“Doain Tiara, Bu.” Gadis itu bersimpuh di hadapan ketua yayasan. Setelah itu merebahkan kepala di pangkuan wanita yang memberinya bekal banyak hal selama tiga bulan belakangan.
“Ibu yakin kamu akan dapat majikan yang baik, Tiara. Kamu anak baik dan pintar. Ibu yakin, nantinya keluarga itu akan menyayangi kamu, seperti rasa sayang ibu.”
Sesi berpamitan yang mengharu biru masih melintas di benak Tiara, sepanjang perjalanan. Sesekali ia masih menyeka mata, meluruhkan sisa air yang tak henti menitik. Sementara, dalam hatinya mengudarakan banyak doa.
Pagi ini, utusan majikan tempat ia akan bekerja menjemput. Saat ia harus benar-benar berjuang, dan berbakti, tak hanya demi rupiah.
Tiara tertegun manakala menapakkan kaki di halaman rumah yang begitu besar. Bangunan tak ubahnya istana yang menjulang dengan megahnya. Rumah mewah yang selama ini hanya ia saksikan di televisi saja.
“Ayo!” Suara dari arah belakang mengagetkan Tiara.
Itu adalah Arman, sopir yang tadi menjemputnya dari yayasan. Keduanya belum sempat berkenalan, dan yang Tiara ingat, tadi pria itu hanya menyebut bahwa dirinya adalah utusan dari keluarga Widjaya.
“Ah, b-baik.” Tiara tergagap, lalu memperbaiki letak tas yang menyampir di pundak.
“Ikut aku.” Arman menegaskan.
Setelah berkata demikian, pria berusia 25 tahun itu berjalan mendahului. Ia melangkahkan menuju samping rumah, yang letaknya sedikit memutar dari tempatnya memarkirkan mobil.
Sepanjang mengekor ke pria itu, mata Tiara tak bosan menjelajah ke sekeliling. Bibirnya tak henti berdecak, mengagumi keindahan taman yang membentang di hadapan. Deretan pemandangan luas yang berhias aneka bunga benar-benar menawan mata dan hati siapa saja yang memandang.
Jauh di dekat pagar besi berwarna hitam, tanaman palem menjulang seolah-oleh menjadi bingkai halaman. Lalu hamparan mawar aneka warna cerah, juga anggrek yang ditata sedemikian rupa. Ada pula Kamboja Jepang yang menghias beberapa pot besar. Sementara, dahlia beraneka warna tampak menambah semarak taman yang terawat rapi. Jenis bunga yang pernah dijumpai Tiara di rumah kepala desa di kampungnya.
Beberapa bunga indah lainnya tidak Tiara ketahui namanya. Akan tetapi, beberapa tanaman itu sukses membuatnya merasa damai menjejakkan kaki di rumah itu. Hatinya bahkan membuat kesepakatan, jika ia akan betah bekerja di sana.
‘Ah, tapi ... bagaimana mungkin? Apakah aku terlalu yakin? Karena selama ini dari yang kulihat di sinetron, orang-orang kaya kebanyakan jahat. Mereka akan memperlakukan pembantu dengan semena-mena.’ Tiara membatin, sambil terus melangkah.
“Lewat sini.”
Angan gadis itu buyar saat si Sopir menunjukkan jalan berbelok di sisi kanan bangunan, melewati kolam renang. Lagi-lagi Tiara berdecak kagum. Betapa tidak? Aneka tanaman buah berjajar rapi di tepi tembok tinggi, tumbuh dengan baik dalam pot-pot besar. Ada jeruk yang sebagian telah menguning, mangga apel dengan buah berwarna kemerahan, ada juga durian yang menunjukkan dua buah sangat besar di bagian sudut.
Apakah ini surga? Aku bahkan tak bisa lagi menebak sekaya apa majikan yang akan menjadi tempat mengabdi. Dan lagi ... kenapa aku yang terpilih dari sekian orang di yayasan? Padahal, aku adalah orang baru yang sama sekali belum berpengalaman menjadi pembantu, atau apa pun itu.
Sang sopir menekan bel, saat mereka sampai di depan pintu besar. Dari ukirannya, pintu berbahan kayu itu tampak dibuat dengan seni yang mumpuni. Ukiran khas Bali terpampang apik, dengan beberapa bagian dicat berwarna emas.
Tiara masuk usai menyapa seorang wanita paruh baya yang membuka pintu. Dari pakaiannya, bisa kukenali bahwa wanita itu adalah seorang pelayan di sini.
“Selamat datang di rumah keluarga Adji Widjaya.”
Begitu sapa wanita yang tadi, begitu Tiara sampai di dalam. Sementara, sopir yang tadi menjemput telah pergi, usai meletakkan kopor besar bawaannya.
“Namaku Nurma.” Wanita paruh baya itu mengulurkan tangan, dan disambut Tiara dengan segan.
“Saya Tiara. Senang berkenalan dengan Anda, Bu Nurma,” jawabnya berusaha sesantun mungkin.
“Ikut aku.” Nurma berbalik, lalu melangkah cepat menuju meja berbentuk oval, dengan kursi yang ditata melingkar.
Apa ini ruang makan?
“Duduklah.” Ia mempersilakan, lalu menuju sisi yang lain. Mengambil sesuatu, lalu kembali bersama tatapan Tiara.
Gadis itu tidak berani menelisik sekeliling rumah yang terasa sejuk. Ia takut jika tatapannya tertangkap oleh Nurma, dan dianggap tak sopan.
Namun, Tiara masih bisa melihat kesibukan para pembantu di rumah tersebut, dari beberapa orang berseragam yang berlalu-lalang.
“Aku kepala pelayan di sini. Ada banyak pembantu yang bekerja di rumah ini.” Nurma memulai, setelah menyuguhkan segelas air.
