Suara riuh rendah banyak orang memenuhi lapangan basket SMA Jaya Nusantara. Tiap mata menyorotkan semangat membara untuk tim favorit mereka.
Sedangkan tiap pemain terus menggiring bola dan mengoper tanpa lelah. Pokoknya sampai berhasil masuk ring dan mencetak poin sebanyak-banyaknya dari tim lawan.
"Aaduhhh, gans gilaa si Rano!!!"
"Gila hot banget.... Nggak tahan gue liat dia keringetan gituu."
"Sumpah dia jago banget main basketnya anjirrr."
Jeritan histeris cewek-cewek fans Rano terus bergema. Diikuti tingkah konyol mereka demi membuat Rano menoleh dan melempar senyum penuh terima kasih atas dukungannya. Namun jelas itu hanya sebuah harapan. Rano si manusia sok tampan tak pernah berperilaku seramah itu.
Di sudut atas paling dekat dengan jalan masuk ke kursi penonton, Evangeline duduk tenang tanpa suara. Ara, sahabatnya duduk sambil terus memberi semangat untuk tim basket dari sekolah mereka.
"Rano, Haris, Keanu, semangat!!!" Teriak Ara sambil meloncat-loncat alay dari kursinya.
Evangeline lantas menutup telinga kiri sambil diam-diam mengejek sahabatnya. Gimana bisa Ara loncat-loncat sambil duduk agar kelihatan oleh idolanya. Sedangkan tubuhnya saja tidak lebih tinggi dari Evangeline.
"Lo kalo mau keliatan sama mereka ya berdiri lah. Ngapain duduk sambil loncat? Ngabisin tenaga tau nggak." Cerca Evangeline sambil melempar lirikan mengejek.
Ara melotot kesal.
"Mulut lo tuh ya, kalo kebuka selalu bikin kesel orang."
"Ya gue bener kan?"
"Seenggaknya mereka denger suara gue, Lin."
"Oh ya?"
Ara hanya mengangguk-angguk sok imut. Dan kembali fokus ke arah lapangan. Kali ini matanya lebih fokus ke pacar Evangeline. Keanugrahan Samudera.
"Lin, liat deh pacar lo sumpah hot bangetttt. Gue nggak nyangka dia diem-diem seksi juga." Celetuk Ara sambil menatap kagum. Matanya seolah bertabur bintang-bintang. Evangeline mendengus sambil menatap ke tengah lapangan, si pusat perhatian.
Laki-laki berkulit pucat, bermata setajam elang, berwajah tanpa ekspresi. Tampan. Sangat tampan melebihi Rano, menurut Evangeline.
"Buat lo aja, gue ikhlas." Kata Evangeline ngawur. Tangan kanannya mengibaskan rambut ke belakang, wajahnya songong.
"Beneran nih? Entar kalo gue sama dia lo cemburu lagi, minta balikan lagi." Goda Ara. Matanya berkedip-kedip jahil, membuat Evangeline menarik hidungnya sebal.
"Nggak bakalan gue mungut barang yang udah gue buang."
Ara melotot takjub. "Woahh, kata-kata lo, Lin.... Membuat gue terinspirasi." Katanya diikuti tawa membahana.
Evangeline ikut tertawa. Mendengar lelucon receh sang sahabat dan suara tawa konyolnya yang sudah mendunia.
Beberapa menit sebelum pertandingan usai, Evangeline keluar dari tribun dan menunggu Keanu di luar lapangan. Di tangan kanannya terdapat air mineral, dan di tangan kirinya sebungkus tissue kering.
Evangeline baru akan duduk di bangku depan ruang ganti, ketika sosok yang ia tunggu datang dari arah depan. Kaos bagian dada basah kena keringat. Evangeline beringsut mendekat, mengulurkan air mineral.
Keanu menyampirkan lengan kirinya yang basah ke bahu sempit Evangeline. Mengajak gadis itu duduk.
"Kaki lo cidera?" Evangeline mengarahkan tangannya ke lutut Keanu. Menekannya sengaja, membuat Keanu sontak mengibaskan kasar tangan Evangeline.
"Adu kejantanan sebelum tanding."
Evangeline mengerutkan dahi tak suka. Laki-laki selalu konyol dengan tingkah sok jagoan mereka.
"Untungnya lo nggak papa waktu tanding."
Keanu tak mengacuhkan. Diam menikmati semilir angin yang sedikit membantu mendinginkan tubuhnya, dan sentuhan Evangeline saat membersihkan keringatnya.
"Alin."
"Hm."
"Mama lo titip pesan sama gue."
"Gue tau."
"Jadi lo nanti gue anter ambil pakaian lo."
Evangeline menghentikan gerakan mengusapnya. Menatap Keanu dalam diam.
