun, telah menghilangkan imutnya raut wajah dan merubah bodi dari kecil menjadi besar, yang jauh berbeda di saat SMA dulu. Entah seperti apa wajah asli mereka. Entah seperti apa gemuknya badan mereka. Kelulusan SMA itu telah benar-benar memisahkan siswa seangkatan. Beruntung ada WA yang bisa kembali menyatukan para siswa tersebut, sehingga satu persatu bisa kembali menyatu. Berterimakasih kepada orang yang telah membuat aplikasi WhatshApp, sudah memberikan ruang bersatunya kembali teman-teman lama.

    Rini, gadis manis berambut panjang yang saat SMA sempat menjadi “Princes” tentu banyak siswa lelaki yang mendekat. Tidak bisa dipungkiri, pastilah laki-laki yang mendekat itu punya niat untuk menjadi pacarnya. Namun seperti pepatah, setiap orang punya takdirnya sendiri-sendiri. Seperti halnya Rini, bunga kampus masa SMA itu, setelah lulus SMA tidak melanjutkan kuliah. Dia memilih menikah dengan laki-laki mapan yang sudah menunggu kelulusannya. Meski waktu SMA dulu, tidak seorang teman pun yang tahu kalau Rini sudah terikat janji dengan perjaka yang sudah bekerja di perusahaan swasta yang cukup besar. Nasib perempuan pada masa itu, menikah adalah kewajiban sebagai bakti seorang anak kepada orang tuanya. Apalagi Hamdan, laki-laki yang mempersunting Rini, adalah laki-laki mapan dengan gaji besar. Tentu Rini tidak mengelak. Apa sih yang mau dicari dalam berkeluarga kalau bukan harta? Saat itu teman-temannya jarang yang memiliki kendaraan, tetapi Hamdan, sudah punya mobil dan rumah sendiri. Tentu banyak wanita yang siap mendampingi. Beruntunglah Rini yang menjadi pilihan Hamdan.

    Teman-temannya tentu kaget ketika tahu Rini secepat kilat menikah setelah lulus SMA. Namun juga iri, khususnya teman-teman perempuan ketika tahu suami Rini adalah lelaki gagah dan ganteng serta kaya raya. Pasti nanti Rini menjadi wanita yang hidup bahagia. Tetapi bagi teman laki-laki, langsung balik kanan. Tidak punya modal untuk bersaing dengan suami Rini. Maklum, anak-anak waktu SMA hanya modal dengkul. Tidak punya harta maupun benda yang bisa dipamerkan.

    Chat pada WA grup Alumni SMA kembali muncul. Rini membuka pesan.

    “Ayo, kapan reuni? Di mana?”

    "Akhir tahun, ya ...."

    “Direncanakan dulu.”

    “Pokoknya aku ikut!”

    “Sabar ....”

    “Reuni ...? Beneran, nich ...?!”

    "Jangan bohong, ya ...."

    Seharian, chat pada WA grup Alumni SMA tersebut membahas masalah reuni. Ya, reuni secara harfiah berarti bertemu kembali, berkumpul bersama lagi, mengulang kembali masa lalu. Tentu, bagi sekelompok orang yang telah lama berteman akrab dan tidak pernah ketemu dalam jangka waktu yang lama, maka pertemuan bersama kembali adalah hal yang sangat diharapkan. Seperti halnya yang dialami orang-orang yang tergabung dalam grup alumni SMA ini. Tentu, rasa kangen  menjadi semakin besar ketika ada harapan akan diselenggarakan reuni. Rasa ingin bertemu itu terasa semakin menggebu, terutama bagi mereka yang dulu sangat akrab atau menjadi sahabat karib. Bahkan ada juga yang pada masa SMA dulu, pacaran dengan teman sekelas, berangkat bareng, pulang pun bersama. Tidak mau dipisahkan. Walaupun akhirnya setelah lulus SMA mereka berpisah. Katanya belum jodoh.

    Tidak bisa dipungkiri, bahwa masa SMA adalah masa-masa yang penuh kenangan. Di grup alumni SD, obrolan dan candaan terasa biasa saja. Mungkin disaat SD tidak ada cerita yang istimewa. Temannya tetangga semua, setiap hari selalu ketemu. Demikian juga grup SMP, belum juga ada rasa yang sangat mengikat. Walau masa SMP itu ada kenakalan anak-anak yang mulai menyimpang. Sangat berbeda dengan masa SMA. Tidak ada yang semenarik pada kenangan masa SMA. Entah itu pengalaman lucu saat bercanda, kenangan takut tapi ingin tertawa saat mengunci kelas mengerjain guru agar tidak bisa masuk ke kelas, kenangan membolos bersama-sama satu kelas, bahkan juga kenangan makan di kantin sekolah sampai kenyang tetapi bayarnya sedikit. "Hahaha ..., itu jangan dilakukan lagi." Dulu kelakuan ini dikenal dengan istilah "lima ratus kenyang", hanya dengan membayar uang lima ratus rupiah, makan minum sampai kenyang, hitungannya ngawur, pokoknya bayar lima ratus rupiah. Tentu ini merugikan yang jualan di kantin. Kalau ada reuni membahas masalah makan di kantin, pasti geger ..., saling tuduh, lantas tertawa terbahak-bahak. Ketahuan siapa yang nakal dan suka ngutil saat makan di kantin.