“Ada Lulu yang bertanggung jawab untuk seluruh hidangan di rumah ini. Bisa dibilang, dia kepala chef. Dapur adalah daerah kekuasaannya.” Sang kepala pelayan berkata sambil mengamati penampilan gadis di depannya.
“Ada Rita yang bertanggung jawab atas kebersihan di dalam rumah, sedangkan Siska yang mengurus taman di luar dengan beberapa tukang kebun.” Penjelasan Nurma lagi-lagi membuat Tiara terkesiap, kagum.
Pembantu rumah saja sebanyak itu? Kalau sudah begitu banyak orang di sini, bagaimana dengan pekerjaanku?
“Kamu sendiri ....” Nurma menjeda kalimat, seperti paham dengan tanya dalam hati Tiara. “Kamu akan mengurus Nyonya Sundari.”
Tiara mengangguk. Sebab, sebelum kemari, pihak yayasan memang telah membekalinya dengan keterampilan mengurus lansia. Jadi, ia berpikir yang disebut Nyonya Sundari adalah ibu dalam keluarga ini.
“Semua pekerja di rumah ini tinggal di paviliun belakang. Tapi, perawat dan pelayan untuk Nyonya Sundari tinggal di sini. Tepatnya di sana.” Nurma menunjuk sudut kanan ruangan.
“Ada tiga kamar di sana. Satu untuk suster, satu untuk Lisa, dan satu untukmu. Lisa adalah pelayan yang mengurus Nyonya Sundari, menggantikan satu orang yang berhenti lebih dulu.” Suara Nurma semakin melembut dari pertama kali.
“Tidak ada yang bertahan lebih dari tiga bulan mengurus Nyonya Besar. Karena begitu dia merasa tidak nyaman atau mengeluh, Tuan Muda akan langsung memecat pelayan tanpa bertanya.”
Tuan Muda?
Tiara bergidik membayangkan itu.
Bagaimana rupa sang tuan yang disampaikan Bu Nurma? Apakah mengerikan?
Nurma lantas menjelaskan semua tugas yang akan menjadi tanggung jawab Tiara selanjutnya di rumah ini. Melayani semua kemauan si Nyonya Besar, termasuk membantu dalam beraktivitas. Usia senja membuat pergerakan lansia itu terbatas, dan membutuhkan pendamping selama 24jam.
Jadi, nantinya Tiara, dan Suster Ani akan melakukan tugas bersama. Bekerja sebagai tim, dan dituntut melakukan pelayanan terbaik. Sementara Lisa hanya bertugas menyiapkan makanan khusus untuk Sundari.
“Jadi, kuharap kamu bertahan di sini, Tiara.” Begitu ucap Nurma. Pelan, tapi penuh penekanan. “Berganti pelayan setiap beberapa bulan sekali, aku lelah harus menjelaskan berulang-ulang.” Nada tak bersahabat itu keluar lagi dari Nurma.
“Mohon bantuannya, Bu Nurma. Saya berjanji akan bekerja keras sebaik mungkin. Terima kasih sudah memberi banyak pengarahan.” Tiara mengangguk sebagai tanda hormat, dan si Kepala Pelayan membalas dengan senyuman.
Tak lama, Nurma bangkit dan membawa Tiara menuju kamar yang tadi ia tunjukkan. Gadis itu menengadah, dan mendapati langit-langit rumah begitu megah. Berhias biru dan putih di beberapa bagian, layaknya langit di luar sana.
Di sinikah aku akan memulai perjuangan?
***
Seorang wanita berambut putih menyambut dengan tatapan tajam saat Tiara masuk. Gadis itu mengenakan seragam berwarna ungu, sebagai tanda bahwa ia adalah perawat Sundari. Warna yang membedakannya dengan pelayan biasa.
Mendapat tatapan sedemikian rupa, membuat kamar luas nan sejuk itu mendadak terasa panas bagi Tiara. Ia bahkan merasa keringat mengalir di punggungku. Dalam hati gadis itu merapal banyak doa, agar semua berjalan baik hari ini.
“Namanya Tiara, Nyonya. Dia yang menggantikan Susi.” Nurma berucap, setelah membungkukkan badan sebagai tanda hormat pada majikannya.
Sundari memindai gadis di depannya dengan saksama, dari kaki hingga puncak kepala. Rambut yang tertata rapi membuat kulit Tiara terlihat bersih. Pipinya yang sedikit tirus itu sedikit memutih, mungkin karena gugup.
Nurma berbalik sesaat, turut menatap tampilan Tiara. Gadis itu mengikuti arahan berpakaian darinya tanpa kesalahan. Sejenak ia tersenyum. Melihat Tiara sekarang, ia bagai melihat dirinya sendiri saat pertama kali datang ke rumah ini, lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.
Mengikuti apa yang dilakukan Nurma, Tiara lantas turut memberi hormat dari tempatnya. Sementara, wanita itu mendekati Sundari yang kini mengulas senyum samar.
Kupikir ada suster dan pelayan yang menemani, tapi kenapa dia hanya sendiri?
“Kuharap dia tidak seperti Susi,” jawab Sundari singkat, disertai helaan napas. Tak ada senyum di wajah tuanya yang masih menyisakan kecantikan itu.
Tidak seperti Susi? Ada apa? Ah, bukan urusanku. Akan tetapi, bukankan aku harus mencari tahu supaya tidak melakukan salah yang sama?
“Kamu, kemarilah!” Panggilan Nurma membuat Tiara sedikit tergagap, dan refleks mendekat.
“Senang bertemu dengan Anda, Nyonya.” Sekali lagi Tiara membungkuk, begitu sampai di tepi ranjang.
“Ah, gadis yang manis.” Sundari berkata dengan nada datar, wajah wanita tua itu pun tanpa ekspresi.