"Gue nginep di rumah Ara aja."
"Kenapa?" Keanu melempar tatapan sarkastik. Tak suka mendengar penolakan halus kekasihnya.
"Gue nggak mau ngrepotin lo."
Keanu menajamkan tatapan. Auranya berubah mengintimidasi. Tapi Evangeline tak gentar. Tatapannya nyalang balik sekalipun hatinya takut setengah mati.
"Gue nggak pernah bilang."
"Gue tau."
"Bokap nyokap juga nggak pernah bilang."
"Ya."
"Jadi, siapa yang bilang?"
"Nggak ada, Keanu. Gue cuma pengen nginep di rumah Ara."
"Mama lo yang minta gue jagain elo, Alin. Gue nggak bisa mengelak, kan?"
"Nanti gue bilang sama Mama kalo–"
"Don't. Lo tetep nginep di rumah gue."
Evangeline mendesah lelah. Pertahanannya untuk tetap tegar runtuh sudah. Kepalanya tertunduk dan senyum getirnya hadir.
Percuma membantah Keanu.
***
"Dimana Tante Ruby?"
"Mama dan papa keluar kota. Kita berdua di rumah."
Evangeline melempar tatapan 'are you kidding me'. Rasa kesalnya karena dipaksa saja belum hilang. Ditambah fakta jika mereka berduaan di rumah Keanu sampai kedua orang tuanya kembali.
Evangeline melangkah menuju kamar yang sering ia tempati di rumah Keanu. Namun, tangannya keburu ditarik ke belakang oleh cowok itu.
"Apa lagi?" Tanya Evangeline tak minat.
"Tidur di kamar gue."
"Nggak! Gila aja. Kita cuma berdua di rumah, terus mau berduaan juga tidurnya?"
"Iya."
Evangeline berusaha melepas cekalan di pergelangan tangannya. Tapi tak berhasil, cengkramannya sangat kuat. "Keanu, lepas. Gue mau istirahat, capek."
"Di kamar gue. Bukan di sini."
"Gue nggak mau!"
Cengkraman Keanu tambah kuat. Sampai Evangeline meringis kesakitan.
Keanu menyeret tak sabaran gadis itu ke lantai atas, tempat istirahatnya berada. Begitu sampai di kamar, ia langsung menghempas kuat tangan Evangeline sampai tubuhnya tersungkur ke kasur.
"Gue nggak pernah suka dibantah."
Keanu melempar asal tas sekolahnya. Kemudian merangkak naik ke atas tempat tidur. Memposisikan wajahnya tepat di depan wajah Evangeline.
"Keanu, minggir." Ia lemah dengan segala pesona Keanu. Aura mengintimidasi dan kegantengannya berhasil membuatnya selalu tunduk.
"Kenapa? Gue pikir lo udah berubah, Eve."
Tatapan lemah Evangeline berubah nyalang mendengar nama kecilnya disebut.
"Gue nggak pernah berubah dan jangan pernah berharap gue bakal berubah. Satu hal lagi, jangan pernah panggil gue pake nama itu."
Keanu menyeringai. Sasarannya selalu tepat.
"Sejauh apapun lo menghindar, nyokap lo nggak akan pernah ngelepasin lo ke tangan orang lain. Nyokap lo selalu memilih gue, your demon."
Keanu mendekatkan hidungnya ke ceruk leher Evangeline. Mengendus aroma mawar khas gadis itu.
Evangeline meneguk ludah susah payah. Kenangan buruk tentang masa lalunya hadir satu persatu. Bergantian mengoyak batin dan pertahanannya.
"Mama buta tentang lo. Saat mama tau semuanya, lo nggak akan pernah bisa selamat lagi."
"Oh ya? Jangan lupa acara tunangan kita tinggal menghitung hari. Selanjutnya lo bisa bayangin apa yang bakal terjadi, kalo lo berniat mengacaukan."
"Bukan gue yang bakal ngacauin semuanya tapi lo sendiri."
"Gue nunggu hari itu, Sayang. Saat lo kalah."
Evangeline mengernyit jijik saat Keanu mengecup ringan sebelah pipinya.
Cowok itu lantas bangkit berdiri, berjalan menuju kamar mandi. Meninggalkan Evangeline dengan sejuta pikiran dan batin berkecamuk.
Evangeline tak pernah berubah. Begitu juga Keanu. Sejenak, Evangeline memikirkan kembali hari-hari yang ia lalui. Penuh dengan dusta.
Kalau bukan karena papanya, Evangeline tak akan pernah mau jadi tawanan Keanu. Laki-laki bertopeng malaikat dan berhati iblis.