    Berbagai kenangan indah itu menyeruak kembali dalam ingatan, tatkala teman-teman waktu SMA mengusik dan menceritakan lagi dalam grup WA. Itulah yang selalu menarik, kenapa reuni SMA jadi sangat seru. Dan tentu, semua berminat untuk diajak reuni SMA. Katanya, masa SMA adalah masa-masa terindah. Kenangannya yang tidak bisa dilupakan.

    Tubuh Rini telentang pada sofa panjang di ruang keluarga rumahnya. Hanya mengenakan daster dari kain batik. Walaupun modelnya sederhana tapi harganya lumayan mahal. Maklum, pembeliannya juga di butik terkenal. Meski usia sudah tidak muda lagi, ia masih terlihat cantik, dan agak seksi dengan daster yang dikenakan itu. Ya, Rini memang dari dulu terkenal cantik. Pantas kalau mendapat julukan bunga kampus.

    Televisi seratus inch di ruang keluarga yang besar tersebut menyala dengan suara agak keras, menyiarkan Drama Korea. Namun rupanya Drakor di stasiun televisi swasta tersebut hanya sekedar menemani wanita yang sedang melamun. Mata Rini tidak melihat televisi, tetapi menerawang jauh entah memandang apa. Lamunan apalagi kalau bukan tentang reuni SMA. Lamunan bayang-bayang teman-temannya yang ceria waktu sekolah dulu. Lamunan senda-gurau kala berkumpul di kantin. Lamunan kegembiraan di kelas saat jam pelajaran kosong. Dan, yang paling terkenang adalah ketika Rini selalu didekati oleh teman laki-laki, ada yang mendekat tapi takut-takut untuk duduk di sampingnya, ada yang sekedar ngeledek, ada yang curhat, ada yang iseng pinjam catatan, dan yang tidak pernah terlupakan adalah rayuan-rayuan gombal yang selalu ia dengar setiap hari. Ia teringat pada semua teman sekelasnya, ingat guru-gurunya. Bahkan ia ingat betul sama Pak Uuk, guru matematika yang selalu memberi nilai baik, padahal Rini paling tidak bisa pelajaran matematika. Usut punya usut, ternyata Pak Uuk suka sama Rini, tapi tidak berani bilang.

    Rini memang perempuan beruntung. Walau tidak bisa melanjutkan kuliah karena harus menikah, tetapi ia mendapatkan suami yang tidak sekedar kaya, tetapi betul-betul berada. Kalau orang sekarang disebut keluarga sultan. Maka Rini pun hidup bahagia dengan bergelimang harta benda. Mau butuh apa saja tinggal bilang, maka apa yang diingini sudah ada di depan mata. Enak sekali.

    "Tuliliiing tuloliliiiing .... Tuliliiing tuloliliiiing ...!" HP Rini berdering, ada panggilan.

    Rini mengangkat HP, "Haloo .... Selamat siang, siapa, ya?" tanya Rini.

    "Halo, Rin .... Ini aku, Anik." terdengar suara perempuan dari HP.

    "Anik siapa, ya?" tanya Rini.

    "Halah, lupa ya. Ini aku, Anik, temanmu SMA dulu." jawab penelepon, yang mengaku bernama Anik.

    "Ya ampun ..., Anik ...! Halo, Nik .... Gimana kabarnya?!" tanya Rini pada orang dibalik telepon.

    "Walah, sombongnya ....! Lupa sama teman-temannya!" kata Anik lewat telepon.

    "Enggak, ya ....!" sahut Rini.

    "Halah ..., nggak mau kenal lagi ya sama teman-teman SMA." kata Anik.

    "Enggak, Nik. Aku gak sempat WA-nan." sahut Rini.

    "Gak sempat apa gak boleh?!" cecar Anik.

    "Ya ampun, Nik .... Betul!" sergah Rini.

    "Ini teman-teman mau ngadakan reuni. Kamu ikut, lho ya!" kata Anik.

    "Kapan ...? Kemana ...?" tanya Rini.

    "Ini masih dibahas. Rencananya mau ke Jogja, lho. Makanya WA dibuka. Beri masukan untuk teman-teman." kata Anik.

    "Wuaaah ..., asyik banget!" kata Rini dengan nada gembira.

    "Makanya ikutan. Sekalian jalan-jalan ke Kota Gudeng, Kota Budaya, Kota Wisata." kata Anik.

    "Maaf, Nik.Kadang gak sempat bepergian." sahut Rini.

    "Sekali-kali piknik bareng teman-teman!" kata Anik.

    "Iya .... Pengin banget. Tapi ..., bisa nggak, ya?!" kata Rini.

    "Pokoknya kamu ikut, lho ya! Biar ramai." kata Anik.

    "Ya, coba, nanti aku tanya suamiku dulu." jawab Rini.