Nurma meninggalkan kamar itu tak lama kemudian. Menyisakan Tiara berdua dengan sang nyonya besar. Mata cekung itu terus memindai pelayan barunya, seolah-olah ingin mengenak lebih jauh.
“Namamu Tiara?” tanyanya pelan. Terdengar lembut, tidak seketus saat pertama menyapa.
“Iya, Nyonya.”
“Sini. Duduklah.” Ia menunjuk kursi di sisi ranjang, sebagai isyarat agar Tiara duduk di sana. Awalnya gadis itu tampak ragu, tapi tak urung menuruti perintah tersebut.
“Kamu masih muda. Kenapa bekerja jadi pelayan? Kenapa tidak mencari pekerjaan di tempat lain?”
Pertanyaan itu membuat angan Tiara melayang. Pada ibu yang sedang sakit, juga ayah yang kini entah di mana. Hal yang membuat ia merelakan bangku kuliah yang digapai dengan susah payah, lalu bekerja demi meraih rupiah.
Demi pengobatan ibunda yang harus tetap berjalan, demi ibu yang harus kembali pulih, meski Tiara tak ada di sisinya.
Ibu ....
***
bersambung ....
Tiara tersenyum mendengar tanya Sundari. Ia tampak berusaha menampilkan keceriaan, agar keputusan bekerja menjadi pelayan di rumah ini tak begitu dramatis seperti kisah sinetron.
Namun, tanya itu tak urung menyeretnya menyusuri labirin waktu, mengenang kejadian demi kejadian sebelum sampai kemari. Pada satu hari di masa lalu ....
Tiara menggigit bibir, saat suara Alia di seberang sana berkisah. Adiknya itu berkata putus-putus di sela tangis pilu. Mungkin, sekarang air mata sang adik pun sederas air mata yang membasah di pipi Tiara.
“Pulang, Mbak. Aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi.” Begitu kalimat yang diucap Alia. Rangkaian kata yang membuat Tiara menuju terminal, dan pulang ke kampung saat itu juga.
Sudah tiga tahun ini Tiara kuliah di salah satu universitas negeri di Jakarta. Kampus impian, yang berhasil ia raih dengan jalur beasiswa prestasi. Satu keuntungan karena menjadi lulusan terbaik sekabupaten, saat lulus SMA dulu.
Menjalani hari di perantauan, ia begitu cermat mengatur keuangan. Kiriman dari ibunya yang tak seberapa, membuat Tiara harus berhemat sedemikian rupa.
Beberapa kali ia mencari uang tambahan dengan berjualan online, juga pekerjaan lain. Salah satunya dengan memberi bimbingan belajar pada anak kecil di sekitar tempat kost. Meski hasilnya tak seberapa, tapi bisa mencukupi kebutuhan pakaian, juga ponsel pintar guna menunjang kegiatan belajarnya.
Lima jam di bus, Tiara sampai di kampung setelah malam. Alia menyambut dengan tangis, lalu menceritakan yang terjadi. Tentang ayah mereka yang main gila dengan wanita di kampung sebelah, lalu pergi setelah membawa semua tabungan milik ibunya. Laki-laki yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga itu tak lupa merampas perhiasan yang tak seberapa.
Tindakan sang ayah menyisakan sakit yang teramat di hati ibunya. Bukan tanpa alasan, sebab selama ini Tiara tahu jika ibunya berbakti dan bekerja keras. Membantu berjualan kue dan apa saja, demi kehidupan lebih baik.
Namun, ayahnya tak melihat pengorbanan itu, dan memilih bermain gila dengan wanita lain. Menorehkan luka, juga rasa malu karena gunjingan orang.
Dua hari di rumah, Tiara tak bisa mengembalikan senyuman ibunya seperti semula. Tatapan wanita terkasihnya itu kosong, dan wajah yang selalu sembab. Sampai di suatu pagi yang dingin, ia menemukan sang ibu tergeletak di lantai.
Beban pikiran yang tak bisa ditanggung lagi membuat ibunda Tiara terserang stroke. Hantaman yang membuat keluarga kecil mereka kian terpuruk.
Sepekan lebih dirawat di rumah sakit, membuat Tiara berpikir keras. Tak ingin membebani keluarga lain, ia terpaksa menjual apa saja yang masih bernilai uang. Meski perawatan ibunya gratis dengan jaminan pemerintah, tetap saja merek butuh biaya besar.
Tiara masih beruntung, sebab ada dua saudara ibunya yang turut membantu selama dirawat. Rumah mereka berdekatan, sehingga dua bibinya masih bisa bahu membahu. Baik merawat saat ibunya telah di rumah, atau menyumbang biaya.
Tak ingin terus terpuruk, Tiara mengutarakan niat bekerja pada bibinya. Sebagai sulung, ia dituntut mengambil alih semuanya, tak boleh lagi berpangku tangan.
“Tapi, bagaimana dengan kuliahmu, Tiara?” Marwah bertanya ragu.
Sama dengan keraguan Tiara saat berpamitan. Namun, ia tak memiliki pilihan lain. Sebab memaksakan kuliah hanya akan menjebak keluarganya dalam nestapa, dan Tiara tak ingin egois.
“Aku bisa mengajukan cuti, Bik. Nanti, kalau Ibu sudah sembuh, aku masih bisa kuliah lagi.” Lalu ia menjelaskan panjang lebar. Berusaha membuat bibinya mengerti, tidak menaruh cemas serta iba.
Berbekal restu dan nekat, Tiara kembali ke Jakarta. Mengurus kelengkapan cuti kuliah, juga memasukkan lamaran pekerjaan ke beberapa tempat dengan ijazah SMA. Nilai tertinggi rupanya tak berpengaruh di sini, karena ia tetap saja gagal saat ditanya pengalaman kerja.