Pagi-pagi sekali, Evangeline sudah menyiapkan menu sarapan paginya bersama Keanu. Celemek masih bertengger di depan dada sampai perut bawahnya. Bau khas ayam goreng menguar memenuhi seisi dapur.
Tangannya bergerak lihai dari satu sisi ke sisi yang lainnya. Meniriskan ayam, mencuci daun lalap, menumbuk cabai. Sesekali tanganya yang bebas mengusap tetesan peluh di leher serta dahi.
Tanpa Evangeline sadari, Keanu sudah terbangun dari tidurnya. Kakinya yang panjang berjalan sedikit terseok mendekati kekasihnya, akibat kantuk yang masih setengah menguasai. Sesampainya di belakang Evangeline, tangannya langsung melingkar manja di perut gadis itu, dan menumpukan dagu di bahunya.
"Selamat pagi, Keanu." Sapa Evangeline. Menolehkan kepala lalu mengecup singkat pipi kanan Keanu.
Cowok itu membalas dengan mata setengah terpejam, "Pagi." Evangeline terkekeh menatapnya, lantas menuntun kekasihnya duduk di kursi.
"Tunggu makanannya matang dan jangan ganggu gue masak. Okey?"
Seperti seorang anak yang patuh pada nasehat ibunya, Keanu hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil menggelosorkan setengah badannya ke atas meja. Evangeline menyeringai. Cowok itu kelihatan cute dan manis.
Tak lama kemudian, Evangeline membawa hidangan siap santap hasil karyanya ke meja makan.
Keanu sedang merajut mimpi indah, ketika hidung bangirnya mencium bau sedap. Sontak matanya terbuka. Kepalanya terangkat. Sistem tubuhnya langsung memproses begitu matanya menangkap berbagai macam hidangan enak buatan Evangeline. Sampai air liurnya hampir menetes.
"Udah mandi?"
"Belom."
"Mandi dulu sana. Masa mau makan pas belom mandi."
"Emang lo udah?" Keanu memicingkan mata.
"Belom lah. Ini sambil nunggu biar nggak terlalu panas, gue mau mandi." Evangeline melepas celemeknya dan menyampirkannya di paku dinding seberang meja.
"Makan dulu aja, Lin."
"Kayak kebo dong entar." Kata gadis cantik itu sambil melangkah menjauhi ruang makan. Tapi tangannya dicekal Keanu, kontan langkahnya terhenti.
"Makan dulu bareng gue."
Evangeline menghela napas melihat tatapan itu lagi. Penuh intimidasi khas seorang Keanu.
"Keanu, plis jangan jorok lah. Emang enak–"
Evangeline sontak terdiam. Matanya melotot menyadari posisinya kini sudah duduk di atas pangkuan Keanu. Ia langsung berontak, tapi Keanu mempererat pegangan di perutnya.
"Apa susahnya nurutin gue?"
"Nggak ada."
"Ayo sarapan dulu."
Diam-diam Evangeline jengkel. Sok perfect tapi jorok. Sok-sokan mau dituruti tapi nggak mau dengerin baik-baik.
Alhasil Evangeline terpaksa menurut. Lalu beringsut duduk di sebelah Keanu.
"Hari ini nggak ada acara, kan?" Keanu membuka suara seraya menggigit ayam gorengnya dengan semangat empat lima. Sampai-sampai minyak belepotan di pinggiran bibirnya.
"Nggak ada."
"Mumpung libur, jalan-jalan yuk?"
Raut muka Evangeline yang semula suram berubah ceria. Tangannya yang sedang bergerak ingin mengambil nasi jadi terhenti, karena beralih mengalungkan tangan di leher Keanu.
"Beneran?"
Keanu menatap pancaran sinar bahagia itu. Giliran yang asik-asik mau-mau aja tanpa penolakan.
"Iya."
"Gue pengen ke pantai. Boleh?"
Keanu tampak berpikir. "Boleh aja. Tapi sebenernya gue nggak ngajak lo ke sana." Katanya sambil menatap Evangeline.
"Lah?"
"Lo boleh main ke pantai. Tapi temenin gue ke kantor papa dulu."
"Ngapain?" Ekspresi Evangeline berubah galak. Ketegangan wajah gadis itu kentara sekali di mata Keanu. "Lagian bonyok lo katanya lagi bisnis di luar kota."
"Papa pulang bentar buat meeting pagi ini."
Evangeline tiba-tiba melepas pelukan di leher Keanu. Wajahnya kembali ia hadapkan ke ayam goreng yang masih utuh di piringnya. "Udah berapa kali gue bilang kalo gue nggak suka?" Katanya datar.
"Kenapa? Dia papa gue sekaligus calon mertua lo."
"Sekalipun itu faktanya, tapi gue tetep nggak suka, Keanu."