    "Boleeeh .... Pasti dibolehkan!" sahut Anik.

    Rini terdiam. Tidak bisa memberi kepastian. Hatinya gundah, sangat ingin untuk ikut reuni. Kumpul lagi dengan teman-temannya. Apalagi mendengar kata Jogja, reuni akan diadakan di kota Jogja, pasti sesuatu banget. Tetapi yang bergelanyut dalam pikirannya, apakah suaminya mau diajak bepergian ke Jogja. Apakah Rini bisa ikut reuni bersama teman-temannya?

    Reuni di Jogja, pasti mengasyikkan. Kota Jogja .... Kota Budaya, Kota Wisata, kota yang selalu siang, malam pun ramai seperti siang hari. Kota Seribu Mimpi. Kota Kenangan.

    Ah, kok ada reuni ke Jogja ...?!

Episode 2: KERAGUAN IKUT REUNI

    MALAM sudah terlalu larut, saat Hamdan, suami Rini pulang dari kantor. Itu sudah biasa. Maklum, Hamdan adalah direktur di kantor pusat perusahaannya, yang selalu sibuk mengurusi usahanya. Apalagi di Jakarta, orang bekerja tidak mengenal waktu. Siang malam sama saja. Jika ingin dapat uang banyak, bekerja harus dua puluh empat jam. Bekerja tidak mengenal waktu. Bekerja harus sungguh-sungguh. Kalau cuma mau duduk-duduk atau santai-santai, tempatnya bukan di Jakarta. Belum lagi jalanan yang selalu macet, mobil yang penuh sesak memadati jalan, memperlambat laju transportasi. Maka untuk berangkat kerja harus pergi pagi-pagi sebelum matahari terbit dan pulang hingga larut malam, adalah hal biasa yang selalu dilakukan oleh orang-orang di Jakarta. Termasuk Hamdan, suami Rini. Ya, Jakarta memang tempatnya orang bekerja, bukan tempatnya pemalas. Siapa yang rajin, dia akan mendapat uang banyak. Bahkan ada seloroh, di Jakarta itu segala sesuatu bisa dijadikan uang, asal orangnya tidak malas dan tidak malu untuk bekerja apa saja. Yang penting halal.

    Meski di depan rumah ada satpam yang membukakan pagar dan menjaga rumahnya, di kamar belakang ada Mak Mun, pembantu rumah yang selalu menyiapkan urusan logistik untuk mengurusi perut kelaparan, namun sebagai seorang istri, Rini tetap beranjak ke ruang tengah, menyambut kedatangan suaminya. Rini langsung membawa tas suaminya, dimasukkan ke ruang kerja, dekat dengan kamar tidurnya.

    "Mau teh hangat apa jahe susu, Pah?" tanya Rini pada suaminya yang sudah menyelonjorkan kakinya di kursi besar di ruang keluarga.

    "Teh hangat saja." jawab suaminya datar.

    "Mau makan?" tanya Rini pada suaminya.

    "Nggak usah, tadi dah makan sama klien di kantor." jawab suaminya yang terlihat kelelahan.

    "Mandi dulu. Punggungnya diguyur air panas, biar nggak masuk angin." kata Rini, sambil mengambil kaos kaki dan baju suaminya yang sudah dilepas. Lantas memberikan handuk untuk suaminya.

    "Iya. Makasih, Mah." sahut Hamdan, suami Rini, langsung masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

    "Mak Mun ..., tolong buatkan teh hangat untuk Bapak, jangan lupa pakai pemanis. Jangan dikasih gula!" kata Rini menyuruh pembantunya.

    "Ya, Ibu." jawab Mak Mun, pembantu setia yang sudah sepuluh tahun lebih ikut Rini.

    "Jangan lupa, Mas Jo disuruh makan dulu." kata Rini lagi, menyuruh Mak Mun untuk menyiapkan makan buat Mas Jo, sopir suaminya yang selalu mengantar kemana-mana.

    Keluarga Rini memang baik. Suaminya, Hamdan, orangnya juga baik meskipun ia seorang direktur. Namun untuk urusan rumah tangga, memang Hamdan tidak pernah mau terlibat. Semua sudah diserahkan pada istrinya. Bahkan kalau di rumah, Hamdan tidak banyak bicara, kecuali ada hal penting yang tidak mungkin dilakukan istrinya. Rini lah, sebagai istri yang mengurus rumah tangga. Mulai dari urusan kebutuhan makan sampai pembayaran listrik.

    Hanya sayangnya, sudah tiga puluh tahun berumah tangga, Rini dan Hamdan belum dikaruniai anak. Waktu pernikahan genap lima tahun, mereka meminta anak kepada saudara sepupu Hamdan, untuk dirawat dan dijadikan anak angkat. Istilahnya untuk memancing agar keluarganya cepat diberi anak. Melalui persetujuan keluarga,  akhirnya adik sepupu Hamdan yang sudah punya anak lima itu setuju bayi perempuannya yang baru lahir dirawat oleh keluarga Hamdan. Ya, bayi perempuan itu yang dulu menjadi hiburan bagi Hamdan dan Rini. Bayi itu pula yang selanjutnya memanggil Mamah dan Papah kepada Rini dan Hamdan. Rumah tangga Hamdan pun menjadi ramai. Semangat kerja Hamdan semakin termotivasi. Rejeki datang dari sana sini. Jabatan pun datang menghampiri. Keluarga Hamdan menjadi kaya raya dan penuh kebahagiaan. Rumah besar bak istana pun dibangun. Perabot mahal menghiasi rumah. Mobil mewah mengisi garasi besar rumahnya. Segala kebutuhan terpenuhi. Tidak ada kekurangan sedikitpun.