Ia bertanya-tanya, mengapa pemilik lowongan tidak lebih dulu memberi kesempatan?
Bagaimana seseorang akan memiliki pengalaman kerja, jika terus saja ditolak?
Bukankah seharusnya mereka menerimanya lebih dulu?
Lalu ia berpikir, mungkin juga itu alasan pemilik perusahaan untuk menyisihkan pencari kerja tak berkompeten, lalu mengganti dengan yang lebih baik. Akan tetapi, Tiara menyayangkan hal itu. Sebab ia yakin dirinya adalah pekerja keras, dan juga bisa melakukan banyak hal. Tiara bahkan bisa belajar lebih cepat dari orang lain, hal yang membuatnya dikenal sebagai gadis cerdas di kampusnya.
Sebulan berjuang tanpa hasil, Tiara mulai menjual ponsel dan menukar dengan yang lebih murah. Tak apa, sebab masih bisa ia gunakan untuk menghubungi adiknya, dan mengetahui perkembangan kondisi sang ibu. Sampai kemudian ia tertarik dan mengajukan diri pada yayasan yang menyalurkan tenaga kerja.
Awalnya Tiara merasa enggan. Bagaimana mungkin seorang lulusan terbaik SMA Negeri sekabupaten mendaftar jadi pembantu?
Bagaimana bisa, seorang mahasiswi dengan prestasi mentereng akan bekerja sebagai pelayan?
Akan tetapi, sekali lagi Tiara tak bisa egois. Ada Alia yang masih harus sekolah, ada ibunya yang harus sembuh. Jadi, tekatnya sudah bulat. Bahkan, jika harus menjadi TKW di negeri lain, Tiara siap demi pundi rupiah.
Yayasan yang didatangi Tiara begitu bonafid. Tampak dari pembekalan yang diberikan pada calon pekerjanya. Mulai dari keterampilan menjaga bayi dan balita, merawat lansia, memasak, juga keterampilan beberapa bahasa.
Yayasan yang berada di bawah naungan Dinas Tenaga Kerja, membuat Tiara merasa tenang dan merasa berada di tempat yang tepat. Bahkan, banyak pengetahuan dan keterampilan yang ia dapat. Bekal menjalani kehidupan, yang tidak diajarkan dari berorganisasi di bangku kuliah. Kenyataan yang membuka matanya, bahwa praktik langsung memanglah lebih baik dari sekadar teori.
***
“Tiara?” Suara Sundari menyentak Tiara lamunan. “Kamu melamun?”
“Ah, t-tidak, Nyonya. Saya hanya ....”
Sundari menatap gadis di depannya dan berkata, “Kamu melamun.”
Kalimat yang membuat Tiara menyesal, dan merasa bersalah. Ia merasa tak enak hati, karena tertangkap kehilangan fokus saat pertama bekerja.
“Jadi, kenapa kamu bekerja di sini? Padahal, dari penampilanmu, akan banyak tempat yang menerimamu?” Lagi Sundari bertanya.
Tiara menarik napas dalam. Bingung dengan apa yang harus ia jawab. Sementara, menyatakan jika ia butuh uang demi keluarga akan terdengar dramatis saat ini.
“Karena saya ingin memiliki kesempatan merawat Nyonya seperti merawat ibu saya sendiri. Hal yang tidak bisa saya lakukan selama ini.”
Entah mengapa kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Tiara. Setelah berucap, ia lantas menunduk, mengiring pandangan yang mulai buram, karena tertutup kaca-kaca yang datang tanpa permisi.
“Maksudmu?” Sundari tampak menyimak.
Dituntut sebuah penjelasan, Tiara merasa menyesal. Akan tetapi, entah mengapa pertanyaan itu justru memaksanya berkata jujur. Ia bahkan tidak peduli, jika nanti Nyonya Sundari akan mengiranya mendulang simpati belaka.
“Di kampung, ibu saya sakit.”
Gadis itu memulai, sambil menghela napas yang tiba-tiba terasa sesak. Lalu mengalirlah kisah tentang ibu dan keluarganya. Namun, Tiara membungkus kisah pilu itu dengan keyakinan dan semangat. Tidak boleh menjual iba, demi menarik hati majikan. Itulah yang berusaha ia tanamkan.
Sundari yang menyimak membuat Tiara merasa tersanjung. Ia bahkan meminta maaf pada majikannya itu, setelah selesai bercerita.
“Aku mau buang air kecil,” kata sang majikan kemudian.
Dengan sigap Tiara bangkit, dan mendekati Sundari, setelah mengambil sebuah pispot di kamar mandi. Saat itu ia menyadari, bahwa ada yang tak baik tentang sang majikan yang tampak baik-baik saja.
Tiara menemani Sundari seharian. Tak banyak percakapan, karena majikannya terlihat lelah dan banyak beristirahat. Sesekali wanita itu meminta Tiara mengupas buah, juga menyuruh menyalakan televisi, dan mencari channel kesukaannya.
Sore harinya, Tiara mengganti pakaian Sundari. Begitu juga dengan seprei dan selimut. Mengelap seluruh permukaan dengan cairan desinfektan yang tersedia, sesuai titah Nurma.
Gadis itu melakukan semuanya, meski agak kesulitan saat harus mengangkat tubuh Sundari seorang diri. Namun, entah mengapa satu sisi hatinya merasa senang bekerja seperti ini. Ia merasa sedang melakukan hal itu benar-benar untuk ibunya.
Sementara itu, Nurma melarang suster dan Lisa untuk ke kamar Sundari. Ia ingin melihat bagaimana kesungguhan Tiara dalam merawat sang majikan. Wanita tua yang ia hormati dan kasihi selama ini.
***
Malam tiba, setelah hari pertama bekerja yang melelahkan bagi Tiara. Namun, ia masih berusaha tenang, meski tak ada tanda-tanda akan ada pelayan yang menemani. Padahal, tadi Nurma berkata ia akan bekerja sama dengan dua orang yang lain.