Kata-kata Evangeline terdengar tak main-main. Keanu pun sudah tahu sejak lama jika gadis itu tidak menyukai papanya. Tapi, kekasihnya itu harus terbiasa.
Demi kehidupan damai gadis itu.
Keanu berusaha menarik dagu Evangeline untuk menatap matanya. Tapi Evangeline menolak, membuat Keanu menggeram. "Look at my eyes, Baby." Mau tak mau Evangeline menatap juga. Ada luka tersembunyi di sana. "Ini demi masa depan lo."
"Tau apa lo tentang masa depan gue?"
"Papa nggak sejahat yang lo kira."
"Sebaik apa sampai mama gue harus bekerja keras buat dia?!" Keanu terhenyak mendengar bentakan itu. Memang sudah biasa, tapi kali ini kedengarannya lebih mengejutkan.
"Gue tau. Tapi itu yang terbaik, kan buat menolong kucing-kucing jalanan?"
Telinga Evangeline terasa panas. Ingin teriak marah. Tapi ia sudah biasa, sampai kebal. Ingin menangis, tapi air mata saja malu untuk keluar di depan iblis seperti Keanu.
Keanu menangkup dua pipi Evangeline. Mengecup dahinya singkat. "Gue janji nggak lama. Setelah itu lo minta kemana aja gue turuti."
Evangeline hanya mengangguk, tak ada gunanya menolak. Ia melepas tangan Keanu di pipinya. Melanjutkan acara makan paginya yang kini sudah hilang selera.
***
Gedung pencakar langit berdiri menjulang megah di depan sana. Halaman depan kantor tampak sepi, tak ada orang lalu-lalang kecuali beberapa mobil yang masih keluar-masuk. Evangeline tebak mobil klien. Pemilik bangunan besar itu, kan orang penting.
Diam-diam Evangeline mendengus. Mana ada di hari libur seperti ini masih ada kantor yang mengadakan pertemuan. Jika bukan papa Keanu.
Mobil yang ia tumpangi bergerak menuju basements. Diparkirkan sejajar dengan mobil-mobil lainnya. Sekalipun Keanu adalah anak pemilik perusahaan, ia tak suka dikhususkan dalam hal parkir mobil. Konyol, katanya.
Evangeline dan Keanu masih saling diam, sejak percakapan terakhir mereka di atas meja makan. Sampai sekarang mereka memasuki ruangan yang belum pernah Evangeline masuki.
"Ruang kantor lo?" Tebaknya sambil mengamati barang-barang yang terpampang di dalam ruangan luas itu.
Lemari kaca berisi dokumen-dokumen, beberapa majalah dan koran di atas meja tamu, juga beberapa berkas yang tertata rapi di atas meja kerja. Evangeline tidak tahu sudah berapa kali Keanu bekerja di ruangan ini.
"Semoga."
Oh, ternyata bukan. Evangeline juga baru menyadari ada sebuah nama asing di atas meja kerja. Papan nama bercat akrilik. Berikut gelar dan jabatannya.
Sulliana Aileen, B.Eng. CTO.
"Dia siapa?"
Keanu mengalihkan pandang dari berkas-berkas di tangannya. Menatap arah jari telunjuk Evangeline.
"Lo bakalan tau sendiri nanti."
Evangeline berdecak mendengar jawaban tak memuaskan itu. Keanu selalu irit bicara. Termasuk memberi informasi yang sepatutnya Evangeline tahu.
Tapi toh, Evangeline kembali tak masalah. Lagipula status kekasih tujuannya untuk menutupi status tawanan. Untuk apa pula ia peduli dengan urusan 'tuannya'.
"Ikut gue." Keanu menarik tangan Evangeline begitu urusannya di ruangan CTO sudah selesai.
Evangeline menarik tangannya, dan dibalas delikan tajam Keanu.
"Gue nggak mau ikut campur. Gue di sini aja."
"Lo tinggal duduk diem di samping gue. Nggak usah bicara apapun."
"Gue tau. Tapi gue males."
"Evangeline."
"Keanu."
Evangeline jelas tak mau kalah. Siapa bilang menjadi tawanan tak berani apa-apa? Evangeline justru sering melawan hingga membuat Keanu kewalahan. Meskipun begitu, Keanu selalu punya banyak cara membuat Evangeline tunduk.
"Lo mau Mama lo celaka?"
Evangeline mengernyitkan alis tak suka. Jantungnya selalu siap melompat saat Keanu mulai membahas orang tuanya.
"Ngapain lo bawa nama nyokap gue?"
"Atau lo mau Papa lo sekarat?" Keanu tersenyum miring. Kelemahan Evangeline begitu mudah ia pergunakan.