    Namun setelah anak gadis yang dirawat itu menginjak dewasa, menjadi gadis yang cantik, setelah lulus sarjana,  kemudian disunting orang, Hamdan dan Rini tidak bisa menolak, tidak bisa memaksakan kehendak, tidak bisa melarang, dan tidak mungkin mengekang anak angkatnya itu selamanya. Maka setelah menikah, anaknya diajak ke rumah suaminya, Hamdan dan Rini hanya pasrah. Tidak bisa menahan untuk tinggal di rumahnya, walau papah mamahnya berkeinginan agar mereka berdua tinggal di rumahnya.

    Tentu, setelah kepergian anaknya yang tinggal di rumah baru milik suaminya, suasana di rumah keluarga Rini menjadi sepi. Rumah sebesar istana hanya ditempati dua orang yang sudah menua. Tidak ada yang ribut, tidak ada yang dibentak-bentak setiap pagi dibangunkan dari tidurnya, tidak ada lagi gadis yang suka bernyanyi. Sepi.

    Rini membawa masuk teh hangat buatan Mak Mun, menaruh di atas meja ruang kamar. Meladeni suaminya. Lantas berbaring di tempat tidur, menemani suaminya.

    "Pah, akhir tahun libur,nggak?" tanya Rini pada suaminya, sembari merebahkan tubuh di tempat tidur.

    "Papah pegawai swasta, Mah. Kalau libur, penghasilannya juga zoonk." jawab Hamdan.

    Rini diam. Ia tahu watak suaminya yang maniak kerja. Hari libur pun selalu dimanfaatkan untuk mengurusi perusahaannya. Apalagi kalau urusan dengan klien. Hamdan tidak pernah mau mengecewakan klien. Orang-orang atau perusahaan yang butuh jasa maupun barang dari perusahaannya, harus dilayani sebaik mungkin. Pelanggan harus puas, jangan dikecewakan. Meskipun saat hari libur. Malah biasanya, klien banyak yang datang pada hari libur, dengan alasan sekalian berlibur.

    "Memang ada apa, Mah?" tanya Hamdan pada Rini.

    "Teman-teman SMA mau ngajak reuni ke Jogja." jawab Rini.

    "Wah, asyik itu." kata Hamdan.

    "Iya, asyik. Tapi kalau Papah gak libur ...?!" kata Rini.

    "Kalau Papah nggak bisa, Mamah berangkat sendiri saja." sahut Hamdan.

    "Gak seru." sahut Rini.

    "Lhoh ..., kok gak seru ...?! Emangnya Papah tukang bikin keseruan" sergah Hamdan sambil bercanda.

    Rini diam saja. Ia berusaha memejamkan mata. Berusaha tidur, tidak mau membahas lagi. Ia tidak mau berdebat dengan suaminya. Sudah tiga puluh tahun berumah tangga, sudah paham dengan watak suaminya. Walau ia tahu jika suaminya sangat sayang padanya.

    Hamdan pun tahu, istrinya sudah tidak mau membahas lagi. Ia pun memejamkan mata. Tubuh yang lelah pun langsung terlelap. Mengorok. Tidur nyenyak.

*******

    Pagi hari Rini sudah sibuk di dapur. Meski ada Mak Mun yang membantu, tetapi Rini tidak pernah meninggalkan kodratnya sebagai istri yang harus menyiapkan sarapan untuk keluarganya, walau sekarang hanya tinggal dirinya dan suaminya saja. Namun bagi Rini, kalau tidak ikut ribut di dapur malah jadi bengong. Oleh sebab itu, setiap pagi Rini selalu menyibukkan diri. Mulai dari menyiapkan sarapan, hingga menyiapkan pakaian yang akan dipakai suaminya.

    Sarapan sudah siap. Rini ke kamar, menengok suaminya yang masih mengenakan pakaian. Lantas Rini mengambil tas kerja suaminya. Selanjutnya mengajak suaminya untuk sarapan.

    "Pah, sarapan dulu." kata Rini pada suaminya yang sudah selesai mengenakan pakaian.

    "Yaah ..., sebentar." sahut Hamdan.