Tiara bingung harus bertanya pada siapa. Sementara, tak mungkin baginya meninggalkan kamar Sundari, meski perutnya sudah terasa lapar. Wajar, karena ia melewatkan makan siang. Hanya sebuah roti yang diberikan sang majikan sebagai pengganjal lapar.
Jam dinding menunjukkan waktu setengah tujuh, saat pintu kamar diketuk. Menampilkan Nurma yang datang ditemani seorang pelayan membawa nampan. Segera Tiara menyambut, tapi kepala pelayan itu menghentikan.
“Biar aku yang melakukannya untuk Nyonya. Kamu, kembali ke kamarmu. Bersihkan diri, lalu kembali ke sini setelah makan.”
Tiara terkesiap, tapi sesaat kemudian mengangguk patuh. Baru saja akan meninggalkan kamar, saat Nurma kembali menyebut berbicara padanya.
“Seragam ada di lemari kamarmu.” Tiara hanya mengangguk, sembari membungkukkan badan.
Keluar dari kamar mewah Sundari, langkah Tiara terasa ringan. Ia bahkan menepuk dada, dan mengudarakan syukur tiada henti dalam hati. Tak menduga, jika hari pertama ini berhasil ia lalui tanpa rintangan berarti.
Saat menuju bagian belakang bangunan yang sangat besar, gadis berkulit putih itu menyapukan pandangan ke sekeliling. Rumah dengan desain megah layaknya istana ini lagi-lagi memukau mata, dan membuat ia berdecak kagum.
Ia tertegun saat melihat lampu kristal raksasa yang menggantung indah, di pusat rumah ini. Menawan, menghias langit-langit yang menjulang di tengah ruangan. Sementara, tangga memutar menghubungkan ke lantai dua.
“Wah ... ini beneran istana,” gumamnya pelan, sambil tetap menjelajah seisi ruangan dengan mata.
Usai dengan rasa takjub tiada habis, Tiara menuju meja makan yang tadi pagi menjadi tempat bercakap dengan Nurma. Ternyata itu adalah tempat para pekerja untuk bercengkerama di waktu makan. Saat ia sampai, telah banyak yang duduk di sana, menyambut dengan tatapan menelisik.
Ada lima orang perempuan dengan seragam berwarna merah jambu, sedangkan tiga orang laki-laki mengenakan pakaian bebas. Salah satu di antara mereka menyapa Tiara, dan menunjuk sebuah kursi kosong.
Setelah berbasa-basi dan berkenalan, gadis berseragam ungu itu menyantap makanan dengan agak tergesa. Takut jika Nurma menunggu lama.
Tiara kembali ke kamar Sundari kurang dari setengah jam. Tak lupa mengirim pesan pada Alia, bahwa ia baik-baik saja dan akan mengirim uang. Kabar kesehatan ibunya yang membaik, menambah rangkaian rasa syukur dalam hati gadis itu.
“Kamu sudah selesai?”
Nurma menyapa begitu Tiara menjejakkan kaki di kamar Sundari. Ia masih memegang mangkuk dan menyuapi sang majikan. Pelayan yang tadi sudah tidak tampak, entah ke mana.
“Iya, Bu Nurma. Maaf sudah membuat Ibu menunggu lama.” Tiara membungkuk, lalu tersenyum manis.
“Baiklah. Aku pergi. Ada intercom atau telepon paralel yang bisa kamu pakai jika Nyonya butuh sesuatu, atau kami butuh bantuan.” Nurma bangkit di akhir kalimatnya.
“Baik, Bu Nurma. Terima kasih.” Tiara melepas sang kepala pelayan hingga ke pintu. Ia tak sadar, jika Sundari mengawasi dari ranjang.
Selepas kepergian Nurma, Tiara kembali terjebak sepi di kamar bercat putih nan luas. Sundari tak banyak berbicara, hanya memintanya memijat kaki seperti siang tadi. Sesekali mereka tertawa, saat menyaksikan acara televisi. Terbilang akrab untuk dua orang yang belum 24 jam saling kenal.
“Pijatanmu lembut, aku suka.” Sundari memuji, membuat Tiara tersipu.
“Terima kasih, Nyonya. Kalau Nyonya suka, saya akan terus melakukannya dengan senang hati.”
“Ganti lampunya dengan yang lebih redup. Aku tidak suka jika terlalu terang.”
“Baik, Nyonya.”
“Oh iya, Tiara. Tambahkan sedikit essential mawar ke disfuser itu.” Sundari menunjuk sebuah alat uap aroma terapi berbentuk bunga di sisi kanan ranjangnya.
Tiara terus memijat kaki berbalut kulit keriput itu, sampai sang empu terlelap. Kantuk yang menyerang membuat acara televisi tak lagi menarik baginya, meski ia menjelajah banyak channel. Tanpa sadar, Tiara terlelap dengan posisi menelungkup ke ranjang, dan kepalanya mencium kaki sang majikan.
Suara berdeham di dekat telinga menyentak Tiara, yang tanpa sengaja tertidur. Tampak seorang pria berkaus putih duduk di tepi ranjang, tak jauh dari posisi kepalanya.
Tiara bahkan sedikit terbelalak, saat mendapati jam dinding menunjuk jam satu malam. Ia tak menyangka telah tertidur selama itu, padahal rasanya baru saja terlelap. Ia masih ingat, terakhir kali terjaga waktu masih menunjuk angka sepuluh.
“M-maaf, Tuan. Maafkan saya.”
Tiara segera bangkit setelah mengumpulkan kesadaran, ia menarik seragamnya yang sempat tersingkap dan menunjukkan punggungnya.