Begitu bodoh gadis itu. Memilih orang-orang yang tidak pernah memikirkannya.
"Jam berapa?"
"Apa?"
Evangeline berdecak. Keanu itu sok-sokan cakep, tapi lemot. "Kita selesai."
Keanu tersenyum bangga, merasa kembali berhasil menaklukkan gadis keras kepala itu. Tangannya langsung merangkul bahu Evangeline, dan membawanya keluar ruangan.
"Cuma tiga jam kok."
"Demi kepala batu gue, Keanu!"
***
Jantung Evangeline selalu berdetak tak normal jika berdekatan dengan pria dewasa yang kini duduk di ujung meja sebagai kepala pertemuan. Amarahnya selalu menggelegak, mendorong fisiknya untuk melukai Daraeus Samudera. Atau kata-kata pedas sekalipun tak jago ia ungkapkan.
Tubuhnya terus bergerak tak nyaman di samping Keanu. Ingin segera lenyap dari ruangan penuh orang-orang penting itu. Tapi Keanu terus-terusan melotot, memperingatkan lewat matanya untuk tak banyak tingkah.
Semua peserta rapat menggunakan pakaian semi formal. Mengingat pertemuan ini di luar jam kerja. Evangeline juga ikut menyesuaikan, kendatipun dipaksa Keanu.
Yah..., seperti biasa.
"Jadi, besok perlu kunjungan langsung ke lapangan."
"Ya, kita akan segera mengirim tim ke Sumbawa."
"Jangan lupa batas daerah itu belum diselesaikan."
"Tenang saja. Sekretarisku akan mengurus semuanya."
Pembicaraan-pembicaraan yang tak penting itu ingin sekali tidak Evangeline dengar. Meskipun otaknya memikirkan berbagai hal yang membuat sibuk, tapi tetap telinganya bisa menangkap ucapan orang-orang dewasa itu.
Evangeline baru menatap jam yang menunjukkan pukul 9 pagi ketika papa Keanu menutup pertemuan. Napasnya terhembus lega. Ucapan Keanu tentang 3 jam lamanya mereka rapat nyatanya bohong. Mereka hanya menghabiskan waktu satu jam lebih tiga puluh menit.
"Evangeline." Suara berat khas pria dewasa membuat sang empunya nama tersentak.
Evangeline baru saja berdiri dan menunduk membenahi pakaiannya. Ketika mendapati pria berpengaruh di dunia bisnis itu sudah berdiri di hadapannya. Menyapa.
Evangeline lantas mengangguk sekali dan merendahkan pandangannya.
"Om Ares."
"Bagaiamana kabar kamu?" Tanyanya dengan tatapan menelisik. Matanya sama persis seperti Keanu, setajam elang.
"Baik, Om."
"Aman, kan sama Keanu?"
"Selalu aman, Om."
Daraeus mengangguk sekali. Sebelah tangannya merangkul sang putra semata wayang.
"Mama kamu selalu nitipin kamu ke om. Tapi kamu tau sendiri om sibuk, kan? Jadi om bilang sama Mama kamu kalo Keanu yang akan menjaga kamu."
Evangeline nyaris muntah mendengar perhatian Daraeus. Lagi-lagi kepalsuan.
"Makasih banyak, Om. Saya tau Keanu nggak akan pernah membiarkan saya celaka." Ada makna di balik lirikannya untuk Keanu. Evangeline berandai jika Keanu manusia peka.
Kalimatnya sekaligus memberi kepuasan untuk Daraeus. "Bagus. Itulah kenapa Mama kamu meminta Keanu untuk segera menikahimu."
"Aku juga cinta sama Evangeline, Pa."
Evangeline ingin keluar dari pembicaraan bodoh itu. Semua kata-kata yang diucapkannya, Daraeus, atau Keanu adalah dusta. Mereka sama-sama tahu tindakan mereka saling tusuk.
Tapi untuk menjaga citra, Evangeline rela meladeni drama mereka sekalipun nyaris mual. Tak mungkin, kan ia diam saja seperti orang dungu.
Evangeline juga harus bisa berdrama, dong.
"Evangeline akan papa antar sampai parkiran."
"Tapi, Pa kami keburu jalan-jalan."
Daraeus mendelik. Tak suka dibantah. Sama persis seperti putranya.
"Kamu pikir berapa lama kami bakal mengobrol?"
Evangeline ingin tertawa melihat wajah terkejut kekasihnya. Awalnya ia mendukung Keanu yang tidak ingin ia banyak mengobrol dengan Daraeus, alih-alih menolak gamblang. Tapi melihat Keanu yang sekarang berwajah semerah tomat, membuat Evangeline sangat terhibur.
"Kamu mau wine?"