    Rini langsung menuju ruang makan yang gandeng bersebelahan dengan ruang keluarga. Meja oval besar terbuat dari kayu jati asal Jepara dipahat ukiran yang indah, dilengkapi dengan enam buah kursi ukir dengan jok busa yang empuk, sangat gagah bertengger di ruang makan keluarga kaya. Di tengah meja makan terdapat baki kotak juga terbuat dari kayu jati yang diukir, ada tempat sendok garpu dan kotak tisu. Rini menyiapkan piring berisi lontong sayur kesukaan suaminya. Di samping piring ada gelas bening berisi air jeruk nipis yang diberi madu. Minuman ini bisa memberi vitamin yang alami, membuat tubuh menjadi segar dan melarutkan lemak darah. Yang pasti baik untuk kesehatan tubuh. Memang kalau usia sudah di atas lima puluh tahun, kondisi fisik harus selalu dijaga.

    Hamdan sudah terlihat rapi dengan setelan kemeja lengan panjang warna biru muda, celana biru tua, ditambah dasi warna biru dongker ada garis kecil miring warna putih, ditambah jepit dasi dengan permata berlian, jika terkena sinar terlihat berkilau. Perlentenya seorang direktur. Ia duduk di kursi makan yang sudah disiapkan Rini. Berdampingan dengan istrinya. Menikmati lontong sayur kesukaannya.

    "Mamah jadi berangkat reuni?" tanya Hamdan pada Rini, setelah menghabiskan lontong sayurnya.

    "Kalau Papah nggak libur, ya nggak jadi." jawab Rini datar.

    "Aaach ..., segarnya." kata Hamdan menikmati minum air jeruk nipis yang diberi madu, "Kapan rencananya?" lanjut Hamdan menanyakan rencana reuni istrinya.

    "Akhir tahun. Saat libur Nataru. Sambil menikmati keindahan Kota Gudeg." jawab Rini.

    "Piknik apa reuni?" tanya Hamdan sambil mengejek istrinya.

    "Reuni sambil piknik. Dah, sana berangkat kantor dulu. Mas Jo sudah nunggu. Direktur harus jadi contoh karyawannya, jangan datang terlambat." kata Rini yang sudah siap membawakan tas dan jas suaminya ke mobil.

    Di halaman depan rumah, Mas Jo, sopir Direktur Hamdan, sudah mencuci dan membersihkan mobil bosnya. Kemudian memanasi mesinnya.

    "Mas Jo, ini jas sama tas Bapak tolong dimasukkan mobil." kata Rini menyuruh sopir suaminya.

    "Ya, Bu." jawab Mas Jo yang langsung menghampiri Ibu Rini. Ya, "Ibu Rini," begitu para sopir, penjaga dan Mak Mun jika menyebut Rini sebagai nyonya rumah tersebut.

    "Sudah sarapan, belum?" tanya Ibu Rini pada Mas Jo.

    "Sudah, Bu, tadi di dapur Mak Mun." jawab Mas Jo.

    "Kalau nyopir hati-hati, jangan ngebut!" pesan Rini.

    "Iya, Ibu. terimakasih." jawab Mas Jo.

    "Saya berangkat dulu ya, Mah." kata Direktur Hamdan pada istrinya.

    "Ya, Pah .... Hati-hati." kata Rini yang dipamiti suaminya.

    Mas Jo sudah menjalankan mobilnya, perlahan keluar dari halaman rumah. Membawa Direktur Hamdan menuju kantor perusahaannya. Rini melambaikan tangan dari teras garasi, sampai mobil tidak terlihat. Pintu pagar bisa membuka dan menutup sendiri, meskipun ada satpam yang menjaga. Lantas kembali masuk ke ruang makan.

    "Tuliliiing tuloliliiiing .... Tuliliiing tuloliliiiing .... "HP Rini berbunyi.

    "Anik ...." kata Rini yang melihat profil pemanggil, "Halo, Nik ...!" kata Rini menjawab panggilan HP.

    "Eh, Rin ..., gimana? Jadi ikut kan? Awas kalau gak ikut!" sahut Anik, teman SMA Rini yang memang supel.

    "Lah, jadinya kapan? Tempatnya di mana? Gue bingung mau bilang sama suamiku." kata Rini.

    "Ini teman-teman yang tinggal di Jogja masih cari info. Sabar, ya." jawab Anik.

    "Tapi gue gak yakin ikut. Gue masih ragu." kata Rini.

    "Lhooo .... Pokoknya kamu harus ikut!" sahut Anik.

    "Lhah, jangan maksa dong, Nik!" sergah Rini.

    "Hahaha .... Masalahnya kalau kamu gak datang, kurang seru, Rin!" Kata Anik sambil tertawa.

    "Ach, ngaco, Lu! Urusin dulu kepastiannya, baru sampaikan ke gue! Jadi jelas acaranya. Klo begini, gue bingung mau bilang apa! Jangan ngomong doang, harus jelas, tempatnya mana, waktunya kapan, acaranya apa! Jadi gue bisa bilang sama suami!" sahut Rini.

    "Oke, Rin .... Siap ...! Tunggu ya, Say ...." kata Anik mengakhiri pembicaraannya.