Dari kepala yang tertunduk, tampak pria di depannya masih duduk dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tiara tak tahu, jika lelaki itu tengah mengamatinya dengan lekat sekarang.
Bagaimana kalau dia memecatku? Ya Tuhan, Tiara ... kenapa kamu bisa seceroboh ini? Bukannya menjaga majikan, malah ketiduran!
“Jadi, kamu pembantu baru yang mengurus Eyang?” tanya sang tuan dengan suara berat.
“B-benar, Tuan.”
Tiara mengangguk, tanpa berani menatap wajah pria itu. Sementara tangannya saling meremas di depan tubuh. Gugup dan takut yang menyerang dalam satu waktu membuat kantuk hilang entah ke mana.
“Dan kamu ketiduran di hari pertama bekerja? Apa tidurmu nyenyak?” Suara berat itu terucap penuh penekanan, membuat Tiara gemetar.
Bayangan akan dipecat dan tak bisa membiayai pengobatan sang ibunda membuat Tiara bersimpuh.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud lancang dengan tidur di sini. Saya mohon jangan pecat saya.” Gadis itu berkata sangat pelan, dengan bibir bergetar. Takut jika suaranya terdengar Sundari yang tengah terlelap.
Pria di hadapan Tiara terkekeh pelan. Ia lantas bangkit, dan berdiri tegak tepat di hadapan Tiara. Membuat gadis itu semakin tertunduk dalam.
“Kamu sedikit berlebihan, Nona. Aku hanya bertanya, apa tidurmu nyenyak, dan kamu malah minta dipecat.”
Tiara mengangkat wajahnya yang kini berubah pias, menunjukkan mata berkaca-kaca. Dengan bibir bergetar dia berucap, “T-tuan?”
“Ke ruang kerjaku besok pagi, sebelum jam enam.” Usai berucap demikian, lelaki berkaus putih itu pergi. Meninggalkan Tiara yang masih bersimpuh di lantai.
Eh? Apa dia mau memberi pesangon dan memecatku?
***
Bersambung ....
Prabu beranjak dari pembaringan saat alarmnya berbunyi di jam enam. Setelah meregangkan tubuh sesaat, ia beranjak menuju kamar mandi, meski kantuk masih menguasai. Ada meeting penting yang harus ia hadiri pagi ini.
Butuh waktu hampir satu jam, sampai pria jangkung itu siap dengan kemeja salur dan dasi. Saat tengah mematut diri di cermin, ingatannya melayang pada kejadian semalam ....
Usai membersihkan diri di jam yang nyaris menyentuh tengah malam, Prabu keluar dari kamarnya. Sudah menjadi rutinitas baginya, untuk langsung mengunjungi Sundari sepulang bekerja. Memastikan sang nenek tetap baik-baik saja adalah prioritas pria berusia 32 tahun itu.
“E ... yang?” Tangan Prabu masih melekat di gagang pintu, sedangkan kepalanya melongok ke dalam. Ia lantas masuk, dan menutup pintu dengan hati-hati.
Untuk sejenak, Prabu tertegun dengan pemandangan di hadapan. Tak biasanya Sundari tidur dengan lelap, bahkan tak mendengar panggilannya.
Prabu lantas mendekat, dan memandang wajah Sundari dengan selengkung senyum terkembang. Melihat neneknya terlelap dengan begitu damai, membuat hatinya terasa sejuk. Pandangannya lantas tertuju pada seseorang yang tertelungkup di kaki sang nenek.
Bukan kali pertama bagi Prabu melihat seorang gadis, tapi yang ada di hadapannya saat ini seolah memiliki magnet. Hal yang membuatnya mendekat, lalu duduk di dekat kepala pelayan itu.
Untuk beberapa saat, Prabu mengamati gadis berseragam ungu yang tengah dibuai mimpi. Entah dorongan dari mana, ia mengulur tangan dan mengusap pipi pelayan itu. Membuat sang empu menggumam tak jelas, lalu kembali terlelap, dan Prabu tersenyum.
Dering ponsel menyentakkan Prabu dari lamunan. Segera ia menyambar benda itu, dan mematikan tanpa menjawab. Nama yang terpampang di layar membuatnya mendengkus, sebal.
Sementara itu, Tiara tampak gelisah di depan pintu berwarna cokelat tua. Ia bahkan tak tidur semalaman, sejak Prabu berkunjung ke kamar Sundari. Rasa bersalah dan takut membuatnya tak bisa tidur sama sekali, meski kantuk menyerang.
Dari setengah enam tadi, Tiara sudah menanti dengan harap-harap cemas. Namun, Tuan Muda yang dinanti tak kunjung tiba. Terlebih, membayangkan Sundari yang mungkin telah bangun dan mencari, membuat Tiara semakin gelisah.
“Pergilah ke ruang kerja Tuan Prabu. Biar aku yang mengurus Nyonya.” Begitu kalimat Nurma yang sedikit menenangkan.
Langkah Prabu menuju ruang kerjanya terhenti, dan pandangannya lurus ke depan. Pada seorang gadis berseragam ungu, yang mematung tepat di depan pintu ruang kerjanya yang terletak di lantai dua.
Untuk sejenak ia menjaga jarak dan tetap mengamati Tiara. Matanya menelisik dari sepasang kaki jenjang yang mulus, lalu menelusuri setiap lekukan tubuh gadis itu. Terhenti di kepala, dengan rambut tertata rapi membentuk sebuah bulatan seperti donat.
Suara Prabu yang berdeham membuat Tiara berbalik, lalu membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat. Ia menyapa dengan suara lembut, sedangkan dalam hati tak henti berucap syukur karena yang dinanti lebih dari satu jam akhirnya tiba.
“S-selamat pagi, Tuan,” sapanya pelan.