Daraeus menawarkan minuman favoritnya ketika Keanu sudah tidak terlihat oleh pandangan mata. Evangeline sontak tersenyum tipis sambil menggeleng.
"Mama kamu sangat suka red wine Tempranillo." Daraeus menuangkan red wine yang ia maksud di atas gelas cocktail. "Sejarah Tempranillo sendiri praktis mengingatkannya tentang kenangan kami."
Evangeline menahan gelegak mual yang kian merambat ke rongga dadanya. Ia tak yakin sekali lagi ia bicara masih bisa menahan mual.
"Kamu tau, Alin? Mama kamu terjebak, tidak bisa keluar. Sama seperti kamu."
"Saya tau, Om."
"Kamu itu dikorbankan sama Mama kamu."
Faktanya memang begitu. Sebanyak apapun Evangeline menyalahkan Keanu, mengecapnya sebagai iblis yang menjelma sebagai dewa. Evangeline memang ditawan karena diserahkan oleh mamanya sendiri. Mama lah yang menjadikannya umpan monster seperti Keanu.
Terang-terangan Evangeline mendengus.
"Saya anak yang berbakti kan, Om?"
Daraeus tak bisa menahan tawanya. Sebelah tangannya yang bebas mengusak rambut Evangeline.
"Kamu memang calon menantu idaman saya, Evangeline."
"Saya turut bersyukur, Om."
"Ingat satu hal, Evangeline." Daraeus mendekat. "Mama kamu sangat mencintai kamu meskipun bagimu caranya salah. Saya nggak berbohong kalo Mama kamu benar dalam memilih seseorang untuk menjaga putrinya. Karena kamu incaran semua orang, Alin."
Incaran semua orang.
Evangeline sering mendengar kalimat itu dari banyak orang di sekitarnya. Tapi ia tak mengerti artinya. Daripada terbebani, ia memilih tidak tahu menahu.
"Kalo saya boleh tau, apa Keanu tidak pernah bercerita dengan Om tentang saya?" Evangeline mengubah topik. Jantungnya berdentum lebih keras, karena inilah yang ia tunggu.
Keanu akan mendapat ganjarannya.
"Tanpa saya tau dari mulutnya, saya sudah tau melalui pengamatan saya sendiri, Evangeline." Daraeus tersenyum lebar. Menikmati perubahan drastis raut wajah gadis cantik di depannya.
"Jadi Om tau kalo Keanu pernah... punya... cerita... sama... saya?" Evangeline bertanya patah-patah. Kakinya sedikit melemas akibat syok mengetahui kebenarannya.
"Kenapa kamu tanya seolah-olah saya bukan siapa-siapa?"
Daraeus benar. Evangeline yang bodoh. Seharusnya ia tak perlu bertanya. Seharusnya ia tak perlu ragu dengan pengetahuan orang tua Keanu tentang putra mereka yang 'pernah punya masa lalu' bersamanya.
Seketika rasa malu menghampirinya. Apalagi ia sempat berniat membongkar kebusukan cowok itu di depan semua orang untuk membatalkan pertunangan mereka.
Sekarang diketahui sudah. Keluarga Keanu dan mungkin mamanya juga tahu, kalau Keanu pernah menyakitinya.
Sudah tidak ada lagi rencana untuk bisa lolos dari jeratan laki-laki itu.
Lantas, kenapa mamanya tega mengirim dia ke hadapan iblis itu? Sebenarnya apa yang tidak ia ketahui? Kenapa ia merasa paling bodoh di sini?
"Kekasihmu sudah lama menunggu. Ayo kita ke parkiran. Om juga keburu pergi."
Pikiran Evangeline masih kosong saat Daraeus merangkulnya, membawanya melangkah bersama menuju basements.
"Tante Ruby besok pulang, nemenin kamu fitting baju buat tunangan minggu depan."
Evangeline terhenyak. Pikirannya kembali fokus, sekaligus dipaksa menghadap realita. Padahal keterkejutan yang beberapa menit lalu ia rasakan belum lenyap. Sekarang sudah harus memikirkan acara penting beberapa hari ke depan.
Tak usah menunggu malam datang untuk bermimpi buruk, cerita hidupnya saja sudah membawa mimpi buruk. Evangeline jadi bergidik ngeri. Seberat apakah kisahnya nanti dengan Keanu, kalau sekarang saja sudah membuatnya ingin mati.
Selusur pantai tampak ramai dengan banyak orang lalu-lalang melepas penat. Kedai-kedai dipenuhi orang-orang berkebutuhan memenuhi perut atau hanya mampir menyesap segelas minuman.
Evangeline menikmati suasana pantai di bawah sana dari atas bukit karang. Angin kencang khas pantai menghempas rambutnya ke sana kemari. Praktis membuat surai panjang lurusnya berantakan.