    Rini kembali bingung. Ajakan reuni itu menyisakan kegundahan dalam pikirannya. Pasalnya, ia ingin bertemu teman-temannya yang sudah lama berpisah. Namun disisi lain, suaminya belum tentu mau diajak bepergian. Apalagi ada kata-kata reuni. Itu tidak penting, tidak menguntungkan, tidak menghasilkan apa-apa. Ya, maklum, suaminya adalah direktur perusahaan swasta yang selalu dituntut profit sebesar-besarnya. Tidak seperti pegawai, yang kerjanya santai, banyak liburnya, masih bisa cuti, gajinya utuh. Enak sekali.

    Rini langsung ke meja makan. Sarapan seadanya, menikmati jamu kunyit asam buatan Mak Mun. Ia ingin membuang kata reuni dari pikirannya. Apalagi suaminya sudah mengatakan kerja di perusahaan swasta tidak ada liburnya. Melayani klien lebih diutamakan, agar senang dan puas. Kalau semisal nanti memang tidak bisa ikut reuni, ya gak masalah. Yang penting suaminya bisa menjalankan perusahaannya dengan baik. Karena dari perusahaan itu, suaminya mencukupi semua kebutuhan keluarganya.

Episode 3: SURPRISE

    "Halo, teman-teman .... Kita jadi reuni, ya .... Ini sudah fix." WA grup alumni SMA kembali muncul chat tentang reuni.

    "Kapan ...?"

    "Nataru. Akhir tahun. Yang pegawai bisa cuti. Liburnya lumayan."

    "Tempatnya di mana?"

    "Grand Hotel, Yogyakarta, Kota Wisata, nanti sekalian piknik."

    "Wah ..., di Malioboro? Asyik!"

    "Dekat bandara, nggak?"

    "Jauh nggak dari stasiun?

    "Itu dekat semuanya ...! Di pusat kota, tempatnya strategis."

    "Nanti juga bisa jalan-jalan ke Keraton Yogya."

    "Ok ...!"

    "Yang ikut, segera ngelist, ya ...! Untuk pendataan peserta."

    "Semua ikut, jangan ada yang tertinggal."

    "Sama keluarga diajak. Tidak usah khawatir."

    "Mumpung ada yang ngebosi ...."

    "Siap ...!"

    "Berapa hari?"

    "Panitia menyediakan fasilitas menginap dua malam, selanjutnya ditanggung sendiri."

    "Wuaaah .... Asyik bangeeet ...."

    "Kereeeen ...."

    "Bayarnya berapa?"

    "Tidak usah bayar. Ada donatur."

    "Asyiiiik ...!"

    "Wah ..., hebat. Siapa yang jadi donatur?"

    "Yang penting hadir! Ini syukuran teman-teman kita semua yang sukses. Siapapun boleh jadi donatur!"

    "Aku boleh bantu dana, gak?"

    "Boleh sekali ...! Bagi yang punya rejeki lebih, boleh jadi donatur! Terimakasih."

    "Siaaap ..., Ndan!"

    "Ayo, yang ikut buruan ngelist ...!"

    "Semua wajib ikut ...!"

    "Ya, betul. Tidak perlu mikir biaya!"

    "Tapi untuk mengetahui jumlah pemesanan kamar hotel, tetap harus didaftar!"

    "Siap ..., Ndan!"

    "Aku ikut. Anik, 2 orang. Catat, ya ...."

    "Lanjut ...."

    Sore itu, WA grup alumni SMA kembali ramai dengan chat tentang rencana reuni. Rini masih diam. Tidak berani membalas chat yang semakin banyak tersebut. Khawatir kalau dirinya muncul di grup langsung dicecar teman-temannya. Ia belum siap menjawab jika ditanya berangkat atau tidak. Suaminya, Hamdan, belum jelas jawabannya. Setidaknya Rini sudah tahu, bahwa panitia menyediakan penginapan dua malam di Grand Hotel. Jika ingin menambah, jika ingin berangkat sebelumnya atau pulang sesudahnya, tentu secara pribadi akan menanggung sendiri biaya yang dikeluarkan. Namun bagi Rini, itu bukanlah masalah. Berapapun biayanya bisa dibayar. Toh uangnya berlebihan. Bahkan jika harus menanggung beberapa teman untuk dibayari, ia pun sanggup. Namun yang menjadi masalah adalah bisa atau tidak dirinya datang di reuni tersebut. Yah, tunggu saja nanti. Suaminya yang akan memutuskan.

    Memang kalau hanya piknik, Rini tidak kurang. Jangankan hanya Jogja, tempat-tempat wisata terindah di seluruh nusantara sudah pernah ia jelajahi. Mulai dari Tugu Nol Kilometer yang ada di Sabang, Danau Toba di Sumatera Utara, Gunung Bromo, Candi Prambanan, Candi Borobudur, indahnya Pulau Dewata, Gili Trawangan, menariknya Pulau Komodo, Tugu Katulistiwa, indahnya Laut Bunaken, keindahan terumbu karang di Pantai Pintu Kota, hingga pesona Raja Ampat, Rini dan keluarganya sudah pernah menjelajahi semuanya. Jangankan di negeri sendiri, bahkan sampai ke luar negeri mulai dari keindahan kota Paris, London, New York, Los Angeles, bermain salju di Swis, atau Gunung Fujiyama, Rini pun sudah pernah. Tetapi ini adalah reuni. Ketemu teman-teman di masa SMA. Tentu sesuatu yang sangat menggembirakan. Sesuatu yang meriah. Sesuatu yang mengembalikan angan di masa remaja. Kini yang menjadi harapan, semoga Hamdan, suaminya, akan meluangkan waktu untuk istrinya menemui teman-teman SMA-nya dulu.