Tak menjawab, Prabu berlalu begitu saja. Lelaki itu membuka pintu, dan masuk tanpa kata. Meninggalkan Tiara yang masih bergeming di depan pintu.
“Kamu tidak mau masuk?” tanyanya datar, dengan wajah nyaris tanpa ekspresi. Kaku.
“Ah ... i—iya, Tuan!” Tiara tergagap, lalu mengekor.
“Tutup pintunya.”
Tiara mengangguk, dan melakukan perintah dengan cepat. Ia lantas berdiri dengan kepala tertunduk, tepat di hadapan Prabu yang sudah duduk di kursi kebesarannya. Saat ini, keduanya terpisah oleh meja berbahan kayu jati yang tampak kokoh.
“Jadi, kamu yang bernama Tiara?” Suara Prabu memecah hening, yang tadi hanya memperdengarkan detak jam dinding.
“Benar, Tuan.”
“Akan ada masa percobaan selama tiga bulan. Selama itu, kamu tidak diperkenankan izin, libur, atau mengambil cuti.”
“Baik, Tuan.”
“Maksimal melakukan satu kesalahan saja.”
“Baik, Tuan.” Tiara mengangguk lagi.
“Tidak diperkenankan menggunakan ponsel saat merawat Eyang. Kecuali terdesak, kamu boleh melakukan panggilan dengan telepon rumah.”
“Baik, Tuan.” Tiara mengangguk patuh.
“Apa ada yang mau kamu tanyakan perihal kontrak, pekerjaan dan gaji?”
“Tidak, Tuan. Saya paham,” jawab Tiara mantap.
Pembekalan dan seluruh isi kontrak memang telah ia baca dengan saksama, sebelum membubuhkan tanda tangan. Ditambah penjelasan Sundari, membuatnya tak ingin bertanya apa pun lagi.
“Oke. Kalau ada yang tidak kamu pahami nantinya, tanyakan pada Bu Nurma. Dia akan membantumu dengan senang hati.” Prabu menambahkan, masih dengan mengamati gadis di depannya lekat-lekat.
“Baik, Tuan.”
“Kamu boleh pergi,” kata Prabu kemudian.
Mendengar itu, Tiara mundur beberapa langkah, lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan. Saat tangannya sudah menyentuh gagang pintu, suara Prabu menghentikannya.
“Satu lagi.” Prabu menjeda ucapan, menunggu Tiara berbalik. “Jangan pernah ketiduran saat bekerja sendirian,” imbuhnya. Dalam waktu bersamaan, ia mengunci tatapan gadis itu.
Mendengar itu, Tiara merasa wajahnya menghangat. Membuat ia terserang gugup, malu, dan takut secara bersamaan.
“Karena tertidur saat sendirian, bisa membuatmu mengalami tindak kejahatan, dan bisa saja aku pelakunya.”
Tiara berbalik dengan wajah bingung. Namun, sekejap kemudian ia mengerjap dan melangkah keluar dengan cepat, saat mendapati Prabu tersenyum miring ke arahnya. Majikannya itu bahkan mengedipkan sebelah mata dengan tatapan penuh arti.
***
Kehabisan stok air mineral, membuat Tiara meninggalkan kamar Sundari dan menuju dapur. Waktu yang melewati tengah malam membuatnya enggan untuk membangunkan pelayan. Lagi pula, Sundari begitu nyenyak, dan tak akan butuh bantuan jika ditinggalkannya sebentar saja.
Suasana rumah besar itu sepenuhnya senyap, saat Tiara berada di luar kamar. Penerangan yang lebih redup membuatnya bergidik, dan melangkah lebih cepat.
Namun, langkahnya terhenti saat tiba di depan sebuah kamar yang pintunya tak tertutup rapat. Bias cahaya dari celah pintu membuat Tiara penasaran. Awalnya ia ingin abai pada semua itu. Akan tetapi, suara-suara aneh membuat gadis itu mendekat, bagai besi tertarik magnet.
Pintu yang terbuka lebih sejengkal membuat Tiara menahan napas dengan apa yang dilihatnya. Tak jauh di hadapannya, tampak Prabu sedang mencumbu seorang wanita yang mengenakan gaun mini berwarna merah menyala. Kedua orang itu berpagut mesra, dengan tangan saling meremas satu sama lain.
Untuk beberapa saat, Tiara terpaku. Kakinya bagai tertahan pasak besi, tak mampu beranjak. Sementara itu, matanya membulat, dan jantung berdegup kencang. Saat rasa penasaran semakin mendera, Tiara tersentak. Ingatan akan Sundari membuatnya menuju dapur, lalu mengambil apa yang dibutuhkannya dengan cepat.
Sesampainya di kamar, Tiara berusaha mengatur napasnya yang terengah. Bayangan Prabu yang sedang bercumbu kembali berkelebat, menimbulkan titik keringat di pelipis.
“Apa kamu berlari?” tanya Sundari, membuat Tiara nyaris memekik. Gadis itu mendekap teko stainless, demi menutupi rasa terkejut.
“Kamu kenapa, Tiara?” tanya Sundari, semakin heran. Wajah Tiara bahkan pias sekarang.
“Ny-nyonya bangun? M-maaf, t-tadi saya ke dapur mengambil air.” Tiara menjawab putus-putus.
“Kenapa kamu ketakutan begitu?”
“Ah ... s-saya ... saya hanya takut gelap, Nyonya. Apalagi, rumah ini besar sekali, jadi—“
“Seharusnya kamu bisa menekan intercom itu. Tidak perlu ke dapur.”
Tiara mendekat, lalu mengisi teko elektrik dan memanaskan air. Ia selalu memberi Sundari minum dengan air hangat, juga membasuh tangan majikannya itu dengan air yang sama.
“Saya hanya tidak ingin mengganggu mereka, Nyonya.”