Udara asin ia hirup sebanyak-banyaknya. Barangkali kesempatan ini yang terakhir kalinya diberikan Keanu.
"Gue cuma beli satu karena di bawah udah pada habis."
Suara itu mengalihkan perhatiannya. Keanu baru saja duduk sambil membawa kelapa muda dengan sebuah sedotan tampak menjulang dari dalam buah bercairan banyak itu.
"Yaudah buat berdua aja." Balas Evangeline menghibur. Kemudian menyesap minuman menyegarkan itu rakus.
Keanu memandang gadis pemilik mata coklat terang itu dengan senyum tipis.
"Lo nggak pernah tau, Lin. Seberapa besar gue sayang sama lo."
"Hah? Apa, Nu?"
"Nggak ngomong apa-apa gue."
"Gue tadi denger lo ngomong sesuatu." Kata Evangeline ngotot. Telinganya masih normal. Nggak mungkin, kan suara Keanu salah ia kenali.
"Sumpah demi apa?" Keanu mengulurkan tangan kanan. Tapi Evangeline menghempasnya sambil cemberut.
"Gue nggak mungkin salah denger, Keanu."
"Mungkin bukan gue yang ngomong, Lin."
"Enggak, ih.... Nggak ada hantu di siang bolong begini."
Keanu menahan tawa. Ekspresi kesal Evangeline membuatnya ingin terpingkal-pingkal.
"Bukan gue sumpah."
Evangeline memicingkan mata. Ia tahu telinganya tak salah. Dan lagi, wajah merah padam Keanu membuatnya curiga. Barangkali cowok itu memang sengaja mengerjainya.
Kedua tangan Evangeline bergerak menggelitik perut rata Keanu. Cowok itu pun refleks bergerak menjauh sambil tubuhnya menggeliat-geliat dan terbahak.
"Ngaku nggak lo." Ancam Evangeline terus-terusan menggelitik.
Sok-sokan cool tapi tidak tahan digelitik. Hah, dasar Keanu payah.
"Ampun, Lin.... Ampun...."
"Gue nggak mau berhenti kalo lo belom mau ngaku!"
"Bukan gue... yang... ngomong... ahaha."
Evangeline menambah kecepatan menggelitiknya. Tanpa henti. Tanpa ampun. Membuat Keanu semakin belingsatan dan hampir jatuh ke bawah seandainya Evangeline tidak menahan pundaknya.
Keanu menjatuhkan tubuh di atas karang. Sekaligus menjatuhkan Evangeline ke pelukannya. Kepala gadis itu refleks menempel nyaman di atas dadanya.
Napasnya ngos-ngosan. Evangeline bisa merasakan detak jantung Keanu yang berdetak cepat di bawah telinganya.
"Lo milik gue, Alin." Ucap Keanu pelan. Tapi masih bisa didengar jelas oleh si empunya nama.
"Gue tau."
"Nggak ada yang boleh milikin lo selain gue."
"Lo egois, Keanu."
"Gue nggak peduli. Yang penting lo selalu ada di sisi gue."
"Sekarang gue udah ada di sisi lo."
"Tapi lo bakal pergi."
Evangeline menatap Keanu. "Gue nggak akan pernah pergi dan lo tau itu."
"Sekarang lo bisa bilang gitu karena status lo tawanan gue."
Salah satu sudut bibir Evangeline bergerak ke atas. "Gue nggak punya apa-apa, Keanu. Apa yang lo mau dari gue?"
Pertanyaan itu selalu muncul dari bibir Evangeline. Tapi tak pernah terjawab. Evangeline juga tak pernah mengharapkannya. Pertanyaannya semata-mata menghibur dirinya sendiri.
Tapi, balasan yang keluar dari bibir Keanu membuatnya terdiam tanpa sepatah kata.
"Lo tau sendiri kalo lo incaran semua orang. Gue kayak punya permata paling bernilai di dunia kalo berhasil milikin lo seutuhnya. Semua mata dunia bakal menyorot ke gue.
"Tapi bukan itu yang bikin gue berambisi buat memiliki lo. Kehancuran lo yang gue harapkan."
Keanu menghentikan ucapannya sebentar, untuk menghela napas. Sambil menikmati perubahan raut wajah Evangeline yang awalnya tenang jadi tegang.
"Gue bakal ngehancurin lo, Eve. Lo bakal mati sama seperti Rey."
Dua nama kecil orang yang berbeda itu disebut enteng oleh Keanu. Wajahnya tenang, tanpa ada beriak yang mewakili ucapannya. Sementara wajah Evangeline sudah berubah merah padam menahan amarah.