    Sore itu Rini tidak ingin digundahkan oleh WA grup SMA. Ia membiarkan chat di grup tersebut. Ia tidak ingin tahu ada yang mengomentari dirinya dalam grup. Bahkan beberapa kali Anik, teman dekatnya dulu, memanggil lewat panggilan WA, Rini tidak mengangkat. Ia sudah menduga, paling-paling Anik hanya akan menanyakan dirinya ikut reuni atau tidak. Kalau sudah menanyakan itu, Rini belum siap untuk menjawab. Maka lebih baik ia tidak menggubris semua chat maupun panggilan dari teman-teman SMA-nya dulu. Ia pun asyik di taman bersama Mang Udel, pembantu Rini yang mengurusi kebersihan dan taman, yang sedang merawat tanaman. Rini pun ikut menata dan merawat anggrek-anggrek yang beraneka jenis.

    Ya, walaupun Hamdan itu seorang direktur perusahaan, tetapi ia sangat senang dengan tanaman anggrek. Maka jika ia bepergian ke daerah-daerah, selalu menyempatkan diri mencari anggrek yang khas dari daerah tersebut. Seperti anggrek hitam dari Papua, anggrek dendrobium red blood dari Kalimantan, anggrek dendrobium calophyllum dari Atambua. Itu tanaman anggrek langka. Dan Hamdan selalu memesan kepada Mang Udel agar merawat anggrek sebaik mungkin. Tidak boleh terlambat menyiram dan memberi pupuk. Bahkan Hamdan juga memesan kepada Mak Mun agar air cucian beras jangan dibuang, tetapi dipakai untuk menyiram anggrek. Katanya, air cucian beras itu banyak mengandung mineral dan vitamin bagi tanaman. Maka Mak Mun pun setiap pagi selalu memberikan seember air cucian beras kepada Mang Udel untuk disiramkan ke tanaman-tanaman hiasnya.

    Memang di sisi kanan rumah Hamdan ada pekarangan yang lumayan luas dengan tanaman hias dan anggrek yang beraneka ragam. Taman itu ditata rapi oleh Mang Udel, sehingga terlihat indah dan asri. Jika Hamdan libur dan di rumah, ia selalu menghabiskan waktu untuk merawat anggrek maupun tanaman hiasnya. Di taman itu biasanya Papah Hamdan dan Mamah Rini serta Mang Udel ribut masalah tanaman.

    "Merawat anggrek itu dibutuhkan kesabaran, Mang .... Itu kata Bapak, lho." kata Rini pada Mang Udel.

    "Iya, Bu ...." jawab Mang Udel yang masih bersih-bersih di taman.

    "Kata Bapak, tanaman itu layaknya manusia. Bisa diajak ngomong, tahu kalau di sayang, tahun kalau dirawat. Dia akan balas budi, yaitu dengan mengeluarkan bunga-bunga yang indah bermekaran." Kata Rini sambil mengelus-elus anggrek cattleya warna ungu yang super besar.

    "Iya, Bu ...." jawab Mang Udel.

    "Merawat anggrek itu seperti merawat istri, kalau tidak diberi kasih sayang, dia tidak mau berbunga. Itu juga kata Bapak, lho ...!" kata Rini lagi.

    "Iya, Bu ...." jawab Mang Udel lagi.

    "Yang ini anggrek langka, tolong dirawat yang baik ya, Mang ...." kata Rini.

    "Iya, Bu ...." jawab Mang Udel.

    "Anggrek ini dapatnya dari tengah hutan Kalimantan. Bapak harus menunggu satu minggu untuk menemukan yang ini. Namanya saja menakutkan. Red blood. Merah darah. Sesuai warna bunganya. Itu sangat dilindungi. Makanya Bapak ingin mencoba mengembangkan bijinya. Kemarin sudah ada orang yang bersedia mengawinkan dan akan membawa ke laboratoriumnya."

    "Iya, Bu .... Semoga saya bisa merawatnya dengan baik." jawab Mang Udel.

    "Nah, begitu. Nanti berkahnya akan diberikan kepada kita kembali. Termasuk berkah ke Mang Udel, diberi sehat, diberi rejeki yang cukup. Dan yang penting, anak-anak kita bisa berhasil dan sukses." kata Rini.

    "Aamiin .... Iya Bu." jawab Mang Udel.