Tiara mendekat, lalu menaikkan suhu ruangan yang dirasa terlalu dingin. Ia membenahi selimut Sundari, lalu mengecek minyak aroma terapi.
“Oh, iya. Kenapa Nyonya bangun? Apa mungkin, Nyonya butuh sesuatu?”
Sundari tampak termangu beberapa detik. Wanita itu lantas menarik napas panjang, dan berkata, “Aku menunggu Prabu. Apa tadi dia ke sini waktu aku tidur?”
Mendengar kalimat Sundari, adegan yang ingin dilupakan kembali melintas di benak Tiara.
“I-iya, Nyonya. Tadi Tuan Muda ke sini sebentar, tapi tidak tega membangunkan Nyonya.” Terpaksa Tiara berbohong, tak ingin Sundari kecewa.
Bagaimana Tuan Prabu mau kemari? Dia sedang asyik sama perempuan seksi itu!
“Ah, baiklah. Kalau mengantuk, kamu boleh tidur, Tiara.”
Tiara hanya mengangguk, lalu mengganti lampu dengan yang lebih redup. Setelah memastikan Sundari terlelap, ia mengambil sebuah selimut tebal, lalu menggelarnya di lantai. Ada sebuah sofabed di sisi kanan di dekat jendela. Akan tetapi, ia lebih suka tidur melantai, di dekat ranjang sang majikan.
Buana menyapa pagi dengan semarak. Kicau burung, juga kokok ayam bersahutan di seluruh penjuru, meski di sebagian tempat tersamar oleh deru kendaraan. Bias jingga di cakrawala membuat rerumputan dan bunga yang basah oleh embun kembali menggeliat, menyambut gempita semesta.
Fajar baru bersiap membuka hari, saat Tiara telah selesai bersiap. Setelah mengirim pesan pada adiknya, ia kembali mematut diri, memastikan penampilannya benar-benar rapi. Sesudahnya, Tiara keluar dan mendapati para pelayan telah sibuk dengan tanggung jawab masing-masing.
Tiara bersiap lebih pagi, karena ingin mengajak Sundari berkeliling. Meski tidak keluar, tapi pekarangan rumah yang luas ini cukup membuat mereka lelah dan menikmati udara sebanyak yang diinginkan.
Saat melintasi kamar semalam, tanpa sengaja Tiara menghentikan langkah. Secara tidak terduga, di waktu yang sama Prabu leluar dari sana, dengan celana pendek, dan kaus tanpa lengan. Tatapan yang beradu membuat mereka sedikit terkejut.
"Kamu?"
"M-maaf, Tuan. S-saya cuma ...."
Wajah Tiara bersemu merah. Menatap Prabu pagi ini, mau tak mau kejadian semalam ia ingat lagi. Saat Prabu memcumbui wanitanya. Ingin ia menjauh, tapi urung. Sebab, kini Prabu menahan pergelangan tangannya.
"T-tuan, apa yang--"
"Diam!"
Kalimat Tiara tidak selesai terucap, saat Parabu menariknya dalam dekapan. Pria itu bahkan menyudutkan Tiara ke tembok. Tentu saja, gadis itu meronta, setengah ketakutan.
"Lepaskan!" Tiara nyaris memekik.
Namun, hal yang kemudian terjadi membuatnya tercengang. Tanpa Tiara sadari, sebuah lampu hias jatuh dari ketinggian, dan berhamburan di lantai. Menyisakan bunyi nyaring, juga kaca berhamburan.
Untuk beberapa saat, Tiara menahan napas, dan membenamkan wajah ke dada sang majikan. Ia berseru tertahan, mendengar pecahan kaca lampu yang cukup memekakkan telinga.
Kejadian tersebut begitu cepat. Sedikit saja Prabu terlambat, Tiara tentu akan celaka.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Prabu. Ia menjeda pelukan, dan menatap Tiara yang masih tampak gemetar karena ketakutan.
"Ah ... s-saya baik-baik saja, Tuan. T-terima kasih." Tiara melepaskan diri.
Pada saat bersamaan, beberapa pekerja di rumah itu datang. Ada yang menelepon teknisi, juga mengawasi jika masih ada benda lain yang mungkin jatuh. Sebagian langsung merapikan kekacauan, sebagian lagi terperangah melihat Tiara berada dalam dekapan majikan mereka.
Melihat banyaknya pekerja yang telah berkumpul, Tiara berpamitan pada Prabu setelah berterima kasih sekali lagi. Namun, langkahnya terhenti, saat ia merasa perih dan nyeri di kaki kanannya.
"Awwh!" Gadis itu memekik tanpa sadar.
"Kamu kenapa?" Prabu melihat ke arah Tiara, lalu pandangannya turun ke kaki. Tampak olehnya, ada beberapa pecahan kaca yang menancap di betis bagian bawah.
"Kamu terluka, Tiara."
"Mbak Tiara luka?" Salah satu pelayan mendekat. "Ayo, saya obati di belakang."
"Ah, c-cuma luka kecil." Tiara berkata sambil meringis. Sejenak kemudian ia berlutut, hendak memastikan seberapa parah lukanya, dan mencabut kaca-kaca itu.
Namun, gerakan Tiara terhenti saat sebuah tangan menahannya. Sontak gadis itu mengangkat wajah, demikian juga pelayan yang ada di sana.
"T-tuan?"
"Biat aku obati." Prabu menyela, tak ingin dibantah.
"T-tapi, Tuan ... saya tidak apa-apa."
"Berisik!" Prabu lantas merunduk, lalu membawa Tiara dalam gendongannya. Iq melangkah, membawa Tiara ke kamar di lantai satu, diikuti tatapan semua pelayan.
"Bik, bawa kotak P3K ke sini!" titahnya kemudian, sambil terus melangkah ke kamar. Tempat Tiara melihatnya bercumbu ... semalam.
***
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!