Lama sekali Evangeline tidak mendengar nama seseorang yang pernah berarti di masa lalunya disebut-sebut. Karena orang itu sudah pergi tanpa jejak. Berita kematiannya saja tertutup dari publik sampai sekarang.
Tapi tidak bagi Evangeline. Sebab ia tahu semua cerita dari awal sampai akhir. Ia menyimak betul kejadian awal Raymond kecelakaan sampai akhirnya Raymond masuk dalam peristirahatan abadinya.
Dan sekarang, mendengar nama Raymond disebut jelas oleh Keanu, membuat amarahnya langsung menggelegak ke permukaan. Keanu masih sekejam dulu, dan tidak pernah merasa berdosa.
"Kalo gitu kenapa lo nggak biarin gue mati sama Rey?"
"Nggak semudah itu. Lo harus ngrasain penderitaan gue saat kalian masih menjalin hubungan di belakang gue!"
"Lo tau kalo gue nggak pernah cinta sama lo. Dan Rey adalah pilihan papa."
Keanu meringis sambil memegang dadanya. Berlagak seolah hatinya sangat sakit. Sedetik kemudian tawanya terbit. Tawa jahat yang belum pernah Evangeline dengar dari Keanu. Seketika bulu kuduknya berdiri.
"Itulah kenapa kalian terjebak sama gue. Lo itu milik gue seorang dan lo harus ngrasain penderitaan gue sekarang!"
"Kalo gitu biarin gue mati sekarang, Keanu! Biar lo nggak terbebani lagi sama nasib gue." Raung Evangeline sambil menyingkir ke tepi tebing. Sejengkal saja ia mundur, tubuhnya sudah pasti terjatuh tercebur di atas air laut. Terbawa arus entah sampai mana.
Tapi Keanu hanya menatap datar cewek itu. Ia sudah biasa menghadapi Evangeline ketika marah. Keanu tetap tenang. Setenang ketika memikirkan Evangeline tidak akan berani meninggalkan orang tuanya di tangan demon.
"Lo berani ninggalin orang tua lo sama gue?"
"Mama dan papa nggak akan pernah nyalahin gue tentang ini. Mereka bakal nampar balik lo, Keanu."
"Yakin? Kalian kucing jalanan sekarang. Mereka nggak punya apa-apa lagi, mereka nggak bisa ngapa-ngapain gue. Bokap dan nyokap lo bakal lebih leluasa gue siksa kalo lo pergi."
"Jangan berani macem-macem lo!"
Mata Evangeline tampak menyala-nyala. Berang sekali menghadapi iblis licik seperti Keanu. Keinginannya untuk lenyap semakin besar, tapi sama besarnya seperti kekhawatirannya mengenai mama dan papa.
Sialnya Keanu selalu tahu kelemahannya di mana. "Jadi, lo mau gue siksa atau orang tua lo yang gue siksa?"
Dada Evangeline naik turun. Keanu sukses membuatnya emosi dan menangis. Laki-laki berhati iblis itu mana mau berbelas kasih. Hatinya seolah mati. Tega membiarkan nyawa orang lain melayang. Tega menjebak keluarganya. Tega mengurungnya.
Evangeline merasakan tubuhnya masuk ke pelukan Keanu. Laki-laki itu mengelus kepalanya lembut, berlainan dengan hatinya yang sekeras batu.
"Jawab gue, Evangeline. Lo pilih Rey atau gue."
"Rey udah mati."
"Jawab."
Evangeline menghela napas.
"Gue milih elo."
"Selamanya?"
"Ya."
"Dan selalu ingat satu hal. Jangan pernah bawa perasaan apapun dalam hubungan palsu kita. Gue-cuma-mau-menyiksa-lo-dan-keluarga-lo."
Evangeline merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Kata-kata Keanu tajam menusuk. Mengintimidasinya lagi seperti biasa. Tapi kali ini lebih menggetarkan karena kejujuran Keanu tentang semuanya.
Awalnya Evangeline pikir Keanu hanya terobsesi. Mama pun memiliki konflik dengan papa Keanu. Jadi siasat balas dendam papa Keanu dapat tersalurkan dengan baik, sama seperti putranya.
Tapi ternyata, alasan pribadi Keanu serumit ini.
"Coba diulang."
"Selamanya gue memilih elo dan nggak akan pernah jatuh cinta sama lo, Keanugrahan Samudera."
"Selamanya lo terjebak sama gue, Evangeline Sonja. Dan nggak akan pernah bisa keluar lagi."
Air mata mengalir tanpa komando dari kedua mata bulat Evangeline. Membentuk aliran anak sungai di kedua pipi tirusnya. Hatinya sakit, seperti tertusuk benda runcing.
Perasaannya terang-terangan dimainkan oleh Keanu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!