*******

   Matahari belum sempat tenggelam, saat Hamdan pulang dari kantor. Tidak seperti biasanya, Hamdan pulang awal. Biasanya kalau belum larut malam, ia belum pulang. Ia lebih sering pulang kalau istrinya sudah tidur. Maklum, ini hidup di Jakarta. Seorang direktur tidak mungkin pulang awal sebelum pekerjaan selesai. Tidak mungkin pulang kalau staf-stafnya masih harus bekerja. Maka Handan pun menikmati pekerjaannya ibarat mengelola rumah tangganya sendiri. Ibarat memberikan cinta kepada istri dan anaknya, ibarat meminta tolong kepada Mak Mun, Mang Udel, Mas Jo maupun Kang Asep. Itulah kepemimpinan Hamdan. Wajar kalau semua karyawan dan stafnya baik dan menghormatinya. Karena Hamdan menganggap semua karyawan adalah keluarganya. Rasa kekeluargaan itu yang ia tanamkan dalam perusahaannya.

    Rini yang masih kotor dengan remah daun-daun kering, kotor oleh pupuk tanaman, kotor oleh percikan air saat ikut merawat tanaman bersama Mang Udel, langsung bergegas menuju teras garasi, saat mobil suaminya memasuki halaman rumah.

    "Maaf, Pah ..., tanganku masih kotor. Tadi ikut membantu Mang Udel membersihkan taman." kata Rini yang menyambut suaminya. Biasanya ia langsung membawa tas suaminya masuk ke ruang kerja. Tetapi kali ini tidak, karena tangannya yang masih kotor.

    "Tumben, Mamah rajin merawat bunga." sahut Hamdan.

    "Eeeh ..., ngejek. Tiap hari, Pah!" sergah Rini.

    "Iya ..., iya .... Bercanda. Saya tahu kok, Mamah itu rajin." sahut Hamdan sambil tersenyum.

    "Nggak usah ngrayu ...!" sahut Rini. Ia pun langsung mencuci tangan dan kakinya, lantas mengikuti suaminya yang sudah masuk rumah.

    Sekitar jam tujuh malam, Hamdan dan Rini ke ruang makan. Menikmati makan malam bersama. Sudah lama mereka tidak makan malam bersama di rumah sendiri. Kalaupun makan malam bersama, pasti di restoran atau di hotel mewah, sambil menemani tamu klien suaminya yang membahas masalah bisnis. Walau semewah apapun hidangannya, semahal apapun makanannya, pasti rasanya kurang nikmat. Dulu waktu Silvy, anak angkatnya yang diambil dari saudara sepupu Hamdan, masih kecil, makan bersama itu sesuatu yang biasa. Tetapi setelah anaknya besar, setelah kuliah, Silvy pun jarang sempat makan bersama menemani ibunya. Apalagi setelah Silvy menikah dan dibawa suaminya, makan bersama itu sangat-sangat jarang sekali. Paling-paling kalau lebaran, baru semua bisa kumpul bersama.

    Kini malam yang terasa indah. Malam yang selalu dinanti oleh Rini untuk bisa makan bersama suaminya di rumah, di ruang makan yang ia tata, di meja makan yang dibeli oleh suaminya dari Jepara. Walau hanya sekedar makan pepes bandeng dengan sambal terasi, tetapi kenikmatan berkumpul, keindahan makan bersama, itulah yang membuat suasana menjadi istimewa.

    "Kok Papah pulang awal ...? Memang pekerjaan sudah beres?" tanya Rini sambil mengambilkan nasi suaminya.

    "Sampai kapanpun, yang namanya pekerjaan itu tidak akan pernah selesai, Mah." jawab Hamdan.

    "Ya, iya .... Maksudku pekerjaan hari ini, Pah?!" tanya Rini menjelaskan.

    "Kalau Papah sudah pulang, berarti pekerjaan sudah bisa ditinggal. Habis Mamah di WA tidak dibaca." kata Hamdan.

    "Ah, masak sih ...?!" Rini kaget, langsung mengambil HP-nya dan melihat pesan-pesan di WA, "Ah, iya .... Maaf, Pah, tadi ikutan asyik sama Mang Udel di taman."

    "Gak papa .... Aku senang juga, Mamah ikut merawat taman. Itu artinya Mamah sudah menyayangi ciptaan Tuhan. Dan yang penting, ajarkan cara berbuat baik pada Mang Udel." kata Hamdan yang selalu senang dengan apa yang dilakukan oleh istrinya.

    "Lhah, Pah ...?! Kok ada WA dari Mbak Sarah, sekretaris Papah .... Apa ini Pah?" tanya Rini pada suaminya.

    "Ya, dibaca dulu." jawab Hamdan.

    Rini membuka WA kiriman dari Mbak Sarah, sekretaris suaminya yang selalu membantu segala sesuatu urusan perusahaan, termasuk menyiapkan agenda kerja suaminya.

  "Hah ...! Pah ...! Ini beneran ...?! Tiket ke Jogja ...?!" tanya Rini pada suaminya. Ia terkejut membaca WA.

    "Iya ..., katanya mau reuni ke Jogja ...." jawab Hamdan santai.

    "Terima kasih, Pah ....! Terima kasih, Pah ....! Terima kasih, Pah ....!" Rini langsung memeluk suaminya, menciumi berkali-kali. Rini benar-benar gembira, bahagia, senang tak terkira. Suaminya sudah memberi kejutan. Kejutan yang sangat diharapkan. Ini benar-benar surprise.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!